Jumat, 08 Mei 2020

Obituari Didi Kempot: Setelah 1000 Kutha Usai



Lahul Fatihah kagem Mas Didi.

Saya tidak pernah benar-benar paham bagaimana ‘firasat’ bisa bekerja. Untuk perkara abstrak yang tak memiliki pakem, saya rasa ‘firasat’ kelewat sering dipakai sebagai detektor berita kehilangan. Saban ada tokoh yang berpulang, selalu saja ada yang berusaha mengorek informasi nirguna dengan kalimat pembuka, “Apakah sudah ada firasat sebelumnya?” Syukur yang ditanya ikut terpancing, cilaka kalau nalar dan logika yang ditanya sedang bekerja sebagaimana mestinya.

17 tahun silam, Nenek saya berpulang. Kena sakit tua, katanya. Selang beberapa saat setelah waktu subuh, dan dalam kondisi keluarga besar sudah berkumpul untuk kemungkinan paling buruk sejak beberapa hari sebelumnya. Tidak ada isak tangis yang berlebihan, semua bersedih sesuai porsinya masing-masing. Sembari menyiapkan prosesi ini dan itu, keluarga berkumpul untuk saling nguda rasa, memberikan kesaksian baik selama Almarhumah hidup sembari sesekali mengenang proses ketika Nenek dirawat—hingga terperinci sampai ke menit-menit akhir jelang ia menutup mata. Termasuk saling berbagi firasat yang dirasakan dalam beberapa waktu sebelumnya.

“Saya tadi pagi mau buka pintu depan, kok pas deket ada suara kaya pintu didorong ya? Digedor-gedor tapi tidak ada suaranya. Pagi buta lho, terus saya masuk lagi. Malaikat datang mau ‘jemput’ Mbah kali ya?” ujar Budhe.

“Oh, bisa jadi tuh Dhe.”
“Wah iya, mungkin juga itu.”

Lalu, sekonyong-konyong Pakdhe datang dan memberikan jawaban:

“Oh, itu mah saya tadi mau masuk habis shalat Subuh di masjid. Dikunci dari dalam kok ga dibukain, kirain masih tidur. Ya sudah masuk lewat pintu belakang.”

Lalu obrolan tentang firasat pun seketika usai tanpa dikomando. Agak sulit membayangkan kalau malaikat memang harus dibukakan pintu dulu untuk bisa melaksanakan tugasnya. Izrail bukan petugas sumbangan yang kalau tidak dibukakan pintu, lantas diminta untuk datang esoknya lagi.

5 Mei lalu, hari tidak berjalan baik-baik saja bagi saya. Sehabis santap sahur, saya tertidur di dipan teras rumah. Mak jegagik saya terbangun beberapa saat setelah azan subuh; dalam kondisi bangun yang sungguh tidak enak karena hampir terjatuh dari dipan, seperti baru mengalami mimpi jatuh dari jurang yang langsung membuatmu terbangun saat tertidur di meja sekolah. Belum sempat minum air putih dan gosok gigi untuk bekal menghadapi puasa selama 13 jam ke depan, saya langsung bergegas ambil air wudhu.

Subuh itu, entah kenapa saya tiba-tiba memikirkan hal-hal yang sepertinya jarang sekali saya bayangkan: kematian. Tiba-tiba sudut ingatan saya kembali tertuju pada hari di mana saya kehilangan Nenek. Buka pintu, subuh, dan obrolan Pakdhe-Budhe soal malaikat. Setelah shalat, bahkan saya masih bergumam: semisal malaikat datang pagi itu, apakah saya akan dibangunkan dulu untuk menunaikan ibadah subuh, atau langsung dijemput tanpa ba-bi-bu? Demi Tuhan, saya jauh sekali dari sosok religius, tapi saat itu, pikiran saya tidak henti-hentinya bergumul soal malaikat maut dan berbagai pengandaian tentang skenario saat berjumpa dengan kematian.

************************

Pukul 9 atau 10, adik membangunkan saya dari tidur. Belum sepenuhnya saya melek, adik saya nyerocos soal banyak hal yang tidak bisa saya ingat. Tapi yang jelas, kalimat akhirnya langsung membuat saya sadar dengan sempurna: “Papah mau nelpon, Didi Kempot meninggal lho!” Kabar itu langsung membuat saya seperti orang linglung. Saya cek ponsel, ternyata ada beberapa panggilan tak terjawab dari nomor yang tidak saya kenal dan beberapa chat yang berusaha memvalidasi kabar kepergian Mas Didi. Pun ketika mengecek Twitter, ada beberapa mention yang menuliskan ucapan belasungkawa kepada saya. Setelah mengecek beberapa sumber dan berulang-kali membaca dengan saksama, saya kemudian sadar bahwa Mas Didi benar-benar telah berpulang. Meninggal di usia 53, sama seperti sang kakak, Mamiek Prakoso, yang mangkat duluan pada 2014 silam. Bak petir di siang bolong, kabar itu sungguh bikin terhenyak dan membuat saya misuh-misuhi 2020 dalam batin. Oalah, pancen tahun ndlogok.

Beberapa kawan saya hubungi untuk saya tanyai posisi. Niat saya cuma satu: cari teman untuk berangkat ke Ngawi demi mengikuti prosesi pemakaman Mas Didi. Bada zuhur saya bergegas menuju Rumah Sakit Kasih Ibu, tempat Mas Didi dirawat, untuk bertemu Fajar, salah satu inisiator Sobat Ambyar, dua Sobat Ambyar dari Sukoharjo, dan Ayub, seorang Sobat Ambyar asal Papua yang sempat diajak berkolaborasi bersama Mas Didi di beberapa panggung di Jogja dan Jakarta. Kami berangkat duluan dibanding iring-iringan jenazah.

Di sepanjang perjalanan, kami saling bertukar cerita tentang momen kebaikan Mas Didi yang pernah kami rasakan. Ndane, begitu kami memanggilnya—sama seperti kru dan personel Lare Jawi yang dalam beberapa tahun terakhir mengiringi penampilan Mas Didi dari panggung ke panggung. (p.s: saya tidak pernah mau memanggil siapapun dengan sebutan “Ndan”, termasuk kepada kerabat atau kenalan yang punya latar militer atau jabatan tertentu. Dua orang yang saya panggil “Ndan” seumur hidup hanya ada dua: kawan kuliah bernama Bondan, dan Mas Didi di kesempatan tertentu.)

Dari sekian banyak cerita, kami sepakat bahwa satu benang merah yang ada di tiap cerita kebaikan Mas Didi adalah sifatnya yang gemar berbagi. Ayub, misalnya, berulangkali mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Ndane yang telah mengajaknya untuk berbagi panggung. Berawal dari video cover lagu-lagu Didi Kempot yang ia unggah ke Instagram dan sempat viral, Ayub lalu ditelpon langsung oleh Mas Didi untuk diajak berkolaborasi.

“Saya ga nyangka diajak Pakdhe, Mas. Karena saya ini awalnya cuma sering dengar lagunya waktu SMA. Tiba-tiba diajaki ikutan manggung.”

Ayub menjelaskan, bahwa insiden rasisme asrama Papua yang ada di Surabaya beberapa waktu lalu juga menjadi pertimbangan Mas Didi untuk mengajaknya berkolaborasi. Sebagai seniman, peran Mas Didi ‘hanya’ bisa melebur batas-batasan rasial lewat seni pertunjukan. Pesan persatuan yang berusaha disampaikan Mas Didi dengan mengajak Ayub, jelas menjadi preseden penting untuk mengatasi isu rasial di Pulau Jawa. Sebagai sosok yang bisa mengomando 1/3 pemuda Jawa untuk menangis tanpa sebab, suara Mas Didi jelas berpengaruh pada isu-isu krusial seperti ini. Vox Mpot-puli, Vox Dei: Suara Didi Kempot, adalah Suara Tuhan.

“Pakdhe itu suka ngasih sangu, Mas. Misal saya habis main lalu mau pamit pulang, Pakdhe suka bilang, ‘Nyoh Yub, nggo jajan.’ Padahal saya sudah dapat uang dari manajemen dari manggung.”

Ini jelas bukan cerita baru bagi saya. Entah sudah berapa cerita yang saya dengar tentang kesaksian orang ketika kebagian rezeki nomplok dari Mas Didi tanpa sebab musabab yang jelas. Saya jadi ingat, seorang kawan tiba-tiba ikut kebagian amplop dari Ndane setelah ikut menemani konser di Yogya. Di satu warung Nasi Liwet di daerah Kartasura—yang jadi langganan Mas Didi tiap selesai tampil, semua kru dan pemain berkumpul untuk ikut makan malam. Kawan saya hanya yang sekadar ngintil karena ikut dari Jogja untuk menyaksikan penampilan Mas Didi dan berbarengan pulang ke Solo untuk diajak makan malam bersama, tiba-tiba kebagian amplop juga selayaknya kru yang habis bekerja. Ia sudah menjelaskan tidak ada kontribusi apa-apa, cuma ikut makan saja, tapi dengan cepat dibalas Mas Didi: “wis, rapopo, nggo tumbas rokok Mas.” Pada cerita lain, Erix Soekamti malah pernah bertemu Mas Didi secara tidak sengaja di Surabaya, dan ‘tertangkap basah’ sedang bagi-bagi uang tanpa pengawalan. Saya percaya, sifat makrifat seperti ini hanya bisa dimiliki oleh orang-orang lulusan ndalan. Tahu sengsaranya ketika tidak punya uang, pun tahu seberapa senang seseorang ketika memegang uang meski tak seberapa.

Memori saya langsung kembali tertuju pada beberapa pertemuan dengan Mas Didi. Selain selalu menggunakan boso krama alus dan menyelipkan “maturnuwun” di setiap perbincangan, Mas Didi selalu berujar, “Sampun maem, Mas? Ngopi? Monggo, rokok’an riyin,” sebelum memulai perbincangan. Seperti yang pernah saya ceritakan di tulisan sebelumnya, ketika kali pertama berjumpa di Cikini, saya bahkan tidak berani pesan makan karena menahan mual dan grogi akibat duduk satu meja dengan dirinya. Saya cuma pesan kopi, minumnya diirit-irit supaya tidak terkesan nyucukne. Didi Kempot, maestro yang sudah tiga dekade berkarya di level nasional dan bolak-balik tampil di luar negeri, masih harus memastikan lawan bicaranya kenyang, sudah ngopi, dan rokoknya terjamin sebelum ngobrol bareng. Bahkan, kepada penggemarnya yang cuma mas-mas biasa seperti saya.

Kembali ke perjalanan menuju rumah duka. Di sepanjang tol Solo-Ngawi, saya masih sempat haha-hihi dan melempar beberapa kelakar terkait kepergian Mas Didi, berusaha menghibur diri sendiri yang sesungguhnya belum sadar betul bahwa satu-satunya solois yang ia idolai di luar nalar sudah berpulang, mangkat, tidak bisa ia temui lagi.

“Pamit lungo mung sedhelok yo Ndane ki, koyo ning lagu Stasiun Balapan.”
“Ngawi mendung ki, melu tangisan mbrambangi lungane Mas Didi po ya.

Saya teringat dialog Mustang di pemakaman Hughes dari serial Fullmetal Alchemist yang termasyhur itu, rasa-rasanya ingin sekali saya menatap langit mendung Ngawi dari kaca jendela sambil berkata lirih: it's a terrible day for rain.

************************

Rumah Duka sudah penuh sesak saat saya tiba di sana. Polisi berulangkali mengingatkan kepada pelayat untuk jaga jarak, sekaligus mengimbau agar kami tidak mendekati rumah duka karena keluarga sedang mempersiapkan prosesi shalat jenazah. Saya patuh, nurut, dan memilih untuk agak menjauh dari kerumunan. Tak lama, iring-iringan jenazah dari Solo pun tiba. Beberapa wajah familiar saya lihat keluar dari mobil jenazah dengan mata sembab dan tangis yang kembali pecah. Siang itu, Mas Didi kembali ke Ngawi, tempat kelahiran aslinya yang sering salah dikutip oleh banyak orang.

Seusai prosesi shalat jenazah, seorang kerabat memandu para pelayat untuk ishyad atau minta kesaksian. Pada kesempatan tersebut, ia memberi kesaksian tentang segala kebaikan Mas Didi semasa hidup; mulai dari berbagai gerakan sosial yang pernah ia lakoni, deretan karya yang mengubah hajat hidup orang banyak, sampai sumbangsih terakhir Mas Didi untuk penanganan COVID-19 lewat donasi yang diinisiasi Kompas TV. Pada konser amal yang dikonsep dalam kurun waktu satu pekan kurang tersebut, Mas Didi berhasil mengumpulkan dana setidaknya hingga 7,6 miliar. Sang kerabat lalu menutup kisah kesaksian tersebut dengan cerita, bahwa Mas Didi sebetulnya tengah mencanangkan rencana umroh beserta Mbak Safitri, istrinya, dan beberapa kerabat tahun ini.

“Niki mayit sae nopo awon?”
“Sae!”
“Niki mayit sae nopo awon?”
“Sae!”“
"Niki mayit sae nopo awon?”
“Sae!”

Saya berjalan tepat di samping mobil jenazah saat melaju menuju pemakaman yang jaraknya hanya 500 meter dari rumah duka. Mas Didi dimakamkan berdampingan dengan mendiang puterinya, Lintang, yang meninggal dalam usia belum genap satu tahun pada 1995. Majasem adalah desa yang kondisi geografisnya berbukit serta dikelilingi banyak pohon jati, berada di kaki Gunung Lawu dan berjarak 32 km dari Ibu Kota kabupaten Ngawi, kondisi tersebutapalagi ditambah fakta bahwa saya sedang di tengah kerumunan orang banyakmembuat sinyal ponsel saya jadi sedikit lemah dan membuat saya kesulitan untuk memberikan koordinat posisi kepada beberapa kawan yang juga turut hadir di sana. Ya sudah, nempel mobil jenazah saja, pikir saya. Sudah pasti aman dan gampang untuk menembus kerumunan menuju makam.

Semakin dekat dengan makam saya baru menyadari bahwa langkah kaki saya semakin terasa berat. Bukan karena kondisi jalanan yang naik-turun dan cuaca yang mendadak berubah jadi cukup terik, melainkan karena saya menyadari bahwa saya semakin dekat dengan tempat peristirahatan Mas Didi. Sebuah situasi yang bahkan tidak pernah saya bayangkan di sepanjang periode jadi penikmat lagu Didi Kempot sejak duduk di bangku Sekolah Dasar.

Tiba di makam, perasaan saya semakin tidak karuan. Padahal saya sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak menampilkan sisi kesedihan yang kelewat mencolok hari itu. Tapi pertahanan saya pelan-pelan mulai runtuh ketika saya menyaksikan pusara Mas Didi dengan mata kepala sendiei. Saya menjauh dari prosesi pemakaman, mencoba menghindarkan diri dari potensi mbrambangi di hadapan orang banyak. Dari jauh, saya mendengar isak tangis yang mengencang di antara doa-doa yang sedang dipanjatkan oleh pihak keluarga. Sesekali terlihat pula pelayat dengan atribut Kempoters atau Sobat Ambyar yang tak kuasa menahan air matanya di makam. Saya cuma bisa mengawang, memandangi sudut-sudut kosong sambil menanti usainya prosesi kirim doa dari keluarga inti. Saya tidak mau merusak kekhidmatan keluarga hanya karena saya masuk menyela antrean untuk kirim doa.

Satu per satu pihak keluarga kembali ke rumah duka dan saya perlahan memberanikan diri untuk mendekat. Saat itu pula, beberapa kawan dan personel band pengiring Mas Didi mulai kembali tterlihat. Ketika salah seorang menawarkan diri untuk memandu doa, kami semua sepakat dan segera mengambil posisi terbaik untuk memanjatkan doa. Saya membelakangi nisan Mas Didi, dan tidak beranjak dari posisi tersebut cukup lama.

Beberapa menit pertama saat doa dipanjatkan, saya masih tegar, tapi beberapa saat setelahnya, tiba-tiba setumpuk memori akan Mas Didi seperti tepat jatuh di kepala dan menghantam dada dengan amat kencang. Kondisi ini tepat seperti gambaran lirik Mas Didi di “Ketaman Asmoro”, “wis tak lali-lali, malah samsoyo kelingan.” Semakin keras usaha saya untuk menampik memori tentang Mas Didi, justru semakin besar kemungkinan air mata saya mengucur dengan deras.

Seorang kawan tak sengaja mengabadikan momen tersebut saat merekam kondisi pemakaman ketika sedang sepi. Kepala saya menunduk lama dan tak segera kunjung menegak. Masker dan kacamata hitam sungguh menyelamatkan saya dari situasi terlihat mimbik-mimbik seperti anak kecil yang kalah berebut permen. Doa selesai, saya kembali berjalan ke arah rumah duka dengan langkah yang berubah menjadi gontai karena memutuskan untuk tetap berpuasa. Bersedih ternyata menguras emosi dan tenaga yang cukup lumayan, rupanya.

Setelah berpamitan dengan beberapa kerabat di Rumah Duka, saya dan rombongan memutuskan untuk langsung kembali ke Solo. Seketika saya menyadari bahwa ujian paling sulit pada hari itu bukan menahan lapar atau dahaga karena sedang berpuasa, melainkan menahan air mata—dan sepertinya saya gagal. Kembang tebu yang saya lihat di perjalanan pulang dari Ngawi, seperti sengaja terbang ditiup angin untuk menjadi saksi bisu atas kenangan saya tentang momen terakhir bersama Mas Didi.

************************

Saya baru dua kali menulis obituari, tapi keduanya tidak memakan waktu lama. Yang pertama Johan Cruyff pada 2016, lalu Chester Bennington pada 2017. Tapi kali ini saya butuh 4 hari untuk menulis, durasi terlama kedua di sepanjang khazanah tulis-menulis saya setelah skripsi. Pada 5 Mei sepulang dari Ngawi, sebetulnya saya sudah mencicil untuk menulis tapi tidak bisa segera dirampungkan. Seperti tiba-tiba kehilangan mood saban mengulik memori tentang Mas Didi, dan benar-benar tidak bisa dilanjutkan kalau masih mau menjaga kualitas tulisan. Saya bahkan sampai dua kali membawa laptop ke angkringan, hanya karena mengalami writer's block ketika menulis di rumah. Saya perlu menghindar dari acara televisi yang masih menyiarkan apapun yang berkaitan dengan Didi Kempot. Niat hati bawa laptop ke angkringan untuk dapat suasana otentik khas ndalan yang bisa jadi stimulus akan memori soal Mas Didi, bakul angkringan langganan saya malah non-stop menyetel lagu Didi Kempot dan tanpa henti merepet saya dengan sederet pertanyaan soal Mas Didi. Oalah asu, rasane pengen tak pathak areng murup sak ceret-cerete.

Kepergian Mas Didi ini menegaskan kepada saya, bahwa saya memang bukan orang yang piawai dalam menyikapi ihwal kehilangan atau perpisahan. Pada 2017 silam, saya datang ke konser Didi Kempot di Mangkunegaran dan mengunggah fotonya dengan caption yang menyatakan bahwa saya tidak siap untuk menyaksikan idola saya menua. Padahal menua sangatlah manusiawi dan seringkali tidak berarti apa-apa, tapi saya nyaris tidak pernah siap. Di bayangan saya, Mas Didi seperti terpatri dalam visual kuru, gondes (gondrong ndeso), suka pakai kemeja kegedhen dan ganjen kepada wanita cantik seperti dalam video klip "Plong".

Ada banyak kisah tentang bagaimana terpukulnya seseorang pasca ditinggal orang terdekat, tapi ditinggal idola seringkali dianggap tidak memiliki beban yang setimpal meski meninggalkan sesak yang sama-sama butuh waktu untuk dipulihkan. Karena bagi saya, tidak ada kompetisi dengan strata ‘paling’ ketika bicara soal kehilangan. Akan selalu sulit, akan selalu butuh waktu.

Saya teringat testimoni beberapa orang yang merasa dibantu sekali dengan resurjensi Didi Kempot dalam dua tahun terakhir, terutama dari para lelaki. Beberapa lagu Didi Kempot, mampu menjembatani mereka untuk menembus dinding maskulinitas yang kokoh dibangun sejak kami kecil. Bahwa lelaki mesti kuat dan tangguh, saya setuju. Tapi lelaki tidak pantas terlihat rapuh, ini yang mesti diluruskan. Seolah-olah, kami ini cyborg atau android yang kalau jari kakinya terpentok ujung meja, tidak boleh meringis kesakitan dan harus mengeluarkan respons: “tenang, santai aja gapapa,” padahal sikile mlowek.

Pasca Ngobam Didi Kempot di Gulo Klopo pada 2019 lalu, video lelaki menangis di tengah konser Mas Didi kemunculannya jadi masif. Kita bisa berdebat sampai 2050 tentang mana yang benar-benar menangis dan mana yang dibuat-buat, tapi bagi saya, dari perspektif lain fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian lelaki kini berani melompati standar maskulinitas yang dirasa tidak relevan bagi dirinya.

“Laki-laki kok menangis di tempat umum?”

Lha kalau menangis di dapur umum, itu lebih bahaya lagi. Orang lain sedang masak untuk mempersiapkan bantuan, Anda tiba-tiba menangis padahal tidak sedang ngonceki bawang. Ya sudah to, mbok ben. Mungkin itu cara terbaiknya untuk meluapkan emosi, karena, bisa saja kalau ia ketahuan menangis di rumah akan menimbulkan sinisme luar biasa dari anggota keluarga atau orang terdekatnya.

Saya sendiri belum pernah menangis di konser Didi Kempot, karena lagu Mas Didi sebetulnya lebih banyak meninggalkan kesan semringah bagi saya. Tapi kalau ditanya pernah menangis di depan orang, ya pernah. Menangis saat teman pamit kembali ke daerah asalnya, menangis di depan orang yang disayang karena takut kehilangan, sampai mbrebes mili nonton Coco ya juga pernah. Tapi ya itu, saya tidak nyaman menampilkan sisi emosional di antara kerumunan atau di hadapan orang yang tidak saya kenal; sisi itu muncul hanya saat berada di orang terdekat saja, yang saya tahu tidak akan memberikan sinisme hanya karena lihat orang pakai kaos Slayer tangisan. Semisal Sobat Ambyar merasa lebih relevan untuk meluapkan emosi di konser Didi Kempot, ya silakan saja. Boleh patah hati, tapi ya baiknya sambil dijogeti. Leres nopo leres?

Yang membuat saya masih terasa sentimental sekali pasca kehilangan Mas Didi, adalah bagaimana karyanya membuat saya merasa terikat akan sesuatu atau terpatri pada satu memori. Apalagi sejak merantau, identitas saya sebagai mas-mas Jawa sontak langsung membuncah tiap mendengar intro “Nunut Ngiyup” atau “Sekonyong-Konyong Koder”, rasanya seperti sedang ada di kampung, bantu-bantu mencuci wortel atau memilih daun seledri untuk sop tirakatan seperti Jejak si Gundul. Pun halnya dengan “Mesti Penak” yang terdengar seperti himne menuju celetukan, “sewu-sewu dadi ciu” khas tongkrongan di berbagai sudut kota Solo. Pernah ada masa saat kuliah, saban malam saya lewati dengan karaoke dan gitaran lagu Didi Kempot di kediaman seorang kawan. Kala itu hidup sedang dalam masa terbaiknya seperti tidak berkalung beban, karena belum ditimpa tagihan, cicilan, dan berbagai ketakutan soal masa depan. Sekarang dipikir sekarang, sesuk dipikir sesuk.

Didi Kempot selalu berhasil membuat memori itu berlarian di kepala saya tanpa berusaha terlalu keras untuk meromantisasi momen nostalgia di barisan liriknya. Ketika bernyanyi, Didi Kempot terdengar seperti seorang kawan yang gemar bercerita untuk membuatmu tertawa, lalu dengan sukarela memboyongmu berjalan ketika sudah minum terlalu banyak. Pas sesuai porsinya, tidak kurang, tidak lebih.

Jika ada satu penyesalan, saya hanya menyesali ketidakberanian saya untuk mengingatkan Mas Didi akan kondisi kesehatannya sendiri di tengah jadwal padatnya kala itu. Saya hanya dua kali membicarakan ini, satu lewat chat WhatsApp via Mas Ige (tim dokumentasi/roadman Didi Kempot) untuk titip jaga kondisi Mas Didi karena Mas Didi hanya bisa dijangkau lewat SMS, lalu pada obrolan di belakang panggung Live Space, SCBD, pada September 2019 lalu. Saat itu, Mas Didi sedang menunggu giliran tampil dan saya berseloroh, “Umpami sayah, leren lho Ndan. Ampun kesupen dhahar,” dan langsung direspons Mas Didi sembari tertawa singkat, “Tenang wae Mas, aku wis suntik vitamin-C iki!” Kami tertawa, lalu menyalakan rokok masing-masing sembari menunggu waktu dipanggil MC.

Namun begitulah, saya tidak ingin melewati sesuatu yang sudah ditetapkan ketentuannya. Saya ingin batas antara idola dan penggemar di antara kami berdua masih terpampang nyata, agar saya tetap memiliki kadar kekaguman yang sama seperti saat pertama mengidolainya dulu. Meski setelah beberapa pertemuan kadar kekaguman saya justru semakin bertambah, namun saya tidak ingin merasa ‘dekat’ sehingga merasa punya kuasa untuk memberi masukan ini dan itu tanpa diminta. He’s fucking Dionisius Prasetyo anyway.

Setelah 30 tahun berkarya dan melewati 1000 kota, kini ia tiba pada destinasi terakhirnya. Suwiwi yang dulu pernah ia mimpikan, akhirnya benar-benar mengantarnya untuk kembali pulang.

Sugeng tindak, Ndan.

