Sabtu, 07 Desember 2019

Tentang Hidup, Tentang 07 Des


"Lindungi Bumi" - artwork 07 Des karya Rudi Mantovani.

Andaikan saya terdampar di sebuah pulau dan hanya ditemani satu buah album yang digunakan untuk membunuh sepi, tanpa ragu saya akan menunjuk album ketiga milik Sheila on 7, 07 Des sebagai bekal. Selalu sulit untuk menyusun daftar lagu favorit dari Sheila on 7 ke dalam sebuah komposisi peringkat, tapi jika ditanya album yang paling banyak memuat sentimen personal, 07 Des punya semua alasan untuk punya satu tempat spesial bagi saya. Di album yang dirilis 17 tahun silam tersebut, saya menganggap Sheila on 7 mengeluarkan kemampuan terbaik mereka untuk bertutur lewat lagu dengan cara paling khusyuk.

Di sebuah kesempatan, Eross Candra pernah bertutur bahwa 07 Des adalah album yang durasi pengerjaaanya paling cepat jika dibandingkan dua album sebelumnya. Karena dikerjakan di tengah kesibukan jadwal ini dan itu, Eross mengakui kalau proses kurasi materi di 07 Des tidak terlalu ketat dan tak sampai dibikin pusing. Di Self-Titled (1999) dan Kisah Klasik untuk Masa Depan (2001), Sheila on 7 seperti tampil dengan kemasan tebar pesona yang ditujukan untuk mengusahakan banyak kesan, dan memang terbukti berhasil dengan total penjualan album hingga menyentuh angka 3 juta. Selektivitas materi di dua album tersebut juga yang menjadi hal yang lumrah, jika mengingat status Sheila on 7 sebagai band anyar dari luar ibu kota yang sampai di pelukan Sony Music dengan cara yang tidak mudah. Tancap gas, serba digeber. Toh, hasil akhirnya juga jauh dari kategori biasa saja.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, yang membuat album ini terasa sangat personal adalah bagaimana cara Sheila on 7 bercerita. 07 Des bagaikan sebuah manifesto yang ditujukan satu orang kepada satu sosok lewat barisan lirik yang serba menohok. 14 nomor yang diciptakan oleh pemuda—yang kala itu baru menginjak usia 22-23—asal Jogja tersebut, tidak menciptakan spektrum tafsir yang kelewat luas, pun tidak menghasilkan pemaknaan yang kelewat mengawang. Ini terdengar seperti: “hei, ini aku bikin satu album khusus bercerita soal kamu, lho.”

Pada "Seberapa Pantas", misalnya. Eross seperti menangkap keresahan banyak lelaki ketika hendak menatap masa depan dengan orang terkasih, lewat lirik "mampukah kau bertahan dengan hidupku yang malang/sanggupkah kau meyakinkan di saat aku bimbang." Ini adalah tipikal lagu yang kemudian mengusik pikiran tentang kesediaan seseorang untuk tetap tinggal saat berada di fase yang sulit, dan kemudian memunculkan kembali pertanyaan: “seberapa pantaskah kau untuk ‘ku tunggu?”

Di album ini, Anton, pria pencetak pakem gebukan brilian nan sederhana yang muskil ditiru siapapun di kemudian hari, mengejutkan banyak orang ketika membidani kelahiran tembang “Mari Bercinta” yang kemudian secara biadab dinodai oleh Vicky Shu dan Aura Kasih di kemudian hari. Hingga hari ini, saya masih tidak habis pikir bagaimana lagu ini bisa menyertakan lirik genius seperti “hanya satu buah titah, yang kami ejawantah, terlalu banyak cinta kan binasa,” tanpa terkesan seperti musisi yang sedang pamer diksi. Aransemen string yang dihasilkan Erwin Gutawa di lagu ini seperti terselip dengan kadar yang pas; tak lantas membuat “Mari Bercinta” terdengar terlalu megah dan teknikal, tapi juga menjauhkan lagu ini dari kesan ala kadarnya karena minim kompleksitas aransemen.

