Minggu, 24 Maret 2013

Komentator Angkringan


Ketika Palestina dan Israel sudah sepakat melakukan gencatan senjata, anak muda di luar sana masih saja melangsungkan debat antara ini ‘Malam Minggu’ atau ‘Sabtu Malam’. Saya sendiri, lebih senang menyebutnya dengan opsi kedua. Dan saya melewati opsi kedua itu dengan nongkrong bersama teman-teman sebaya di angkringan dekat rumah. Sesampainya di sana, saya kemudian meminta lépék, untuk nantinya saya taruh tempe, tahu bacem dan sate kikil sebagai hidangan untuk menemani saya menyaksikan duel sengit antara Indonesia melawan Arab Saudi. Saat saya menyerahkan lépék beserta isi hidangannya untuk dibakar, kedua mata saya kembali menaruh perhatian pada televisi berukuran 14 inch yang tergantung di pojok atas pos kamling tempat saya tinggal. Usianya televisi itu jauh lebih tua dibanding durasi perkenalan Manchester City dengan fans-nya di berbagai belahan Asia, pun dengan sahur trophy terakhir Wenger sampai dengan puasa gelarnya yang tak kunjung ‘buka’ hingga hari ini. Televisi di pos kamling ini, mengawali perkenalannya dengan penduduk kampung lewat suguhan laga Prancis – Italia; yang kemudian memunculkan nama Trezeguet sebagai salah satu aktor utamanya.

Bakaran hidangan saya sudah jadi, ketika sebuah longpass dari Kurnia Meiga bisa sampai ke kaki sang kapten, Boaz Salossa. Awalnya ia nampak seperti orang linglung, karena tinggal ia sendiri yang berada di kotak pertahanan; namun Boaz tetaplah Boaz, yang kemudian dengan cepatnya mengambil keputusan untuk memperdaya dua pemain bertahan Arab Saudi, untuk kemudian diteruskan dengan sebuah tendangan diagonal ke sudut kiri gawang Waleed Abdullah. Goal. Gelora bergemuruh, seisi penonton pos kamling di tempat saya berdiri pun demikian. Ada yang mengepalkan tangan ke udara, ada yang berteriak kencang seakan lupa bahwa di sebelahnya ada tetangga yang punya bayi kecil yang baru saja lahiran, ada pula yang kemudian sibuk menatap layar hp-nya untuk sekedar ganti status BBM/update di Twitter ‘BOAZ MOTHERFUCKIN SALOSSA!’.  Sebuah momentum yang memungkinkan mereka yang sudah makan sampai kenyang, bisa diam-diam pulang duluan tanpa ketahuan belum membayar.

Menit-menit berikutnya, para penonton di sini lebih banyak dibuat deg-degan oleh rangkaian serangan Arab Saudi.  Untuk sekedar pemberitahuan, rataan usia penonton di pos kamling yang bersebelahan dengan angkringan dekat rumah saya ini beragam. Anak usia kelas satu SD yang datang dengan ayahnya, segerombolan pemuda karang taruna setempat, bapak-bapak yang selalu saja mencoba melucu dengan mengeluarkan joke-joke usang soal komentator bola, ibu-ibu yang sekedar mampir beli lauk-pauk untuk hidangan makan malam keluarganya, semua ada. Jadi bisa anda bayangkan, betapa riuh — cenderung berisik — ketika separuh dari mereka semua turut berkomentar, saat Supardi harus berulang kali kesulitan meng-cover derasnya serangan Arab Saudi dari sektor kiri.

Dan akhirnya Yahya Sulaiman Al-Shehri membuat separuh keriuhan tadi terdiam. Ia yang memenangi duel udara dengan Hamka Hamzah, kemudian berhasil menyarangkan bola ke gawang Kurnia Meiga. Meiga nampak sedikit kesal, karena sebetulnya dia mampu membaca arah datangnya bola dengan benar. Sayang, laju bola sedikit lebih kencang; sehingga tepisan darinya tidak cukup kuat untuk menghadang bola agar tidak masuk ke gawang. Skor imbang, 1-1.

Kredit spesial harus diberikan pada Kurnia Meiga, Jika bukan karena aksi heroiknya ketika menghentikan tendangan Taiseer Yabir yang bebas berdiri di kotak pinalti, mungkin timnas akan semakin sempoyongan ketika jelang turun minum.

Sepanjang babak pertama, sebetulnya ada beberapa pertanyaan yang sering terlontar oleh beberapa komentator yang duduk di angkringan, seperti: kenapa Supardi — yang notabene-nya sudah lama tidak bermain di kiri — dipasang sebagai fullback; kenapa Ponaryo & Ian Kabes berada di lapangan, sementara Bustomi dan Greg duduk di bangku cadangan; kenapa harga bawang tak kunjung turun, dan pertanyaan kenapa-kenapa lainnya. Entah kenapa, setiap duduk di lincak (kursi berbentuk panjang) angkringan, siapapun yang ada di sana nampak sudah mengikuti kursus kepelatihan resmi FIFA, dan kemudian pulang dengan mengantongi lisensi A+. Mereka lupa, di sana ada Rahmad Darmawan dan Jackson Thiago yang sudah makan asam garam di kancah sepakbola nasional; mereka pasti jauh lebih paham dibandingkan siapapun yang duduk di lincak, yang seringkali hanya bermodalkan statistik dan ilmu asal-tebak-saja yang didapatnya dari salah satu koran olahraga ternama.

Jelang babak kedua, beberapa dari kami sudah menyiapkan amunisi. Ada yang sudah ‘berhadapan’ dengan perpaduan sebungkus nasi sambal dengan sate usus dan tempe kering, ada pula yang hanya minta diisi ulang gelasnya dengan wedang jahe hangat.Saya sendiri, memegang rokok di tangan kanan, sembari menyisakan beberapa kacang rebus dan tempe bacem di lépék  yang saya minta di awal laga tadi. Beberapa anak kecil yang tadinya berdesak-desakan duduk di pos kamling pun harus merelakan tempatnya digusur oleh senior di kampungnya. Akhirnya, sebagian dari mereka memilih untuk bermain kejar-lari-tangkap di sekitar pos kamling, alih-alih menyaksikan duel timnas di babak kedua.

Nampaknya, tugas Mario Teguh dan Tung Desem Waringin untuk menyamar dengan kostum ala RD dan Jackson Thiago ke dalam ruang ganti pemain saat jeda berhasil. Untuk sesaat, timnas termotivasi dan berani untuk tampil menyerang. 8 menit pertama, bahkan sebuah pergerakan berbahaya dari Ponaryo Astaman harus dihentikan secara paksa oleh pemain Arab Saudi. Sayang, eksekusi tendangan bebas dari Van Dijk yang tepat mengarah ke arah gawang, masih terlalu lemah.

Petaka datang di menit 56, ketika sebuah umpan dari silang Sultan Khalaf (lagi-lagi) harus menghasilkan duel udara, yang dimenangkan oleh Yousef Mansour Al Salem. Kerumunan bek kita hanya bisa terperangan melihat arah datangnya bola, seakan ingin memberikan angin segar kepada komentator yang selalu dengan mudahnya mengatakan kekalahan timnas karena ‘postur tubuh’.

Lagi-lagi, seisi pos kamling dan angkringan harus terdiam. Kali ini, benar-benar terdiam. Tak ada lagi, celotehan “Kok Cristian Gonzalez ga dimasukin aja sih?” —sedangkan Crisgol memang tidak dipanggil untuk laga kali ini — dari bapak-bapak sebelah. Kali ini, semua nampaknya sedang di-set silent mode. Asa sempat kembali dipupuk, ketika Greg Nwokolo masuk menggantikan Ian Kabes. Variasi serangan timnas yang tadinya hanya bertumpu pada poros sayap, mulai berani melancarkan bola dari sektor lain. Sesaat setelah Greg masuk, terlihat Van Dijk mulai sering dapat ‘asupan’ bola, sesuatu yang sulit ia dapatkan sepanjang jalannya babak pertama & awal babak kedua.

