Rabu, 03 Juli 2013

Invasi Musim Hardcore: Di Antara Realita Semu dan Preferensi Sosial

Hajar, bleh!
Sejatinya budaya adalah tentang kebiasaan yang hadir di tengah khalayak, dan secara turun-menurun disepakati sebagai representasi simbol kekompakan sekumpulan individu. Ruang lingkup budaya selalu bersinggungan dengan budi dan akal manusia, karena memang itulah jabaran dari kata aslinya, buddayah. Gejala umum yang sudah menjadi bagian hidup masyarakat ini, mengalami metamorfosis seiring berjalannya waktu. Karena melibatkan manusia — yang memiliki sifat dasar mudah merasa bosan — sebagai mata rantainya, maka budaya tentu selalu ingin mengadakan perubahan.

Tidak terkecuali bagi anak muda. Generasi menjanjikan yang selalu digadang-gadang sebagai penerus bangsa ini, adalah lini yang paling mudah menjamah — juga dijamah — nilai-nilai baru dan yang paling sering ‘mengutak-atik’ peradaban, sehingga seringkali menelurkan sebuah kebudayaan baru. Generasi muda adalah sekumpulan individu yang menjadi mata rantai warisan budaya sebelumnya, pun juga bisa sebagai agen destruktif budaya, karena seringkali menganggap nilai-nilai yang ada di budaya sebelumnya, hanyalah souvenir usang dari jaman Jahiliyah yang tidak perlu diteruskan

Sebagai contoh, kini hanya ada sedikit anak muda yang berasal dari suku Jawa, yang masih berkenan untuk menggunakan ritual adat Jawa, sebagai rujukan pengiring di hari pernikahannya. Kini anak muda Jawa, bahkan alpa dengan istilah-istilah seperti midodarén, pager ayu, atau siraman; mereka tentu jauh lebih hapal dengan istilah standing party, garden party, atau bahkan bachelor party. Pergeseran dan berkurangnya kesadaran untuk memaknai nilai-nilai sakral yang ada di dalam sebuah budaya, tentu saja membuat berang para generasi terdahulunya yang cenderung bersifat konservatif.

Kiranya, hal seperti inilah yang sedang terjadi di scene musik hardcore di tanah air. Kini muncul semacam degradasi pemahaman tentang semangat yang diusung oleh para penggiat hardcore generasi awal. Nilai-nilai sakral tentang solidaritas dan semangat ‘pembangkangan’ yang memang gencar disuarakan oleh musik hardcore, bergeser menjadi budaya baru yang seringkali hanya berbicara soal fashion dan pembentukan identitas diri untuk show-off di depan khalayak. Pelakunya pun masih tergolong sangat muda, banyak dari mereka yang masih belum genap berusia kepala 2. Usia yang masih sangat rentan dengan pengaruh arus budaya asing dan indoktrinasi tentang paham atau ajaran baru.

Berangkat dari fenomena inilah, saya mengangkat tema “Invasi Musim Hardcore: Di Antara Realita Semu dan Preferensi Sosial” . Saya beranggapan, bahwa perlu ada penyamaan koridor tentang pemahaman spirit hardcore di antara generasi awal dengan generasi baru, supaya tidak ada kesimpangsiuran mengenai siapa meniru siapa, siapa perintis siapa pengikut, juga tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Saya idak berusaha membenarkan, karena menurut kami dalam ranah budaya tidak pernah ada yang salah; yang ada hanya ketidakpahaman pelakunya tentang aspek-aspek yang ada di dalam budaya itu sendiri.

Selamat membaca, selamat membangun ruang pembenaran di dalam imaji masing-masing.

