Senin, 26 Agustus 2013

Konser Penuh Kutang Terbang (Tanpa Isinya)



"I wanna have a baby from all of you in Jakarta!" - Alex.

Live Review: A Rocket To The Moon & All Time Low 
23 Agustus 2013, Senayan Swimming Pool Area, Jakarta.
 

Konser penuh bra berterbangan yang diawali dengan aksi pembuka nan semenjana.

tulisan ini juga tayang di sini.

Mengundang lebih dari satu band atau musisi kenamaan dalam waktu bersamaan, bukanlah tren baru bagi para penyelenggara konser di negeri ini. Terlebih jika masing-masing dari mereka sudah memiliki barisan penggemar yang sudah cukup solid di tempat penyelenggaraan acara. Hal inilah yang dilakukan oleh Java Musikindo —selaku promotor, dengan menghadirkan dua band internasional sekaligus, A Rocket To The Moon dan All Time Low dalam satu kesempatan pada Jumat (23/8) lalu. Bertempat di Senayan Swimming Pool Area, Jakarta, konser yang dikonsep secara outdoor ini dihelat pada pukul 19.00.
Sedari awal, A Rocket To The Moon memang sudah mencanangkan Indonesia ke dalam farewell tour-nya, setelah mereka memutuskan untuk bubar pada medio 2013 lalu —tak lama setelah merilis album studio kedua mereka, Wild & Free. Namun sayang, penampilan mereka malam itu seakan meruntuhkan ekspektasi para pengunjung yang menginginkan performa apik, sebagaimana penampilan sebuah band yang sedang melakoni  farewell tour. Sekalipun ini bukan kali pertama mereka menyambangi Jakarta, A Rocket To The Moon seakan lupa, bahwa apa yang mereka tampilkan di akhir kesempatan seringkali menjadi cetak biru dalam kerangka apresiasi para penggemar.
A Rocket To The Moon membuka pertunjukan dengan “If Only They Knew”, sebuah nomor yang diambil dari mini-album Greetings From; album di mana mereka baru saja beralih dari sebuah band eksperimental dengan sentuhan bit-bit elektronik, menjadi sebuah band alternative dengan sedikit nafas punk dan sesekali sisipan elemen country. Nick Santino yang kemudian menyapa para penggemar setelah selesai membawakan lagu, berhasil membuat para remaja putri usia belasan memekikkan kata “NICK! NICK! I LOVE YOU!” dengan volume maksimal secara berulang-ulang.  Berurutan setelahnya, A Rocket To The Moon membawakan “Wild & Free”, “Give a Damn”, “Whole Lotta Love” dan “Baby Blue Eyes”. “Baby Blue Eyes” adalah lagu pertama yang paling banyak mengajak para penonton untuk sing along. Dibawakan dengan set akustik, nomor ini seakan menjadi panduan bagi bejubel pasangan remaja urban yang hadir, untuk kemudian saling menatap dan berbisik mesra, “Baby, baby blue eyes / stay with me by my side / til the mornin', through the night” satu sama lain. 
Tanpa banyak melakukan interaksi dengan penonton, kemudian mereka membawakan lagu hitnya seperti, “On A Lonely Night”, “On Your Side”, “Dakota” dan lagu andalan, “Like We Used To”. Nick Santino sempat mengungkapkan antusiasnya untuk kembali datang ke Jakarta, dengan berkata, “It’s feeling good to comeback. Yeah, it’s need a long time to comeback,” dan kemudian melakukan formalitas band internasional sebagaimana biasanya: menyapa para penggemar dengan bahasa lokal nan terbata-bata. Nick mengucapkan “Aku cinta Jakarta,” dan kemudian diikuti —sudah bisa diduga oleh teriakan histeris dari para penonton. Ada yang berteriak kencang, ada pula yang kemudian membentangkan sebuah kertas bertuliskan, “We love you, A Rocket To The Moon. Please follow me (@namaakunpribadi),” sebuah terobosan baru dalam jagad konser, selain merekam berbagai momen berharga di panggung dengan aneka ragam gadget berukuran besar. A Rocket To The Moon menutup konser dengan lagu “Mr. Right”, dan kemudian mengucapkan salam perpisahan kepada para penonton, karena ini akan menjadi konser terakhir mereka di Jakarta. Total mereka membawakan 14 lagu. Sebelum bubaran, terlihat mereka sempat mengabadikan beberapa moment dari atas panggung, untuk kemudian diunggah ke jejaring sosial milik personel masing-masing.
Sayang, skema haru dan romantis yang sudah dirancang sedemikian rupa ini harus terganjal oleh masalah tata suara dan visual. Beberapa kali, microphone yang digunakan oleh Nick Santino terdengar mati. Pun dengan visual yang hanya terkesan ‘seadanya’ saja. Tidak ada tata cahaya yang sedemikian rupa, atau juga persiapan tata panggung khusus. Hanya dengan lampu sorot beberapa warna, latar belakang kain hitam berukuran besar tanpa layar yang menampilkan visual di sebelah kanan dan kiri, panggung malam itu malah nampak seperti panggung pentas seni anak SMA atau panggung gelaran festival clothing penuh diskon. Barangkali jika tidak ada sorak sorai dan penampakan penonton yang mengenakan merchandise A Rocket To The Moon, tidak akan ada yang mengira kalau ini adalah panggung band internasional.
Penempatan A Rocket To The Moon juga terkesan membingungkan. Untuk kelas band pembuka, mereka membawakan terlalu banyak lagu dan diberi porsi waktu yang cukup lama. Namun jika ditempatkan sebagai sesama penampil —setingkat dengan All Time Low, mereka sama sekali jauh dari predikat itu. Nampak tidak ada efisiensi fasilitas yang ada di panggung, atau sedari awal itu semua memang hanya dipersiapkan untuk band selanjutnya, All Time Low. Yang jelas, untuk sebuah pertunjukan berlabel ‘farewell tour’, penampilan A Rocket To The Moon malam itu terlihat mengecewakan.
Setelah A Rocket To The Moon rampung melaksanakan tugasnya, panggung nampak gelap untuk sesaat. Samar-samar, terlihat ada beberapa kru yang nampak sedang mempersiapkan alat untuk All Time Low. Beberapa perombakan pun dilakukan, seperti pergantian set-drum, perubahan kabinet gitar, dan yang paling kentara adalah pemasangan sebuah kain hitam besar bertuliskan “All Time Low” sebagai latar panggung. Saat jeda ini berlangsung, terlihat beberapa penonton baik dari yellow zone maupun red zone merangsek keluar untuk sekedar membeli minuman atau makanan.
Ada salah satu kejadian menarik, saat di mana seorang teknisi di area front of house (foh) memutar sebuah nomor lawas milik Blink-182, “All The Small Things” sebagai musik latar. Sontak hal ini menimbulkan sing-along dari penonton yang masih berada di area konser. Maklum saja, Blink-182 yang didaulat sebagai pionir pop-punk, memang dikenal menjadi acuan utama beberapa band pop-punk generasi sekarang, tidak terkecuali All Time Low. Bahkan, sang drummer, Rian Dawson, memiliki tato bergambar logo Blink-182 di lengan kanannya. Di beberapa kesempatan, All Time Low sering membawakan lagu-lagu Blink-182, seperti “All The Small Things”, “Time to Break Up” dan ‘Dammit”. Tidak ketinggalan, saat menyambangi Jakarta pada 2010 silam, mereka membawakan “Dammit” berkolaborasi dengan jawara pop-punk lokal, Rocket Rockers. Beberapa orang bahkan menyebut mereka sebagai “Blink-182 of this generation.”
Saat lampu di area konser dimatikan, tiba-tiba All Time Low menghentak dengan lagu “Lost in Stereo”. Penonton yang tadinya terkesan pasif dan malu-malu untuk bergoyang di penampilan A Rocket To The Moon, berhasil dibujuk untuk ‘keluar sarang’ lewat single dari album Nothing Personal ini. Belum nampak hiasan bra yang biasanya terpasang di stand-mic milik sang gitaris, Jack Barakat, pada lagu pertama kali ini. Entah para penonton lupa membawa stok bra cadangan, atau memang mereka masih merasa belum cukup nyaman untuk melepasnya.
Tanpa panjang lebar, Alex Gaskarth (Vokal/Gitar), Jack Barakat (Gitar), Rian Dawson (Drum) dan Zack Merrick (Bass) langsung menimpali dengan salah satu hit mereka (masih) dari album Nothing Personal, “Damned If I Do Ya”. Sahut-sahutan part gitar antara Alex dan Jack dalam lagu ini, nampaknya berhasil membuat para penonton untuk melakukan ritual konser All Time Low sebagaimana biasanya: saling melempar bra ke panggung. Bukan pemandangan yang aneh, apabila kemudian kita melihat Alex mengarahkan mic ke penonton saat berteriak, “Damned if do ya..” namun tidak mendapat balasan “…damned if I do!” dari para penonton, melainkan malah mendapat balasan bra yang berterbangan ke arah panggung “. Dari lagu ke lagu, Alex berhasil memimpin koor para penonton; seperti pada nomor “Six Feet Under The Stars” ,“Stella”, dan “For Baltimore”. Termasuk saat Alex melakukan solo akustik dengan memainkan “Remembering Sunday”, di mana bagian vokal Juliet Simms dilafalkan dengan sempurna oleh para penonton.

All Time Low juga terlihat atraktif, dengan selalu mengajak penonton untuk melakukan interaksi. Mereka sempat mengajak penonton untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada salah satu teknisi gitar mereka, Danny. Toilet jokes yang membicarakan masalah seks dan hal-hal berbau porno khas band pop-punk juga sempat mereka lontarkan, bahkan mereka sempat mendapati bahwa mereka dilempari mainan berbentuk penis, kemudian berkelakar “Why you guys do this to me?”, dan kemudian disambut gelak tawa para penonton. Antusias penonton ini bahkan mendapatkan pujian dari Alex, “Kalian semua gila. Kami telah banyak melakukan pertunjukan, dan jarang sekali mendapatkan sambutan seperti ini. Kalian semua bahkan jauh terlihat bisa bersenang-senang, dibanding dengan para penonton di Amerika, Australia dan Eropa.”

Dari segi performa dan tata visual mereka juga terlihat lebih baik dibandingkan performa sebelumya. Bahkan untuk kesempurnaan tata suara, terlihat Alex sempat beberapa kali berganti gitar, mulai dari Custom Paul Reed Smith Mira sampai Gibson Les Paul, untuk menyesuaikan karakter suara di tiap-tiap album All Time Low. Mereka juga nampaknya paham betul dengan ketidakakraban para penggemar dengan lagu-lagu di album Dirty Work, dan berinisiatif hanya membawakan satu lagu dari album itu, “Timebomb”. Maklum saja, Dirty Work merupakan album yang dikritik karena meninggalkan karakter pop-punk yang selama ini mereka miliki. Peralihan label rekaman dari Hopeless Records ke Interscope Records, juga disinyalir sebagai salah satu penyebab utama album ini menjadi sebuah album yang flop.

Sebelumnya, pihak penyelenggara memberitahu bahwa akan ada perayaan kembang api dari venue lain, pada saat konser berlangsung. Dan tepat sebelum perayaan kembang api tersebut, All Time Low memutuskan untuk melakukan jeda. Seperti biasa, teriakan “We want more,” dari penonton juga terus berkumandang. Saat pesta kembang api belum sepenuhnya usai, All Time Low kembali berada di atas panggung. Seakan tidak peduli dengan keriuhan yang berasal dari ledakan kembang api tersebut, mereka langsung menggeber dengan lagu “Weightless”. Dan benar saja, sing-along dari penonton bahkan mampu menenggelamkan suara kembang api tersebut.

Sebelum menutup penampilannya, ia mempersilakan seorang penonton untuk maju. Seorang wanita pun dengan antusias langsung merangsek naik ke atas panggung, dan mendapat pelukan hangat dari Alex dan Jack. Alex sempat berkelakar, bahwa wanita yang naik ke atas panggung merupakan sosok yang pas untuk menjadi seorang bartender —yang akan meracik minuman untuk teknisi gitar yang sedang berulang tahun, Danny. Interaksi sang penonton dengan All Time Low, berakhir dengan kecupan dari Alex dan Jack yang mendarat tepat di keningnya. Hal ini sontak memancing emosi para wanita yang ada di deret penonton untuk mengumpat kepadanya, dan mencari tahu lewat jalan mana ia akan pulang.

Namun seolah tidak peduli dengan kecemburuan para penggemar wanitanya, All Time Low langsung memainkan nomor dari album So Wrong It’s Right, “Dear Maria Count Me In”. Dan lagi-lagi Alex berhasil memandu para penonton untuk bernyanyi bersama. Seperti biasa, setelah Alex dan Jack melakukan atraksi saling lempar gitar pada bagian interlude “Dear Maria Count Me In” di konser live mereka, mereka langsung mengarahkan microphone ke arah penonton untuk membalas seruan, “I got your picture…” dengan teriakan “Im coming with you”. Sebuah pemilihan lagu penutup yang pas, karena beberapa bagian di lagu ini yang memang membutuhkan sahut-sahutan dari banyak suara.

All Time Low membawakan total 16 lagu, dan menutup konser ini dengan sebuah pertunjukan epik sebagai ‘penebusan dosa’ atas kekurangan penampil sebelumnya. Andai saja tajuk konser ini adalah konser solo All Time Low, tentu penilaian para penonton akan keseluruhan acara ini akan lebih baik. Ini juga menjadi sebuah pembuktian menawan, kenapa All Time Low pantas diganjar sebagai “Band of the Year” pada 2008. Sekaligus ingin menasbihkan diri, bahwa mereka kini bukan lagi “Blink-182 of this generation”, melainkan “All Time Low of this generation.”

Selasa, 13 Agustus 2013

Hikayat Tentang Jerat Pulpen Narkoba dan Kepang Trujilo

Metal yo metal, tur yen udan ngeyup
Saya tidak besar dalam keluarga yang dekat dengan hingar bingar musik keras. Ayah saya lebih sering mewariskan kenang-kenangan masa mudanya kepada saya, dalam bentuk setumpuk pakaian sepakbola dengan beragam nama dan nomor punggung. Boro-boro saya bisa menemukan setumpuk piringan hitam dan kaset tape langka sebagaimana peninggalan mantan-anak-metal-keren pada umumnya, tidak menemukan kaset dengan sampul bergambar Panbers, D’Loyd, atau The Mercy’s saja saya sudah bersyukur. Ayah saya tidak terlalu akrab dengan musik-musik kencang seperti itu. Mungkin, ia punya standar keren tersendiri, yang bahkan sampai 21 tahun saya hidup, saya belum menemukan letak kerennya di mana. Apalagi ibu saya. Ibu waktu itu belum mengenal tren berpacaran dengan anak band metal —atau minimal dengan pecinta musik metal seperti anak jaman sekarang. Tapi kalau merujuk dari setiap makanan yang Ibu masak, nampaknya saya paham satu hal: buat ibu saya waktu itu, kursus memasak masih terdengar jauh lebih menarik dibanding sibuk mencari akses masuk backstage bersama pacar yang juga anggota band metal.

Beranjak remaja, saya juga masih jauh dari hingar bingar musik keras —atau paling tidak musik keren. Saat duduk di bangku SD – SMP, percayalah bahwa saya belum pernah mengkonsumsi ganja atau obat-obatan terlarang. Kinerja otak saya waktu itu masih berjalan dengan baik dan benar; jadi menurut logika, seharusnya saya juga ‘berjalan’ ke arah yang benar ketika memilih selera musik.

Tapi nampaknya, kebiasaan saya untuk menggunakan pulpen narkoba sewaktu SD membawa dampak yang begitu buruk bagi kejiwaan saya. Walhasil, saya lebih memilih untuk menghapalkan lirik-lirik nan menyayat hati seperti: “Now I can see that we're falling apart from the way that it used to be, yeah no matter the distance I want you to know that deep down inside of me“ milik Backstreet Boys di single "I Want It That Way", dibanding harus (belajar) membiasakan diri mendengarkan lirik lugas nan jahat, seperti yang dilakukan Metallica saat menggarap ulang nomor lawas milik Misfits, “Die Die My Darling”. Saya waktu itu belum paham, lirik “I'll be seeing you again I'll be seeing you in hell” adalah salah satu ungkapan paling romantis yang pernah dilantunkan Danzig kepada seorang wanita, dan diinterpretasikan dengan baik oleh James Hetfield.

Titik terang itu datang ketika saya mulai beranjak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Waktu itu, saya mulai berlangganan sebuah majalah musik bulanan. Sebetulnya bukan karena saya termasuk ‘anak musik banget’, tapi karena majalah itu memuat kunci-kunci gitar dari lagu hits Indonesia pada masanya. Saya yang waktu itu butuh sarana pembantu untuk terlihat keren di mata wanita dengan cara menyanyikan lagu cinta dengan petikan gitar, tentu tidak ingin ketinggalan. Sampai akhirnya, di salah satu edisi, majalah itu memberikan bonus poster band yang sering saya dengar namanya, tapi tidak pernah saya dengar lagunya: Metallica.

Poster itu menarik perhatian saya. Saya yang terbiasa untuk langsung menaruh poster hadiah majalah di sudut rak buku —di antaranya bahkan sampai berdebu, kali ini terdiam sesaat. Di poster itu, saya melihat tiga pria paruh baya berpose dengan gagah dan gahar, bersama satu pria yang nampak seperti pemeran lelaki hidung belang di sebuah situs porno kategori Amerika Latin. Saya berkata, “Anjing, ini kan yang biasa gue lihat kalo lagi download bokep di warnet.”

Belum selesai saya terheran dengan pose pria yang belakangan saya kenal dengan nama Robert Trujilo ini, saya kemudian dibuatnya tertawa saat melihat potongan rambut kepangnya. Kali ini, saya mengumpat dengan kata yang sama, namun dengan volume yang lebih kencang dan durasi yang lebih lama, “ANJEEEEEEEEEENG, APAAN NIH."

Ini perkenalan pertama saya dengan Metallica. Tidak meninggalkan kesan yang bagus bagi saya memang, tapi mereka berhasil membuat saya berpikir, “Dengan salah satu personel bertampang caur gini, lagu mereka kira-kira seperti apa ya?” Dampak pulpen narkoba yang ada di otak saya, nampaknya mulai sedikit berkurang. Jalan pikiran saya akan musik bagus, nampaknya kembali dibuka.

Untuk mengobati rasa penasaran saya, saya akhirnya memutuskan untuk mencari beberapa video yang berkaitan dengan Metallica. Setelah melakukan beberapa pencarian, akhirnya saya bertemu dengan teman satu angkatan yang mengaku punya beberapa video Metallica. Berbekal flashdisk dengan kapasitas 512 MB, saya berangkat ke kediamannya.

Sesampainya di sana saya bukan disuguhi video Metallica, tapi video beberapa band yang melakukan Tribute to Metallica untuk acara di sebuah saluran televisi musik. Di video itu, ada beberapa nama besar yang sudah saya kenal sebelumnya: mulai dari Avril Lavigne, Sum-41, Korn, dan Limp Bizkit.

Saya ingat betul, raut muka Avril Lavigne membawakan lagu “Fuel”. Di bagian “give me fuel, give me fire, give me that which I desire” yang seharusnya dibawakan Avril dengan sekuat tenaga, justru dibawakan dengan penampilan yang lemah, letih, loyo, lesu, dan letoy. Ia nampak seperti penyanyi yang hanya makan sereal dan tidak pernah mengkonsumsi daging segar sepanjang hidupnya. Saya yang bukan kritikus musik saja tahu, bahwa penampilan Avril di video itu jelek sekali. Sampai akhirnya bagian penampilan Limp Bizkit tiba, dan mereka menggarap ulang lagu “Welcome Home (Sanitarium)”. Percaya tidak percaya, saya langsung suka dengan penampilan mereka di acara ini karena alasan sepele: karena titik fret yang ada di bass milik Sam Rivers bisa menyala, dan saya menganggap itu sebagai hal yang keren. Apalagi saat teman saya —yang nampaknya bisa menangkap antusiasme saya menyaksikan Limp Bizkit mengatakan “Ada lagi nih, video mantan gitarisnya, Wes Borland, waktu solo ngebawain lagu Metallica.” Saya lagi-lagi terkagum.

