Rabu, 25 Juni 2014

Dari Hati, Untuk Jokowi: Sebuah Testimoni, Doa, dan Harapan

Ngelaras dhisik, Ngger.
Sugeng siang, Pak Jokowi.

Saya menulis surat ini di tengah siang yang tiba-tiba beranjak mendung, Pak. Sedikit terasa aneh, menyaksikan langit kota Surakarta terlihat kelam seperti saat ini; di siang hari, di bulan Juni, di mana saya lebih sering mendengar bahaya ancaman kebakaran musim kemarau, seperti yang sering diberitakan di tayangan televisi. Mungkin saat saya selesai menulis surat ini, hujan akan turun. Tentu akan saya nikmati saja, Pak. Karena bagi saya, tak ada yang lebih nikmat dari tidur siang di tengah rintik-rintik hujan. Tapi kalau Bapak mau alasan yang lebih puitis, silakan simak kata Sapardi —penyair yang juga lahir di kota yang kita cintai ini, dalam puisinya yang ia tulis pada 1994, Hujan Bulan Juni, “tak ada yang lebih bijak, dari hujan di bulan Juni.”

Tempo hari, saya menyaksikan Bapak tampil di televisi. Dalam kesempatan itu, Bapak berulangkali menyebut soal Drone, cyber, hybrid, dan istilah-istilah lain yang mesti memaksa saya untuk membuka laman Google. Saya bersyukur, tidak menjadi lawan debat Bapak pada malam itu. Saya hanya menjadi penonton layar kaca, saya masih punya kesempatan untuk membuka ponsel dan berselencar di mesin pencarian dunia maya, sembari mencari tahu makna istilah yang sering Bapak sebut tadi. Sebuah momen sederhana, yang tentu saja sangat diinginkan Pak Prabowo saat melakoni debat sesi kedua beberapa pekan lalu. Kalau bisa melakoni hal yang sama, sudah barang tentu beliau tidak akan kebingungan soal istilah TPID. Ah, Pak Jokowi memang paling bisa kalau sudah melihat celah.

Saya terpukau, dari hal-hal kecil seperti itu. Bapak memang tidak memiliki latar belakang berkecimpung di bidang pertahanan negara, seperti yang dimiliki calon lain. Tapi terlihat jelas, Bapak belajar untuk mendalami permasalahan yang ada di dalamnya. Boleh jadi, orang beranggapan bahwa semua itu adalah saran dari tim penasihat Bapak —tim penasihat yang sudah dipersiapkan untuk meriset segala duduk permasalahan di bidang pertahanan negara, dan kemudian Bapak hanya tinggal “terima jadi” saja. Tapi jika memang seperti itu adanya, perlu diketahui bahwa saran hanya akan menjadi saran apabila tak didengar. Ini yang harus mereka tahu: jika dugaan mereka benar, maka apa yang Bapak sampaikan di dalam debat itu, adalah apa yang telah Bapak dengar. Sesuai dengan makna pemimpin yang berulangkali Bapak sampaikan: pemimpin yang baik, adalah pemimpin yang sanggup mendengar.

Tapi saya ingat, Bapak bukan sosok yang hanya suka mendengar dari satu pihak saja, bukan? Dalam debat kedua, Bapak bercerita tentang alasan melakukan blusukan. Bapak tidak bisa, hanya mendengar kabar dari bawahan Bapak, bahwa kampung ini sejahtera; kampung ini makmur; rakyat di sini kesehatannya terjamin; anak-anaknya sudah mendapat pendidikan yang layak; dan seterusnya dan seterusnya, tapi tidak pernah mendengar langsung dari yang bersangkutan —dari rakyat yang Bapak pimpin. Untuk itulah, Bapak turun ke bawah, mendengar langsung segala puja-puji dan keluh kesah dari rakyat, tanpa diberi ‘bumbu tambahan’ dari bawahan. Bukan begitu, Pak?

Pak Jokowi yang semringah, sering saya lihat di televisi, Bapak sudah berkeliling nusantara untuk berkampanye sekaligus mendengarkan aspirasi dari masyarakat setempat ya Pak? Kalau memang begitu, Alhamdulillah, berarti saya tidak perlu menulis surat ini terlalu panjang. Anggap saja ini seperti surat cinta dari Bu Iriana, Pak. Setahu saya, surat cinta mampu mengembalikan romansa antar pasangan, apalagi jika kedua pasangan tengah berada di titik jenuh. Karena ketika membaca surat cinta, mereka serasa diajak untuk kembali mengingat, alasan kenapa mereka berhubungan, kenapa mereka bisa saling jatuh cinta, dan berbagai kenangan manis yang ada di dalamnya. Aih, manis betul.

Nah, surat ini (saya harap) juga memiliki fungsi serupa, Pak. Jika Bapak sudah terpilih dan suatu saat berada di titik jenuh atau sedang butuh asupan semangat, kiranya surat ini bisa kembali mengingatkan Bapak, bahwa di pundak Bapak,  ada optimisme sebagian rakyat akan perubahan yang lebih baik; ada segala keluh kesah dari masyarakat, yang berharap bahwa masalahnya sanggup Bapak selesaikan; ada doa baik yang teriring, agar Bapak sanggup memimpin negeri ini dan dijauhkan dari segala macam kemaksiatan serta marabahaya. Semoga, surat ini sanggup menjalankan semua fungsi itu dengan baik. Semoga.

Yang ingin saya bahas pertama, Pak Jokowi, mengenai keputusan Bapak untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Tapi sebelumnya, izinkan saya untuk menceritakan apa yang saya lihat dan saya rasakan, selama Bapak memimpin kota Surakarta —selama hampir dua periode. Saya ingin mengucapkan banyak terima kasih. Semenjak dipimpin Bapak, kami makin punya banyak cerita yang siap dibanggakan, apabila orang bertanya tentang perkembangan kota ini. Tak perlu saya ceritakan satu per satu, karena jejak rekam Bapak selama di Surakarta sudah amat sering diberitakan oleh media. Satu yang pasti, sampai saat ini saya masih sering terpukau melihat program ‘militansi-ideologi’ yang Bapak usung bersama Pak Rudi dulu, membuahkan hasil yang begitu mencengangkan. Sesekali, saya menantang kawan yang berasal dari luar kota untuk menceritakan kembali apa yang saya ceritakan —tentang prestasi Bapak, kepada para pedagang atau pengusaha kecil di Surakarta, dan lihat apakah mereka mengamini semua ucapannya atau tidak. Dan hasilnya selalu sama, kawan saya mengalamatkan tepukan pelan di bahu kanan saya, seraya berkata: “Gila walikota lo, keren. Andai pemimpin di kota gue kaya punya lo juga!” Sungguh, ada kebanggaan tersendiri tatkala mendengar hal seperti itu.

Tapi bak petir di siang bolong, saya begitu terkejut saat mendengar Bapak akan mengajukan diri untuk menjadi calon Gubernur Jakarta. Saat itu, isunya memang sedang beredar kencang di berbagai media. Tapi, saya berusaha meyakinkan diri sendiri dengan berpikir “Ah, tidak mungkin,” berulang-ulang kali. Ngeyem-ngeyem awake dhewe. Tapi pada akhirnya, apalah saya ini. Saya hanya bisa berharap, dan Bapak sendiri yang sanggup untuk memutuskan.

Dan benar saja, Bapak akhirnya memutuskan untuk maju sebagai calon Gubernur Jakarta dan hasilnya berujung dengan kemenangan. Ada rasa sakit hati? Tentu. Saya seperti tidak rela, melihat Bapak berkecimpung di tengah pusaran bajingan-bajingan Ibu Kota. Saya terlalu sayang Bapak. Saya tidak sanggup membayangkan, jika nantinya salah satu putera terbaik kota Surakarta akan menjadi bulan-bulanan di Jakarta, padahal menyandang prestasi gemilang di kota kelahirannya sendiri.

Tapi setelah Bapak memimpin Jakarta, kenyataan berkata lain. Di Jakarta, Bapak bersama Ahok membuat berbagai gebrakan yang pada akhirnya membungkam keraguan para pembenci Bapak. Mulai dari pembenahan waduk Pluit, pengelolaan PKL Tanah Abang, penataan Rumah Susun Marunda dan Muara Baru, Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar, hingga perbaikan birokrasi dari skala paling kecil. Saya yang tadinya tidak peduli dengan perkembangan kota Jakarta, mau tidak mau jadi ikut memantau. Bapak berhasil membuat saya penasaran, untuk menanti gebrakan apa lagi yang akan Bapak lakukan demi terwujudnya Ibu Kota yang lebih baik. Saya lihat, Bapak juga berhasil menanamkan optimisme kepada warga Jakarta, bahwa kotanya memang akan bergerak menuju perubahan. Modal berharga, yang akan sangat berguna untuk pembangunan sebuah kota dari waktu ke waktu, siapapun pemimpinnya nanti.

