Sabtu, 07 Desember 2019

Tentang Hidup, Tentang 07 Des


"Lindungi Bumi" - artwork 07 Des karya Rudi Mantovani.

Andaikan saya terdampar di sebuah pulau dan hanya ditemani satu buah album yang digunakan untuk membunuh sepi, tanpa ragu saya akan menunjuk album ketiga milik Sheila on 7, 07 Des sebagai bekal. Selalu sulit untuk menyusun daftar lagu favorit dari Sheila on 7 ke dalam sebuah komposisi peringkat, tapi jika ditanya album yang paling banyak memuat sentimen personal, 07 Des punya semua alasan untuk punya satu tempat spesial bagi saya. Di album yang dirilis 17 tahun silam tersebut, saya menganggap Sheila on 7 mengeluarkan kemampuan terbaik mereka untuk bertutur lewat lagu dengan cara paling khusyuk.

Di sebuah kesempatan, Eross Candra pernah bertutur bahwa 07 Des adalah album yang durasi pengerjaaanya paling cepat jika dibandingkan dua album sebelumnya. Karena dikerjakan di tengah kesibukan jadwal ini dan itu, Eross mengakui kalau proses kurasi materi di 07 Des tidak terlalu ketat dan tak sampai dibikin pusing. Di Self-Titled (1999) dan Kisah Klasik untuk Masa Depan (2001), Sheila on 7 seperti tampil dengan kemasan tebar pesona yang ditujukan untuk mengusahakan banyak kesan, dan memang terbukti berhasil dengan total penjualan album hingga menyentuh angka 3 juta. Selektivitas materi di dua album tersebut juga yang menjadi hal yang lumrah, jika mengingat status Sheila on 7 sebagai band anyar dari luar ibu kota yang sampai di pelukan Sony Music dengan cara yang tidak mudah. Tancap gas, serba digeber. Toh, hasil akhirnya juga jauh dari kategori biasa saja.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, yang membuat album ini terasa sangat personal adalah bagaimana cara Sheila on 7 bercerita. 07 Des bagaikan sebuah manifesto yang ditujukan satu orang kepada satu sosok lewat barisan lirik yang serba menohok. 14 nomor yang diciptakan oleh pemuda—yang kala itu baru menginjak usia 22-23—asal Jogja tersebut, tidak menciptakan spektrum tafsir yang kelewat luas, pun tidak menghasilkan pemaknaan yang kelewat mengawang. Ini terdengar seperti: “hei, ini aku bikin satu album khusus bercerita soal kamu, lho.”

Pada "Seberapa Pantas", misalnya. Eross seperti menangkap keresahan banyak lelaki ketika hendak menatap masa depan dengan orang terkasih, lewat lirik "mampukah kau bertahan dengan hidupku yang malang/sanggupkah kau meyakinkan di saat aku bimbang." Ini adalah tipikal lagu yang kemudian mengusik pikiran tentang kesediaan seseorang untuk tetap tinggal saat berada di fase yang sulit, dan kemudian memunculkan kembali pertanyaan: “seberapa pantaskah kau untuk ‘ku tunggu?”

Di album ini, Anton, pria pencetak pakem gebukan brilian nan sederhana yang muskil ditiru siapapun di kemudian hari, mengejutkan banyak orang ketika membidani kelahiran tembang “Mari Bercinta” yang kemudian secara biadab dinodai oleh Vicky Shu dan Aura Kasih di kemudian hari. Hingga hari ini, saya masih tidak habis pikir bagaimana lagu ini bisa menyertakan lirik genius seperti “hanya satu buah titah, yang kami ejawantah, terlalu banyak cinta kan binasa,” tanpa terkesan seperti musisi yang sedang pamer diksi. Aransemen string yang dihasilkan Erwin Gutawa di lagu ini seperti terselip dengan kadar yang pas; tak lantas membuat “Mari Bercinta” terdengar terlalu megah dan teknikal, tapi juga menjauhkan lagu ini dari kesan ala kadarnya karena minim kompleksitas aransemen.

Dalam sebuah wawancara, saya ingat Ari Lasso pernah menyebut Duta sebagai salah satu vokalis dengan karakter paling khas di Indonesia. Menurut mantan penggawa Dewa 19 tersebut, timbre vokal Duta sangat mudah untuk membuat wanita jatuh hati, tapi tak lantas membuat pria merasa malu untuk mendengarnya—seperti elegi yang tak mengundang alergi. Deskripsi paripurna atas testimoni Ari Lasso tersebut, terdengar sangat jelas pada satu-satunya lagu karangan Duta di 07 Des, “Seandainya”. Pernah ada satu waktu saya membuat satu keputusan penting dalam hidup, lantas terasa seperti dihantam tepat di dada ketika mendengarkan lagu ini tepat sebelum waktu tidur. Bagaimana mungkin, ada orang yang bisa tetap baik-baik saja, setelah disuguhi lirik “Seandainya aku bisa, aku sanggup, dan aku mampu,” dan sebelumnya dihajar bait pembuka: “Seandainya kudapat memilih untuk tak pergi dan tetap di sini.” Apa yang lebih buruk dibanding menjadi pasrah untuk dua tujuan yang tak bisa satu arah?

Akan tetapi sulit dipungkiri bahwa Eross adalah ruh paling mendominasi dalam keseluruhan album ini. Saya merasa bahwa Sheila on 7 adalah kawan terbaik yang selalu menemani fase percintaan seseorang, baik yang manis ataupun tidak. Dan apapun yang dirasakan Eross ketika mengalami aneka kegamangan romansa di masa itu, akhirnya membidani semua kegeniusan di 07 Des hingga menjadi sebuah album yang punya sensasi ‘mewakili’ bagi banyak orang.

Salah satu yang menarik dari cara Eross mengemas karyanya di album ini, adalah bagaimana ia membuat momen biasa saja jadi terdengar mewah—dan sebaliknya, vice-versa. Di “Saat Aku Lanjut Usia”, ia mampu menangkap momen romantis pasangan kakek-nenek yang ia lihat di satu daerah di Jawa Tengah saat sedang saling suap-suapan kacang, dan kemudian diubah jadi nomor ceria dengan meminjam kocokan ala Merle Haggard untuk merangkum hal sederhana macam “memijit pundakmu hingga kau tertidur pulas”. Atau di kesempatan lain, membawa “Takkan Pernah Menyesal” menjadi seperti lagu yang dibawakan dua orang yang sedang duduk di pos kamling dengan satu gitar akustik dan segelas kopi sachet, lengkap dengan decak “ehem” dan satu genjrengan palm-muted untuk mengecek kesiapan bunyi. Momen pacaran yang cheesy seperti saling mengingatkan untuk membangunkan tidur satu sama lain lewat telepon di pagi hari, entah kenapa seperti dibawa naik level ketika dirangkum dalam lirik “bangunkan tidurku, jika kau terjaga lebih dulu.”

Sisi lain Eross kemudian terlihat sangat serius ketika menghasilkan “Tentang Hidup”. Ia seperti mencurahkan energinya untuk sesuatu yang lebih besar dan luas daripada sekadar perkara jatuh cinta saja. “Bertahan sayang dengan doamu, ‘ku coba bertanya pada Tuhanku,” adalah lirik magis yang masih menyisakan banyak tanya tentang konsep Ilahiah. Eross seperti sedang menggugat sesuatu yang kelewat sering berada di ranah abu-abu, namun dengan kemasan yang tak menggigit. Baginya, Tuhan memang satu dan kita semua yang sok tahu. Berkat lagu ini, saya seperti disadarkan bahwa hidup memang menyisakan banyak tanya tak peduli sekeras apapun dipikir untuk menemukan jawabnya. Ada hal besar yang memaksa orang untuk percaya, bahwa selurus apapun lintasan hidup akan menuntunmu tiba pada satu persimpangan untuk memilih.

Setelah sekian lama berselang, album ini masih jadi opsi terbaik untuk menemani orang pada momen sulit dan menyenangkan. Tak peduli berapapun banyak album yang akan dicetak Sheila on 7 nanti, 07 Des tetap yang ter-muach di hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar