Selasa, 13 Agustus 2013

Hikayat Tentang Jerat Pulpen Narkoba dan Kepang Trujilo

Metal yo metal, tur yen udan ngeyup
Saya tidak besar dalam keluarga yang dekat dengan hingar bingar musik keras. Ayah saya lebih sering mewariskan kenang-kenangan masa mudanya kepada saya, dalam bentuk setumpuk pakaian sepakbola dengan beragam nama dan nomor punggung. Boro-boro saya bisa menemukan setumpuk piringan hitam dan kaset tape langka sebagaimana peninggalan mantan-anak-metal-keren pada umumnya, tidak menemukan kaset dengan sampul bergambar Panbers, D’Loyd, atau The Mercy’s saja saya sudah bersyukur. Ayah saya tidak terlalu akrab dengan musik-musik kencang seperti itu. Mungkin, ia punya standar keren tersendiri, yang bahkan sampai 21 tahun saya hidup, saya belum menemukan letak kerennya di mana. Apalagi ibu saya. Ibu waktu itu belum mengenal tren berpacaran dengan anak band metal —atau minimal dengan pecinta musik metal seperti anak jaman sekarang. Tapi kalau merujuk dari setiap makanan yang Ibu masak, nampaknya saya paham satu hal: buat ibu saya waktu itu, kursus memasak masih terdengar jauh lebih menarik dibanding sibuk mencari akses masuk backstage bersama pacar yang juga anggota band metal.

Beranjak remaja, saya juga masih jauh dari hingar bingar musik keras —atau paling tidak musik keren. Saat duduk di bangku SD – SMP, percayalah bahwa saya belum pernah mengkonsumsi ganja atau obat-obatan terlarang. Kinerja otak saya waktu itu masih berjalan dengan baik dan benar; jadi menurut logika, seharusnya saya juga ‘berjalan’ ke arah yang benar ketika memilih selera musik.

Tapi nampaknya, kebiasaan saya untuk menggunakan pulpen narkoba sewaktu SD membawa dampak yang begitu buruk bagi kejiwaan saya. Walhasil, saya lebih memilih untuk menghapalkan lirik-lirik nan menyayat hati seperti: “Now I can see that we're falling apart from the way that it used to be, yeah no matter the distance I want you to know that deep down inside of me“ milik Backstreet Boys di single "I Want It That Way", dibanding harus (belajar) membiasakan diri mendengarkan lirik lugas nan jahat, seperti yang dilakukan Metallica saat menggarap ulang nomor lawas milik Misfits, “Die Die My Darling”. Saya waktu itu belum paham, lirik “I'll be seeing you again I'll be seeing you in hell” adalah salah satu ungkapan paling romantis yang pernah dilantunkan Danzig kepada seorang wanita, dan diinterpretasikan dengan baik oleh James Hetfield.

Titik terang itu datang ketika saya mulai beranjak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Waktu itu, saya mulai berlangganan sebuah majalah musik bulanan. Sebetulnya bukan karena saya termasuk ‘anak musik banget’, tapi karena majalah itu memuat kunci-kunci gitar dari lagu hits Indonesia pada masanya. Saya yang waktu itu butuh sarana pembantu untuk terlihat keren di mata wanita dengan cara menyanyikan lagu cinta dengan petikan gitar, tentu tidak ingin ketinggalan. Sampai akhirnya, di salah satu edisi, majalah itu memberikan bonus poster band yang sering saya dengar namanya, tapi tidak pernah saya dengar lagunya: Metallica.

Poster itu menarik perhatian saya. Saya yang terbiasa untuk langsung menaruh poster hadiah majalah di sudut rak buku —di antaranya bahkan sampai berdebu, kali ini terdiam sesaat. Di poster itu, saya melihat tiga pria paruh baya berpose dengan gagah dan gahar, bersama satu pria yang nampak seperti pemeran lelaki hidung belang di sebuah situs porno kategori Amerika Latin. Saya berkata, “Anjing, ini kan yang biasa gue lihat kalo lagi download bokep di warnet.”

