Senin, 26 Agustus 2013

Konser Penuh Kutang Terbang (Tanpa Isinya)



"I wanna have a baby from all of you in Jakarta!" - Alex.

Live Review: A Rocket To The Moon & All Time Low 
23 Agustus 2013, Senayan Swimming Pool Area, Jakarta.
 

Konser penuh bra berterbangan yang diawali dengan aksi pembuka nan semenjana.

tulisan ini juga tayang di sini.

Mengundang lebih dari satu band atau musisi kenamaan dalam waktu bersamaan, bukanlah tren baru bagi para penyelenggara konser di negeri ini. Terlebih jika masing-masing dari mereka sudah memiliki barisan penggemar yang sudah cukup solid di tempat penyelenggaraan acara. Hal inilah yang dilakukan oleh Java Musikindo —selaku promotor, dengan menghadirkan dua band internasional sekaligus, A Rocket To The Moon dan All Time Low dalam satu kesempatan pada Jumat (23/8) lalu. Bertempat di Senayan Swimming Pool Area, Jakarta, konser yang dikonsep secara outdoor ini dihelat pada pukul 19.00.
Sedari awal, A Rocket To The Moon memang sudah mencanangkan Indonesia ke dalam farewell tour-nya, setelah mereka memutuskan untuk bubar pada medio 2013 lalu —tak lama setelah merilis album studio kedua mereka, Wild & Free. Namun sayang, penampilan mereka malam itu seakan meruntuhkan ekspektasi para pengunjung yang menginginkan performa apik, sebagaimana penampilan sebuah band yang sedang melakoni  farewell tour. Sekalipun ini bukan kali pertama mereka menyambangi Jakarta, A Rocket To The Moon seakan lupa, bahwa apa yang mereka tampilkan di akhir kesempatan seringkali menjadi cetak biru dalam kerangka apresiasi para penggemar.
A Rocket To The Moon membuka pertunjukan dengan “If Only They Knew”, sebuah nomor yang diambil dari mini-album Greetings From; album di mana mereka baru saja beralih dari sebuah band eksperimental dengan sentuhan bit-bit elektronik, menjadi sebuah band alternative dengan sedikit nafas punk dan sesekali sisipan elemen country. Nick Santino yang kemudian menyapa para penggemar setelah selesai membawakan lagu, berhasil membuat para remaja putri usia belasan memekikkan kata “NICK! NICK! I LOVE YOU!” dengan volume maksimal secara berulang-ulang.  Berurutan setelahnya, A Rocket To The Moon membawakan “Wild & Free”, “Give a Damn”, “Whole Lotta Love” dan “Baby Blue Eyes”. “Baby Blue Eyes” adalah lagu pertama yang paling banyak mengajak para penonton untuk sing along. Dibawakan dengan set akustik, nomor ini seakan menjadi panduan bagi bejubel pasangan remaja urban yang hadir, untuk kemudian saling menatap dan berbisik mesra, “Baby, baby blue eyes / stay with me by my side / til the mornin', through the night” satu sama lain. 
Tanpa banyak melakukan interaksi dengan penonton, kemudian mereka membawakan lagu hitnya seperti, “On A Lonely Night”, “On Your Side”, “Dakota” dan lagu andalan, “Like We Used To”. Nick Santino sempat mengungkapkan antusiasnya untuk kembali datang ke Jakarta, dengan berkata, “It’s feeling good to comeback. Yeah, it’s need a long time to comeback,” dan kemudian melakukan formalitas band internasional sebagaimana biasanya: menyapa para penggemar dengan bahasa lokal nan terbata-bata. Nick mengucapkan “Aku cinta Jakarta,” dan kemudian diikuti —sudah bisa diduga oleh teriakan histeris dari para penonton. Ada yang berteriak kencang, ada pula yang kemudian membentangkan sebuah kertas bertuliskan, “We love you, A Rocket To The Moon. Please follow me (@namaakunpribadi),” sebuah terobosan baru dalam jagad konser, selain merekam berbagai momen berharga di panggung dengan aneka ragam gadget berukuran besar. A Rocket To The Moon menutup konser dengan lagu “Mr. Right”, dan kemudian mengucapkan salam perpisahan kepada para penonton, karena ini akan menjadi konser terakhir mereka di Jakarta. Total mereka membawakan 14 lagu. Sebelum bubaran, terlihat mereka sempat mengabadikan beberapa moment dari atas panggung, untuk kemudian diunggah ke jejaring sosial milik personel masing-masing.