Mendekati bursa pencalonan Presiden, berbagai nama muncul sebagai kandidat. Yang tidak saya paham, kenapa nama Bapak disebut-sebut? Pikir saya, Bapak baru 1,5 tahun menjabat. Tidak mungkin, Bapak mau menciderai kepercayaan warga Jakarta yang telah memilih Bapak. Tapi belajar dari kasus pencalonan Gubernur Jakarta kemarin, saya tidak berharap banyak untuk kali ini. Saya hanya menyaksikan saja, sembari berharap-harap cemas. Ah, akhirnya kejadian juga. Lewat akun Twitter resminya, PDI-P resmi mengajukan Bapak sebagai calon Presiden. Kecewa lagi? Sedikit. Tapi, sisanya saya merasa antusias.

Biar saya jelaskan, kenapa saya kecewa dan kenapa saya merasa antusias. Kecewa, karena Bapak kembali tidak menepati janji untuk mengurus kota yang Bapak pimpin, sampai masa jabatan Bapak rampung. Saya harus jujur, tentu saya kecewa. Tapi seiring berjalannya waktu, saya mencoba berpikir rasional. Apa betul, saya pantas kecewa lagi untuk kali ini?

Latar belakang kekecewaan saya —dan kebanyakan orang, mungkin hampir sama. Kami kecewa, karena sebetulnya kami berharap besar bahwa Bapak akan membuat sebuah perubahan spektakuler di Surakarta maupun Jakarta. Kami cemburu, kami ingin Bapak fokus mengurus kota kami saja, masa bodoh dengan kebutuhan lain yang lebih jauh lebih besar dan lebih penting. Pokoknya, Bapak harus membuat kota kami jadi lebih maju dan bersolek. Karena kami tahu, Bapak sudah teruji dan mempunyai kapabilitas yang mumpuni.

Kemudian saya tersadar, bahwa saya egois betul. Seharusnya, putera terbaik bangsa bukan hanya milik Surakarta dan Jakarta, tapi milik Indonesia. Jika ada tugas negara sanggup dia jalankan demi kepentingan dan kemaslahatan yang lebih besar, lantas kenapa kami menahan Bapak? Jika rakyat sudah punya mau, lantas kami ini mau apa? Surakarta dan Jakarta sanggup Bapak pimpin jadi baik, kenapa Indonesia tidak?

Memang betul, mengurus Indonesia tidak semudah mengurus Surakarta dan Jakarta. Tapi, tidak mudah bukan berarti tidak bisa. Bapak pernah bilang, duduk permasalahan di setiap wilayah itu biasanya kurang lebih sama, hanya skalanya saja yang berbeda. Lagi pula, yang Bapak pimpin di Surakarta dan Jakarta selama ini, juga sama-sama manusia, sama-sama warga negara Indonesia, bukan alien. Asalkan diiringi dengan niat baik, saya percaya Bapak pasti bisa melakoninya. Karena menjadi pemimpin bukan hanya soal mampu, tapi juga soal mau.

Selang beberapa hari setelah Bapak resmi mencalonkan diri sebagai Presiden, banyak opini bertebaran di sana-sini. Ada yang bersifat mendukung, ada pula yang bersifat menghujat. Salah satu yang paling saya ingat, di linimasa saya ada yang berkomentar seperti ini, “Mau Jokowi jadi Presiden juga sama aja, ga bakal ada bedanya. Indonesia ini udah gawat. Malah kasian Jokowi.” Benarkah?

Di dalam buku “Nasihat Untuk SBY”, Adnan Buyung Nasution berkali-kali mendapat kritik yang bernada tragis, mengenai keputusannya untuk menerima jabatan Wantimpres. “Negara ini ibarat kapal yang hampir karam, percuma masuk ke dalam pemerintahan pusat, karena hanya perkara menunggu waktu saja untuk tenggelam.” Lalu. Adnan menjawab kritik itu dengan baik, “Memang negeri ini hampir karam, tapi justru karena itu, saya sebagai pejuang bangsa berkewajiban untuk menyelamatkan martabat bangsa ini agar tidak tenggelam.” Ini poin yang saya maksut, justru karena negeri ini sedang dalam keadaan genting; di mana kami semua membutuhkan sosok pemimpin yang mampu menumbuhkan semangat untuk kembali bangkit, maka sudah seharusnya sosok seperti Bapak ini hadir.

Jadi, mantapkan keyakinan Bapak bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Jangan pernah ada sedikitpun keraguan di dalam hati Bapak. Bapak tidak melanggar undang-undang, hanya dianggap menciderai etika personal karena terjun ke arena politik yang lebih besar, saat masa jabatan Bapak belum selesai. Bapak sering diserang dengan kutipan Camus, “Seorang manusia yang lahir tanpa etika, adalah ibarat binatang liar yang berkeliaran di dunia.” Jangan takut, Pak, jauh sebelum Bapak terjun ke dunia politik pun, Indonesia sudah dikelilingi hewan-hewan liar. Jika Bapak diibaratkan seperti hewan liar, silakan serang hewan-hewan liar lain yang sudah lebih dulu menggerogoti sendi-sendi bangsa ini. Sebagaimana tikus got, Singa juga hewan liar. Paling tidak, jadilah singa yang bisa memastikan tikus-tikus got itu tidak dapat tempat spesial di Indonesia. Jangan ingin jadi macan, Pak, jadilah singa. Karena kalau cuma ingin jadi macan, cukup dengan makan Biskuat juga sudah bisa, Pak.

Kedua, teruskanlah kebiasaan blusukan dan kebiasaan mendengar keluhan dari masyarakat yang Bapak pimpin. Terjun langsung, amati sendiri duduk permasalahan yang mereka hadapi sehari-hari. 989 pedagang PKL di Surakarta yang Bapak pindahkan dari Banjarsari ke Klithikan, luluh bukan karena tongkat pentung dan gas air mata satpol PP, tapi karena kesabaran Bapak untuk melakukan mediasi bersama mereka, Pak. Setelah melalui 54 kali makan siang bersama —sambil mendengarkan keluhan mereka satu per satu, kesepakatan baru tercapai. 286 keluarga yang tinggal di bantaran waduk Pluit, tidak merasakan kepalan tangan aparat terlebih dahulu agar mau direlokasi. Bapak turun bernegoisasi dan melakukan kontrol lapangan, sampai akhirnya muncul kata sepakat. Saya pun masih ingat, selama menjabat di Surakarta, Bapak melarang gerbang pintu balai kota ditutup, agar keinginan para demonstran untuk bertemu dan bertukar pikiran dengan Bapak dapat terwujud. Bapak bilang, kalau di Solo dulu, malah kangen didemo.

Oh iya, saya sendiri punya pengalaman pribadi, tentang berbagi pikiran dan keluhan dengan Bapak.

Pada kurun waktu 2009, Bapak datang ke sekolah saya, Sma 2 Surakarta. Waktu itu, Bapak mengadakan acara “Bincang-Bincang Bersama Walikota” dan berlangsung dengan meriah di aula sekolah saya. Saya waktu itu masih menjabat sebagai ketua OSIS, dan diberi mandat oleh Kepala Sekolah untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Saya bertanya mengenai tiga hal: pertama, mengenai pembebasan lahan parkir di depan Sma 1 dan Sma 2, kedua mengenai pembangunan skatepark, dan ketiga soal ruang kreativitas anak muda kota Surakarta, khususnya untuk kesenian mural dan grafiti. Waktu itu, Bapak menjawab poin pertama itu tergantung kebijakan sekolah, di mana pemkot hanya bisa membantu jika memang sekolah mengajukan permohonan dana untuk pembebasan lahar parkir di depan sekolah saya. Kedua, Bapak terlihat tertarik dengan gagasan skatepark, dan meminta saya untuk membuat proposal pengajuan lengkap, beserta denah dan anggaran dananya. Ketiga, kalau Bapak ingat kita pernah terlibat adu pendapat lumayan sengit, soal ruang mural dan grafiti. Bapak bersikukuh, bahwa tidak ada jaminan bahwa pemberian ruang mural dan grafiti, akan menjamin berkurangnya vandalisme. Saya kemudian memberikan contoh di Jogja, di mana pemerintah bisa sedikit menekan jumlah vandalisme, dengan memberikan ruang publik yang legal untuk mural dan grafiti. Sayang, setelah seminar kita tidak sempat berfoto bersama.