************************************
Budaya Uzur Dalam Kemasan Prematur

Bicara hardcore adalah bicara tentang persahabatan, solidaritas, dan prinsip perlawanan kepada segala sesuatu yang dinilai mapan. Penikmat dan pelaku hardcore generasi lama tentu paham betul mengenai hal ini, karena pada era musik apapun sebuah generasi tumbuh dan kembang, akan selalu ada alasan kenapa seseorang memilih untuk berada pada jalur musik tertentu. Alasan-alasan yang ada di atas, menempati posisi paling puncak ketika HC-Kids — salah satu sebutan untuk penggemar musik hardcore — ditanya ‘kenapa memilih untuk suka musik hardcore” Dan ketika generasi lama ditanya perihal alasan “seberapa bermakna hardcore dalam kehidupan kalian” tentu jawaban mereka adalah “entah, apakah hardcore berarti hidup untuk saya; atau hidup saya, yang memang harus didedikasikan untuk hardcore. ”

Budaya adalah siklus berulang. Apa yang kini kita lihat dan maknai sebagai budaya, bukan tidak mungkin adalah kemasan daur ulang dari hasil pemikiran generasi sebelumnya. Pun dengan budaya Hardcore yang kini sedang (kembali) merebak di kalangan generasi muda. Di tengah ‘badai invasi’ budaya kekinian (K-Pop, J-Pop, Brit-Pop, American Style, dsb), ada sebagian kecil golongan yang menciptakan budaya tandingan alih-alih mengikuti budaya yang sudah ada. Semangat inilah yang mendasari sebagian generasi muda yang kini self-proclaimed sebagai “anak-Hardcore”; semangat pembangkangan atau bentuk perlawanan atas segala sesuatu yang dinilai mapan/umum.

Adalah Ian MacKaye dari Minor Threat, yang termasuk bagian dari generasi awal Hardcore yang memiliki gagasan untuk memasukkan unsur-unsur perubahan melalui media musik. Berangkat dari kekagumannya pada Bad Brains, pada medio ’80-an MacKaye mengajak Jeff Neslon — tandem di bandnya yang terdahulu, Teen Idles — untuk membentuk band baru, yang kemudian ia beri nama Minor Threat. Capaian dan sumbangsih MacKaye terhadap perkembangan musik Hardcore adalah, mengusung gerakan “Straight Edge”, dimana gerakan ini adalah bentuk penentangan atas kultur anak muda di zaman itu, yang gemar mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang sebagai pembentukan identitas golongan musik tertentu. Lagu dan ideologi “Straight Edge” merupakan cetak biru dalam budaya hardcore. Penggalan lirik “i’m people just like you / but I’ve got better things to do,” kini jadi dalil bagi Hardcore-Kids di belahan dunia manapun untuk bertaubat.

Jika gerakan Straight Edge milik MacKaye mengajak anak muda untuk melepaskan diri dari jerat alkohol dan obat-obatan terlarang, ada pula beberapa musisi Hardcore yang menggunakan musik dan karyanya sebagai media untuk ‘bersuara’ . Sebut saja Dead Kennedys. Band ini asal San Fransisco ini, sering menyisipkan muatan-muatan politis bernada satir, lewat lirik dan konsep panggung yang mereka usung. Maklum saja, personil mereka memang hampir sebagian besar seorang penganut ideologi sayap kiri. Di salah satu cover single mereka “Holiday in Cambodia” , mereka mengambil foto korban The Thammasat University Massacre, sebagai bentuk kritik atas kekejaman rezim negara timur dan campur tangan negara barat dalam urusan internasional.

Sedangkan awal mula Hardcore menyusup masuk ke Boston dan New York, didasari dari kecemasan beberapa musisi akan keamanan kotanya yang dikuasai oleh geng jalanan dan kartel narkoba. Sehingga mereka membuat paham Straight Edge menjadi lebih militan, sebagai bentuk perlawanan ideologi. Kebanyakan dari mereka ini kemudian membentuk sebuah perkumpulan kecil sebagai bentuk idenitas yang membedakan mereka dengan geng-geng jalanan. Tak ayal, mereka sering mengklaim satu sama lain sebagai “Family”, untuk kemudian membubuhkan embel-embel “Crew” sebagai pengkubuan/identitas kelompok hardcore region satu dengan region lain. Beberapa kata yang sering mereka gunakan sebagai jargon pemersatu adalah “Pride” dan “Respect”. Agnostic Front dengan gamblang menggambarkan dedikasi mereka untuk orang-orang yang ada di sekitarnya, lewat lirik “For my family for my friends / for those that we've lost I sing / this is a message, this is for you / never forget the ower east side crew” di single “For My Family” .

Daerah asal si empunya karya, memang seringkali menentukan bagaimana hasil akhir dari sebuah karya. Saya ingat, Pram pernah berkata bahwa realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dan ingkungan sosialnya. Seorang seniman — dalam hal ini pelaku musik Hardcore = ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Hakikat dari realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana penyadaran bagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.

Namun, semua pengantar di atas seakan menjadi kontradiktif ketika berhadapan dengan kultur Hardcore yang ada di Indonesia. Khususnya pemaknaan ideologi di generasi muda. Di kalang an generasi muda, hardcore banyak dimaknai sebagai musik kencang yang apabila didengarkan, akan sedikit meningkatkan ‘strata-gaul’ mereka di lingkungan sekitar. Mereka akan dianggap sebagai seorang hipster yang memang ingin tampil beda, dan dipandang memiliki selera musik yang tidak biasa. “Hanya ikut-ikutan seorang teman yang lebih tahu saja’ jawab sebagian besar dari mereka. Budaya ikut-ikutan inilah, yang sebetulnya sangat disayangkan oleh banyak kalangan. Mengingat ada berbagai pergerakan dan pesan yang ingin disampaikan oleh para penggiat hardcore generasi sebelumnya.Sebagai contoh, bukanlah sesuatu yang mengagetkan lagi ketika kita jumpa dengan seorang anak muda yang mengklaim sebagai seorang “Straight Edge” , dengan memasang tanda silang di tangannya, namun saat itu juga ia sedang merokok atau dengan identitas ke-khasannya malah mengkonsumsi alkohol sebelum masuk ke gigs.

Sebetulnya, banyak yang merasa baik-baik saja ketika jumpa dengan fenomena yang seperti disebutkan di atas. Akan tetapi banyak pula yang merasa bahwa harus selalu ada konsekuensi ketika kita mencintai/menggemari segala sesuatu. Peribahasa bilang “Tak Kenal Maka Tak Sayang.” Begitu juga dengan ranah musik Hardcore, ketika kita tidak mengerti latar belakang dan pesan apa yang ingin disampaikan oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya, tentu saja sia-sia. Apalagi ketika sudah show-off dengan identitas ke-khasannya.

Di satu sisi, ekspektasi generasi sebelumnya akan pemahaman ideologi Hardcore di kalangan generasi muda pun kadang tidak dibarengi dengan usaha untuk merangkul dan memberikan pemahaman sebagaimana mestinya. Kecenderungan untuk bersikap konservatif, dan merasa bahwa tonggak estafet kultur Hardcore yang diemban oleh generasi sekarang ini tidak dijalankan dengan benar , juga membuat adanya jurang pemisah antara generasi lama dengan generasi baru. Namun seperti yang sudah iungkapkan sebelumnya, yang terpenting dari mencintai sesuatu adalah memahaminya secara keseluruhan. Memang, edukasi dari berbagai pihak tentang ideologi Hardcore itu penting, namun yang Jauh lebih penting adalah kesediaan untuk mempelajari segala sesuatu yang sudah mereka pilih untuk digemari.

************************************
Enigma Hardcore di Kota Bengawan
(Wawancara dengan Budi, pentolan band hardcore kota Solo, Spirit of Life)

Musik hardcore awalnya terbentuk dari musik punk. Di Solo sendiri, musik hardcore berawal dari wilayah Sriwedari yang ada sekitar tahun 1998. Budi merupakan salah satu anggota band hardcore Spirit Of Life yang cukup lama bergabung sekitar sepuluh tahun, ini merupakan band kedua sejak ia bergabung dalam komunitas hardcore Solo. Ia bergabung dengan komunitas hardcore sekitar tahun 2000. Budi menganggap musik ini sebagai musik yang berbeda dan membuatnya lebih bersemangat. Dari sekedar rasa suka itu ia terus mencari tau tentang apa itu musik hardcore. Ada beberapa wilayah di Solo yang menjadi tempat berkumpul komunitas komunitas hardcore contohnya seperti daerah Kleco, utara stadion Sriwedari, dan Serengan. Di daerah-daerah tersebut terdapat beberapa band yang masih tetap aktif sampai sekarang seperti HOT, Isolated IQ, Down For Life. Setelah tahun 2000 merupakan tahun kedua generasi Hardcore di Solo dan tahun 2002 sampai sekarang semakin banyak band-band hardcore yang bermunculan. Budi merupakan anggota band Spirit Of Life yang telah berjalan kurang lebih sepuluh tahun ini berpendapat bahwa musik hardcore sebagai musik yang berasal dari barat dan sampai di Indonesia tidak sepenuhnya harus melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan di barat. Memilah-milah mana yang cocok dipakai di Indonesia dan mana yang tidak. Contohnya seperti bila dibarat musik hardcore digunakan sebagai perlawanan terhadap pemerintahan, tetapi di Indonesia menggunakan musik sebagai sarana perlawanan terhadap pemerintahan pada era Presiden Soeharto tidak memungkinkan untuk digunakan maka tidak akan menjiplak apa yang dilakukan band barat. Sebagian band hardcore menelan mentah-mentah apa yang dilakukan oleh band barat tanpa menyaring baik-buruknya dan bagaimana dampaknya. Pondasi band hardcore sendiri adalah brotherhood dan friendship yang berarti hardcore merupakan kebersamaan dan pertemanan.

Punk dan hardcore sebenarnya tidak berbeda. Hardcore dinilai dari proses awal perjuangan hingga mencapai kondisi yang semakin baik. Setiap band hardcore mempunyai pergerakan masing-masing tentang apa yang akan diperjuangkan dan dicapai. Di Indonesia seperti di wilayah Jakarta sendiri tiap wilayahnya punya perjuangan yang berbeda. Wilayah Priuk dengan wilayah Jakarta Selatan mereka punya perbedaan dalam pergerakan. Di wilayah Priuk, komunitas Hardcore tersebut bentuk perjuangannya untuk bertahan hidup karena kondisi lingkungan yang keras. Sedangkan di Jakarta Selatan, sebut saja daerah Pondok Indah daerah itu merupakan kawasan elit maka tidak mungkin apa yang diperjuangkan sama dengan komunitas di Priuk. Perjuangan mereka kearah hidup positif misal dalam perlawanan terhadap pemerintahan. Rata-rata komunitas hardcore di Jakarta Selatan berasal dari kalangan menengah ke atas, berbeda kondisi dengan komunitas hardcore yang berada di Priuk. Perbedaan kondisi ini yang membuat perjuangan dalam tiap komunitas berbeda. Perbedaan era hardcore yang seperti sekarang ini sama seperti saat musik underground masuk ke Indonesia . Penerimaan music tersebut oleh sebagian komunitas dianggap bahwa musik tersebut berbeda dengan musik-musik lain yang sudah biasa didengar, keras, dan memberi semangat.

Style atau gaya berbusana dalam musik hardcore berbeda dengan aliran lainnya. Hardcore cenderung apa yang digunakan lebih ke gaya hidup, secara subjektif hardcore tidak mempunyai ciri khusus. Tidak seperti misal punk yang mempunyai ciri pada rambut, atau celana ketat. Tren berpakaian hardcore di kalangan anak SMA dengan kaos kedodoran itu hanya sebuah fashion. Hardcore sendiri tidak bisa dilihat dari sisi fashion-nya. “Hak mereka bila memakai pakaian seperti itu,” kata Budi. Hardcore berawal dari musikalitas yang masih awam tentang dunia hardcore itu sendiri yang lama-kelamaan akan tau tentang apa itu Hardcore. Budi menjelaskan bahwa hardcore itu berbeda dengan aliran musik lainnya karena musik hardcore adalah musik tentang perlawanan terhadap ketidakbenaran yang terjadi disekitarnya. Jadi individu maupun komunitas Hardcore dianggap berbeda dan minoritas karena mereka tidak mengikuti apa yang terjadi tetapi melawan arus. Budi berprinsip, “jangan hidup untuk hardcore, tetapi hardcore untuk hidup”. Artinya hardcore merupakan pilihan hidup tapi bukan berarti hidup kita segalanya untuk hardcore. Ada hal lain yang diperjuangkan, dengan hardcore kita memperjuangkannya.

************************************

Realitas Semu dan Preferensi Sosial 
(Wawancara dengan Argyo, dosen sosiologi Universitas Sebelas Maret)

Suara musik menghentak yang didominasi dengan suara gitar dan gebukan drum. Vokal yang memekakkan telinga turut juga mendominasi. Di tengah ‘lantunan’ lirik tersebut puluhan anak muda dengan gaya dan dandanan yang hampir senada tengah menikmati pertunjukan ini. Remaja yang berusia tidak lebih dari 20 tahun mendominasi pertunjukkan pada malam itu. Mereka adalah kelompok penggemar musik dengan aliran yang keras semacam ini, alias hardcore. Mungkin bagi kebanyakan orang, apa yang disajikan tidak dapat dengan mudah dinikmati. Akan tetapi untuk mereka musik semacam ini bagaikan “nafas” dalam kehidupan mereka.

Musik hardcore, sebuah aliran musik yang tidak bisa dibilang baru ini tengah mencuri perhatian remaja zaman sekarang. Terkhusus remaja putra usia SMA menganggap musik hardcore adalah bagian dari diri mereka. Namun sebenarnya mengertikah mereka akan filosofi dari aliran musik ini? Atau sekadar mengikuti trend saja yang tengah mereka lakukan saat ini.

Fenomena ini ditanggapi oleh Argyo, pengamat sosiologi kebudayaan asal UNS sebagai salah satu hasil dari berkembangnya budaya pop. Ditemui usai mengajar pada Sabtu (15/6), Argyo memaparkan pemikirannya mengenai fenomena trend musik hardcore ini.

Awal Mula Munculnya Fenomena


“Fenomena ini terjadi tentunya berkaitan pula dengan keberadaan budaya massa atau popular culture, “ ungkap Argyo ramah. “Ditambah lagi dengan persebaran budaya pop yang begitu mudah di era IT semacam ini. Dengan memanfaatkan teknologi yang ada, anak muda cenderung lebih mudah untuk bersinggungan dan menyerap bentuk budaya baru.”

Budaya pop, dalam hal ini adalah musik hardcore dilihat sebagai sebuah komoditas dengan pangsa pasar yang sudah jelas. Mereka sudah mempunyai consumer society sendiri yaitu golongan anak – anak muda. Kesempatan semacam ini kemudian dimanfaatkan oleh para pelaku industri untuk mengeruk keuntungan. “Berbeda dengan jenis high culture seperti pertunjukan opera dan wayang yang berorientasi pada kepuasan batin, perasaan dan emosi. Popular culture berorientasi pada keuntungan.”

Berangkat dari kesempatan semacam ini, proses eksternalisasi pun dilakukan oleh para pelaku. Mulai dari musisi sampai produser untuk mendapatkan keuntungan. Tidak berhenti sampai di situ proses ini terus berlanjut menuju apa yang disebut sebagai konsep subyektifikasi dan obyektifikasi. Kedua konsep ini merupakan gagasan dari sosiolog kondang, Peter L. Berger. “Simpelnya subyetifikasi adalah masa ketika anak muda mulai memiliki ketertarikan pada jenis musik tersebut. Merasa kok saya cocok ya dengan jenis musik ini. Saya senang. Sementara obyektifikasi ketika individu – individu ini berkumpul lalu kemudian saling berbagi kesenangan ini,” jelas Argyo lebih lanjut.

Setelah eksternalisasi, subyektifikasi dan obyektifikasi, tahapan selanjutnya yang dilalui adalah masa internalisasi. Ketika masyarakat mulai mengamini musik hardcore sebagai salah satu bagian dari mereka, bagian dari budaya dan sebagai seorang sosiolog, Argyo menilai apa yang tengah terjadi dan melanda anak muda zaman sekarang berkaitan dengan musik hardcore adalah sebagai sebuah “Realitas Semu”. Mengapa realitas semu?

Mengutip pernyataan seorang sosiolog terkemuka asal Perancis, Jane Baudrillard, realitas semu adalah sebuah kondisi atau keadaan yang tidak akan bisa bertahan lama. Ada masa dan titik jenuh tertentu yang akan muncul. Semuanya tergantung kepada kemampuan budaya itu sendiri apakah ia mampu bertahan di tengah masyarakat agar tidak hilang dalam gerusan waktu.