Sayang, skema haru dan romantis yang sudah dirancang sedemikian rupa ini harus terganjal oleh masalah tata suara dan visual. Beberapa kali, microphone yang digunakan oleh Nick Santino terdengar mati. Pun dengan visual yang hanya terkesan ‘seadanya’ saja. Tidak ada tata cahaya yang sedemikian rupa, atau juga persiapan tata panggung khusus. Hanya dengan lampu sorot beberapa warna, latar belakang kain hitam berukuran besar tanpa layar yang menampilkan visual di sebelah kanan dan kiri, panggung malam itu malah nampak seperti panggung pentas seni anak SMA atau panggung gelaran festival clothing penuh diskon. Barangkali jika tidak ada sorak sorai dan penampakan penonton yang mengenakan merchandise A Rocket To The Moon, tidak akan ada yang mengira kalau ini adalah panggung band internasional.
Penempatan A Rocket To The Moon juga terkesan membingungkan. Untuk kelas band pembuka, mereka membawakan terlalu banyak lagu dan diberi porsi waktu yang cukup lama. Namun jika ditempatkan sebagai sesama penampil —setingkat dengan All Time Low, mereka sama sekali jauh dari predikat itu. Nampak tidak ada efisiensi fasilitas yang ada di panggung, atau sedari awal itu semua memang hanya dipersiapkan untuk band selanjutnya, All Time Low. Yang jelas, untuk sebuah pertunjukan berlabel ‘farewell tour’, penampilan A Rocket To The Moon malam itu terlihat mengecewakan.
Setelah A Rocket To The Moon rampung melaksanakan tugasnya, panggung nampak gelap untuk sesaat. Samar-samar, terlihat ada beberapa kru yang nampak sedang mempersiapkan alat untuk All Time Low. Beberapa perombakan pun dilakukan, seperti pergantian set-drum, perubahan kabinet gitar, dan yang paling kentara adalah pemasangan sebuah kain hitam besar bertuliskan “All Time Low” sebagai latar panggung. Saat jeda ini berlangsung, terlihat beberapa penonton baik dari yellow zone maupun red zone merangsek keluar untuk sekedar membeli minuman atau makanan.
Ada salah satu kejadian menarik, saat di mana seorang teknisi di area front of house (foh) memutar sebuah nomor lawas milik Blink-182, “All The Small Things” sebagai musik latar. Sontak hal ini menimbulkan sing-along dari penonton yang masih berada di area konser. Maklum saja, Blink-182 yang didaulat sebagai pionir pop-punk, memang dikenal menjadi acuan utama beberapa band pop-punk generasi sekarang, tidak terkecuali All Time Low. Bahkan, sang drummer, Rian Dawson, memiliki tato bergambar logo Blink-182 di lengan kanannya. Di beberapa kesempatan, All Time Low sering membawakan lagu-lagu Blink-182, seperti “All The Small Things”, “Time to Break Up” dan ‘Dammit”. Tidak ketinggalan, saat menyambangi Jakarta pada 2010 silam, mereka membawakan “Dammit” berkolaborasi dengan jawara pop-punk lokal, Rocket Rockers. Beberapa orang bahkan menyebut mereka sebagai “Blink-182 of this generation.”
Saat lampu di area konser dimatikan, tiba-tiba All Time Low menghentak dengan lagu “Lost in Stereo”. Penonton yang tadinya terkesan pasif dan malu-malu untuk bergoyang di penampilan A Rocket To The Moon, berhasil dibujuk untuk ‘keluar sarang’ lewat single dari album Nothing Personal ini. Belum nampak hiasan bra yang biasanya terpasang di stand-mic milik sang gitaris, Jack Barakat, pada lagu pertama kali ini. Entah para penonton lupa membawa stok bra cadangan, atau memang mereka masih merasa belum cukup nyaman untuk melepasnya.
Tanpa panjang lebar, Alex Gaskarth (Vokal/Gitar), Jack Barakat (Gitar), Rian Dawson (Drum) dan Zack Merrick (Bass) langsung menimpali dengan salah satu hit mereka (masih) dari album Nothing Personal, “Damned If I Do Ya”. Sahut-sahutan part gitar antara Alex dan Jack dalam lagu ini, nampaknya berhasil membuat para penonton untuk melakukan ritual konser All Time Low sebagaimana biasanya: saling melempar bra ke panggung. Bukan pemandangan yang aneh, apabila kemudian kita melihat Alex mengarahkan mic ke penonton saat berteriak, “Damned if do ya..” namun tidak mendapat balasan “…damned if I do!” dari para penonton, melainkan malah mendapat balasan bra yang berterbangan ke arah panggung “. Dari lagu ke lagu, Alex berhasil memimpin koor para penonton; seperti pada nomor “Six Feet Under The Stars” ,“Stella”, dan “For Baltimore”. Termasuk saat Alex melakukan solo akustik dengan memainkan “Remembering Sunday”, di mana bagian vokal Juliet Simms dilafalkan dengan sempurna oleh para penonton.