Dalam sebuah wawancara, saya ingat Ari Lasso pernah menyebut Duta sebagai salah satu vokalis dengan karakter paling khas di Indonesia. Menurut mantan penggawa Dewa 19 tersebut, timbre vokal Duta sangat mudah untuk membuat wanita jatuh hati, tapi tak lantas membuat pria merasa malu untuk mendengarnya—seperti elegi yang tak mengundang alergi. Deskripsi paripurna atas testimoni Ari Lasso tersebut, terdengar sangat jelas pada satu-satunya lagu karangan Duta di 07 Des, “Seandainya”. Pernah ada satu waktu saya membuat satu keputusan penting dalam hidup, lantas terasa seperti dihantam tepat di dada ketika mendengarkan lagu ini tepat sebelum waktu tidur. Bagaimana mungkin, ada orang yang bisa tetap baik-baik saja, setelah disuguhi lirik “Seandainya aku bisa, aku sanggup, dan aku mampu,” dan sebelumnya dihajar bait pembuka: “Seandainya kudapat memilih untuk tak pergi dan tetap di sini.” Apa yang lebih buruk dibanding menjadi pasrah untuk dua tujuan yang tak bisa satu arah?

Akan tetapi sulit dipungkiri bahwa Eross adalah ruh paling mendominasi dalam keseluruhan album ini. Saya merasa bahwa Sheila on 7 adalah kawan terbaik yang selalu menemani fase percintaan seseorang, baik yang manis ataupun tidak. Dan apapun yang dirasakan Eross ketika mengalami aneka kegamangan romansa di masa itu, akhirnya membidani semua kegeniusan di 07 Des hingga menjadi sebuah album yang punya sensasi ‘mewakili’ bagi banyak orang.

Salah satu yang menarik dari cara Eross mengemas karyanya di album ini, adalah bagaimana ia membuat momen biasa saja jadi terdengar mewah—dan sebaliknya, vice-versa. Di “Saat Aku Lanjut Usia”, ia mampu menangkap momen romantis pasangan kakek-nenek yang ia lihat di satu daerah di Jawa Tengah saat sedang saling suap-suapan kacang, dan kemudian diubah jadi nomor ceria dengan meminjam kocokan ala Merle Haggard untuk merangkum hal sederhana macam “memijit pundakmu hingga kau tertidur pulas”. Atau di kesempatan lain, membawa “Takkan Pernah Menyesal” menjadi seperti lagu yang dibawakan dua orang yang sedang duduk di pos kamling dengan satu gitar akustik dan segelas kopi sachet, lengkap dengan decak “ehem” dan satu genjrengan palm-muted untuk mengecek kesiapan bunyi. Momen pacaran yang cheesy seperti saling mengingatkan untuk membangunkan tidur satu sama lain lewat telepon di pagi hari, entah kenapa seperti dibawa naik level ketika dirangkum dalam lirik “bangunkan tidurku, jika kau terjaga lebih dulu.”

Sisi lain Eross kemudian terlihat sangat serius ketika menghasilkan “Tentang Hidup”. Ia seperti mencurahkan energinya untuk sesuatu yang lebih besar dan luas daripada sekadar perkara jatuh cinta saja. “Bertahan sayang dengan doamu, ‘ku coba bertanya pada Tuhanku,” adalah lirik magis yang masih menyisakan banyak tanya tentang konsep Ilahiah. Eross seperti sedang menggugat sesuatu yang kelewat sering berada di ranah abu-abu, namun dengan kemasan yang tak menggigit. Baginya, Tuhan memang satu dan kita semua yang sok tahu. Berkat lagu ini, saya seperti disadarkan bahwa hidup memang menyisakan banyak tanya tak peduli sekeras apapun dipikir untuk menemukan jawabnya. Ada hal besar yang memaksa orang untuk percaya, bahwa selurus apapun lintasan hidup akan menuntunmu tiba pada satu persimpangan untuk memilih.