Belum selesai saya terheran dengan pose pria yang belakangan saya kenal dengan nama Robert Trujilo ini, saya kemudian dibuatnya tertawa saat melihat potongan rambut kepangnya. Kali ini, saya mengumpat dengan kata yang sama, namun dengan volume yang lebih kencang dan durasi yang lebih lama, “ANJEEEEEEEEEENG, APAAN NIH."

Ini perkenalan pertama saya dengan Metallica. Tidak meninggalkan kesan yang bagus bagi saya memang, tapi mereka berhasil membuat saya berpikir, “Dengan salah satu personel bertampang caur gini, lagu mereka kira-kira seperti apa ya?” Dampak pulpen narkoba yang ada di otak saya, nampaknya mulai sedikit berkurang. Jalan pikiran saya akan musik bagus, nampaknya kembali dibuka.

Untuk mengobati rasa penasaran saya, saya akhirnya memutuskan untuk mencari beberapa video yang berkaitan dengan Metallica. Setelah melakukan beberapa pencarian, akhirnya saya bertemu dengan teman satu angkatan yang mengaku punya beberapa video Metallica. Berbekal flashdisk dengan kapasitas 512 MB, saya berangkat ke kediamannya.

Sesampainya di sana saya bukan disuguhi video Metallica, tapi video beberapa band yang melakukan Tribute to Metallica untuk acara di sebuah saluran televisi musik. Di video itu, ada beberapa nama besar yang sudah saya kenal sebelumnya: mulai dari Avril Lavigne, Sum-41, Korn, dan Limp Bizkit.

Saya ingat betul, raut muka Avril Lavigne membawakan lagu “Fuel”. Di bagian “give me fuel, give me fire, give me that which I desire” yang seharusnya dibawakan Avril dengan sekuat tenaga, justru dibawakan dengan penampilan yang lemah, letih, loyo, lesu, dan letoy. Ia nampak seperti penyanyi yang hanya makan sereal dan tidak pernah mengkonsumsi daging segar sepanjang hidupnya. Saya yang bukan kritikus musik saja tahu, bahwa penampilan Avril di video itu jelek sekali. Sampai akhirnya bagian penampilan Limp Bizkit tiba, dan mereka menggarap ulang lagu “Welcome Home (Sanitarium)”. Percaya tidak percaya, saya langsung suka dengan penampilan mereka di acara ini karena alasan sepele: karena titik fret yang ada di bass milik Sam Rivers bisa menyala, dan saya menganggap itu sebagai hal yang keren. Apalagi saat teman saya —yang nampaknya bisa menangkap antusiasme saya menyaksikan Limp Bizkit mengatakan “Ada lagi nih, video mantan gitarisnya, Wes Borland, waktu solo ngebawain lagu Metallica.” Saya lagi-lagi terkagum.

Bagaimana tidak, ada seorang pria yang terlihat seperti baru saja pulang dari keikutsertaan parade kostum di Rio de Janeiro, tampil di panggung membawakan lagu “Master of Puppets” seorang diri, dan hanya diiringi tabuhan drum saja? Saya yang sebetulnya ingin tahu banyak tentang Metallica, justru makin jatuh cinta kepada Limp Bizkit. Belakangan, hal ini saya pikirkan betul. Saya takut tidak bisa menjawab, ketika dimintai pertanggungjawaban atas tindakan saya ini (baca: mencintai Limp Bizkit) di akhirat nanti. Mungkin saya akan berkata, “Ini karena ajaran sesat teman saya. Sungguh.”