Sabtu, 07 Desember 2019

Tentang Hidup, Tentang 07 Des


"Lindungi Bumi" - artwork 07 Des karya Rudi Mantovani.

Andaikan saya terdampar di sebuah pulau dan hanya ditemani satu buah album yang digunakan untuk membunuh sepi, tanpa ragu saya akan menunjuk album ketiga milik Sheila on 7, 07 Des sebagai bekal. Selalu sulit untuk menyusun daftar lagu favorit dari Sheila on 7 ke dalam sebuah komposisi peringkat, tapi jika ditanya album yang paling banyak memuat sentimen personal, 07 Des punya semua alasan untuk punya satu tempat spesial bagi saya. Di album yang dirilis 17 tahun silam tersebut, saya menganggap Sheila on 7 mengeluarkan kemampuan terbaik mereka untuk bertutur lewat lagu dengan cara paling khusyuk.

Di sebuah kesempatan, Eross Candra pernah bertutur bahwa 07 Des adalah album yang durasi pengerjaaanya paling cepat jika dibandingkan dua album sebelumnya. Karena dikerjakan di tengah kesibukan jadwal ini dan itu, Eross mengakui kalau proses kurasi materi di 07 Des tidak terlalu ketat dan tak sampai dibikin pusing. Di Self-Titled (1999) dan Kisah Klasik untuk Masa Depan (2001), Sheila on 7 seperti tampil dengan kemasan tebar pesona yang ditujukan untuk mengusahakan banyak kesan, dan memang terbukti berhasil dengan total penjualan album hingga menyentuh angka 3 juta. Selektivitas materi di dua album tersebut juga yang menjadi hal yang lumrah, jika mengingat status Sheila on 7 sebagai band anyar dari luar ibu kota yang sampai di pelukan Sony Music dengan cara yang tidak mudah. Tancap gas, serba digeber. Toh, hasil akhirnya juga jauh dari kategori biasa saja.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, yang membuat album ini terasa sangat personal adalah bagaimana cara Sheila on 7 bercerita. 07 Des bagaikan sebuah manifesto yang ditujukan satu orang kepada satu sosok lewat barisan lirik yang serba menohok. 14 nomor yang diciptakan oleh pemuda—yang kala itu baru menginjak usia 22-23—asal Jogja tersebut, tidak menciptakan spektrum tafsir yang kelewat luas, pun tidak menghasilkan pemaknaan yang kelewat mengawang. Ini terdengar seperti: “hei, ini aku bikin satu album khusus bercerita soal kamu, lho.”

Pada "Seberapa Pantas", misalnya. Eross seperti menangkap keresahan banyak lelaki ketika hendak menatap masa depan dengan orang terkasih, lewat lirik "mampukah kau bertahan dengan hidupku yang malang/sanggupkah kau meyakinkan di saat aku bimbang." Ini adalah tipikal lagu yang kemudian mengusik pikiran tentang kesediaan seseorang untuk tetap tinggal saat berada di fase yang sulit, dan kemudian memunculkan kembali pertanyaan: “seberapa pantaskah kau untuk ‘ku tunggu?”

Di album ini, Anton, pria pencetak pakem gebukan brilian nan sederhana yang muskil ditiru siapapun di kemudian hari, mengejutkan banyak orang ketika membidani kelahiran tembang “Mari Bercinta” yang kemudian secara biadab dinodai oleh Vicky Shu dan Aura Kasih di kemudian hari. Hingga hari ini, saya masih tidak habis pikir bagaimana lagu ini bisa menyertakan lirik genius seperti “hanya satu buah titah, yang kami ejawantah, terlalu banyak cinta kan binasa,” tanpa terkesan seperti musisi yang sedang pamer diksi. Aransemen string yang dihasilkan Erwin Gutawa di lagu ini seperti terselip dengan kadar yang pas; tak lantas membuat “Mari Bercinta” terdengar terlalu megah dan teknikal, tapi juga menjauhkan lagu ini dari kesan ala kadarnya karena minim kompleksitas aransemen.

Dalam sebuah wawancara, saya ingat Ari Lasso pernah menyebut Duta sebagai salah satu vokalis dengan karakter paling khas di Indonesia. Menurut mantan penggawa Dewa 19 tersebut, timbre vokal Duta sangat mudah untuk membuat wanita jatuh hati, tapi tak lantas membuat pria merasa malu untuk mendengarnya—seperti elegi yang tak mengundang alergi. Deskripsi paripurna atas testimoni Ari Lasso tersebut, terdengar sangat jelas pada satu-satunya lagu karangan Duta di 07 Des, “Seandainya”. Pernah ada satu waktu saya membuat satu keputusan penting dalam hidup, lantas terasa seperti dihantam tepat di dada ketika mendengarkan lagu ini tepat sebelum waktu tidur. Bagaimana mungkin, ada orang yang bisa tetap baik-baik saja, setelah disuguhi lirik “Seandainya aku bisa, aku sanggup, dan aku mampu,” dan sebelumnya dihajar bait pembuka: “Seandainya kudapat memilih untuk tak pergi dan tetap di sini.” Apa yang lebih buruk dibanding menjadi pasrah untuk dua tujuan yang tak bisa satu arah?

Akan tetapi sulit dipungkiri bahwa Eross adalah ruh paling mendominasi dalam keseluruhan album ini. Saya merasa bahwa Sheila on 7 adalah kawan terbaik yang selalu menemani fase percintaan seseorang, baik yang manis ataupun tidak. Dan apapun yang dirasakan Eross ketika mengalami aneka kegamangan romansa di masa itu, akhirnya membidani semua kegeniusan di 07 Des hingga menjadi sebuah album yang punya sensasi ‘mewakili’ bagi banyak orang.

Salah satu yang menarik dari cara Eross mengemas karyanya di album ini, adalah bagaimana ia membuat momen biasa saja jadi terdengar mewah—dan sebaliknya, vice-versa. Di “Saat Aku Lanjut Usia”, ia mampu menangkap momen romantis pasangan kakek-nenek yang ia lihat di satu daerah di Jawa Tengah saat sedang saling suap-suapan kacang, dan kemudian diubah jadi nomor ceria dengan meminjam kocokan ala Merle Haggard untuk merangkum hal sederhana macam “memijit pundakmu hingga kau tertidur pulas”. Atau di kesempatan lain, membawa “Takkan Pernah Menyesal” menjadi seperti lagu yang dibawakan dua orang yang sedang duduk di pos kamling dengan satu gitar akustik dan segelas kopi sachet, lengkap dengan decak “ehem” dan satu genjrengan palm-muted untuk mengecek kesiapan bunyi. Momen pacaran yang cheesy seperti saling mengingatkan untuk membangunkan tidur satu sama lain lewat telepon di pagi hari, entah kenapa seperti dibawa naik level ketika dirangkum dalam lirik “bangunkan tidurku, jika kau terjaga lebih dulu.”

Sisi lain Eross kemudian terlihat sangat serius ketika menghasilkan “Tentang Hidup”. Ia seperti mencurahkan energinya untuk sesuatu yang lebih besar dan luas daripada sekadar perkara jatuh cinta saja. “Bertahan sayang dengan doamu, ‘ku coba bertanya pada Tuhanku,” adalah lirik magis yang masih menyisakan banyak tanya tentang konsep Ilahiah. Eross seperti sedang menggugat sesuatu yang kelewat sering berada di ranah abu-abu, namun dengan kemasan yang tak menggigit. Baginya, Tuhan memang satu dan kita semua yang sok tahu. Berkat lagu ini, saya seperti disadarkan bahwa hidup memang menyisakan banyak tanya tak peduli sekeras apapun dipikir untuk menemukan jawabnya. Ada hal besar yang memaksa orang untuk percaya, bahwa selurus apapun lintasan hidup akan menuntunmu tiba pada satu persimpangan untuk memilih.

Setelah sekian lama berselang, album ini masih jadi opsi terbaik untuk menemani orang pada momen sulit dan menyenangkan. Tak peduli berapapun banyak album yang akan dicetak Sheila on 7 nanti, 07 Des tetap yang ter-muach di hati.

Senin, 29 Juli 2019

Dentum Kepopuleran Jilid Dua Didi Kempot



"Umpamane, kowe uwis mulyo~ Mulyono~" (Kredit foto: @Bokisabis) 

“Waktu Iwan Fals (bersama Swami) merilis “Bongkar” itu Mas, saya lagi tiduran di JCC deket Senayan,” ujar Didi Kempot. “Itu saya masih ngamen di jalan. Nggembel di Jakarta.” Saya hanya terdiam dan membiarkan ia berbicara ngalor-ngidul sembari sedikit bernostalgia tentang kenangannya terhadap ibukota. Siang itu, sebuah pesan singkat yang masuk menuntun saya untuk segera merapat ke Tjikini Lima demi menemui Didi Kempot beserta Lare Jawi, band pengiring yang setidaknya sudah menemaninya selama lebih dari satu dekade. Ketika sampai di sana, Mas Didi langsung menyapa dan menawari makan siang. “Dahar rumiyin, Mas.” Saya menolak dengan halus, bukan karena sudah kenyang atau merasa sungkan; tapi sepenuhnya karena sedang merasa mual akibat rasa grogi. 

Bagaimana tidak, salah satu dari sedikit solois yang sudah lama saya kultuskan dengan kadar tak wajar, kini tengah duduk semeja dengan saya. Tepat di depan mata, memberikan tawaran makan siang pula. Bisa terlihat tenang dan tidak melakukan hal-hal memalukan saja sudah membuat saya senang, apalagi bisa dapat kesempatan untuk berbincang santai dan melakukan sesi tanya jawab tanpa potensi intervensi. Duh Gusti, ngimpi opo aku iki.

Sejujurnya saya sempat terpikir untuk bertanya hal-hal yang selama ini mengganjal di pikiran terkait proses kreatif di balik pembuatan karyanya. Salah satu contohnya, tentang pemaknaan lirik di nomor klasik nan nakal bertajuk “Klengkeng Bandungan”. Saya selalu bertanya-tanya: jenis buah macam apa yang bisa membuat orang kemecer hanya karena dilihat, lalu semahal apa sebuah klengkeng sampai tidak mau ditawar dan baru bisa dibayar ketika sudah gajian? Lantas, kenapa Pom Bensin Daleman pernah ia pilih sebagai tema utama lagu padahal tidak cukup ikonik—bahkan bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya? Kenapa kata sindhap atau ketombe, bisa menjadi pembuka sebuah lagu yang bercerita tentang tragedi dilupakan oleh pujaan hati? Tapi saya sadar, diskusi ini bisa berlangsung sampai berjam-jam dan saya memutuskan untuk menyimpan rasa penasaran tersebut agar dilontarkan di lain kesempatan saja.

Tapi tak lama kemudian, saya memberanikan diri untuk menyodorkan beberapa pertanyaan. Saya tahu Mas Didi sempat menjalani profesi sebagai pengamen di bundaran Slipi, Jakarta Barat, tapi baru di siang itu saya tahu kalau ia tetap mengawali ‘karir’ bermusiknya sebagai pengamen di salah satu destinasi kuliner di kota Solo. “Dulu saya ngamen di daerah Keprabon itu, di warung nasi liwet itu lho Mas.” Di Keprabon, memang berjejer warung nasi liwet yang kerap menampilkan suguhan musik untuk mengibur tamunya. Beberapa di antaranya menampilkan lantunan musik populer dengan irama keroncong, sebagian sisanya adalah sinden yang tampil solo dengan iringan kecapi. Lebih dari 30 tahun lalu, seorang Didi Prasetyo ‘ditempa’ di tempat ini sebelum hijrah ke Jakarta dan menggunakan akronim Kelompok Penyanyi Trotoar (Kempot) sebagai nama panggungnya.

Uniknya hanya beberapa meter dari sana, ada satu tempat yang juga cukup memiliki nilai sejarah bagi kultur musik kota Solo. Jika Nasi Liwet Keprabon sempat membidani kelahiran Didi Kempot, maka Soto Triwindu (yang juga sama-sama terletak di kelurahan Keprabon) sempat disinggahi oleh David Bowie lewat undangan Setiawan Djodi, pebisnis asal Solo yang juga tercatat sebagai gitaris Swami dan supergrup Kantata Takwa, untuk datang dalam perayaan 1 Sura Kraton Mangkunegaran. Sebagai orang Solo yang sedari kecil dicekoki falsafah hidup Jawa, saya percaya tidak ada yang kebetulan dari momen ini. 

Keprabon sendiri memiliki arti tempat para prabu dan raja, dan di sanalah terdapat PurĂĄ Mangkunagaran, istana resmi Kadipaten Praja Mangkunegaran. Bowie adalah seorang ‘Raja’ yang mengubah sejarah rock dunia, sedangkan Didi Kempot kini dianugerahi titel 'Lord' oleh penikmatnya dari generasi baru. Keduanya tak pernah memiliki garis keturunan raja secara resmi, tapi karya mereka menjadi semacam titah yang bisa memberi komando pada jutaan orang untuk tunduk. Uthak-athik gathuk, tur masyuk.

Malang melintang sebagai pengamen di ibukota, rasa penasaran akan sensasi rekaman akhirnya datang juga. Mas Didi kemudian memberanikan diri untuk memasuki dapur rekaman, dan menelurkan beberapa karya awal seperti “We Cen Yu”, “Sir Siran”, “Teler”, “Yok Siskamling”, “Nggedebus”, dan hit fenomenal “Cidro” bersama Batara Group yang dibantu Pompi Suradimansyah (No Koes) dan juga sang kakak, Mamiek Prakoso. Di bawah bendera Atlantic Record, Batara Group justru melejit lebih dahulu di Suriname daripada di tanah air. Baru setelah memutuskan untuk berkarir sebagai solois bersama Dansa Studio dan merilis album Stasiun Balapan, Didi Kempot mulai dikenal secara meluas di Indonesia. 

Secara personal, saya sangat menyukai satu-satunya album yang pernah dirilis Batara Group itu karena terasa sangat autentik. “Cidro” dibawakan dengan versi slow-pop yang sangat berbeda dengan versi yang dikenal publik saat ini, “Teler” adalah tembang jujur tentang kebiasaan mabuk di jalan yang dibuka dengan repetan rap sederhana, dan “We Cen Yu” adalah crossover pop-keroncong-dangdut yang dipenuhi ragam celetukan dan slang khas Jawa dalam balutan pentatonik khas Tiongkok yang kental. 

Saya sempat sedikit bercerita kepada Mas Didi, bahwa “We Cen Yu” adalah karya yang saya tempatkan di posisi nomor dua pada sebuah tulisan yang ditujukan untuk mengkurasi daftar lagunya. Pada kesempatan yang sama saya juga mengeluhkan betapa sulitnya untuk mengakses lagu tersebut, karena saat tulisan itu dibuat, satu-satunya tempat yang bisa saya akses di internet untuk memutar “We Cen Yu” adalah portal radio asal Suriname yang bahkan saya lupa namanya.

Suara Jawa nopo Garuda, Mas?” tanya Mas Didi kepada saya. “Aduh, kula nggih kesupen Mas. Pokokmen niku angel sanget pas kula padhosi wonten internet.”


************

Tumbuh sebagai seorang penggemar, kemudian beranjak sebagai orang yang beruntung untuk memiliki kesempatan berkomunikasi dengan idola membuat saya memiliki impresi personal yang berkesan kepada Didi Kempot. Tiap kali berbincang, ia masih menggunakan krama inggil yang justru membuat saya jadi sangat sungkan. Ha wong, saya ini fans je, mosok di kula-jenengan karo idolane. Seorang kerabat, Pakdhe Blontank Poer, awalnya mengenalkan saya kepada Mas Didi sebagai ‘mas-mas sing nggambleh neng internet soal Mas Didi’ ketika kali pertama jumpa di belakang panggung Gulo Klopo. Mas Didi sontak membungkuk dan mengajak salaman sembari mengucap “matur suwun sanget, Mas,” yang juga dibalas gestur membungkuk lebih rendah dari saya berulangkali—karena merasa sangat sungkan atas respons tersebut. Andai ada yang mendokumentasikan adegan tersebut, pasti terlihat sangat mirip dengan adegan Mister Satomata-Kasino saat pamit dan berulangkali berbalas “arigatou!” di film Depan Bisa, Belakang Bisa.

Kepada Mas Didi, saya juga bercerita kalau saya tinggal satu kampung dengan Mas Didit, personel Lare Jawi yang bertugas pada departemen kibor. Kebetulan, saya dan Mas Didit sudah beberapa kali bekerjasama membuat hajat 17-an di kampung. Ia berada di divisi pengisi acara, sedangkan saya di urusan kepemudaan. Enam tahun silam, bahkan kami berhasil mengundang Didi Kempot di puncak perayaan 17 Agustus. Ketika bersua di Jakarta untuk perayaan ulang tahun sebuah partai, Mas Didit sekonyong-konyong mengajak saya selfie untuk dilaporkan pada istri. “Panitia 17-an kampung dolan Jakarta,” ujarnya. 

Berkat ‘koneksi’ inilah, saya bisa mengetahui kalau Didi Kempot memang begitu dekat dengan rekan-rekan yang nyengkuyung dirinya di dalam dunia musik. Sebelum didampingi Lare Jawi, Mas Didi kerap melibatkan mantan rekan ngamennya di Jakarta untuk kebutuhan bermusik dan syuting video klip. Anda mungkin tidak akrab dengan nama seperti Yatni Rembol, alm. Dani Pelo, atau alm. Kuncung, tapi pasti pernah melihat penampakan mereka di semua video klip Didi Kempot pada era ‘90-an. Di klip yang menyajikan keindahan panorama alam, penampilan wanita cantik yang menari secara berkelompok, dan raut wajah Didi Kempot yang di-zoom-in-zoom-out, pasti ada adegan komedi slapstick yang dimainkan oleh mantan rekan ngamennya itu.

Belakangan ini saya baru tahu kalau Mas Didi hanya bisa dihubungi melalui SMS, bukan chat WhatsApp. Ketika penyanyi dengan tingkat kepopuleran seperti dirinya sudah mulai memikirkan konten untuk kanal vlog atau menyapa “hai guys” kepada penggemarnya lewat Instagram Story, Mas Didi seperti ‘menolak’ menuruti tren dan memilih cara klasik jalur komunikasi ponsel untuk berinteraksi. Mungkin konservatisme ini pula yang membuat branding Didi Kempot kalah gaung dibanding para juniornya yang menapaki jenis musik serupa. Pun ketika berbicara soal kejelasan status karya, hak cipta, dan hak edar yang lebih diperhatikan oleh musisi zaman sekarang. 

Tapi di banyak kesempatan, ia selalu mengaku tidak ambil pusing dengan hal tersebut. Prinsip nerimo dan semeleh dalam mengelola karya, sejujurnya kadang membuat saya merasa gemas sebagai penggemar. Karena sering sebagai empunya karya, Didi Kempot justru kalah exposure dibanding musisi yang menggarap ulang lagu miliknya. Ketika diwawancara Gofar Hilman dalam acara Ngobam Didi Kempot, Mas Didi justru santai berujar “Karena saya orang Solo, nerimo itu lho Mas. Kalau memang rezeki saya, nanti pasti akan kembali ke saya. Kalau di-cover kelewat batas, ya biar nanti dosa saya dan anak-cucu saya dilimpahkan ke mereka,” sembari tertawa terkekeh.


************

Saya selalu menyatakan ketidaksetujuan ketika ada kawan yang nyeletuk ke saya, bahwa “sekarang Didi Kempot banyak yang dengerin lagi ya.” Didi Kempot tidak pernah benar-benar hilang dalam kultur musik Jawa, dan selalu punya tempat tersendiri bagi mereka yang tumbuh besar di tanah atau lingkungan keluarga Jawa. Sebelum mengukuhkan selera musik berdasar preferensi masing-masing, kami tumbuh besar dengan senandung lagu Didi Kempot. Ketika mulai mengenal pahit getir kehidupan, khususnya perkara cinta, karya Didi Kempot selalu menjadi tempat terbaik bagi kami untuk menangisi nasib dan kesunyian masing-masing. Entah lewat perantara karaoke, gitar di tongkrongan, atau racauan tak mengenal nada ketika kerongkongan sedang dihantam alkohol. 

Yang membedakan satu dengan lainnya, hanya keberanian untuk menampilkan selera tersebut ke hadapan umum. Karena tentu saja di tengah gempuran musik modern yang terus bermunculan, sentimen terhadap musik berbahasa daerah adalah hal yang tidak bisa dihindari. Dicap musik kelas bawah, ndeso, atau punya selera musik buruk adalah hal-hal yang sering terlontar pada penikmat karya Didi Kempot sebelum tren ini kembali bergaung.

Pada 2013, saya dan beberapa kawan sempat berinisiatif untuk membuat fanbase Didi Kempot dengan irisan penggemar dari anak muda di sosial media. Dulu, kami menamai sebuah akun bernama 'Didikempotmania' yang bisa dibajak siapa saja karena password-nya sangat simpel dan mudah ditebak: stasiunbalapan. Namun, ada ketakutan bahwa akun tersebut dianggap berafiliasi dengan Didi Kempot dan riskan disalahartikan jika memuat cuitan kontroversial. Apalagi, diperparah dengan kebiasaan radio atau stasiun televisi yang tidak mengecek verifikasi akun Didi Kempot ketika hendak mempublikasi segala aktivitas yang berkaitan dengan dirinya. Akhirnya, nama akunnya diubah menjadi ‘Dadikempot’ dengan konten utama berbentuk cuitan dari potongan lirik dan quote dari cuplikan video klip Didi Kempot. Akun itu sudah lama mati, tapi tidak dengan kecintaan kami terhadap karya sang maestro.

Pasca penampilan Didi Kempot di Balekambang, video yang dipublikasikan oleh rekan-rekan Rumah Blogger Indonesia (RBI) menjadi—duh, saya sangat benci menggunakan kata ini—viral. Linimasa dipenuhi puja-puji atas dedikasi Mas Didi yang konsisten merayakan patah hati. Beberapa saat sebelumnya, gaung permintaan akan kehadiran Didi Kempot di Synchronize Festival 2019 juga menggema cukup kencang. Kemudian berturut-turut setelahnya gelombang pemujaan ini terus membesar: ‘lahir kembali’ di Balekambang, pengukuhan gelar Bapak Patah Hati Nasional, berkolaborasi dengan Gofar Hilman, diminta tampil di Jakarta, diliput banyak media, sampai yang terakhir membuat Raden Saleh, Cikini, menjadi penuh sesak. 

Pada satu titik, momen ini terasa sangat sentimental; saya benar-benar terharu menyaksikan betapa banyak orang mau menunjukkan cintanya terhadap Didi Kempot. Saya rasa ada banyak orang yang bermimpi untuk bisa melihat Didi Kempot mendapat spotlight seperti saat ini. Prinsip semeleh dan nerimo itu pasti akan terbayarkan, dan saat ini Didi Kempot sedang menuai buah akan prinsipnya tersebut. 

Sebagai orang Solo, saya selalu berharap ada ‘regenerasi’ ikon musik nasional dari kota Bengawan setelah kepergian Suwargi Mbah Gesang, dan kini legitimasi status tersebut berhasil disabet oleh Didi Kempot. Ini semacam mimpi basah bagi setiap penikmat dan pelaku musik lokal, yang akhirnya bisa terlepas dari dikte selera industri ibukota. Sesekali, biarkan rekan-rekan di Jakarta yang ‘turun’ untuk mengobati rasa penasaran mereka akan sesuatu yang sedang digandrungi orang banyak. Harapannya, seperti yang dituturkan Mas Didi, gerakan semacam ini bisa menjadi stimulus bagi musisi di daerah untuk menggemakan kearifan musik lokal sekencang-kencangnya.

Saya juga tidak menampik bahwa hal ini berpotensi ‘hanya’ menjadi tren yang cepat datang dan cepat pula menghilang. Namun setidaknya, kemunculan fenomena anyar seperti sadbois, sobatambyar, atau Godfather of Broken Heart bisa jadi gerbang pembuka bagi generasi baru penikmat karya Didi Kempot agar merasa terwakili. Mereka yang belum mengalami kebingungan menerjemahkan semiotika ‘klengkeng’ di lagu “Klengkeng Bandungan”, mungkin merasakan ode yang begitu indah ketika mendengar “Banyu Langit”. Yang tidak merasakan romansa “Nunut Ngiyup”, bisa saja kini merasa curahan hatinya difasilitasi ketika mendendangkan “Pamer Bojo”. 

Di beberapa hajatan Didi Kempot yang saya sambangi belakangan, saya justru mendapatkan sensasi seperti datang ke gigs band lokal yang mempertemukan kalian dengan kawan lintas skena. Tak peduli kalian datang dengan baju Fugazi, Slayer, The Clash, Depeche Mode, Barasuara, sampai Begundal Lowokwaru, semua datang dengan satu tujuan: menunjukkan respek untuk Didi Kempot atas kontribusinya terhadap perjalanan khazanah musik masing-masing yang mungkin dilengkapi dengan sentimen personal. 

Regenerasi penikmat adalah sesuatu yang harus dimunculkan untuk menjaga eksistensi empunya karya, dan anak-anak muda ini tidak hadir untuk menandingi Kempoters atau apapun nama penikmat Didi Kempot pendahulunya; mereka hanya melengkapi lapisan penggemar Didi Kempot agar spektrumnya menjadi lebih luas. Toh juga tidak ada yang dirugikan dari fenomena ini. Kecintaan generasi muda akan penggunaan bahasa daerah kini kembali muncul, penggemar makin dimudahkan untuk melihat penampilan idolanya, Didi Kempot kian terpacu untuk berkarya, dan orang-orang di sekelilingnya juga turut disejahterakan. 

Mas Didit, ketika melakukan sound check di Cikini, sempat berseloroh kepada saya bahwa agenda manggung Lare Jawi juga semakin padat pasca ‘kehebohan’ di Balekambang. Eksklusivitas penikmat hanya akan membuat potensi kemunculan penggemar baru jadi semakin menyempit, pun dengan keberlangsungan hidup dan karya si pelaku yang saling berkaitan.

Selagi bisa, nikmatilah tiap detik perayaan kesedihan yang disenandungkan oleh Didi Kempot. Karena hanya ia yang bisa menulis lagu tentang kemiripan sensasi menangis di Bantul dan Irlandia:

“Rasane kepengen nangis yen kelingan Parangtritis, ning ati koyo di Irish......”

Rabu, 26 September 2018

Benarkah Kita Sedang Mencintai Sepak Bola?




Saya selalu percaya bahwa sepak bola bisa memantik banyak romansa dalam kehidupan. Tidak hanya berlaku untuk mereka yang mengenali sepak bola secara kafah, tapi juga untuk mereka yang setengah-setengah atau sekadar paham saja dalam mengenali si kulit bundar. Tak peduli bagi mereka yang memekik dukungan di Curva Sud San Siro, atau pinggir tanah lapang berdebu dari sudut desa Polokarto, sepak bola selalu punya cara untuk menciptakan romansanya sendiri. Berbagai macam –itas dilahirkan di sana: loyalitas, rivalitas, solidaritas, identitas, humanitas, kolektivitas, maskunilitas, sportivitas, dan ‘mereka’ selalu beriringan mengikuti ke mana saja bola bergulir. Setelah 90 menit—juga kadang selepas azan magrib, beberapa dari –itas ini memudar, sebagian sisanya terlekat erat bahkan menempel pada hal-hal yang tak berkaitan langsung dengan sepak bola.

Minggu (23/9) lalu, sepak bola berlabuh pada sisi –itas yang salah; ia menjelma menjadi monster yang menyeret orang untuk melahap kebencian dan merawat kebiadaban. Pada sore yang terik di Gedebage, Bandung, Haringga Sirla meregang nyawa sebelum menyaksikan laga Persib versus Persija. Belakangan diketahui kalau pria 23 tahun itu terdaftar sebagai anggota The Jakmania, barisan suporter loyal milik Macan Kemayoran. Sejak mendengar berita itu, gol Bojan Mališić pada menit 94 tak lagi membuat saya berkesan. Sundulan bek asal Serbia yang meneruskan bola dari Victor Igbonefo itu sempat membuat saya berteriak ‘gol!’ karena terbawa antusiasme menit-menit akhir yang cukup menegangkan. Sebagai penonton yang tak menaruh dukungan pada siapapun yang sedang bertanding di Stadion Gelora Bandung Lautan Api hari itu, menyaksikan dua tim elit Indonesia bertarung habis-habisan dengan pertaruhan gengsi yang tak main-main adalah pengalaman yang mengesankan. Di dalam hati, saya sempat berseloroh “gini dong, derby gede ada geregetnya.” 

Tapi setelah membaca kabar meninggalnya Haringga lewat sosial media, antusiasme itu seketika ambyar. Gol itu tak lagi berkesan, riuh rendah bobotoh di GBLA tak lagi membuat saya merasa kagum, hari itu, ada nyawa yang dipaksa melayang karena sepakbola. Romansa itu hilang. Untuk barang sekejap, cinta hilang di bumi para dewa.

Tidak ada satupun nyawa yang sebanding dengan sepak bola. Ucapan ini kembali digaungkan di seantero linimasa, setidaknya sebanyak 17 kali—sebelum kasus Haringgga—terucap sejak 2017-2018; 17 kali kita mengutuk peristiwa kelam serupa, 17 kali tangis pecah di rumah para korban, 17 kali pula kita berharap ini jadi yang terakhir. Sayang takdir berkata lain, karena kepergian Haringga ‘membuat’ Indonesia kembali harus melontarkan rangkaian duka dan kegeraman serupa untuk kali ke-18. Tanpa perlu menunjuk, rasanya sungguh keterlaluan jika peristiwa ini tak membuat siapapun jadi berbenah dan mempertanyakan cara kita mencintai sepakbola. Yang tercucur dari suporter di dalam stadion seharusnya cukup keringat dan air mata saja, tak perlu sampai darah.

Saya tak ingin memperkeruh suasana, atau mengungkit luka lama yang bisa disalahartikan sebagai ‘amunisi’ balasan terkait rangkaian peristiwa serupa di masa lampau. Gaduh seperti itu hanya akan membuat banyak orang lupa kalau kita sedang berduka. Haringga dan 17 korban lain yang berjatuhan dalam setahun belakangan tidak mangkat untuk meninggalkan pertikaian baru bagi kita yang masih ada di sini, sebaliknya, justru harus ada perubahan mendasar terkait cara pandang semua orang tentang bagaimana memaknai sepak bola. Boleh jadi dalam fase berkabung seperti ini, tak ada yang lebih tepat dari mengoreksi diri sendiri sekaligus mendesak federasi terkait untuk menciptakan kebijakan yang memaksa semua unsur jadi berpikir ulang untuk memproduksi teror dan aksi tak bertanggung jawab di kemudian hari. Jika solusi kedua dirasa sulit—dan nampaknya demikian, maka sebaik-baiknya langkah perbaikan memang harus dimulai dari diri semua orang yang dengan memang menjatuhkan pilihan cintanya kepada sepak bola.

Sebagai orang yang hidup dari menulis dan sepak bola, harus diakui kalau atmosfer rivalitas yang rawan gesekan memang sering menempatkan saya dalam kondisi yang menguntungkan. Baik di level nasional atau internasional, saya merasa bahwa memercik kebencian pada satu kelompok memang lebih mudah untuk mendulang berbagai pencapaian semu dari perspektif profesi. Tapi ketika percikan itu membesar, saya ikut mengutuk. Seperti lupa kalau apa yang saya lakukan juga turut menyeret orang dalam lahapan kebencian yang kerap saya percik. Tak ada tuntutan untuk mengedukasi pecinta sepak bola tentang bahasan norma memang, tapi pasca insiden berulang seperti yang sudah-sudah, saya rasa hal sekecil apapun tetap memiliki andil dalam merawat kewarasan atmosfer sepak bola di negeri ini.

Ketika menulis ini, saya masih berada di kantor. Pulang paling larut dibanding rekan-rekan yang lain. Pikiran saya mengawang pada keluarga Haringga setelah membaca beberapa update berita tentang peristiwa terkait. Tak bisa saya membayangkan, ada rasa sesak yang begitu teramat dari dada sang ibu karena anak lelaki yang mencium tangannya untuk pamit pergi, pada akhirnya tak akan pernah pulang lagi. Pada satu kesempatan, Mirah—sang ibu—bahkan bercerita tentang detail peristiwa yang menawaskan anak lelakinya itu kepada pers, yang berarti ia sempat menyaksikan cuplikan video brutal yang entah sudah tersebar sampai ke mana itu. Sepak bola tak seharusnya jadi belanga kepiluan, sepak bola tak seharusnya membuat para ibu jadi risau menantikan kepulangan anaknya di rumah, sepakbola tak seharusnya membuat orang pulang tinggal nama.

Di satu titik, terkadang saya memikirkan kemungkinan-kemungkinan ekstrem yang terus mengusik tiap muncul insiden seperti ini. Berulangkali dihantam rangkaian gerbong kesedihan yang seperti tanpa usai, membuat saya bertanya: “apakah sebaiknya sepakbola dibubarkan saja?” Sudah alpa prestasi, terus menerus menelan korban pula. Mungkin, sepakbola memang bukan untuk kita. Barangkali, takdir kita memang hanya jadi penonton saja, tak perlu ikut-ikutan menciptakan industri yang pada akhirnya tak pernah dikelola secara becus. Namun pada saat bersamaan, saya mengingat kembali ucapan yang saya tulis di awal tulisan ini: sepak bola bisa memantik banyak romansa dalam kehidupan. Lalu, saya punya hak apa untuk melarang orang jatuh cinta? Apa yang sudah disatukan bola, tidak boleh diceraikan manusia.

Saya juga paham, rangkaian kata-kata bijak atau barisan kalimat indah tidak akan mengubah apapun andai tak disertai perubahan mendasar terkait mental suporter dan regulasi yang mengikat dalam sepak bola. Tapi mengutip ucapan Guillén Vicente yang termasyhur itu: kata adalah senjata. Apalagi, sepak bola kerap bicara soal olah rasa. Ada ikatan kuat yang kerap menyihir orang di dalamnya untuk rela melakukan apa saja. Lewat tulisan ini, saya hanya mengajak Anda semua untuk kembali meredefinisi makna cinta dalam sepak bola. Karena dari sekian banyak skenario kehilangan dalam hidup, kehilangan orang tercinta akibat cintanya pada sepak bola adalah pilihan terakhir bagi siapapun yang dengan bangga menepuk dada sebagai pecinta sepak bola.


Senin, 04 Juni 2018

Yang Tersisa dari Jejak Kaki Bale, Maradona, dan Stoichkov


Seminggu silam, final Champions League digelar di Kiev. Madrid masih kelewat digdaya dengan meneruskan dominasi di Benua Biru untuk kali ketiga secara beruntun, sementara Liverpool kembali ke Anfield dengan kepala—yang dipaksa—tegak dan beberapa penyesalan yang akan terus mengusik dalam kurun waktu yang tak sebentar. Malam itu, Gareth Bale mencuri perhatian dunia. Dua gol ia borong meski masuk sebagai pemain pengganti; satu lewat sepakan akrobatik, satu lagi lewat sepakan kencang yang ‘dibantu’ muntahan salah arah dari Loris Karius. Dalam kurun 20 menit, Bale merampungkan mimpi The Reds untuk angkat trofi kuping besar mereka yang keenam. Mungkin musim depan akan menjadi milik mereka, tapi musim ini, biarkan dulu Los Merengues berpesta di Olympic Stadium dengan Gareth Bale sebagai dirigen utamanya.

Yang dilakukan Bale dengan kaki kirinya, kemudian membuat saya harus berdiskusi dengan partner menonton saya malam itu: ayah. Menurutnya, Karius memang melakukan blunder pada proses terjadinya gol ketiga Madrid, tapi sepakan luar biasa kencang dari Bale membuat bola bersarang jadi lebih mudah.

“Kirinya Bale ini memang gila,” ujar Ayah. “Orang taunya dia mahal, larinya kenceng, tapi pada lupa kalau kaki kirinya ini bahaya. Dari jarak segitu lho, coba dilihat lagi.”

Saya terdiam sesaat setelah mendengar pernyataan itu. Ada benarnya juga, pikir saya. Mungkin jika tidak ‘diingatkan’ ayah, saya masih berpikir bahwa yang menjadi daya tarik utama Bale hanya soal akselerasi dan transformasi fisiknya setiba di Madrid. Seakan-akan abai dengan rentetan tembakan knuckleball yang berulangkali dilakukan Bale sejak merumput di St. Mary's. Teknik menendang yang mencomot istilah dari baseball itu memang unik; bola yang dilepas dengan teknik knuckleball akan mereduksi intensitas berputar bola sesaat setelah ditendang, kemudian menghasilkan gerakan tak beraturan yang kerap mengecoh lawan.

Robert Adair, seorang profesor fisika dari Yale University pernah berujar bahwa menghentikan laju bola hasil teknik knuckleball adalah hal yang hampir mustahil karena manusia memiliki keterbatasan fisik untuk menghasilkan waktu bereaksi. Di kompetisi baseball, bahkan ada anekdot macam ini terkait trik terbaik untuk menghentikan teknik knuckleball: “the way to catch a knuckleball is to wait until it stops rolling and pick it up.” Tapi Karius menolak untuk tunduk pada hukum fisika, dan melakukan tindakan penyelamatan yang sejatinya tidak menyelamatkan apapun—termasuk bola, karir, dan nama baiknya sebagai kiper profesional.

Setelah gol kedua Bale, ingatan saya mengawang pada mimpi di masa kecil: bisa menendang bola dengan kaki kiri. Dan ayah, adalah orang pertama yang paling memacu saya untuk bisa melakukan hal tersebut.

“Papah tuh bisa nendang pakai kaki kiri kan ya?” tanya saya setelah diskusi kecil soal gol kedua Bale.

“Bisa, malah lebih sering pakai kaki kiri waktu masih main. Kerasanya pas sudah tua sekarang, lebih sering sakit di kaki kiri kalau dipakai aktivitas.”

Ayah tidak kidal, ia melakukan semua aktivitas utamanya dengan tangan-kaki kanan. Hanya saja ketika bermain bola, kaki kirinya selalu lebih hidup. Saya belum pernah menyaksikan ayah bermain bola saat masih aktif bermain di level amatir, tapi saya beberapa kali setim dengan ayah saat main sepakbola di lapangan dekat rumah. Bahkan, ia sempat melatih saya dan kawan-kawan kampung saat membentuk kesebelasan untuk kompetisi sepakbola antar remaja masjid. Seingat saya, dulu ada satu sesi di mana saya dan kawan-kawan dipersilakan untuk mencoba menendang dengan kaki terlemah. Beberapa kawan yang lebih tua dari saya bisa menendang dengan cukup terarah meski tak bertenaga, sedangkan saya, terarah tidak-kencang apalagi. Bahkan lebih mirip Ishizaki yang pernah terpeleset ketika mencoba melakukan drive shot di serial Tsubasa; terlihat konyol bin memalukan.

Ketika ayah memberi contoh tiga kali menendang bola dengan kaki kiri, seketika itu saya dan kawan-kawan sepakat untuk tidak mencoba menyundul atau menghalau laju bola saat tidak setim dengan ayah di laga eksebisi, andai masih sayang organ tubuh masing-masing.

Tidak cukup sekali-dua kali saya mengeluh tidak bisa menendang dengan kaki kiri, sampai akhirnya ayah bilang bahwa sebelum konsisten mencoba melatih menendang dengan kaki kiri, tentukan dulu ‘mazhab kiri’ mana yang ingin saya pakai: mazhab Maradona atau Stoichkov. 

Mazhab Maradona untuk ‘genre’ sepakan kaki kiri yang tak melulu bertenaga tapi menghasilkan akurasi tembakan yang sulit dijangkau lawan, sedangkan mazhab Stoichkov merujuk pada sepakan kencang yang akurasinya tak terlalu sempurna, tapi selalu merepotkan kiper karena laju kecepatan ekstrem yang juga sama sulitnya untuk dibendung. Saya bingung, wong bisa saja belum sudah disuruh menentukan ingin meniru siapa. Meskipun dalam hati kecil, saya ingin menjawab, “ya minimal bisa kaya papah,” tapi belum pernah terucap.

Bertahun-tahun kemudian, saya baru memahami ucapan itu. Lewat kompilasi video yang dengan mudah diakses di YouTube, saya jadi paham kenapa dua orang itu selalu disebut-sebut ketika disinggung soal acuan pesepakbola kaki kiri terbaik versi ayah. Maradona adalah Maradona, sedangkan Stoichkov adalah seorang gunslinger yang menjadi bagian integral dari dream team Blaugrana saat dipoles Cruyff. Dua sosok yang pantas masuk altar pemujaan sekte kiri bersama Inessa Armand, Guy Debord, dan tentu saja Tan Malaka.

Andai disuruh memilih saat ini, tentu saja memilih mazhab Stoichkov. Maradona adalah kesempurnaan yang muskil dijangkau pria normal tanpa talenta ilahiah, sedangkan Stoichkov memiliki aspek-aspek normal yang jauh lebih masuk akal untuk diduplikasi. El Pistelero adalah kepingan puzzle terakhir yang melengkapi ‘orang-orang sopan’ dalam komposisi dream team Cruyff. Agresivitas dan sikap oportunistisnya sebagai seorang jugador, membuat skuat Barcelona yang memang didesain ofensif jadi jauh lebih sempurna.

“Ada pemain yang lebih memilih untuk menunggu momen, atau menantikan peluang untuk mengkreasi gerakan indah ketika mengolah bola, Stoichkov adalah orang yang menciptakan momen, menjemput bola, dan langsung menembaknya ketika mendapat peluang,” ujar Cruyff ketika disinggung soal karakter pemain asal Bulgaria itu. Dalam skema ofensif khas Barca yang kerap memasang garis pertahanan tinggi untuk secepat-cepatnya mencuri penguasaan bola dan mengusik daerah berbahaya lawan, Stoichkov adalah karakter kunci dalam racikan taktik El Flaco. Dan tentu saja, kaki kiri pemain kelahiran Plovdiv itu yang kemudian menyelesaikan tugas-tugasnya; baik dari dalam kotak penalti, atau dari luar kotak penalti.

Saya cukup kenyang menyaksikan cuplikan gol Stoichkov, tapi tentu saja tidak mengubah apapun yang berkaitan dengan kemampuan saya untuk menendang bola dengan kaki kiri. Di sepanjang karir pada laga eksebisi di kampung dan atlet bola pocokan-non-amatir-namun-banyak-gaya, seingat saya, saya tak lebih dari 3 atau 4 kali mencetak gol dengan kaki kiri. Separuh tak sengaja tersenggol, sisanya mungkin sengaja dipersilakan kiper untuk masuk gawang sebagai bentuk apresiasi. Maka, di sepertiga malam pada bulan penuh berkah ini, izinkan saya memanjat doa sederhana yang menjadi ambisi sejak masih piyik: 

Duh Gusti, aku ingin bisa menendang bola dengan kaki kiri.