Setelah sekian lama berselang, album ini masih jadi opsi terbaik untuk menemani orang pada momen sulit dan menyenangkan. Tak peduli berapapun banyak album yang akan dicetak Sheila on 7 nanti, 07 Des tetap yang ter-muach di hati.

Senin, 29 Juli 2019

Dentum Kepopuleran Jilid Dua Didi Kempot



"Umpamane, kowe uwis mulyo~ Mulyono~" (Kredit foto: @Bokisabis) 

“Waktu Iwan Fals (bersama Swami) merilis “Bongkar” itu Mas, saya lagi tiduran di JCC deket Senayan,” ujar Didi Kempot. “Itu saya masih ngamen di jalan. Nggembel di Jakarta.” Saya hanya terdiam dan membiarkan ia berbicara ngalor-ngidul sembari sedikit bernostalgia tentang kenangannya terhadap ibukota. Siang itu, sebuah pesan singkat yang masuk menuntun saya untuk segera merapat ke Tjikini Lima demi menemui Didi Kempot beserta Lare Jawi, band pengiring yang setidaknya sudah menemaninya selama lebih dari satu dekade. Ketika sampai di sana, Mas Didi langsung menyapa dan menawari makan siang. “Dahar rumiyin, Mas.” Saya menolak dengan halus, bukan karena sudah kenyang atau merasa sungkan; tapi sepenuhnya karena sedang merasa mual akibat rasa grogi. 

Bagaimana tidak, salah satu dari sedikit solois yang sudah lama saya kultuskan dengan kadar tak wajar, kini tengah duduk semeja dengan saya. Tepat di depan mata, memberikan tawaran makan siang pula. Bisa terlihat tenang dan tidak melakukan hal-hal memalukan saja sudah membuat saya senang, apalagi bisa dapat kesempatan untuk berbincang santai dan melakukan sesi tanya jawab tanpa potensi intervensi. Duh Gusti, ngimpi opo aku iki.

Sejujurnya saya sempat terpikir untuk bertanya hal-hal yang selama ini mengganjal di pikiran terkait proses kreatif di balik pembuatan karyanya. Salah satu contohnya, tentang pemaknaan lirik di nomor klasik nan nakal bertajuk “Klengkeng Bandungan”. Saya selalu bertanya-tanya: jenis buah macam apa yang bisa membuat orang kemecer hanya karena dilihat, lalu semahal apa sebuah klengkeng sampai tidak mau ditawar dan baru bisa dibayar ketika sudah gajian? Lantas, kenapa Pom Bensin Daleman pernah ia pilih sebagai tema utama lagu padahal tidak cukup ikonik—bahkan bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya? Kenapa kata sindhap atau ketombe, bisa menjadi pembuka sebuah lagu yang bercerita tentang tragedi dilupakan oleh pujaan hati? Tapi saya sadar, diskusi ini bisa berlangsung sampai berjam-jam dan saya memutuskan untuk menyimpan rasa penasaran tersebut agar dilontarkan di lain kesempatan saja.

Tapi tak lama kemudian, saya memberanikan diri untuk menyodorkan beberapa pertanyaan. Saya tahu Mas Didi sempat menjalani profesi sebagai pengamen di bundaran Slipi, Jakarta Barat, tapi baru di siang itu saya tahu kalau ia tetap mengawali ‘karir’ bermusiknya sebagai pengamen di salah satu destinasi kuliner di kota Solo. “Dulu saya ngamen di daerah Keprabon itu, di warung nasi liwet itu lho Mas.” Di Keprabon, memang berjejer warung nasi liwet yang kerap menampilkan suguhan musik untuk mengibur tamunya. Beberapa di antaranya menampilkan lantunan musik populer dengan irama keroncong, sebagian sisanya adalah sinden yang tampil solo dengan iringan kecapi. Lebih dari 30 tahun lalu, seorang Didi Prasetyo ‘ditempa’ di tempat ini sebelum hijrah ke Jakarta dan menggunakan akronim Kelompok Penyanyi Trotoar (Kempot) sebagai nama panggungnya.

Uniknya hanya beberapa meter dari sana, ada satu tempat yang juga cukup memiliki nilai sejarah bagi kultur musik kota Solo. Jika Nasi Liwet Keprabon sempat membidani kelahiran Didi Kempot, maka Soto Triwindu (yang juga sama-sama terletak di kelurahan Keprabon) sempat disinggahi oleh David Bowie lewat undangan Setiawan Djodi, pebisnis asal Solo yang juga tercatat sebagai gitaris Swami dan supergrup Kantata Takwa, untuk datang dalam perayaan 1 Sura Kraton Mangkunegaran. Sebagai orang Solo yang sedari kecil dicekoki falsafah hidup Jawa, saya percaya tidak ada yang kebetulan dari momen ini. 

Keprabon sendiri memiliki arti tempat para prabu dan raja, dan di sanalah terdapat PurÃ¥ Mangkunagaran, istana resmi Kadipaten Praja Mangkunegaran. Bowie adalah seorang ‘Raja’ yang mengubah sejarah rock dunia, sedangkan Didi Kempot kini dianugerahi titel 'Lord' oleh penikmatnya dari generasi baru. Keduanya tak pernah memiliki garis keturunan raja secara resmi, tapi karya mereka menjadi semacam titah yang bisa memberi komando pada jutaan orang untuk tunduk. Uthak-athik gathuk, tur masyuk.

Malang melintang sebagai pengamen di ibukota, rasa penasaran akan sensasi rekaman akhirnya datang juga. Mas Didi kemudian memberanikan diri untuk memasuki dapur rekaman, dan menelurkan beberapa karya awal seperti “We Cen Yu”, “Sir Siran”, “Teler”, “Yok Siskamling”, “Nggedebus”, dan hit fenomenal “Cidro” bersama Batara Group yang dibantu Pompi Suradimansyah (No Koes) dan juga sang kakak, Mamiek Prakoso. Di bawah bendera Atlantic Record, Batara Group justru melejit lebih dahulu di Suriname daripada di tanah air. Baru setelah memutuskan untuk berkarir sebagai solois bersama Dansa Studio dan merilis album Stasiun Balapan, Didi Kempot mulai dikenal secara meluas di Indonesia. 

Secara personal, saya sangat menyukai satu-satunya album yang pernah dirilis Batara Group itu karena terasa sangat autentik. “Cidro” dibawakan dengan versi slow-pop yang sangat berbeda dengan versi yang dikenal publik saat ini, “Teler” adalah tembang jujur tentang kebiasaan mabuk di jalan yang dibuka dengan repetan rap sederhana, dan “We Cen Yu” adalah crossover pop-keroncong-dangdut yang dipenuhi ragam celetukan dan slang khas Jawa dalam balutan pentatonik khas Tiongkok yang kental. 

Saya sempat sedikit bercerita kepada Mas Didi, bahwa “We Cen Yu” adalah karya yang saya tempatkan di posisi nomor dua pada sebuah tulisan yang ditujukan untuk mengkurasi daftar lagunya. Pada kesempatan yang sama saya juga mengeluhkan betapa sulitnya untuk mengakses lagu tersebut, karena saat tulisan itu dibuat, satu-satunya tempat yang bisa saya akses di internet untuk memutar “We Cen Yu” adalah portal radio asal Suriname yang bahkan saya lupa namanya.

Suara Jawa nopo Garuda, Mas?” tanya Mas Didi kepada saya. “Aduh, kula nggih kesupen Mas. Pokokmen niku angel sanget pas kula padhosi wonten internet.”


************

Tumbuh sebagai seorang penggemar, kemudian beranjak sebagai orang yang beruntung untuk memiliki kesempatan berkomunikasi dengan idola membuat saya memiliki impresi personal yang berkesan kepada Didi Kempot. Tiap kali berbincang, ia masih menggunakan krama inggil yang justru membuat saya jadi sangat sungkan. Ha wong, saya ini fans je, mosok di kula-jenengan karo idolane. Seorang kerabat, Pakdhe Blontank Poer, awalnya mengenalkan saya kepada Mas Didi sebagai ‘mas-mas sing nggambleh neng internet soal Mas Didi’ ketika kali pertama jumpa di belakang panggung Gulo Klopo. Mas Didi sontak membungkuk dan mengajak salaman sembari mengucap “matur suwun sanget, Mas,” yang juga dibalas gestur membungkuk lebih rendah dari saya berulangkali—karena merasa sangat sungkan atas respons tersebut. Andai ada yang mendokumentasikan adegan tersebut, pasti terlihat sangat mirip dengan adegan Mister Satomata-Kasino saat pamit dan berulangkali berbalas “arigatou!” di film Depan Bisa, Belakang Bisa.

Kepada Mas Didi, saya juga bercerita kalau saya tinggal satu kampung dengan Mas Didit, personel Lare Jawi yang bertugas pada departemen kibor. Kebetulan, saya dan Mas Didit sudah beberapa kali bekerjasama membuat hajat 17-an di kampung. Ia berada di divisi pengisi acara, sedangkan saya di urusan kepemudaan. Enam tahun silam, bahkan kami berhasil mengundang Didi Kempot di puncak perayaan 17 Agustus. Ketika bersua di Jakarta untuk perayaan ulang tahun sebuah partai, Mas Didit sekonyong-konyong mengajak saya selfie untuk dilaporkan pada istri. “Panitia 17-an kampung dolan Jakarta,” ujarnya. 

Berkat ‘koneksi’ inilah, saya bisa mengetahui kalau Didi Kempot memang begitu dekat dengan rekan-rekan yang nyengkuyung dirinya di dalam dunia musik. Sebelum didampingi Lare Jawi, Mas Didi kerap melibatkan mantan rekan ngamennya di Jakarta untuk kebutuhan bermusik dan syuting video klip. Anda mungkin tidak akrab dengan nama seperti Yatni Rembol, alm. Dani Pelo, atau alm. Kuncung, tapi pasti pernah melihat penampakan mereka di semua video klip Didi Kempot pada era ‘90-an. Di klip yang menyajikan keindahan panorama alam, penampilan wanita cantik yang menari secara berkelompok, dan raut wajah Didi Kempot yang di-zoom-in-zoom-out, pasti ada adegan komedi slapstick yang dimainkan oleh mantan rekan ngamennya itu.

Belakangan ini saya baru tahu kalau Mas Didi hanya bisa dihubungi melalui SMS, bukan chat WhatsApp. Ketika penyanyi dengan tingkat kepopuleran seperti dirinya sudah mulai memikirkan konten untuk kanal vlog atau menyapa “hai guys” kepada penggemarnya lewat Instagram Story, Mas Didi seperti ‘menolak’ menuruti tren dan memilih cara klasik jalur komunikasi ponsel untuk berinteraksi. Mungkin konservatisme ini pula yang membuat branding Didi Kempot kalah gaung dibanding para juniornya yang menapaki jenis musik serupa. Pun ketika berbicara soal kejelasan status karya, hak cipta, dan hak edar yang lebih diperhatikan oleh musisi zaman sekarang. 

Tapi di banyak kesempatan, ia selalu mengaku tidak ambil pusing dengan hal tersebut. Prinsip nerimo dan semeleh dalam mengelola karya, sejujurnya kadang membuat saya merasa gemas sebagai penggemar. Karena sering sebagai empunya karya, Didi Kempot justru kalah exposure dibanding musisi yang menggarap ulang lagu miliknya. Ketika diwawancara Gofar Hilman dalam acara Ngobam Didi Kempot, Mas Didi justru santai berujar “Karena saya orang Solo, nerimo itu lho Mas. Kalau memang rezeki saya, nanti pasti akan kembali ke saya. Kalau di-cover kelewat batas, ya biar nanti dosa saya dan anak-cucu saya dilimpahkan ke mereka,” sembari tertawa terkekeh.


************

Saya selalu menyatakan ketidaksetujuan ketika ada kawan yang nyeletuk ke saya, bahwa “sekarang Didi Kempot banyak yang dengerin lagi ya.” Didi Kempot tidak pernah benar-benar hilang dalam kultur musik Jawa, dan selalu punya tempat tersendiri bagi mereka yang tumbuh besar di tanah atau lingkungan keluarga Jawa. Sebelum mengukuhkan selera musik berdasar preferensi masing-masing, kami tumbuh besar dengan senandung lagu Didi Kempot. Ketika mulai mengenal pahit getir kehidupan, khususnya perkara cinta, karya Didi Kempot selalu menjadi tempat terbaik bagi kami untuk menangisi nasib dan kesunyian masing-masing. Entah lewat perantara karaoke, gitar di tongkrongan, atau racauan tak mengenal nada ketika kerongkongan sedang dihantam alkohol. 

Yang membedakan satu dengan lainnya, hanya keberanian untuk menampilkan selera tersebut ke hadapan umum. Karena tentu saja di tengah gempuran musik modern yang terus bermunculan, sentimen terhadap musik berbahasa daerah adalah hal yang tidak bisa dihindari. Dicap musik kelas bawah, ndeso, atau punya selera musik buruk adalah hal-hal yang sering terlontar pada penikmat karya Didi Kempot sebelum tren ini kembali bergaung.

Pada 2013, saya dan beberapa kawan sempat berinisiatif untuk membuat fanbase Didi Kempot dengan irisan penggemar dari anak muda di sosial media. Dulu, kami menamai sebuah akun bernama 'Didikempotmania' yang bisa dibajak siapa saja karena password-nya sangat simpel dan mudah ditebak: stasiunbalapan. Namun, ada ketakutan bahwa akun tersebut dianggap berafiliasi dengan Didi Kempot dan riskan disalahartikan jika memuat cuitan kontroversial. Apalagi, diperparah dengan kebiasaan radio atau stasiun televisi yang tidak mengecek verifikasi akun Didi Kempot ketika hendak mempublikasi segala aktivitas yang berkaitan dengan dirinya. Akhirnya, nama akunnya diubah menjadi ‘Dadikempot’ dengan konten utama berbentuk cuitan dari potongan lirik dan quote dari cuplikan video klip Didi Kempot. Akun itu sudah lama mati, tapi tidak dengan kecintaan kami terhadap karya sang maestro.

Pasca penampilan Didi Kempot di Balekambang, video yang dipublikasikan oleh rekan-rekan Rumah Blogger Indonesia (RBI) menjadi—duh, saya sangat benci menggunakan kata ini—viral. Linimasa dipenuhi puja-puji atas dedikasi Mas Didi yang konsisten merayakan patah hati. Beberapa saat sebelumnya, gaung permintaan akan kehadiran Didi Kempot di Synchronize Festival 2019 juga menggema cukup kencang. Kemudian berturut-turut setelahnya gelombang pemujaan ini terus membesar: ‘lahir kembali’ di Balekambang, pengukuhan gelar Bapak Patah Hati Nasional, berkolaborasi dengan Gofar Hilman, diminta tampil di Jakarta, diliput banyak media, sampai yang terakhir membuat Raden Saleh, Cikini, menjadi penuh sesak. 

Pada satu titik, momen ini terasa sangat sentimental; saya benar-benar terharu menyaksikan betapa banyak orang mau menunjukkan cintanya terhadap Didi Kempot. Saya rasa ada banyak orang yang bermimpi untuk bisa melihat Didi Kempot mendapat spotlight seperti saat ini. Prinsip semeleh dan nerimo itu pasti akan terbayarkan, dan saat ini Didi Kempot sedang menuai buah akan prinsipnya tersebut. 

Sebagai orang Solo, saya selalu berharap ada ‘regenerasi’ ikon musik nasional dari kota Bengawan setelah kepergian Suwargi Mbah Gesang, dan kini legitimasi status tersebut berhasil disabet oleh Didi Kempot. Ini semacam mimpi basah bagi setiap penikmat dan pelaku musik lokal, yang akhirnya bisa terlepas dari dikte selera industri ibukota. Sesekali, biarkan rekan-rekan di Jakarta yang ‘turun’ untuk mengobati rasa penasaran mereka akan sesuatu yang sedang digandrungi orang banyak. Harapannya, seperti yang dituturkan Mas Didi, gerakan semacam ini bisa menjadi stimulus bagi musisi di daerah untuk menggemakan kearifan musik lokal sekencang-kencangnya.

Saya juga tidak menampik bahwa hal ini berpotensi ‘hanya’ menjadi tren yang cepat datang dan cepat pula menghilang. Namun setidaknya, kemunculan fenomena anyar seperti sadbois, sobatambyar, atau Godfather of Broken Heart bisa jadi gerbang pembuka bagi generasi baru penikmat karya Didi Kempot agar merasa terwakili. Mereka yang belum mengalami kebingungan menerjemahkan semiotika ‘klengkeng’ di lagu “Klengkeng Bandungan”, mungkin merasakan ode yang begitu indah ketika mendengar “Banyu Langit”. Yang tidak merasakan romansa “Nunut Ngiyup”, bisa saja kini merasa curahan hatinya difasilitasi ketika mendendangkan “Pamer Bojo”. 

Di beberapa hajatan Didi Kempot yang saya sambangi belakangan, saya justru mendapatkan sensasi seperti datang ke gigs band lokal yang mempertemukan kalian dengan kawan lintas skena. Tak peduli kalian datang dengan baju Fugazi, Slayer, The Clash, Depeche Mode, Barasuara, sampai Begundal Lowokwaru, semua datang dengan satu tujuan: menunjukkan respek untuk Didi Kempot atas kontribusinya terhadap perjalanan khazanah musik masing-masing yang mungkin dilengkapi dengan sentimen personal. 

Regenerasi penikmat adalah sesuatu yang harus dimunculkan untuk menjaga eksistensi empunya karya, dan anak-anak muda ini tidak hadir untuk menandingi Kempoters atau apapun nama penikmat Didi Kempot pendahulunya; mereka hanya melengkapi lapisan penggemar Didi Kempot agar spektrumnya menjadi lebih luas. Toh juga tidak ada yang dirugikan dari fenomena ini. Kecintaan generasi muda akan penggunaan bahasa daerah kini kembali muncul, penggemar makin dimudahkan untuk melihat penampilan idolanya, Didi Kempot kian terpacu untuk berkarya, dan orang-orang di sekelilingnya juga turut disejahterakan. 

Mas Didit, ketika melakukan sound check di Cikini, sempat berseloroh kepada saya bahwa agenda manggung Lare Jawi juga semakin padat pasca ‘kehebohan’ di Balekambang. Eksklusivitas penikmat hanya akan membuat potensi kemunculan penggemar baru jadi semakin menyempit, pun dengan keberlangsungan hidup dan karya si pelaku yang saling berkaitan.

Selagi bisa, nikmatilah tiap detik perayaan kesedihan yang disenandungkan oleh Didi Kempot. Karena hanya ia yang bisa menulis lagu tentang kemiripan sensasi menangis di Bantul dan Irlandia:

“Rasane kepengen nangis yen kelingan Parangtritis, ning ati koyo di Irish......”