Bagaimana tidak, ada seorang pria yang terlihat seperti baru saja pulang dari keikutsertaan parade kostum di Rio de Janeiro, tampil di panggung membawakan lagu “Master of Puppets” seorang diri, dan hanya diiringi tabuhan drum saja? Saya yang sebetulnya ingin tahu banyak tentang Metallica, justru makin jatuh cinta kepada Limp Bizkit. Belakangan, hal ini saya pikirkan betul. Saya takut tidak bisa menjawab, ketika dimintai pertanggungjawaban atas tindakan saya ini (baca: mencintai Limp Bizkit) di akhirat nanti. Mungkin saya akan berkata, “Ini karena ajaran sesat teman saya. Sungguh.”

Setelah saya mengetahui kalau ternyata Motorhead juga pernah melakukan hal serupa, dengan menggarap ulang lagu “Enter Sandman”, kemudian saya berpikir, “Kenapa bukan mereka saja yang diundang untuk memainkan lagu Metallica? Mereka tentu jauh lebih paham, tentang definisi ‘memainkan musik dengan baik dan benar’ dibandingkan band-band di atas.” Yah sekalipun tidak ada perubahan aransemen yang begitu berbeda dibandingkan versi aslinya —kecuali vokal Lemmy yang terdengar lebih ‘jahat’ dan berat, tapi bukankah vokalis mereka Ian Fraser "Lemmy" Kilmister? Salah satu dari dua hal —selain arah belok dan timing berhenti angkutan dalam kota, di dunia ini yang tidak bisa disalahkan? He’s fucking Lemmy. Just deal with it.

Pencarian saya tidak berhenti sampai di situ saja. Selang beberapa hari setelah saya pergi ke rumah teman, saya masih penasaran dengan bagaimana penampilan Trujilo yang sesungguhnya. Berbekal beberapa lembar uang ribuan, saya bergegas pergi ke toko vcd original, tapi karena mahal dan waktu itu belum punya uang akhirnya pergi ke toko bajakan terdekat. Setelah sampai, saya langsung menanyakan kepada si penjaga lapak, “Mas ada vcd Metallica?” tanpa memberi isyarat untuk menyatakan iya atau tidak, ia langsung menggeledah beberapa tumpukan vcd yang ada di deretan rock, bersebelahan mesra dengan deretan VCD “Evergreen Songs” jilid satu sampai sepuluh.

“Ini mas?” sembari menunjukkan vcd dengan sampul bertuliskan “Metallica Live in Action”. Dan saya pun mengiyakan.


************************************

Sampai di rumah, tanpa ba-bi-bu saya langsung memutar kaset vcd yang baru saja saya beli. Saya disambut dengan single “Enter Sandman”. Tapi nampaknya formasi yang saya lihat waktu itu agak sedikit berbeda dengan bonus poster dari majalah yang saya beli. Benar saja, posisi penggebuk drum di video itu diisi oleh Joey Jordinson, drummer Slipknot. Lampu masih terlihat remang-remang, saat intro-nya yang terkenal itu mulai dimainkan, dan 1….2…..3! bagian bass dan drum masuk, lampu seketika dihidupkan. Untuk pertama kalinya, saya menyaksikan Trujilo! Dengan jersey basket dan trucker yang dikenakan terbalik, dia nampak gagah. Setelan strap bass-nya juga terlihat unik, karena terlihat dibiarkan memanjang hingga posisi bass-nya mendekati lutut. Apalagi melihat tingkahnya yang unik saat Hetfield berteriak, “Take my hand!” Adik saya yang menonton bersama saya waktu itu bahkan berkelakar, bahwa Trujilo terlihat seperti gorilla. Saya tersenyum.

Semenjak itu, saya benar-benar memiliki ketertarikan kepada Metallica. Pengaruh pulpen narkoba yang selama ini menjerat saya, nampaknya sudah mulai benar-benar hilang. Saya yang pernah ikut kursus gitar privat, bahkan minta diajarkan intro “Enter Sandman” dan “Seek and Destroy”, setiap kali selesai sesi latihan. Butuh waktu lama untuk saya bisa memainkan intro itu dengan baik dan benar. Padahal adik saya yang sama-sama ikut les privat, sudah bisa memainkan melodi epik milik Slash di “November Rain” sambil merem melek. “Kurang ajar, saya dilangkahi adik saya sendiri,” guman saya. Akhirnya saya sadar (diri), bahwa kemampuan bermain gitar saya hanya terlihat bagus ketika memainkan lagu dengan pola tiga-kunci. Dorongan semangat “Ayo, Kirk Hammett juga bahkan lebih bodoh dari kamu sebelum akhirnya belajar gitar ke Joe Satriani. Masa kamu ga bisa,” dari guru saya pun tidak membuat motivasi saya bertambah. Mungkin, akan jauh lebih baik apabila saya hanya mendengar lagunya saja, tanpa berusaha memainkannya.

Dari waktu ke waktu, kecintaan saya makin bertambah. Dari sekedar mendengarkan lagu, beranjak ke keinginan untuk mengoleksi merchandise bertemakan Metallica. Pernah saya berjumpa dengan pedagang jus di depan sekolah, yang mengenakan kaos dengan desain album Kill ‘Em All. Saya sempat berpikir untuk menawar kaos itu, berapapun harga yang dia minta, tapi kemudian saya mengurungkan niat, karena ukuran kaos yang ia kenakan mungkin akan nampak seperti bencana visual kalau saya pakai. Ukurannya terlalu kecil. Beberapa waktu kemudian, saya bersyukur tidak melangsungkan niat saya untuk membeli kaos yang dipakai penjual jus itu, karena saat saya pergi ke sekaten (pasar malam tahunan), saya melihat kaos dengan desain serupa dijual dengan harga tidak sampai Rp. 50.000. Dipajang bersama kaos bergambar Bob Marley, logo The Rolling Stones, dan logo The Ramones. Belakangan, kaos seperti ini banyak digunakan oleh pengamen atau penonton yang kekeuh untuk mengenakan helm saat konser musik berlangsung. Masih belum jelas, apa motivasinya. Kalau naik motor helmnya malah dilepas, tapi kalau datang konser helmnya malah dipakai. Orang yang apa-apaan.

************************************

Saya memang telat mengenal Metallica. Saya tumbuh besar di lingkungan dan scene musik yang tidak membuat saya mendapatkan porsi lebih untuk bisa mengenal Metallica. Namun sejak awal perkenalan saya dengan band ini, secara bertahap saya berinisiatif untuk menggali sesuatu yang ada di band ini dengan lebih dalam. Mulai dari bangku kelas dua atau tiga SMP, saya bergegas melahap album-album Metallica yang sudah ada bahkan jauh sebelum saya lahir. Mungkin, ini seperti membayar kesalahan ayah saya karena telat meminang ibu, sehingga saya juga lahir lebih telat dari masa-masa keemasan Metallica. Meskipun ada kalanya saya sedikit kecewa, seperti apa yang saya alami saat Metallica merilis Death Magnetic. Siapa yang tidak kecewa, saat mendengar intro “The Day That Never Comes” yang lebih mirip dengan intro band dangdut koplo Pantura, saat akan membuka hajatan milik anak petinggi desa. Barangkali jika Mella Barbie masuk untuk mengucapkan “Yang tahu lagunya nyanyi bareng-bareng yaaaa,” saat part gitar Kirk Hammett dan James Hetfield saling bersahut-sahutan, masih akan terdengar pantas.

Tapi bagaimanapun juga, Metallica tetaplah Metallica. Bukan tanpa alasan, mereka dipanggil band rock terbesar di dunia. Saat menulis artikel ini, saya membayangkan akan menunduk, sembari menggandeng penonton di sebelah saya dan mengajak mereka mengangguk-angguk maju mundur, saat mereka memainkan “Sad But True”. Ah, bahkan membayangkannya saja saya sudah merinding.

Mungkin tidak seluruh aspek di kehidupan saya dipengaruhi oleh Metallica, namun percayalah, apabila setiap kali ditanya “Ini bill­-nya, Bapak. Kami juga menerima pembayaran menggunakan kartu kredit, Anda ingin menggunakan yang mana? Visa atau Master?”

Maka saya akan dengan lantang menjawab:

‘MASTER! MASTER! MASTER!”