Kemudian sesaat kemudian kami semua dibuat terheran, dengan alasan dimasukkannya Irfan Bachdim menggantikan M. Ridwan. Masuknya Bachdim adalah sebuah misteri, sebagaimana misteri kenapa Roy Suryo harus ikut berdiri dan memasuki lapangan ketika para pemain kita hendak menyanyikan lagu kebangsaan yang belum terpecahkan. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Bachdim beserta istrinya, rasa-rasanya dia tidak masuk di saat yang tepat. Memang, Bachdim sama halnya seperti Ridwan; yang tidak segan untuk turun membantu lini pertahanan, sembari ikut membangun serangan dari lini sektor kanan timnas ketika dibutuhkan. Namun ketika menyerang, Bachdim nampak kesulitan untuk melewati 1-2 pemain belakang Arab Saudi. Lain halnya dengan seniornya yang ditempatkan di sektor kiri, Boaz Salossa. Ia tidak begitu kesulitan untuk menembus pertahanan Arab Saudi, namun begitu kesulitan ketika harus memberikan suplai bola kepada rekannya, karena hampir sebagian dari pemain kita dijaga dengan sebegitu ketatnya oleh pemain Arab Saudi. Menurut hemat saya sebagai komentator angkringan, ada baiknya RD memasukkan Andik yang memiliki tipikal pemain box-to-box. Dengan kelihaiannya menggocek bola dan melewati barisan pertahanan lawan, bukan tidak mungkin akan memudahkan pergerakan pemain=pemain lain untuk ikut membantu serangan.  Tapi sudahlah, mungkin RD memiliki pertimbangan lain dengan memasukkan Bachdim. Tidak ingin mengecewakan dedek-dedek lucu bercelana gemes yang sudah rela memberanikan diri datang ke GBK, misalnya.

Setelah Bachdim masuk, praktis Indonesia bermain dalam skema menyerang. Tebukti, pergerakan pemain kita berhasil membuat pasokan keringat Waleed Abdullah yang seharusnya sudah tercurcur dari babak pertama, tiba-tiba bergerontol-gerontol bercucuran di 15 menit terakhir babak kedua.

Entah bagaimana, nampaknya RD mengecek linimasa saya ketika saya menuliskan tweet ‘No Bustomi, no party’, akhirnya jagoan saya ini masuk menggantikan Ponaryo 2 menit menjelang laga bubar. Namun itu semua seperti penyesalan Mike Portnoy ketika meninggalkan Dream Theater dan bergabung dengan Avenged Sevenfold, yang dalam beberapa kesempatan hanya membuat skill bermain drum-nya harus rela dibalut oleh stik sapu dalam versi akustik ‘Dear God’: semua sudah terlambat. Agresevitas dan visi bermain Bustomi yang akan seharusnya membantu timnas sedari babak I, hanya mampu dia suguhkan selama 2 menit waktu normal dan 5 menit perpanjangan waktu. Indonesia pun harus rela menyerahkan 3 poin di kandang, kepada musuhnya di ranah tenaga kerja: Arab Saudi.

Namun, di 5 menit terakhir justru gema dukungan dari tribun semakin kencang. Saya yang hanya menyaksikan di televisi pun beranggapan, teman-teman yang menyuarakan dukungan dari pinggir lapangan masih terus bernyanyi hingga peluit panjangn dibunyikan. Persis seperti apa yang dilakukan mereka ketika menghadapi musuh yang sama, 6 tahun silam. Kami yang ada di pos kamling dan angkringan pun sepakat, bahwa kualitas Arab Saudi masih di atas Indonesia, namun kami bukan menyerah tanpa perlawanan.

Kalah adalah kalah. Sekalipun ditambahi embel-embel terhormat atau tipis. Esensi utama sepakbola adalah mencari kemenangan; perkara menghibur, membuat senang, atau yang lain itu perkara kesekian. Ketika tim yang kita dukung kalah, pastilah menyisakan sesak dan penyesalan di dalam diri pendukungnya. Seberapapun porsinya.

Tapi, melihat bagaimana 3 generasi bisa dipersatukan di sebuah pos kamling sempit dengan perantara televisi kecil — yang jauh lebih nyaman ketika berada di rumah yang luas dab TV ber-lcd — yang menjadi ajang guyub  di kampung saya (juga tempat-tempat lain), bagaimana melihat antusiasme mereka yang rela jauh-jauh datang ke GBK untuk menyuarakan dukungan, bagaimana anak muda di luar sana rela mendengarkan rentetan makian dari sang pacar, karena lebih memilih menyaksikan bola dibanding harus mampir ke kostnya untuk menikmati Sabtu malam; dan semuanya masih bisa tersenyum dan menyisakan kebanggaan, bahkan ketika timnas kalah, nampaknya kalah-menang bukan satu-satunya alasan yang mempengaruhi mereka untuk tetap bisa bersenang-senang.

Naif rasanya, bila saya, kalian, dan kita semua tidak rindu menyaksikan timnas kembali meraih gelar, atau paling tidak mampu tampil luar biasa, sehingga menyulitkan setiap lawan yang mereka hadapi. Tapi, bukankah lebih baik ketika ekspektasi kita terhadap pencapaian timnas masih belum bisa tercapai, standar-untuk-merasa-puas-terhadap-timnas-nya saja yang kita ubah? Sesederhana itu. :D 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar