Jumat, 22 Agustus 2014

10 One-Hit Wonder Indonesia yang Sebaiknya Anda Dengar

Njedul siji, njuk ilang sak lawase




Jika Anda dihadapkan pada sebuah pilihan, “merasakan puncak ketenaran, walau hanya sekali —namun tak pernah dikenal lagi,” atau “memiliki popularitas yang sedang-sedang saja —tak pernah berada di puncak maupun tenggelam,” mana yang akan Anda pilih? Mereka yang perfeksionis dan ambisius, tentu tidak akan memilih keduanya. Bagi mereka, akan selalu ada opsi ketiga, seperti: “merasakan puncak ketenaran, tapi tak pernah tenggelam.” Sah-sah saja, namanya juga ambisi. Meski pada kenyataannya, dunia seringkali tidak kompromistis; tak ada ruang bagi kita untuk memilih.

Begitu juga dalam jagat industri musik. Jika boleh memilih, ambisi musisi tentu akan meletakkan opsi ketiga sebagai capaian karir peringkat wahid. Sebagai empunya karya, adalah wajar jika mengharapkan adanya apresiasi. Apalagi, jika datang dalam skala masif. Tak ayal, semua musisi akan mengerahkan kemampuan mereka sampai titik maksimal demi mendapat kepuasan batin —juga sambutan apik dari para pendengar. Terdengar seperti pakem fundamental seorang seniman. Tapi sekali lagi, di tengah badai ketidakpastian jagat industri musik, siapa yang bisa menjamin?

Fenomena ­one-hit wonder bisa menjadi contoh, bagaimana badai ketidakpastian jagat industri musik bisa meruntuhkan formula ‘sukses’ dengan rujukan basa-basi seperti dua paragraf di atas. Awal mulanya, one-hit wonder dimaknai sebagai “lagu yang menduduki peringkat pertama dalam tangga lagu 40 Billboard, kemudian tidak pernah mencapainya lagi,” oleh Wayne Jancik, dalam bukunya The Billboard Book of One-Hit Wonders.

Namun seiring berjalannya waktu, definisi one-hit wonder mengalami pemekaran makna yang signifikan. Kini, lagu yang menyandang gelar one-hit wonder tak lagi harus memenuhi syarat ‘tembus tangga lagu 40 Billboard’, tapi jauh lebih sederhana. Generalisasi makna one-hit wonder, kini bisa dijabarkan (kurang lebih) menjadi: musisi dengan satu lagu yang pernah mencapai puncak ketenaran, namun tak pernah memperoleh capaian sama setelahnya. Beberapa dari mereka, mungkin tidak hanya memiliki satu lagu saja, namun yang jelas, lagu-lagu lainnya tidak pernah bisa memperoleh kesuksesan layaknya tembang one-hit wonder mereka.

Ketika menyusun daftar seperti ini, tentu saja akan selalu memunculkan perdebatan. Mungkin salah satu bahan perdebatan yang bisa saya prediksi, seperti “Kok artis ini bisa masuk? Kan lagunya ga ini aja? Yang terkenal ada lagi kok,” atau komentar lain, yang kurang lebih bernada sama. Silakan saja, karena itu hal yang wajar. Namun jika Anda mempertanyakan keputusan saya untuk tidak memasukkan one-hit wonder macam “Harus Terpisah” milik Cakra Khan, “SMS” milik Ria Amelia, atau “Pecinta Wanita” milik Irwansyah ke dalam daftar ini, tentu saja itu jadi lain soal.





10.“Inikah Cinta” — M.E, Terbuka (1998)

Bagian terbaik: “Kujumpa dia berikutnya/suasana berbeda/getaran itu masih ada.”

Sebelum tren sekumpulan pria dengan kualitas vokal semenjana dan aransemen lagu seadanya muncul ke permukaan, M.E telah lebih dulu hadir sebagai salah satu cetak biru boyband Tanah Air —yang sanggup tenar tanpa perlu melacurkan diri dengan modal jualan tampang semata. Tak seperti pendahulunya, Trio Libels, yang lagu-lagunya lebih kental dengan nuansa pop-disko ala ’80-an, M.E hadir dengan suguhan lagu yang memadukan ketukan R&B dengan unsur pop yang terdengar lebih catchy. Jika kebanyakan musisi menelurkan one-hit wonder terlebih dahulu, baru kemudian menghasilkan lagu yang terkesan ‘biasa saja’, maka karya milik kuintet asal Bandung ini adalah kebalikannya. Sebelum tenar lewat “Inikah Cinta”, M.E pernah punya dua single yaitu “Ada Satu” dan “Kasih Putih”. Dalam proses pembuatannya, kedua single ini melibatkan musisi kawakan Trie Utami dan Purwa Tjaraka —namun tidak mencapai puncak kesuksesan layaknya “Inikah Cinta”. Usia boyband ini tidak bertahan lama, karena dua dari personel mereka —yang juga pasangan kakak & adik, Denny Saba dan Didan Fitrasakti memutuskan untuk hengkang dan membentuk duo baru. Ketiga personel lainnya —bersama tambahan satu personel baru, akhirnya membentuk grup tandingan bernama Nine Seasons. Meski menempuh jalan berbeda, namun mereka memiliki akhir yang sama: jeblok dan tak laku di pasaran. “Inikah Cinta”, juga pernah digarap ulang oleh trio pop Ibu Kota, Ran, dengan sentuhan berbeda —dan tentu saja: tidak melibatkan Shanty yang tampil menggoda sebagai penari latar, sebagaimana yang pernah M.E lakukan di video klip aslinya.

9. “Hilang” — Garasi, Original Soundtrack Garasi (2006)

Bagian terbaik: “Kurangkai kata/kurangkai nada/yang ‘ku inginkan hanyalah cinta.”

Ada banyak soundtrack, yang ketenarannya berbanding lurus dengan filmnya. Namun, seingat saya hanya Garasi yang mampu melahirkan soundtrack hit dengan melibatkan aktor dan aktrisnya sendiri ke dalam sebuah grup band. Ayu Ratna, Fedi Nuril, dan Aries Budiman adalah personel band Garasi yang juga tampil sebagai aktor dan aktris di film Garasi. Medio 2006, “Hilang” masih sering berseliweran di beberapa stasiun radio dan MTV Indonesia, meski filmnya sendiri sudah turun dari bioskop. Kekuatan lagu ini (selain karena campur tangan Abdee, Indra Lesmana, dan Anang) terletak pada vokal Ayu Ratna yang berkarakter kuat. Karakter ini bukan datang secara kebetulan, melainkan memang karena hasil latihan; mengingat sebelum terjun ke dunia seni peran, Ayu memang seorang vokalis band dan pernah lolos audisi ajang pencarian bakat —namun harus tereliminasi, karena saat melaju ke babak selanjutnya ia menderita sakit. Ayu hengkang pada 2009, dan sempat bersolo karir di Jepang, sebelum akhirnya membentuk band elektro-rock, The Aiu. Karir Ayu nampak lebih bersinar di negeri Sakura; terbukti ia berhasil masuk dalam album kompilasi Seasoning of Songs, bersama jajaran musisi indie Jepang. Ngomong-ngomong, selain “Hilang”, sebetulnya Garasi punya hit lain di album perdananya: “Hilang” versi solo-akustik.

8. “Apanya Dong” — Euis Darliah, Apanya Dong (1982)

Bagian terbaik: “Apa apa apanya dong/dang-ding-dong.”

Lagu gubahan Titiek Puspa ini, bertanggung jawab atas merebaknya tren penggunaan kata “dong” dalam setiap judul lagu periode ’80-an. Kebiasaaan Euis Darliah yang gemar tampil gila-gilaan di panggung, mempengaruhi pembawaannya dalam menyanyikan lagu ini: sesekali centil, santai, slengean, kemudian ditutup dengan vokal menukik ala rock lady-rocker macam Nicky Astria. Lagunya sendiri kental dengan iringan walking bass —yang dipadu dengan ketukan patah-patah ala musik reggae. Berkat “Apanya Dong”, eks-vokalis Antique Clique ini berhasil merasakan sukses komersial yang cukup fantastis; penjualan albumnya sanggup menembus angka 1 juta keping. Pasca meluncurkan album Apanya Dong, Euis sempat melempar single “Apanya Dong 2” dan “Dicoba Dong”, tapi hasilnya seperti tebakan Anda semua: tak pernah sukses di pasaran.

7. ”Kepompong” — Sind3ntosca, Tiduran, Tertidur, + Bertelur ++ (2005)

Bagian terbaik: “Kini kita melangkah berjauh-jauhan/kau jauhi diriku karena sesuatu.”

Lagu jujur, yang bercerita tentang lika-liku persahabatan. Lagu ini terinspirasi dari kisah pribadi Jalu Hikmat Fitriadi, satu-satunya personel —yang juga merangkap sebagai pencipta lagu, pengaransemen musik, dan manajer band ini, dengan saudara sepupunya. Karakter vokal Jalu yang gemar ber-falsetto, terdengar begitu tulus ketika melantunkan bentuk kepedulian untuk seorang sahabat dalam lirik “Mungkin ‘ku terlalu bertingkah kejauhan/namun itu karena ‘ku sayang.” Lagu ini, untuk kali pertama diperdengarkan secara luas lewat jaringan Nu Buzz, dan kemudian menarik perhatian stasiun radio Prambors. Setelah beberapa pekan rutin diputar di Prambors —dan stasiun radio lokal lainnya, “Kepompong” juga dijadikan soundtrack untuk sinetron dengan judul yang sama. Namun sayang, hasil kesuksesan lagu ini tidak begitu dirasakan oleh sang empunya karya. Jalu, dikabarkan tidak mendapatkan royalti dari sinetron Kepompong dan hasil penjualan nada sambung pribadi lagunya sendiri. Pasca munculnya kabar tragis tersebut, Sind3ntosca tidak pernah terdengar lagi gaung karyanya.

6. “Bintang” — Air, Air (1999)

Bagian terbaik: “Bintang di langit/kerlip engkau di sana/memberi cahayanya, di setiap insan.”

Salah satu anthem generasi ’90-an terbaik. Jika kebanyakan band harus menuliskan lirik tentang cinta —sebagai formula sukses lagunya, maka Air memilih untuk menjadikan keindahan semesta sebagai objek inspirasi lagunya. Proyek ini melibatkan pasangan kakak-adik, Sintawati pada departemen vokal dan Bambang “Bengbeng” Sutejo —yang lebih dulu dikenal sebagai personel Pas Band, sebagai gitaris. Pada awal kemunculannya, video klip lagu ini langsung mendapat tempat spesial di kalangan penikmat musik. Video yang diambil dengan teknik one-shot, dengan sisipan teks jenaka di tengah adegan dan warna-warni latarnya, adalah aneka alasan kenapa video klip lagu ini mudah sekali untuk dikenang —bahkan setelah 15 tahun sejak peluncuran pertamanya. Dari segi musikalitas, “Bintang” juga tidak asal-asalan; karakter vokal manis, dikawinkan dengan kocokan gitar enerjik dan keseluruhan aransemen yang minimalis. Yang paling menyenangkan dari lagu ini, adalah paduan suara anak-anak di bagian intro, yang diiringi oleh bebunyian khas music box. Setelah sukses dengan album pertamanya, Air sempat meluncurkan album kedua bertajuk Rairaka pada 2001. Lama menghilang, pada awal tahun lalu —lewat akun Twitter resminya, Air menyatakan sedang menggarap album ketiga dengan nomor andalan “Pelangi”.

5. “Kebebasan” – Singiku, Cerita Pagi (1996)

Bagian terbaik: “Ku senang, ku senang/ku telah bebas/ku senang, ku senang dunia ini indah.”

Beberapa tahun lalu, saya ingat sebuah percakapan dengan seorang kawan. Mungkin, dialog seperti ini juga pernah Anda alami. Kurang lebih, kawan saya bertanya seperti ini:

Kowe kelingan band sing video klip’e Andara Early pas jaman isih cupu ra? Sing iku, sing lirike, ‘ku senang/ku senang,’ iku lho.”
“Iyo, Jek. Singiku.”
“Iyo iku lirike, opo jeneng band’e?”
‘Lha iyo, Singiku.”
*begitu terus sampai berpekan-pekan*

Wiby, Pongky, dan Denny merangsek muncul di tengah-tengah belantara pop ’90-an dengan mengusung aliran new-wave sebagai tajinya. Sesuai dengan namanya, “Kebebasan” memang bercerita mengenai jalan hidup seorang gadis yang baru saja bertemu dengan kebebasan. Penggambaran wanita lugu yang baru saja mengenal ‘dunia luar’ ini, diperankan dengan baik oleh Andara Early dalam video klip aslinya. Yang menjadikan lagu ini spesial, adalah keberanian Singiku untuk bereksperimen dengan unsur musik elektronik modern sampai titik maksimal, namun masih terdengar punchy. Tempo cepat yang diiringi dengan irama walking-bass rapat dan sesekali disisipi sayatan gitar yang tipis sebelum menuju reff, adalah salah satu bagian favorit saya di “Kebebasan”. Dan ironisnya, elemen fundamental yang menjadi daya tarik lagu ini dihilangkan secara biadab oleh Cinta Laura, saat membuat garap ulang lagu ini empat tahun silam.

4. “Warik” — Last Few Minutes (LFM), Waktu (1996)

Bagian terbaik: “Biarku melangkah/dengan sisa batin yang terkulai.”

Apa jadinya jika seorang maestro musikalisasi puisi, bergabung membentuk band dengan salah satu gitaris rock terbaik dan pembetot bass band gothic rock? Jika Anda menebak akan ada lirik puitis di dalamnya, Anda benar. Tapi jika Anda menebak, aransemen musiknya akan terkesan menghentak dan tak jauh dari kategori ugal-ugalan, Anda salah besar. 18 tahun silam, Ridho Hafiedz (Slank) dan Adam Joswara alias Adam VlapVamp (Kubik/Koil) pernah tergabung dalam sebuah band bersama maestro musikalisasi puisi, Ari Malibu. “Warik” bercerita tentang kisah seorang pria yang ditolak olah sang tambatan hati, namun masih terkesan gagah dan jauh dari nuansa melankolis. Sentuhan gitar akustik yang berpadu dengan irama perkusi, justru membuat lagu ‘sedih’ ini menjadi terkesan ceria dan membuat pendengarnya tidak terjebak dalam jurang kesedihan yang kelewat dalam. Dalam proses penggarapannya, LFM melibatkan sentuhan penata musik top dalam negeri, Alm. Billy J Budiharjo dan Aminoto Kosin. Sayang, selang setahun setelah merilis album ini mereka membubarkan diri. Kedua personelnya –Ridho dan Adam, kini berkonsentrasi bersama band barunya; sedangkan Ari Malibu konsisten berada di jalur musikalisasi puisi dan sempat terdengar kembali gaungnya saat memusikalisasikan puisi tenar gubahan Sapardi Djoko Damono, “Hujan Bulan Juni”. 

3.  “Gubahanku” — Deddy Damhudi, Deddy Damhudi (1976)

Bagian terbaik: “Setahun kita berpisah/sewindu terasa sudah.”

Jika Anda merasa asing ketika mendengar judul lagu ini, percayalah, Anda tidak sendirian. Coba ketik judul lagu ini di laman mesin pencarian Google, dan yang Anda dapat pasti pelbagai versi “Gubahanku” yang dibawakan oleh banyak musisi tenar macam Koes Hendratmo, Broery Marantika, Titik Sandora & Muchsin Alatas, sampai Siti Nurhaliza. Bukan tanpa alasan, tembang ciptaan Gatot Soenjoto ini digarap ulang oleh banyak musisi. Bagi saya, “Gubahanku” adalah salah satu lagu balad yang berhasil membangun suasana sedemikian kelam, sehingga berhasil membuat para pendengarnya bermuram durja sembari membayangkan betapa pilunya kisah cinta yang menjadi inspirasi lagu ini. Pembawaan vokal Deddy yang sederhana, nampak begitu padu saat menyanyikan lirik tulus macam, “Walau apa yang terjadi/tabahkan hatimu selalu/jangan sampai kau tergoda/mulut manis yang berbisa.” Selain mendapat sambutan hangat dari jajaran penikmat musik perode ’70-an, lagu ini juga pernah menorehkan prestasi ciamik dengan menyabet posisi kedua dalam gelaran Pop Gong Festival ’73 —sebuah festival musik pop berskala nasional yang tenar pada medio ’70 hingga ’80. Meski popularitas sang empunya karya sudah tenggelam, namun tidak dengan lagunya. Buktinya, lagu ini masih sering menjadi pilihan utama bagi para penikmat lagu lawas, tatkala menelpon stasiun radio kesayangan mereka untuk sekedar mengirim salam sambil mengajukan “Gubahanku” agar masuk daftar putar selanjutnya.

2. “Satu Jam Saja” — Asti Asmodiwati, 10 Suara Emas Remaja (1989)

Bagian terbaik: “Jangan berakhir/ku ingin sebentar lagi/satu jam saja.”

Setelah mengalami kesuksesan dengan ajang Lomba Cipta Lagu Remaja, Prambors mengadakan gelaran serupa dengan tajuk Lomba Penyanyi Remaja. Sebagaimana Lomba Cipta Lagu Remaja, Lomba Penyanyi Remaja juga meluncurkan album kompilasi yang memuat talenta-talenta terbaik hasil deteksi mereka. Pada 1989, 10 Suara Emas Remaja berhasil mencatatkan hasil penjualan yang cukup bagus; ini dikarenakan, 10 Suara Emas Remaja memuat salah satu single yang cukup fenomenal, “Satu Jam Saja” milik Asti Asmodiwati. “Satu Jam Saja” adalah lagu apik, yang mampu mengemas kompleksitas asmara ke dalam ungkapan sederhana. Petikan gitar akustik dalam tempo lambat yang dikawinkan dengan lantunan flute nan elegan pada awal pembukaan lagu, adalah salah satu magis lagu ini. Belum lagi, vokal lirih Asti yang mampu mengajak pendengarnya untuk sama-sama merenungi, tentang betapa pahitnya perkara putus cinta —dengan pendekatan yang sederhana. Dan jangan lupa, “Satu Jam Saja” adalah lagu visioner yang menjadi anomali tren lagu pada zamannya; kebanyakan dari kita, mungkin akan salah menebak tahun rilis lagu ini, jika tidak menyimak diskografinya terlebih dahulu. Lagu ini sendiri, dirilis pada akhir ’80-an; di mana badai ketukan disko dan sisipan bebunyian musik elektronik, sedang berhembus kencang-kencangnya. Tiga tahun berselang, Asti bekerjasama dengan Erwin Gutawa, untuk merilis solo albumnya dengan tajuk Asti. Sayang, album ini tidak pernah mencapai punjak kejayaan selayaknya karya Asti sebelumnya. Tak patah arang, Asti kemudian merilis album Karena Cinta, dengan menggandeng Dorie Kalmas untuk departemen tata lagu. Sebagaimana Asti, Karena Cinta juga tidak bernasib baik di pasaran. Bahkan ironisnya, salah satu lagu di album ini  “Hasrat Cinta”, justru mendapat kesuksesan ketika digarap ulang oleh Yana Julio beberapa tahun kemudian. “Satu Jam Saja” juga pernah digarap ulang dengan apik oleh Audy dan Lala Karmela. Sayangnya, dua dekade kemudian ada seorang pedangdut yang merilis lagu dengan judul yang sama —hingga kadang memunculkan kerancuan. Tak perlu saya menyebut nama penyanyi dangdutnya. Yang jelas, ketika sedang bergoyang, bagian pinggul dan pantatnya terlihat indah betul; nikmat rupa, tapi tidak dengan suara.

1. “Tentang Aku” — Jingga, Tentang Aku (1996)

Bagian terbaik: “Cinta, cinta, harapan/dan ku terbawa dalam kisah lama.”

“Tentang Aku” adalah salah satu suvenir terbaik periode ’90-an. Saya kira, setiap elemen yang ada di lagu ini, sulit untuk membuat Anda tidak jatuh cinta —bahkan pada kali pertama mendengarnya. Duet Fe & Therry yang dibesut oleh Budhi Bidun ini, berhasil membawa konsep duo-grup pop menjadi satu tingkat lebih apik. Dibuka dengan ketukan drum machine klasik yang dihantam dengan ­lead guitar Eet Syahranie, “Tentang Aku” kemudian menyuguhkan perpaduan bunyi delay milik Eet dengan denting piano Therry —yang melebur dengan karakter vokal datar Fe, sebagai sajian utamanya. Meski terkesan datar dan biasa saja, bagian favorit saya justru saat Fe membawakan lirik “teee—r-bawa dalam kisah lama” dengan teknik vokal yang menukik. Pernah menonton video klip aslinya? Sungguh, terasa ala ’90-an sekali. Adegan sang vokalis yang bernyanyi dengan latar berwarna kelam, kemudian berpindah ke sebuah objek pariwisata, lalu diakhiri dengan adegan semua personel memainkan instrumen masing-masing —saat lagu menginjak bagian overtune. Setahun setelah memperoleh kesuksesan, Jingga justru memilih untuk membubarkan diri. Santer terdengar, mereka bubar karena ingin merampungkan jenjang perkuliahan; Therry tercatat sebagai mahasiswa akuntansi, sedangkan Fe adalah mahasiswi desain grafis di Universitas Trisakti. “Tentang Aku” pernah digarap ulang oleh Andien pada 2006, dan kembali dinyanyikan oleh Fe bersama unit elektronik asal Jakarta, Ape On The Roof.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar