Rabu, 26 September 2018

Benarkah Kita Sedang Mencintai Sepak Bola?




Saya selalu percaya bahwa sepak bola bisa memantik banyak romansa dalam kehidupan. Tidak hanya berlaku untuk mereka yang mengenali sepak bola secara kafah, tapi juga untuk mereka yang setengah-setengah atau sekadar paham saja dalam mengenali si kulit bundar. Tak peduli bagi mereka yang memekik dukungan di Curva Sud San Siro, atau pinggir tanah lapang berdebu dari sudut desa Polokarto, sepak bola selalu punya cara untuk menciptakan romansanya sendiri. Berbagai macam –itas dilahirkan di sana: loyalitas, rivalitas, solidaritas, identitas, humanitas, kolektivitas, maskunilitas, sportivitas, dan ‘mereka’ selalu beriringan mengikuti ke mana saja bola bergulir. Setelah 90 menit—juga kadang selepas azan magrib, beberapa dari –itas ini memudar, sebagian sisanya terlekat erat bahkan menempel pada hal-hal yang tak berkaitan langsung dengan sepak bola.

Minggu (23/9) lalu, sepak bola berlabuh pada sisi –itas yang salah; ia menjelma menjadi monster yang menyeret orang untuk melahap kebencian dan merawat kebiadaban. Pada sore yang terik di Gedebage, Bandung, Haringga Sirla meregang nyawa sebelum menyaksikan laga Persib versus Persija. Belakangan diketahui kalau pria 23 tahun itu terdaftar sebagai anggota The Jakmania, barisan suporter loyal milik Macan Kemayoran. Sejak mendengar berita itu, gol Bojan Mališić pada menit 94 tak lagi membuat saya berkesan. Sundulan bek asal Serbia yang meneruskan bola dari Victor Igbonefo itu sempat membuat saya berteriak ‘gol!’ karena terbawa antusiasme menit-menit akhir yang cukup menegangkan. Sebagai penonton yang tak menaruh dukungan pada siapapun yang sedang bertanding di Stadion Gelora Bandung Lautan Api hari itu, menyaksikan dua tim elit Indonesia bertarung habis-habisan dengan pertaruhan gengsi yang tak main-main adalah pengalaman yang mengesankan. Di dalam hati, saya sempat berseloroh “gini dong, derby gede ada geregetnya.” 

Tapi setelah membaca kabar meninggalnya Haringga lewat sosial media, antusiasme itu seketika ambyar. Gol itu tak lagi berkesan, riuh rendah bobotoh di GBLA tak lagi membuat saya merasa kagum, hari itu, ada nyawa yang dipaksa melayang karena sepakbola. Romansa itu hilang. Untuk barang sekejap, cinta hilang di bumi para dewa.

Tidak ada satupun nyawa yang sebanding dengan sepak bola. Ucapan ini kembali digaungkan di seantero linimasa, setidaknya sebanyak 17 kali—sebelum kasus Haringgga—terucap sejak 2017-2018; 17 kali kita mengutuk peristiwa kelam serupa, 17 kali tangis pecah di rumah para korban, 17 kali pula kita berharap ini jadi yang terakhir. Sayang takdir berkata lain, karena kepergian Haringga ‘membuat’ Indonesia kembali harus melontarkan rangkaian duka dan kegeraman serupa untuk kali ke-18. Tanpa perlu menunjuk, rasanya sungguh keterlaluan jika peristiwa ini tak membuat siapapun jadi berbenah dan mempertanyakan cara kita mencintai sepakbola. Yang tercucur dari suporter di dalam stadion seharusnya cukup keringat dan air mata saja, tak perlu sampai darah.

Saya tak ingin memperkeruh suasana, atau mengungkit luka lama yang bisa disalahartikan sebagai ‘amunisi’ balasan terkait rangkaian peristiwa serupa di masa lampau. Gaduh seperti itu hanya akan membuat banyak orang lupa kalau kita sedang berduka. Haringga dan 17 korban lain yang berjatuhan dalam setahun belakangan tidak mangkat untuk meninggalkan pertikaian baru bagi kita yang masih ada di sini, sebaliknya, justru harus ada perubahan mendasar terkait cara pandang semua orang tentang bagaimana memaknai sepak bola. Boleh jadi dalam fase berkabung seperti ini, tak ada yang lebih tepat dari mengoreksi diri sendiri sekaligus mendesak federasi terkait untuk menciptakan kebijakan yang memaksa semua unsur jadi berpikir ulang untuk memproduksi teror dan aksi tak bertanggung jawab di kemudian hari. Jika solusi kedua dirasa sulit—dan nampaknya demikian, maka sebaik-baiknya langkah perbaikan memang harus dimulai dari diri semua orang yang dengan memang menjatuhkan pilihan cintanya kepada sepak bola.

Sebagai orang yang hidup dari menulis dan sepak bola, harus diakui kalau atmosfer rivalitas yang rawan gesekan memang sering menempatkan saya dalam kondisi yang menguntungkan. Baik di level nasional atau internasional, saya merasa bahwa memercik kebencian pada satu kelompok memang lebih mudah untuk mendulang berbagai pencapaian semu dari perspektif profesi. Tapi ketika percikan itu membesar, saya ikut mengutuk. Seperti lupa kalau apa yang saya lakukan juga turut menyeret orang dalam lahapan kebencian yang kerap saya percik. Tak ada tuntutan untuk mengedukasi pecinta sepak bola tentang bahasan norma memang, tapi pasca insiden berulang seperti yang sudah-sudah, saya rasa hal sekecil apapun tetap memiliki andil dalam merawat kewarasan atmosfer sepak bola di negeri ini.

Ketika menulis ini, saya masih berada di kantor. Pulang paling larut dibanding rekan-rekan yang lain. Pikiran saya mengawang pada keluarga Haringga setelah membaca beberapa update berita tentang peristiwa terkait. Tak bisa saya membayangkan, ada rasa sesak yang begitu teramat dari dada sang ibu karena anak lelaki yang mencium tangannya untuk pamit pergi, pada akhirnya tak akan pernah pulang lagi. Pada satu kesempatan, Mirah—sang ibu—bahkan bercerita tentang detail peristiwa yang menawaskan anak lelakinya itu kepada pers, yang berarti ia sempat menyaksikan cuplikan video brutal yang entah sudah tersebar sampai ke mana itu. Sepak bola tak seharusnya jadi belanga kepiluan, sepak bola tak seharusnya membuat para ibu jadi risau menantikan kepulangan anaknya di rumah, sepakbola tak seharusnya membuat orang pulang tinggal nama.

Di satu titik, terkadang saya memikirkan kemungkinan-kemungkinan ekstrem yang terus mengusik tiap muncul insiden seperti ini. Berulangkali dihantam rangkaian gerbong kesedihan yang seperti tanpa usai, membuat saya bertanya: “apakah sebaiknya sepakbola dibubarkan saja?” Sudah alpa prestasi, terus menerus menelan korban pula. Mungkin, sepakbola memang bukan untuk kita. Barangkali, takdir kita memang hanya jadi penonton saja, tak perlu ikut-ikutan menciptakan industri yang pada akhirnya tak pernah dikelola secara becus. Namun pada saat bersamaan, saya mengingat kembali ucapan yang saya tulis di awal tulisan ini: sepak bola bisa memantik banyak romansa dalam kehidupan. Lalu, saya punya hak apa untuk melarang orang jatuh cinta? Apa yang sudah disatukan bola, tidak boleh diceraikan manusia.

Saya juga paham, rangkaian kata-kata bijak atau barisan kalimat indah tidak akan mengubah apapun andai tak disertai perubahan mendasar terkait mental suporter dan regulasi yang mengikat dalam sepak bola. Tapi mengutip ucapan Guillén Vicente yang termasyhur itu: kata adalah senjata. Apalagi, sepak bola kerap bicara soal olah rasa. Ada ikatan kuat yang kerap menyihir orang di dalamnya untuk rela melakukan apa saja. Lewat tulisan ini, saya hanya mengajak Anda semua untuk kembali meredefinisi makna cinta dalam sepak bola. Karena dari sekian banyak skenario kehilangan dalam hidup, kehilangan orang tercinta akibat cintanya pada sepak bola adalah pilihan terakhir bagi siapapun yang dengan bangga menepuk dada sebagai pecinta sepak bola.