Setelah saya mengetahui kalau ternyata Motorhead juga pernah melakukan hal serupa, dengan menggarap ulang lagu “Enter Sandman”, kemudian saya berpikir, “Kenapa bukan mereka saja yang diundang untuk memainkan lagu Metallica? Mereka tentu jauh lebih paham, tentang definisi ‘memainkan musik dengan baik dan benar’ dibandingkan band-band di atas.” Yah sekalipun tidak ada perubahan aransemen yang begitu berbeda dibandingkan versi aslinya —kecuali vokal Lemmy yang terdengar lebih ‘jahat’ dan berat, tapi bukankah vokalis mereka Ian Fraser "Lemmy" Kilmister? Salah satu dari dua hal —selain arah belok dan timing berhenti angkutan dalam kota, di dunia ini yang tidak bisa disalahkan? He’s fucking Lemmy. Just deal with it.

Pencarian saya tidak berhenti sampai di situ saja. Selang beberapa hari setelah saya pergi ke rumah teman, saya masih penasaran dengan bagaimana penampilan Trujilo yang sesungguhnya. Berbekal beberapa lembar uang ribuan, saya bergegas pergi ke toko vcd original, tapi karena mahal dan waktu itu belum punya uang akhirnya pergi ke toko bajakan terdekat. Setelah sampai, saya langsung menanyakan kepada si penjaga lapak, “Mas ada vcd Metallica?” tanpa memberi isyarat untuk menyatakan iya atau tidak, ia langsung menggeledah beberapa tumpukan vcd yang ada di deretan rock, bersebelahan mesra dengan deretan VCD “Evergreen Songs” jilid satu sampai sepuluh.

“Ini mas?” sembari menunjukkan vcd dengan sampul bertuliskan “Metallica Live in Action”. Dan saya pun mengiyakan.


************************************

Sampai di rumah, tanpa ba-bi-bu saya langsung memutar kaset vcd yang baru saja saya beli. Saya disambut dengan single “Enter Sandman”. Tapi nampaknya formasi yang saya lihat waktu itu agak sedikit berbeda dengan bonus poster dari majalah yang saya beli. Benar saja, posisi penggebuk drum di video itu diisi oleh Joey Jordinson, drummer Slipknot. Lampu masih terlihat remang-remang, saat intro-nya yang terkenal itu mulai dimainkan, dan 1….2…..3! bagian bass dan drum masuk, lampu seketika dihidupkan. Untuk pertama kalinya, saya menyaksikan Trujilo! Dengan jersey basket dan trucker yang dikenakan terbalik, dia nampak gagah. Setelan strap bass-nya juga terlihat unik, karena terlihat dibiarkan memanjang hingga posisi bass-nya mendekati lutut. Apalagi melihat tingkahnya yang unik saat Hetfield berteriak, “Take my hand!” Adik saya yang menonton bersama saya waktu itu bahkan berkelakar, bahwa Trujilo terlihat seperti gorilla. Saya tersenyum.

Semenjak itu, saya benar-benar memiliki ketertarikan kepada Metallica. Pengaruh pulpen narkoba yang selama ini menjerat saya, nampaknya sudah mulai benar-benar hilang. Saya yang pernah ikut kursus gitar privat, bahkan minta diajarkan intro “Enter Sandman” dan “Seek and Destroy”, setiap kali selesai sesi latihan. Butuh waktu lama untuk saya bisa memainkan intro itu dengan baik dan benar. Padahal adik saya yang sama-sama ikut les privat, sudah bisa memainkan melodi epik milik Slash di “November Rain” sambil merem melek. “Kurang ajar, saya dilangkahi adik saya sendiri,” guman saya. Akhirnya saya sadar (diri), bahwa kemampuan bermain gitar saya hanya terlihat bagus ketika memainkan lagu dengan pola tiga-kunci. Dorongan semangat “Ayo, Kirk Hammett juga bahkan lebih bodoh dari kamu sebelum akhirnya belajar gitar ke Joe Satriani. Masa kamu ga bisa,” dari guru saya pun tidak membuat motivasi saya bertambah. Mungkin, akan jauh lebih baik apabila saya hanya mendengar lagunya saja, tanpa berusaha memainkannya.

Dari waktu ke waktu, kecintaan saya makin bertambah. Dari sekedar mendengarkan lagu, beranjak ke keinginan untuk mengoleksi merchandise bertemakan Metallica. Pernah saya berjumpa dengan pedagang jus di depan sekolah, yang mengenakan kaos dengan desain album Kill ‘Em All. Saya sempat berpikir untuk menawar kaos itu, berapapun harga yang dia minta, tapi kemudian saya mengurungkan niat, karena ukuran kaos yang ia kenakan mungkin akan nampak seperti bencana visual kalau saya pakai. Ukurannya terlalu kecil. Beberapa waktu kemudian, saya bersyukur tidak melangsungkan niat saya untuk membeli kaos yang dipakai penjual jus itu, karena saat saya pergi ke sekaten (pasar malam tahunan), saya melihat kaos dengan desain serupa dijual dengan harga tidak sampai Rp. 50.000. Dipajang bersama kaos bergambar Bob Marley, logo The Rolling Stones, dan logo The Ramones. Belakangan, kaos seperti ini banyak digunakan oleh pengamen atau penonton yang kekeuh untuk mengenakan helm saat konser musik berlangsung. Masih belum jelas, apa motivasinya. Kalau naik motor helmnya malah dilepas, tapi kalau datang konser helmnya malah dipakai. Orang yang apa-apaan.

************************************

Saya memang telat mengenal Metallica. Saya tumbuh besar di lingkungan dan scene musik yang tidak membuat saya mendapatkan porsi lebih untuk bisa mengenal Metallica. Namun sejak awal perkenalan saya dengan band ini, secara bertahap saya berinisiatif untuk menggali sesuatu yang ada di band ini dengan lebih dalam. Mulai dari bangku kelas dua atau tiga SMP, saya bergegas melahap album-album Metallica yang sudah ada bahkan jauh sebelum saya lahir. Mungkin, ini seperti membayar kesalahan ayah saya karena telat meminang ibu, sehingga saya juga lahir lebih telat dari masa-masa keemasan Metallica. Meskipun ada kalanya saya sedikit kecewa, seperti apa yang saya alami saat Metallica merilis Death Magnetic. Siapa yang tidak kecewa, saat mendengar intro “The Day That Never Comes” yang lebih mirip dengan intro band dangdut koplo Pantura, saat akan membuka hajatan milik anak petinggi desa. Barangkali jika Mella Barbie masuk untuk mengucapkan “Yang tahu lagunya nyanyi bareng-bareng yaaaa,” saat part gitar Kirk Hammett dan James Hetfield saling bersahut-sahutan, masih akan terdengar pantas.

Tapi bagaimanapun juga, Metallica tetaplah Metallica. Bukan tanpa alasan, mereka dipanggil band rock terbesar di dunia. Saat menulis artikel ini, saya membayangkan akan menunduk, sembari menggandeng penonton di sebelah saya dan mengajak mereka mengangguk-angguk maju mundur, saat mereka memainkan “Sad But True”. Ah, bahkan membayangkannya saja saya sudah merinding.

Mungkin tidak seluruh aspek di kehidupan saya dipengaruhi oleh Metallica, namun percayalah, apabila setiap kali ditanya “Ini bill­-nya, Bapak. Kami juga menerima pembayaran menggunakan kartu kredit, Anda ingin menggunakan yang mana? Visa atau Master?”

Maka saya akan dengan lantang menjawab:

‘MASTER! MASTER! MASTER!”

2 komentar:

  1. hillarious!!!!!


    endingnya gak kuat bro....

    :D


    berarti waktu Metallica ke GBK,

    mungkin saya dan sampeyan ada di moshpit yang sama?

    :)

    \m/


    BalasHapus
  2. HuahahahahahhahahHhahahahhHhHhhHhahahahhahaaaa ... Fuck up this artikel . Hahaha

    BalasHapus