All Time Low juga terlihat atraktif, dengan selalu mengajak penonton untuk melakukan interaksi. Mereka sempat mengajak penonton untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada salah satu teknisi gitar mereka, Danny. Toilet jokes yang membicarakan masalah seks dan hal-hal berbau porno khas band pop-punk juga sempat mereka lontarkan, bahkan mereka sempat mendapati bahwa mereka dilempari mainan berbentuk penis, kemudian berkelakar “Why you guys do this to me?”, dan kemudian disambut gelak tawa para penonton. Antusias penonton ini bahkan mendapatkan pujian dari Alex, “Kalian semua gila. Kami telah banyak melakukan pertunjukan, dan jarang sekali mendapatkan sambutan seperti ini. Kalian semua bahkan jauh terlihat bisa bersenang-senang, dibanding dengan para penonton di Amerika, Australia dan Eropa.”

Dari segi performa dan tata visual mereka juga terlihat lebih baik dibandingkan performa sebelumya. Bahkan untuk kesempurnaan tata suara, terlihat Alex sempat beberapa kali berganti gitar, mulai dari Custom Paul Reed Smith Mira sampai Gibson Les Paul, untuk menyesuaikan karakter suara di tiap-tiap album All Time Low. Mereka juga nampaknya paham betul dengan ketidakakraban para penggemar dengan lagu-lagu di album Dirty Work, dan berinisiatif hanya membawakan satu lagu dari album itu, “Timebomb”. Maklum saja, Dirty Work merupakan album yang dikritik karena meninggalkan karakter pop-punk yang selama ini mereka miliki. Peralihan label rekaman dari Hopeless Records ke Interscope Records, juga disinyalir sebagai salah satu penyebab utama album ini menjadi sebuah album yang flop.

Sebelumnya, pihak penyelenggara memberitahu bahwa akan ada perayaan kembang api dari venue lain, pada saat konser berlangsung. Dan tepat sebelum perayaan kembang api tersebut, All Time Low memutuskan untuk melakukan jeda. Seperti biasa, teriakan “We want more,” dari penonton juga terus berkumandang. Saat pesta kembang api belum sepenuhnya usai, All Time Low kembali berada di atas panggung. Seakan tidak peduli dengan keriuhan yang berasal dari ledakan kembang api tersebut, mereka langsung menggeber dengan lagu “Weightless”. Dan benar saja, sing-along dari penonton bahkan mampu menenggelamkan suara kembang api tersebut.

Sebelum menutup penampilannya, ia mempersilakan seorang penonton untuk maju. Seorang wanita pun dengan antusias langsung merangsek naik ke atas panggung, dan mendapat pelukan hangat dari Alex dan Jack. Alex sempat berkelakar, bahwa wanita yang naik ke atas panggung merupakan sosok yang pas untuk menjadi seorang bartender —yang akan meracik minuman untuk teknisi gitar yang sedang berulang tahun, Danny. Interaksi sang penonton dengan All Time Low, berakhir dengan kecupan dari Alex dan Jack yang mendarat tepat di keningnya. Hal ini sontak memancing emosi para wanita yang ada di deret penonton untuk mengumpat kepadanya, dan mencari tahu lewat jalan mana ia akan pulang.

Namun seolah tidak peduli dengan kecemburuan para penggemar wanitanya, All Time Low langsung memainkan nomor dari album So Wrong It’s Right, “Dear Maria Count Me In”. Dan lagi-lagi Alex berhasil memandu para penonton untuk bernyanyi bersama. Seperti biasa, setelah Alex dan Jack melakukan atraksi saling lempar gitar pada bagian interlude “Dear Maria Count Me In” di konser live mereka, mereka langsung mengarahkan microphone ke arah penonton untuk membalas seruan, “I got your picture…” dengan teriakan “Im coming with you”. Sebuah pemilihan lagu penutup yang pas, karena beberapa bagian di lagu ini yang memang membutuhkan sahut-sahutan dari banyak suara.

All Time Low membawakan total 16 lagu, dan menutup konser ini dengan sebuah pertunjukan epik sebagai ‘penebusan dosa’ atas kekurangan penampil sebelumnya. Andai saja tajuk konser ini adalah konser solo All Time Low, tentu penilaian para penonton akan keseluruhan acara ini akan lebih baik. Ini juga menjadi sebuah pembuktian menawan, kenapa All Time Low pantas diganjar sebagai “Band of the Year” pada 2008. Sekaligus ingin menasbihkan diri, bahwa mereka kini bukan lagi “Blink-182 of this generation”, melainkan “All Time Low of this generation.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar