Senin, 04 Juni 2018

Yang Tersisa dari Jejak Kaki Bale, Maradona, dan Stoichkov


Seminggu silam, final Champions League digelar di Kiev. Madrid masih kelewat digdaya dengan meneruskan dominasi di Benua Biru untuk kali ketiga secara beruntun, sementara Liverpool kembali ke Anfield dengan kepala—yang dipaksa—tegak dan beberapa penyesalan yang akan terus mengusik dalam kurun waktu yang tak sebentar. Malam itu, Gareth Bale mencuri perhatian dunia. Dua gol ia borong meski masuk sebagai pemain pengganti; satu lewat sepakan akrobatik, satu lagi lewat sepakan kencang yang ‘dibantu’ muntahan salah arah dari Loris Karius. Dalam kurun 20 menit, Bale merampungkan mimpi The Reds untuk angkat trofi kuping besar mereka yang keenam. Mungkin musim depan akan menjadi milik mereka, tapi musim ini, biarkan dulu Los Merengues berpesta di Olympic Stadium dengan Gareth Bale sebagai dirigen utamanya.

Yang dilakukan Bale dengan kaki kirinya, kemudian membuat saya harus berdiskusi dengan partner menonton saya malam itu: ayah. Menurutnya, Karius memang melakukan blunder pada proses terjadinya gol ketiga Madrid, tapi sepakan luar biasa kencang dari Bale membuat bola bersarang jadi lebih mudah.

“Kirinya Bale ini memang gila,” ujar Ayah. “Orang taunya dia mahal, larinya kenceng, tapi pada lupa kalau kaki kirinya ini bahaya. Dari jarak segitu lho, coba dilihat lagi.”

Saya terdiam sesaat setelah mendengar pernyataan itu. Ada benarnya juga, pikir saya. Mungkin jika tidak ‘diingatkan’ ayah, saya masih berpikir bahwa yang menjadi daya tarik utama Bale hanya soal akselerasi dan transformasi fisiknya setiba di Madrid. Seakan-akan abai dengan rentetan tembakan knuckleball yang berulangkali dilakukan Bale sejak merumput di St. Mary's. Teknik menendang yang mencomot istilah dari baseball itu memang unik; bola yang dilepas dengan teknik knuckleball akan mereduksi intensitas berputar bola sesaat setelah ditendang, kemudian menghasilkan gerakan tak beraturan yang kerap mengecoh lawan.

Robert Adair, seorang profesor fisika dari Yale University pernah berujar bahwa menghentikan laju bola hasil teknik knuckleball adalah hal yang hampir mustahil karena manusia memiliki keterbatasan fisik untuk menghasilkan waktu bereaksi. Di kompetisi baseball, bahkan ada anekdot macam ini terkait trik terbaik untuk menghentikan teknik knuckleball: “the way to catch a knuckleball is to wait until it stops rolling and pick it up.” Tapi Karius menolak untuk tunduk pada hukum fisika, dan melakukan tindakan penyelamatan yang sejatinya tidak menyelamatkan apapun—termasuk bola, karir, dan nama baiknya sebagai kiper profesional.

Setelah gol kedua Bale, ingatan saya mengawang pada mimpi di masa kecil: bisa menendang bola dengan kaki kiri. Dan ayah, adalah orang pertama yang paling memacu saya untuk bisa melakukan hal tersebut.

“Papah tuh bisa nendang pakai kaki kiri kan ya?” tanya saya setelah diskusi kecil soal gol kedua Bale.

“Bisa, malah lebih sering pakai kaki kiri waktu masih main. Kerasanya pas sudah tua sekarang, lebih sering sakit di kaki kiri kalau dipakai aktivitas.”

Ayah tidak kidal, ia melakukan semua aktivitas utamanya dengan tangan-kaki kanan. Hanya saja ketika bermain bola, kaki kirinya selalu lebih hidup. Saya belum pernah menyaksikan ayah bermain bola saat masih aktif bermain di level amatir, tapi saya beberapa kali setim dengan ayah saat main sepakbola di lapangan dekat rumah. Bahkan, ia sempat melatih saya dan kawan-kawan kampung saat membentuk kesebelasan untuk kompetisi sepakbola antar remaja masjid. Seingat saya, dulu ada satu sesi di mana saya dan kawan-kawan dipersilakan untuk mencoba menendang dengan kaki terlemah. Beberapa kawan yang lebih tua dari saya bisa menendang dengan cukup terarah meski tak bertenaga, sedangkan saya, terarah tidak-kencang apalagi. Bahkan lebih mirip Ishizaki yang pernah terpeleset ketika mencoba melakukan drive shot di serial Tsubasa; terlihat konyol bin memalukan.

Ketika ayah memberi contoh tiga kali menendang bola dengan kaki kiri, seketika itu saya dan kawan-kawan sepakat untuk tidak mencoba menyundul atau menghalau laju bola saat tidak setim dengan ayah di laga eksebisi, andai masih sayang organ tubuh masing-masing.

Tidak cukup sekali-dua kali saya mengeluh tidak bisa menendang dengan kaki kiri, sampai akhirnya ayah bilang bahwa sebelum konsisten mencoba melatih menendang dengan kaki kiri, tentukan dulu ‘mazhab kiri’ mana yang ingin saya pakai: mazhab Maradona atau Stoichkov. 

Mazhab Maradona untuk ‘genre’ sepakan kaki kiri yang tak melulu bertenaga tapi menghasilkan akurasi tembakan yang sulit dijangkau lawan, sedangkan mazhab Stoichkov merujuk pada sepakan kencang yang akurasinya tak terlalu sempurna, tapi selalu merepotkan kiper karena laju kecepatan ekstrem yang juga sama sulitnya untuk dibendung. Saya bingung, wong bisa saja belum sudah disuruh menentukan ingin meniru siapa. Meskipun dalam hati kecil, saya ingin menjawab, “ya minimal bisa kaya papah,” tapi belum pernah terucap.

Bertahun-tahun kemudian, saya baru memahami ucapan itu. Lewat kompilasi video yang dengan mudah diakses di YouTube, saya jadi paham kenapa dua orang itu selalu disebut-sebut ketika disinggung soal acuan pesepakbola kaki kiri terbaik versi ayah. Maradona adalah Maradona, sedangkan Stoichkov adalah seorang gunslinger yang menjadi bagian integral dari dream team Blaugrana saat dipoles Cruyff. Dua sosok yang pantas masuk altar pemujaan sekte kiri bersama Inessa Armand, Guy Debord, dan tentu saja Tan Malaka.

Andai disuruh memilih saat ini, tentu saja memilih mazhab Stoichkov. Maradona adalah kesempurnaan yang muskil dijangkau pria normal tanpa talenta ilahiah, sedangkan Stoichkov memiliki aspek-aspek normal yang jauh lebih masuk akal untuk diduplikasi. El Pistelero adalah kepingan puzzle terakhir yang melengkapi ‘orang-orang sopan’ dalam komposisi dream team Cruyff. Agresivitas dan sikap oportunistisnya sebagai seorang jugador, membuat skuat Barcelona yang memang didesain ofensif jadi jauh lebih sempurna.

“Ada pemain yang lebih memilih untuk menunggu momen, atau menantikan peluang untuk mengkreasi gerakan indah ketika mengolah bola, Stoichkov adalah orang yang menciptakan momen, menjemput bola, dan langsung menembaknya ketika mendapat peluang,” ujar Cruyff ketika disinggung soal karakter pemain asal Bulgaria itu. Dalam skema ofensif khas Barca yang kerap memasang garis pertahanan tinggi untuk secepat-cepatnya mencuri penguasaan bola dan mengusik daerah berbahaya lawan, Stoichkov adalah karakter kunci dalam racikan taktik El Flaco. Dan tentu saja, kaki kiri pemain kelahiran Plovdiv itu yang kemudian menyelesaikan tugas-tugasnya; baik dari dalam kotak penalti, atau dari luar kotak penalti.

Saya cukup kenyang menyaksikan cuplikan gol Stoichkov, tapi tentu saja tidak mengubah apapun yang berkaitan dengan kemampuan saya untuk menendang bola dengan kaki kiri. Di sepanjang karir pada laga eksebisi di kampung dan atlet bola pocokan-non-amatir-namun-banyak-gaya, seingat saya, saya tak lebih dari 3 atau 4 kali mencetak gol dengan kaki kiri. Separuh tak sengaja tersenggol, sisanya mungkin sengaja dipersilakan kiper untuk masuk gawang sebagai bentuk apresiasi. Maka, di sepertiga malam pada bulan penuh berkah ini, izinkan saya memanjat doa sederhana yang menjadi ambisi sejak masih piyik: 

Duh Gusti, aku ingin bisa menendang bola dengan kaki kiri.