Jumat, 12 Mei 2017

Menuju Kicau Kacau Kota: Mencoba Menyimak The Mudub Dari Sisi yang Berbeda

The Mudub bicara soal persiapan merilis mini-album terbarunya, dan bercerita tentang bagaimana mereka beralih dari unit melodic-punk menuju pembuat single untuk sekolah pendidikan anak usia dini.

Melihat Catur Ayudiono sedang bersemangat memainkan gitar dan bertanya kepada orang di sekelilingnya tentang lagu apa yang baiknya ia mainkan tentu bukan hal yang baru bagi saya. Saya pernah melihat ia melakukan hal serupa di berbagai situasi; di tongkrongan, di atas panggung pensi, di panggung dadakan yang butuh penampil untuk mengulur waktu, sampai di hajat nikahan kawan satu skena. “Seperti yang biasa diucapkan oleh teman-teman, saya memang senang tampil,” ujar Catur. “Ini pengaruh dari keluarga saya, senang manggung semua, senang tampil di hadapan orang banyak. Dulu waktu TK saya pernah didandani dengan rompi dan kumis, kemudian disuruh joget, rasanya senang sekali. Terakhir waktu ada drama natal, saya berperan sebagai orang gila. Pokoknya kalau disuruh tampil saya senang.”

Malam itu, sebelum wawancara, Catur kembali memuaskan hasratnya untuk tampil di hadapan banyak orang. Saya datang sedikit terlambat, tapi tahu situasi macam apa yang bakal saya hadapi ketika Catur sudah memegang gitar dan tandemnya di atas panggung, Arum Setiadi, berada di dekatnya. 

“Ini pasti bakal molor dari jadwal,” gumam saya. Dan benar saja, sejurus kemudian mereka membuat semua orang—termasuk saya—yang ada di Rumah Blogger Indonesia (RBI) jadi ikut menggila dalam durasi yang tak sebentar. Bermula dari karaoke massal hit era ’90-an, menyanyikan nomor andalan milik Didi Kempot, sampai ajang pamer kemampuan nihil guna dari Catur yang mampu menirukan suara karakter Teletubbies; si bayi matahari, Dipsy, hingga karakter mesin vacuum cleaner berjalan yang selalu menghasilkan aneka suara tak jelas, Noo-noo. Catur kemudian menutup ‘panggung kecil’ miliknya itu dengan menirukan gestur, mimik, dan vokal Glenn Fredly ketika tampil di atas panggung. “Saya justru terlihat seperti copet dengan dandanan seperti ini,” kata Catur seraya mencopot flatcap yang lekat dengan penampilan penyanyi keturunan Ambon itu pada awal karirnya.

Keempat personel The Mudub kemudian memisahkan diri dari kerumunan yang sedari tadi mengharapkan mereka untuk terus melempar kelakar. Arum Setiadi (vokal), Catur Ayudiono (gitar), Achmad Jeky Priliana (drum) dan Fauzan Abusallam (bass) adalah kuintet panas kota Bengawan yang belakangan semakin sering tampil dari satu panggung ke panggung yang lain. Meski berdiri sejak 2008 dan konsisten tampil di panggung seni dari tahun ke tahun, The Mudub boleh dibilang baru melebarkan spektrum musiknya ke wilayah yang lebih luas sejak 3 tahun belakangan. Sebelumnya, mereka kerap mendapat predikat sebagai band favorit anak-anak seni, baik dari kampus ISI atau fakultas Seni Rupa UNS, karena intensitas tampil yang cukup sering di tiap hajatan yang dihelat oleh kedua perwakilan institusi tersebut. “Mungkin setelah Mas Jeky dan saya masuk, The Mudub jadi semakin memiliki koneksi ke arah sana [kampus], karena terkait latar pendidikan yang kami miliki. Band saya yang terdahulu juga punya skena sendiri, jadi relasi kami saat ini juga semakin bertambah,” ujar Fauzan yang lebih akrab disapa Jampes.

Selain karena musik, The Mudub juga bisa dibilang dipersatukan karena seni ilustrasi. Arum tercatat sebagai salah satu komikus yang sudah malang melintang di skena komik lokal sejak pertengahan ’00, Catur bekerja sebagai desainer lepas yang juga merintis usaha percetakannya sendiri, Jeky melanjutkan studinya di DKV dengan merilis studio komik, sedangkan Jampes dikenal sebagai artis mural merangkap ilustrator di tengah kesibukannya menyelesaikan studi seni rupa. Dengan latar belakang tersebut, bukan hal yang aneh apabila The Mudub kemudian menjadi favorit setiap hajatan yang bersifat nyeni di kota Solo. Apalagi masing-masing personel The Mudub terbilang cukup aktif di tiap komunitas yang menaungi ide kreatif mereka.

Meski memiliki benang merah yang sama sebagai ilustrator dan pegiat seni rupa, nyatanya mereka tidak memiliki kesamaan untuk urusan referensi musik. “Ringo Star. Saya selalu ingin menjadi seperti dia. Dia selalu memainkan pola yang itu-itu saja, simpel, tapi di panggung tetap terlihat ceria,” ujar Jeky seraya tersenyum ketika ditanyai soal pengaruh musik terbesarnya. Lain halnya dengan Catur, yang terang-terangan menyukai genre glam rock, karena di tiap kesempatan ia selalu terlihat flamboyan bagaikan personel Poison namun minus rambut gondrong. Tapi jika bicara soal referensi musik dan perjalanan yang menyertainya, Arum boleh bertepuk dada karena kisahnya mungkin jadi yang paling menarik di antara personel lainnya. Berulangkali berujar bahwa dirinya menjadikan Benyamin Sueb sebagai rujukan dalam bermusik dan melakoni aksi panggung, nyatanya perjalanan musik Arum sebelum tergabung dalam The Mudub nyaris tidak pernah bersinggungan dengan karakter yang dimiliki maestro kesenian Betawi itu. Ia pernah membentuk band beraliran melodic punk sebelum membentuk The Mudub. “Capek teriak-teriak terus,” ujar Arum.

Tentu membayangkan Arum menjadi garda terdepan dalam sebuah band beraliran melodic punk akan terasa konyol jika Anda pernah menyaksikan performanya bersama The Mudub. Memang benar ia selalu tampil enerjik dengan aksi panggung yang mendekati gila saat menjelma dari Arum Setiadi menuju Arum Mudub, tapi sulit membayangkan bahwa ia bisa melempar kelakar semau hati dan melakukan gimmick komedi yang biasa ia lakukan andai masih tergabung dengan band lamanya. Lagi pula, memang hal semacam itu yang kemudian membedakan The Mudub dengan band lainnya. Di atas panggung, personel The Mudub selalu mengenakan kostum yang sesuai dengan karakter masing-masing; Arum sebagai guru olahraga yang sekilas terlihat letoi tapi siap mengejutkan Anda dengan energi yang seakan tidak ada habisnya jika sudah melantunkan lagu, atau di lain kesempatan, ia mencopot jaket training yang ia kenakan dan membiarkan tubuh kurusnya hanya berbalut kaus singlet ketat hijau terang dan celana panjang ketat dengan warna yang sama. Di sebelahnya, ada Catur yang seakan sudah bersiap untuk menyambut kembali kejayaan musik rock centil era ’80 dengan setelan satin macan tutul plus ikat kepala bercorak serupa, dan sesekali ia memoles bibirnya dengan gincu. Sebelum mengenakan setelan retro seperti saat ini, Jampes pernah menjajal kostum SMA di tiap penampilan The Mudub, sampai akhirnya menyadari bahwa pilihannya memang sama sekali tidak keren.

“Dulu waktu pakai seragam SMA, rasanya ga enak dan membuat saya sadar bahwa saya terlihat jelek sekali saat masih SMA. Dan kalau kami tampil di panggung pensi di sekolah, saya justru terlihat sebagai salah satu siswa yang membolos,” tutur Jampes yang di panggung lebih sering dikenal sebagai personel irit bicara. Jeky juga pernah menjajal kostum berbeda sebelum memilih seragam petugas pemadam kebakaran. “Dulu saya pakai kostum ala badut, tapi waktu tampil rasanya juga ga enak dan ga bebas. Malah seperti ledek kethek.”

Pemilihan kostum memang merupakan bagian dari paket hiburan yang ditawarkan oleh The Mudub di tiap penampilan. Arum pernah berujar kalau konsep seperti ini memang sudah ia persiapkan sejak kali pertama membentuk The Mudub, karena jika hanya untuk mengekor konsep menjadi ‘band keren’, menurutnya stok band seperti itu sudah ada banyak di kota Solo. Bukan tanpa alasan mereka menyebut The Mudub sebagai proyek dramatic-pop, karena memang gimmick dan penampilannya yang total di atas panggung merupakan bagian dari konsep dramatik yang ingin mereka usung. Tik-tok antara Arum dan Catur yang seringkali menjadi selingan di tiap pergantian lagu—atau bahkan di tengah-tengah lagu—seringkali membuat repertoar yang sudah mereka susun di awal penampilan menjadi tidak ada artinya. Sebagai contoh, hit andalan mereka “Bakso Bakar Bang Brewok” hanya memiliki durasi selama 2 menit 7 detik jika menilik versi aslinya, tapi andai menyaksikan lagu ini dibawakan secara langsung, mungkin akan menghabiskan 15 menit karena gimmick yang menyertainya. 