Konsep itu berlaku untuk hampir setiap jenis dari budaya pop, termasuk musik hardcore pula. Argyo menilai musik hardcore pada satu titik pasti akan mengalami saat kemunduran yang memang tidak akan bisa dihindarkan. Kemampuannya untuk mempertahankan diri dan kembali eksis kemudian akan sangat diuji. Apabila musik hardcore ini mampu melembagakan dan membudayakan pemikiran dan budaya mereka kepada generasi berikutnya, niscaya jenis musik ini akan tetap eksis sepanjang masa.

Dapat dinilai apabila diterapkan dalam kondisi sekarang ini, proses dari para musisi dan produsen musik hardcore untuk melembagakan jenis musik mereka telah cukup berhasil. Dimana sekarang mulai banyak anak remaja usia SMA yang menaruh minat dan perhatian mereka terhadap musik hardcore. Namun sejatinya pengertian dan pemahaman mereka mengenai musik hardcore cenderung sangat minim.

“Preferensi sosial”, ujarnya ketika saya mencoba mencari tahu alasan munculnya fenomena yang tengah menjadi pembahasan ini kepadanya. “ Semua fenomena ini didasari oleh satu alasan yakni preferensi sosial.”

Preferensi sosial sendiri dijelaskan sebagai sebuah hal yang wajar dalam sosiologi. Ini adalah masa dimana seseorang yang telah memiliki atau menikmati sebuah pengalaman tertentu kemudian menceritakan apa yang mereka dapat. Membagikan apa yang telah mereka alami kepada orang lain yang ada di sekitar mereka. Kebanyakan anak remaja SMA zaman sekarang yang baru saja menggemari jenis musik seperti ini mengetahui hardcore dari lingkungan pergaulan mereka. Sehingga pengaruh “ikut – ikut teman” sangatlah kental disini.

Walaupun pada kenyataannya tidak menutup juga kemungkinan mereka menyukai musik hardcore karena memang merasa musik itu sesuai dengan jiwa dan mewakili karakter serta perasaan meraka. “Memang ada pengaruh preferensi sosial dalam sebuah trend. Akan tetapi semuanya tetap kembali kepada individu yang bersangkutan. Apakah mereka menerima atau menolak kebudayaan yang baru ini, “ tuturnya “Sehingga unsur selera dan taste masih tetap menjadi yang utama.”

Beda Region Beda Budaya

Musik hardcore sendiri setelah ditelusuri perkembangannya, diketahui pertama kali muncul dari negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Kemudian setelah berkembang selama beberapa waktu aliran musik ini mulai diperkenalkan dan masuk ke Indonesia. Secara kasat mata, nampak beberapa perbedaan dari budaya pecinta musik hardcore dari negara asalnya dengan yang dari Indonesia.

“Sebuah budaya selalu memiliki apa yang disebut sebagai tanda penanda. Sebuah ciri khas yang memberikan identitas kepada budaya tersebut. Membedakannya dengan budaya yang lain.”, ungkapnya. “Seperti musik punk, reggae dan rock. Aliran musik hardcore pastilah memiliki bentuk tanda penanda mereka sendiri yang berbeda dan unik.

Perihal tanda penanda ini, telah terjadi beberapa proses filterisasi budaya yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Sehingga meskipun sejatinya hardcore berasal dari Amerika, namun tanda penandanya telah disesuaikan dengan keadaan masyarakat setempat. Proses penyaringan inilah yang memang sekarang tercermin kepada keberadaan musik hardcore yang berkembang di Indonesia, dimana memiliki sedikit perbedaan dengan versi aslinya.

Menutup wawancara, Argyo berpesan terutama kepada anak muda penggemar musik hardcore agar kecintaan mereka kepada musik hardcore tidak membawa mereka kepada hal yang kurang baik. “Menikmati musiknya tentu sah – sah saja. Akan tetapi perlu diingat kita juga harus menjaga norma. Jangan sampai kecintaan kalian kemudian menjurus kepada narkoba, alkohol dan parahnya tawuran alias kekerasan,” tegasnya, “Dengan memakai tanda penanda sebagai pecinta hardcore anda akan dapat memunculkan stigma di masyarakat. Jangan sampai karena kelakuan buruk satu atau dua individu membuat masyarakat melakukan generalisasi kepada seluruh penggemar hardcore.

1 komentar:

  1. makasih banyak artikelnya kang, akhirnya dapet pelurusan pemahaman tentang hardcore :D

    BalasHapus