Sabtu, 03 Mei 2014

Vakansi Sempurna ala Pasukan dari Selatan Jakarta

Lembe-Lembe!

Dari Jakarta, turun ke Lokananta. Enam sekawan ini bernyanyi, berdansa, sembari bercerita tentang angan yang tak kelewat muluk dan kemungkinan membuat album religi

**********************************

Selang setahun setelah merilis White Shoes and the Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah dalam format CD, White Shoes and the Couples Company (WSATCC) memutuskan untuk kembali merilis mini-album tersebut dalam format double gatefold 7 inch. Bekerjasama dengan The Think Organizer, pada Kamis (30/4) lalu mereka mengadakan pesta peluncuran dan penjualan mini-album tersebut di Lokananta —studio yang juga menjadi tempat penggarapan White Shoes and the Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah. Malam itu, ruangan studio Lokananta disulap menjadi panggung sederhana yang intim, dengan melibatkan WSATCC dan 300 penggemarnya yang hadir sebagai sejolinya.

Acara ini dibuka dengan testimoni dari sang manajer, Indra Ameng dan Andi —perwakilan dari Studio Lokananta, tentang proses penggarapan mini-album White Shoes and the Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah. Stephanus Adjie, vokalis Down For Life yang didapuk sebagai pembawa acara, berhasil membuat sesi testimoni ini menjadi kocak dan jauh dari kategori membosankan —sebagaimana testimoni pembuka di acara serupa. “Setelah White Shoes, saya dapat kabar kalau Metalllica juga akan membuat vinyl di Lokananta. Album mereka akan dibuat edisi vintage!” ujar Adjie. Mungkin jika sudah tidak lagi berkutat di ranah musik metal, Adjie tahu harus banting setir ke profesi apa.

Bukan kali pertama WSATCC tampil di dalam studio Lokananta. Hampir dua tahun silam, mereka juga pernah merasakan sensasi manggung di studio legendaris ini, dalam sebuah acara amal yang bertujuan untuk kembali ‘menghidupkan’ geliat Lokananta. Komposisinya masih sama: penonton di dalam duduk lesahan, intim, penuh sesak, dan sedikit gerah. Hanya saja, untuk konser kali ini WSATCC menyiapkan tata lampu dan cahaya yang lebih apik.

Seakan merayakan kembalinya momen kebersamaan dengan para penggemarnya di kota Solo, WSATCC langsung membuka dengan tembang cantik dari album Skenario Masa Muda, “Super Reuni”. Sang biduan, Aprilia Sari tahu betul cara menyapa dan membuat para penonton merasa semringah. Nona yang satu ini, tanpa henti menebar aura bahagia ketika bernyanyi dan berdansa. Seisi Lokananta seakan disuguhi dua anugerah secara bersamaan; nikmat rupa, juga nikmat suara. Tak lama berselang, mereka kemudian membawakan lagu yang sempat populer di era ’50, “Aksi Kucing” —dan seperti biasa, langsung dipenuhi dengan sahut-sahutan “meong, meong” antara penonton dengan sang penampil. Berurutan setelahnya, WSATCC memainkan “Vakansi”, “Senandung Maaf”, medley “Tentang Cinta – Selangkah – Masa Remadja”, sebelum mengakhiri pertunjukan dengan koor massal di nomor “Kisah dari Selatan Jakarta”.

Selayaknya adegan penutup konser pada umumnya, WSATCC kemudian undur diri sembari mengucapkan salam terimakasih kepada para penonton dengan terburu-buru. Selayaknya respon penonton pada umumnya pula, mereka kemudian berteriak “lagi, lagi, lagi!” dengan keyakinan penuh bawa musisi idolanya itu akan kembali naik ke atas panggung. Dan benar saja, sejurus kemudian WSATCC kembali berada di atas panggung. Riuh tepuk tangan dari penonton pun langsung terdengar. Dramatis? Bisa jadi.

Pertunjukan sebenarnya justru baru saja dimulai. Setelah lampu panggung dipadamkan, seketika itu pula muncul suara deburan ombak dan hembusan angin yang berulang. Kombinasi ini, adalah pengantar dari nomor pembuka mini-album White Shoes and the Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah, “Jangi Janger”. Lagu tradisional anak yang berasal dari Bali ini, dimainkan tanpa iringan instrumen dan berhasil menanggalkan kesan magis serta megah. Setelah itu WSATCC membawakan lagu “Tjangkurileung”, yang merupakan buah karya seniman besar Sunda, Koko Koswara. Nuansa rockabilly yang kental di dalam lagu ini, berhasil membujuk para penonton untuk menggoyangkan badan dan turut serta memberikan iringan tepuk tangan tanpa henti.

Pasca encore, mereka membawakan seluruh lagu yang ada di mini-album White Shoes and the Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah. Kejutan dengan suguhan eksplorasi musik sampai tingkatan paling dalam, mereka buktikan dengan menyisipkan sentuhan baru di tiap-tiap nomor. Sisipan surf-rock, psikedelik, akustik-ballad, ketukan disko klasik khas film ’70-an serta kocokan gitar ala funk-jazz yang dikawinkan dengan vokal nan ciamik milik Nona Sari, bisa Anda temukan di “Lembe-Lembe”, “Te O Rendang O”, dan “Tam-Tam Buku”. Repertoar ini, kemudian ditutup tanpa cacat oleh hit mereka dari 2005, “Windu Defrina”.

Konser telah usai, tapi tidak dengan keriaan yang ada di dalamnya. Setelah turun panggung, WSATCC langsung mengadakan sesi meet & greet dengan para pengggemarnya. Berfoto bersama, sekaligus menandatangani seluruh ‘dagangan’ yang mereka bawa dari Jakarta. Perwakilan Demajors —perusahaan rekaman yang bertanggung jawab untuk mendistribusikan mini-album ini, nampak tersenyum lebar tatkala mendapati lapaknya laris manis bak penjualan mantel plastik di kala musim hujan tiba. 50 piringan hitam dan 50 cakram padat yang mereka bawa, seluruhnya habis terjual. Piringan hitam White Shoes and the Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah sendiri hanya diproduksi sebanyak 300 keping, dan dilepas dengan harga Rp. 280 ribu.

Alhamdulillah deh kalau gitu,” ujar Sari tatkala mendengar kabar bahwa piringan hitam yang mereka bawa habis terjual.  Ricky Surya Virgana sang bassist, bercerita tentang proses produksi mini album ini. “Proses pengerjaan album ini memang di Lokananta, tapi pressing­­-nya sih di Italia. Sempat ada opsi, supaya hasil rekaman dibawa ke Prancis, tapi biaya produksinya kelewat mahal. Padahal dulu, semua piringan hitam musik Indonesia —bahkan Asia Tenggara pressing-nya ya di sini, di Lokananta. Tapi, mesinnya udah dijual ke Singapura.” kata Ricky.

Ketika disinggung mengenai pesan yang ingin disampaikan WSATCC dalam album ini, Sari mengaku bahwa mereka tidak merancang atau menyisipkan pesan yang kelewat muluk.

“Biasa aja.”

“Gini, sebetulnya kita rekaman di Lokananta itu memang karena kami ingin membuktikan bahwa studio ini tuh sama seperti studio-studio lain; bisa dipakai rekaman.  Udah itu aja. Karena kami sadar, bahwa pesan dari kami saja tidak akan mengubah sesuatu secara signifikan. Jamannya memang sudah berbeda, memang ga bisa dipaksakan kalau visi dan misinya memang sudah ga sejalan,” ujar Sari tegas. Nona Sari dan Aprilia Sari memang dua karakter yang berbeda: yang satu tampil sebagai biduan, dengan lemparan senyum setiap saat dan raut mata yang ingin menyenangkan semua orang dari atas panggung. Yang satu lagi: sesekali tersenyum, garis wajahnya sedikit serius dan lisannya terdengar tajam dalam menyampaikan gagasan. Tapi yang pasti, baik Nona Sari maupun Aprilia Sari sama-sama memiliki senyum yang menenangkan, juga menyenangkan.

Sari menambahkan, “Kalau soal lagu daerah, itu memang sudah menjadi kebiasaan kami sejak lama. Sebelum proses rekaman album ini, kami sempat beberapa kali membawakan lagu daerah. Meskipun yang sering kami bawakan, malah tidak kami rekam. Jadi, kami tidak terlalu mengemban misi yang kelewat spektakuler; melestarikan lagu daerah, menyelamatkan budaya, atau yang lainnya. Kami melakukan apa yang kami suka saja, kalau kemudian banyak pendengar yang sama-sama menyukai juga, ya itu bonus.”

Lagian, terdengar berlebihan ga sih kalau kita menyampaikan gagasan seperti itu? Toh sebetulnya, tiap hari lagu daerah itu masih sering dinyanyikan di sekolah dasar. Anak-anak masih banyak yang hapal lagu daerah. Banyak hal yang sering kita lakukan sehari-hari, sehingga saking seringnya, kita ga sadar kalau itu sudah menjadi bagian dari hidup kita,” tutur Sari.

“Cuma, dulu memang lagu daerah memiliki tempat yang sejajar dengan musik kebanyakan. Musik pop, misalnya. Kami cuma mau mengembalikan itu saja,” ujar Ricky menambahkan. “Kami tidak ingin merasa terbebani dengan apa yang kita buat. Misalnya mau puasa bikin lagu pop-religi, padahal gua ngaco, masih sering ngomongin orang, bahkan mungkin puasa juga ga! (tertawa)” kata Rio Farabi sang gitaris.

Penggebuk drum, John Navid juga mengiyakan pendapat personel lainnya. Menurutnya, ia juga menyadari kapasitas WSATCC. “Kami ga berharap lebih. Yaudah, sederhana aja gitu. Orang tau kita bisa rekaman di Lokananta......”

“....kalau suka beli, ga suka rugi,” pungkas Ricky dengan jujur.