Mulai dari perdebatan tona nada Arum yang sering dirasa kurang tinggi oleh Catur saat memasuki bait pertama lagu, intro dari Catur yang meleset dan harus diulang sampai lebih dari tiga kali, sampai ketukan Jeky yang—dibuat—tidak seirama dengan komponen musik lainnya. Andaikan Anda sedang menyaksikan band lain, sorak kekecewaan adalah respons paling tepat untuk menanggapi insiden seperti itu; tapi di penampilan live The Mudub, Anda tidak memiliki kuasa untuk menahan tawa dan merasa dikecewakan atas gimmick yang mereka buat. Tanyakan kepada mereka yang sudah berulangkali menonton penampilan The Mudub; meski dengan komposisi gimmick dan kelakar yang seragam, Anda masih selalu tertawa ketika menyaksikannya sendiri. Bahkan ketika Anda melempar protes, “Kemarin sudah pernah!” karena melihat komedi situasi yang sama, mereka akan menimpali dengan ucapan, “Anyar terus malah koyo kondom,” dan membuat gelak tawa penonton jadi semakin pecah. It’s Mudub’s world and we’re all just living in it.

Di luar panggung, mereka juga punya polah yang tidak kalah absurd. Saat band-band lain menjual merchandise dalam bentuk kaos atau artwork sebagai bukti eksistensi dan sumber pemasukan tambahan untuk band, The Mudub menolak mengikuti arus dan memilih untuk menciptakan merchandise dengan caranya sendiri. Tiga tahun lalu, mereka pernah meluncurkan merchandise dalam bentuk pangan bermerek ‘Karak Semangat’, dan dikenalkan melalui launching di sebuah gigs meriah selayaknya pesta rilisan album baru. Sebelumnya, mereka juga pernah mengeluarkan produk pangan lain yaitu ‘Keripik Tempe Persahabatan’ dan membuka jasa cetak undangan serta menyediakan MC untuk berbagai acara, yang semuanya dikelola dalam payung bisnis The Mudub, C.V Mudub Jaya. Di kesempatan lain, mereka juga pernah bekerjasama dengan salah satu sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) untuk menciptakan jingle yang bakal digunakan untuk kegiatan belajar mengajar di kemudian hari. The Mudub memang konsisten menciptakan karya dengan berbagai cara, dan yang paling terpenting, mereka mengaku merasa bahagia melakukan itu semua—meski terdengar seperti proyek ala kadarnya.

Kini setelah melewati proses hampir satu dekade berkarya, The Mudub siap untuk sesuatu yang lebih serius. Berselang sembilan tahun sejak peluncuran album pertama bertajuk Hidup Jaya Abadi, kini mereka bakal melepas mini-album bertajuk Kicau Kacau Kota yang bakal memuat enam buah lagu di dalamnya. Album ini merupakan kelanjutan dari proyek kerjasama mereka dengan kolektif sosial Kampungnesia, yang terfokus pada pengembangan dan pemberdayaan beberapa kampung di wilayah kota Solo. Pemilihan materi yang ada di album Kicau Kacau Kota juga dipengaruhi oleh keterkaitan tema dengan isu-isu yang beredar di seputar kampung dan kota.

Direkam lewat proses live recording dan rekaman terpisah di studio yang cukup berpengaruh di kalangan skena kota Bengawan, RDT, The Mudub mengaku bahwa mereka memang sedang berusaha untuk menjajaki fase yang lebih serius sebagai band ketika menyusun materi Kicau Kacau Kota. Tidak ada yang meragukan kualitas penampilan mereka ketika ada di atas panggung, tapi untuk proyek kali ini, mereka juga berusaha untuk meningkatkan musikalitas dan kedalaman lirik sebagai wujud keseriusan mereka untuk membawa The Mudub ke jenjang yang lebih jauh.

Dalam nomor paling anyar mereka, “Emosi di Jalan” misalnya. The Mudub berani untuk sejenak keluar dari zona nyamannya di komposisi pop dan menggantinya dengan eksplorasi musik yang lebih segar lewat corak distorsi yang padat. Mereka tidak meninggalkan lirik berima yang menjadi ciri khasnya selama ini, tapi alih-alih dikemas dalam balutan jenaka, kali ini mereka menampilkan sisi getir dengan pembawaan vokal Arum yang terdengar lebih emosional. Seperti pada lirik, “bising suara mobil dan motor/asap tebal udara kotor/semua berteriak ingin cepat/merasa paling penting,”  yang kemudian dilanjut dengan harmonisasi Arum dan Catur di bagian, “bersaing, bersaing dan bersaing/berpacu dalam dunia yang bising/untuk bisa menang harus mengalahkan/emosi di jalanan.”

“Respons penonton ketika mendengar lagu ini memang tidak seheboh seperti saat mendengar lagu kami yang lain. Tapi biarkan ini menjadi ‘momen egois’ kami sebagai musisi, dan mempersilakan penonton untuk menikmati. Tapi setelah itu, kami kembali berkomedi lagi,” ujar Arum. “Pernah ada mahasiswa yang mendengar lagu ini kemudian berkata bahwa lirik ini kritis. Padahal waktu membuat kami tidak kepikiran untuk ke arah sana, tapi setelah dibilang seperti itu, ya kami kait-kaitkan saja.”

Di nomor lain, The Mudub tetap menampilkan karakter musik yang selama ini membuat mereka dikenal banyak orang. Pada “Andai Aku Jadi Tarzan”, mereka kembali menunggangi kemudi mesin pop yang dibalut dengan nuansa balad yang cukup kental. Arum seperti sedang melagukan sebuah cerita anak tentang kisah aneka satwa penghuni hutan, tapi diselingi dengan vokal latar dari personal lainnya—yang tentu saja jauh dari kesan serius. Uniknya di bagian koda, mereka seperti memberi twist dengan hentakan irama musik berbeda dan peralihan lirik yang jauh dari kesan manis. Coba simak lirik, “Tapi ternyata semua hanya mimpi/hutan digunduli tanahku erosi/banjir tak terbendung lagi/satwa liar lari dan bersembunyi,” yang ditutup dengan repetisi sinisme tingkat tinggi seperti, “diburu ditangkap lagi/diburu ditembak lagi/diburu dibunuh lagi.”

Tapi The Mudub tetaplah The Mudub. Mereka tidak ingin nampak terlalu keras berusaha untuk menjadi band kritik sosial, dan tetap menyisipkan elemen remeh temeh ke dalam Kicau Kacau Kota. Sulit untuk tidak menyertakan “Bakso Bakar Bang Brewok” ke dalam daftar ini, karena latar kisah di balik pembuatan lagu dan karakter musik yang ada di dalamnya. Bercerita tentang fenomena merebaknya penjaja bakso bakar di berbagai tempat di kota Solo dalam beberapa tahun terakhir, "Bakso Bakar Bang Brewok" dikemas dalam irama simpel nan catchy, dan terbukti mujarab mengundang penonton untuk larut dalam ajakan berdendang dan bergoyang. Musik dan lirik yang sederhana membuat tembang ini selalu menjadi andalan untuk menghasilkan koor massal yang masih terkesan intim, dan menutup penampilan mereka dengan teriakan, “bakso bakar Bang Brewok/brewoknya sampai ke bakso!” dari baris penonton.

Tiga nomor sisanya, biarkan menjadi misteri yang kemudian menjadi alasan Anda untuk datang ke helatan launching Kicau Kacau Kota yang bakal digelar Sabtu (13/5) ini di Studio Lokananta. Penunjukan venue legendaris yang menyimpan romantisme kejayaan musik masa lalu ini juga terasa spesial, karena penggunaan Lokananta sebagai medium perhelatan bagi ajang skena lokal justru terasa lebih sedikit dibandingkan dengan hajatan musisi dari luar kota Solo. Di lain sisi, hal ini juga masih seiring dengan komitmen Lokananta untuk menjadi fasilitator pelbagai talenta musik setempat yang membutuhkan ruang untuk berkarya, pun bersinggungan langsung dengan wacana yang diusung The Mudub dalam album Kicau Kacau Kota kali ini. Namun terlepas dari itu semua, Lokananta memang dirasa sebagai venue yang paling representatif untuk membangun atmosfer intim dan tak bercela yang selama ini menjadi ciri khas karakter panggung ideal versi The Mudub.

Ada banyak penyesalan yang sebaiknya Anda lewatkan ketika menjalani hidup yang serba singkat ini. Dan pastikan bahwa ‘gagal menyaksikan penampilan The Mudub kala merilis karya terbarunya di tempat pertunjukan spesial’ tidak masuk ke dalam daftar penyesalan tersebut. Jika Anda ingin sejenak merasa gila tanpa harus menenggak Lexotan dan merasakan sensasi berteriak “icikiwir” pada momentum yang tepat, maka Anda tahu akhir pekan nanti harus menghabiskan waktu ke mana untuk menonton siapa.

Selasa, 02 Mei 2017

Kulihat Kau Ada di Seberang Jalan

Di jalanan yang lengang itu, pikiranku bergaduh hebat. Aku dan bagian diriku yang lain saling berdebat, bicara tentang bagaimana cara menunjukkan keberanian untuk sekadar menyapamu di seberang jalan, tepat di pinggir kedai kopi favoritmu itu. Takdir tak pernah suka untuk diburu, tapi kurasa ia juga tak betah berlama-lama menanti gerak lelaki yang nyalinya senyap dan lidahnya kelu. Kau akhirnya hilang, larut ditelan temaram lampu jalan dan pergi tanpa permisi bagaikan pejudi kampung yang kocar-kacir kabur kala mendengar sirine mobil polisi.

78 detik lampu merah memberiku sedikit ruang untuk berpikir, tentang menu apa yang baru saja kau pesan di tempat yang selalu kau bangga-banggakan itu. Tebakanku, kopi Sidikalang dengan dua kue kering sebagai pendamping. Diminum lima sampai tujuh menit setelah tersaji di meja, dan gelasnya pasti kau letakkan di tengah; diapit dompet di sisi kiri, sedang di sisi kanannya ada tumpukan kunci—beserta pengisi daya portabel yang kau tempeli stiker Lotso, si beruang merah jambu penguasa Sunnyside.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, kepalaku sesak dengan tebak-tebakan yang akhirnya berusaha untuk kujawab sendiri. Aku kira, kau masih suka mendebat lawan bicaramu tentang mana yang lebih nikmat antara seduhan kopi robusta atau arabika. Kemudian jika kau tak puas, kau akan menjejalinya dengan pilihan mana karya terbaik Sheila on 7 antara Kisah Klasik Untuk Masa Depan atau 07 Des. Sebagai penutup, kau bakal meyakinkan dia bahwa bubur yang tak diaduk adalah sebaik-baiknya cara untuk menikmati bubur. Kuharap dia juga bakal selalu menentangmu, dengan mengatakan bahwa menikmati hidangan adiluhung seperti bubur lewat cara yang tak elok—tidak diaduk—adalah sebuah penghinaan bagi peradaban umat manusia.
 
Aku tidak akan pernah sepakat untuk pilihanmu atas perdebatan itu. Yang kucari dari bubur adalah rasa, bukan estetika dan keindahan tampak. Lagi pula jika memang itu yang aku cari, tentu jauh lebih mudah untuk menatap parasmu saja dibanding harus memandangi semangkuk bubur. Lebih indah dan—waktu itu—bisa kunikmati kapan pun aku mau.
 
Kemudian aku teringat, pesan singkat terakhir yang kau kirim sempat membuatku serasa bagaikan pegawai honorer yang baru saja naik status. Kau bertanya tentang bagaimana cara menyusun kata dan merangkai ejaan dengan sempurna, sedang saat tulisanmu kubaca, aku masih saja jatuh cinta dengan caramu menempatkan titik dan koma. Kau paham cara memberi jeda, menitik akhir, sedang aku masih berharap pada awal. Entah kau sadari atau tidak, sejatinya kisah kita berdua tergambar dalam fragmen tulisan yang kau buat sendiri.
 
Sampai di rumah, aku akhiri semua tebak yang membawaku pada kilas balik tak berujung. Kurebahkan diri sembari menyusun nyali untuk sekadar menyapamu lewat ponsel, demi memastikan jawaban atas semua tanya yang mengganjalku hari ini. Saat niatku belum terkumpul sempurna, ponselku seketika berdering nyaring. Ada notifikasi pesan masuk. Tentu perasaanku berkecamuk, sebab pikirku, rasa penasaran bakal memaksamu untuk menyapaku lebih dulu; demi memastikan apakah pria yang barusan kau lihat di seberang jalan memang diriku atau bukan.

Setelah kubuka, ternyata bukan namamu yang kulihat, melainkan akun Line Event dengan pesan berisi tawaran untuk menawar harga barang—yang sudah pasti langsung kuhapus. Aku kembali merebah dan ponselku kusetel dalam mode senyap. Malam itu, aku memilih tidur lebih dulu.