Beberapa pekan kemudian, saya kembali berjumpa dengan Bapak di balai kota. Kalau tidak salah ada penyuluhan tentang bahaya narkoba atau sejenisnya, saya lupa pastinya. Saya menjadi delegasi dari Sma 2. Selesai seminar, ada sesi bersalaman. Saya tidak berharap Bapak mengingat saya, tapi saat kita hendak jabat tangan, Bapak bertanya: “Mas, proposal skatepark­-nya mana? Saya tunggu di kantor ndak datang-datang.” Aih, saya terharu betul. Saya kira jawaban Bapak waktu itu, hanya formalitas belaka, nyatanya Bapak ingat. Malah sampai sekarang, saya yang belum pernah bikin proposalnya, Pak. Maaf. (Oh iya, Bapak juga pernah menanyakan undangan untuk openmic di komunitas saya, Standup Comedy Surakarta, saat ditanya kenapa tidak jadi berkunjung ke acara kami. Maaf lagi, Pak. Kita malas bikin undangan. Padahal Bapak waktu itu sudah mengiyakan, dan berniat untuk datang.)

Pada 2010, saya lihat di sebelah barat Stasiun Purwosari ada beberapa tembok yang dipersilakan untuk diisi dengan mural dan grafiti. Kalau tidak salah, waktu itu awalnya berbentuk kompetisi. Wah, saya waktu itu senang bukan kepalang Pak. Entah itu berkat gagasan dari saya atau bukan, yang jelas pemberian ruang publik untuk sarana kreativitas anak muda di bidang mural dan grafiti, merupakan sebuah apresiasi sederhana yang sangat bermakna buat kawan-kawan saya. Yang jelas, Bapak sudah mendengar masukan saya.

Bapak selalu mendengar, mendengar, dan mendengar. Itu yang membuat saya yakin, bahwa Bapak bisa membawa negeri ini menjadi lebih baik. Tapi jika sudah terpilih nanti, saya berharap jangkauan Bapak untuk mendengar berbagai keluhan masyarakat jadi lebih luas, lebih-lebih untuk kasus intoleransi umat beragama. Karena sila pertama negeri ini, bicara soal Ketuhanan. Bicara soal Ketuhanan, tentu erat kaitannya dengan ibadah dan cara masing-masing umat untuk menyatakan keyakinannya. Namun di negeri ini, masih ada sekelompok golongan yang berusaha untuk tidak memberikan jaminan aman kepada mereka-mereka yang ingin beribadah sesuai dengan keyakinannya. Padahal semua warga setara, dan sudah menjadi tugas aparatur negara, untuk menjamin hak setiap warga untuk beribadah dengan tenang di dalamnya. Untuk kasus ini, tak salah jika sedikit menengok Piagam Gerakan Kebangsaan Iran, yang mana tertulis: “Rasa syukur kepada Tuhan, sangat bergantung kepada pencapaian kebebasan dan penggunaannya untuk mendapatkan hak asasi, keadilan, dan pelayanan.” Saya harap, Bapak bisa memberikan sikap tegas jika isu ini telah sampai di telinga Bapak. Tak perlu menjadi keras, karena tegas itu masalah sikap dan prinsip. Yang saya takutkan, bersikap keras hanya akan menimbulkan jarak di berbagai lini. Entah hubungan Bapak dengan satu golongan, atau dengan golongan yang lain.

Yang ketiga, saya berharap gagasan revolusi mental dapat berjalan sebagaimana mustinya. Pak Jokowi yang baik, saya yakin Bapak sadar bahwa di belakang Bapak, berdiri jutaan masyarakat Indonesia yang siap mendukung Bapak di manapun berada. Bapak bukan hanya mendapat dukungan, tapi juga mendapat kepercayaan. Di tengah krisis kepercayaan terhadap para pemimpin seperti saat ini, Bapak sanggup menyeruak muncul dengan suara rakyat sebagai motornya. Bukan tanpa alasan, kami berdiri di belakang Bapak. Kami sudah cerdas, kami sanggup membedakan mana yang bekerja, dan mana yang tidak. Mana yang ingin mengabdi kepada rakyat, mana yang ingin menjadikan rakyat sebagai abdi.

Kami —apalagi generasi muda, sangat sependapat dengan gagasan yang Bapak kemukakan. Pembangunan fisik dan ekonomi yang besarnya seperti apapun, tak akan pernah menjadi sempurna jika tidak disertai dengan pembangunan karakter. Saya berharap, Bapak bisa menjadi representasi revolusi mental bangsa Indonesia, yang sesegera mungkin akan kami mulai dari dalam diri kami sendiri. Sebab, sejarah selalu mencatat, bahwa karakter seorang pemimpin yang baik akan dengan mudah menular.

Guru besar bangsa ini —yang juga seorang mantan Presiden, Alm. Gus Dur, mendobrak kebiasaan Jahilliyah Indonesia pada masanya. Gus Dur, gigih menyebarkan spektrum toleransi beragama hingga jangkauan yang paling luas. Usahanya itu bukan datang sebagai produk keputusan negara, tapi bersifat gagasan dan sudut pandang; sehingga orang mengenali sifat toleransi ini sebagai karakter Gus Dur. Mereka yang benar-benar mengagumi Gus Dur, sudah barang tentu mewarisi hal serupa. Mereka berusaha mengadopsi segala hal baik dari Gus Dur, sebagai bentuk kesetiaan dan juga penghormatan. Hal baik macam inilah, yang sekiranya sanggup Bapak contoh.

Mungkin salah satu contoh karakter Bapak, yang bisa menjadi salah satu pendongkrak revolusi mental adalah sikap pro ekonomi rakyat. Selama di menjabat di Solo, Bapak berhasil meningkatkan pendapatan daerah dari pasar tradisional dan usaha kecil menengah, dari angka Rp. 7,8 miliar menjadi Rp. 19, 2 miliar, sementara ‘hanya’ hotel berkontribusi sebesar Rp.10 miliar, iklan Rp. 6 miliar, parkir Rp. 1,8 miliar, dan restoran Rp. 5 miliar. Saya membayangkan, jika Bapak terus menyuarakan gagasan pro ekonomi rakyat seperti ini, khususnya di bidang usaha kecil menengah, akan banyak sekali pengagum Bapak yang pelan-pelan ‘terdoktrin’ untuk memulai usaha sendiri, dan tidak bergantung pada pemodal besar yang cenderung memonopoli bidang usaha di Indonesia.

Kesederhanaan, kejujuran, kerja keras, dan juga sikap toleransi; di mana Bapak tidak gemar mengkafirkan saudara sendiri, adalah salah satu karakter yang harus terus Bapak jaga, dan Bapak tularkan kepada bangsa ini sebagai bagian dari usaha revolusi mental. Bapak, sekali lagi, bisa menjadi inspirasi bagi orang banyak. Lebih-lebih kepada saya dan generasi muda lainnya.

Yang terakhir, yang paling saya suka, tentang usaha merangkul generasi muda. Ada satu kutipan menarik dari salah satu putera terbaik bangsa, yang kini juga tengah berjuang bersama Bapak dalam usaha membangun Indonesia, Anies Baswedan. Ia berujar, “Anak muda memang minim pengalaman, karena itu ia tak tawarkan masa lalu, anak muda menawarkan masa depan.”

Ya, kami menawarkan masa depan. Sebab, mau tidak mau, suka tidak suka, suatu saat kami akan menjadi pilar bangsa ini. Selain soal revolusi mental yang sudah saya singgung sebelumnya, saya harap Bapak juga bisa memberikan bekal khusus kepada generasi muda. Dalam hal ini, yang ingin saya singgung berkaitan dengan industri kreatif.

Dalam debat kedua, ada beberapa hal menarik yang Bapak kemukakan soal industri kreatif. Bidang seni musik, seni pertunjukan, video, desain, dan animasi. Saya senang, Bapak menyinggung poin tersebut. Tandanya, Bapak memang melihat ada peluang menjanjikan dari bidang-bidang itu. Di dunia musik, tentu sudah banyak orang yang tahu. Bapak penggemar musik metal dan sering datang konser, baik band dalam negeri maupun luar negeri. Saya sendiri pernah menjadi saksi mata, Bapak datang tanpa protokoler berlebihan di Rock in Solo 2012 dan Rock in Solo 2013. Setelah datang di Rock in Solo 2012, Bapak berkelakar lewat Twitter, “Datangin Metallica ke Solo habis berapa ya?” Dan akhirnya, Bapak bisa menyaksikan Metallica di Indonesia —meski bukan di Solo, tapi di Gelora Bung Karno, Jakarta. Bapak yang notabene-nya seorang politisi, hadir di tengah kerumunan massa penggemar rock, dan dielu-elukan. Kebetulan saya juga hadir di malam yang berbahagia itu, Pak. Dan ketika para penonton lain terkaget-kaget, karena tiba-tiba Bapak datang tanpa pengamanan yang terkesan lebay, saya biasa saja. Pasalnya, sudah sering lihat Bapak seperti itu di Solo. Rock in Solo 2011, bersebelahan di lampu merah Jongke saat naik mobil dinas tanpa pengawal, datang berboncengan naik motor Mio saat kasus penembakan polisi di Singosaren, naik sepeda seorang diri saat CFD. Wis kulina, kalau kata orang Jawa.

Di bidang animasi, ini yang menarik. Bapak bilang, “Animasi kita banyak diekspor ke luar negeri, dan dinikmati bangsa lain. Perusahaan yang mengembangkan animasi di Indonesia juga masih perusahaan asing.” Saya setuju, Pak. Animator kita ini banyak yang bertangan emas. Kawan-kawan saya yang bergelut di bidang ini, nampak senang dengan kebihakan Bapak. Saya pernah baca, sebelum kartun Tsubasa terkenal, sepakbola Jepang bukanlah apa-apa. Kartun yang bercerita tentang perjuangan pesepakbola bernama Tsubasa Ozora itu, mampu menggugah minat orang Jepang terhadap sepakbola. Hasilnya? Kini Jepang menjadi langganan juara Asia, kontestan tetap Piala Dunia sejak 1998.

Kesaktian industri kreatif dalam membentuk pengaruh memang dahsyat. Protes anti perang yang disuarakan oleh Bob Dylan, Joan Baez, dan Donovan yang diselundupkan ke radio Angkatan Bersenjata Amerika di Vietnam, berhasil menumbuhkan sikap anti perang; pemerintah Jepang dan Korea Selatan, sama-sama mendanai setiap perkembangan industri kreatif mereka di luar negeri, sebagai usaha untuk menarik ketertarikan masyarakat internasional terhadap pop culture masing-masing negara. Jika geliat ini sanggup dikelola dengan baik, hal ini bukan hanya mendatangkan keutungan ekonomi semata, tapi juga bisa menjadi identitas negara.

Jadi besar harapan saya agar Bapak mampu meneruskan niat baik yang pernah Bapak sampaikan beberapa pekan lalu. Sekali lagi, generasi muda adalah generasi yang menjanjikan. Kami punya banyak ide dan tenaga, yang selama ini kurang diapresiasi oleh negara. Tentu kami tidak sanggup selalu bergantung kepada negara, tapi alangkah baiknya jika potensi yang menjanjikan seperti ini sanggup difasilitasi dan diberi apresiasi setinggi mungkin dari negara. Selama ini dukungan memang sudah ada, tapi masih belum maksimal dan masih sangat mungkin untuk dikembangkan menjadi jauh lebih besar.

Pak Jokowi, kiranya itu saja yang ingin saya sampaikan kepada Bapak. Surat ini, hanya sebagai simbol, bahwa betapa saya menyayangi Bapak dan sangat berharap Bapak mampu mengemban amanah, apabila kelak sudah terpilih. Doa saya, supaya Bapak memiliki karakter pemimpin yang disebut Eko Prasetyo dalam “Islam Kiri: Melawan Kapitalisme Modal dari Wacana Menuju Gerakan”: sanggup menjadi contoh otentik dari sebuah moralitas sederhana, dan berani bersikap melawan terhadap kesewang-wenangan.

Ah, tebakan saya betul Pak. Ini siang akhirnya hujan juga. Saya harus cepat bergegas, Ibu tadi keburu pergi sebelum sempat mengangkat jemuran. Jangan lupa makan, Pak.

Salam,

Bryan Barcelona.