Jumat, 08 Mei 2020

Obituari Didi Kempot: Setelah 1000 Kutha Usai



Lahul Fatihah kagem Mas Didi.

Saya tidak pernah benar-benar paham bagaimana ‘firasat’ bisa bekerja. Untuk perkara abstrak yang tak memiliki pakem, saya rasa ‘firasat’ kelewat sering dipakai sebagai detektor berita kehilangan. Saban ada tokoh yang berpulang, selalu saja ada yang berusaha mengorek informasi nirguna dengan kalimat pembuka, “Apakah sudah ada firasat sebelumnya?” Syukur yang ditanya ikut terpancing, cilaka kalau nalar dan logika yang ditanya sedang bekerja sebagaimana mestinya.

17 tahun silam, Nenek saya berpulang. Kena sakit tua, katanya. Selang beberapa saat setelah waktu subuh, dan dalam kondisi keluarga besar sudah berkumpul untuk kemungkinan paling buruk sejak beberapa hari sebelumnya. Tidak ada isak tangis yang berlebihan, semua bersedih sesuai porsinya masing-masing. Sembari menyiapkan prosesi ini dan itu, keluarga berkumpul untuk saling nguda rasa, memberikan kesaksian baik selama Almarhumah hidup sembari sesekali mengenang proses ketika Nenek dirawat—hingga terperinci sampai ke menit-menit akhir jelang ia menutup mata. Termasuk saling berbagi firasat yang dirasakan dalam beberapa waktu sebelumnya.

“Saya tadi pagi mau buka pintu depan, kok pas deket ada suara kaya pintu didorong ya? Digedor-gedor tapi tidak ada suaranya. Pagi buta lho, terus saya masuk lagi. Malaikat datang mau ‘jemput’ Mbah kali ya?” ujar Budhe.

“Oh, bisa jadi tuh Dhe.”
“Wah iya, mungkin juga itu.”

Lalu, sekonyong-konyong Pakdhe datang dan memberikan jawaban:

“Oh, itu mah saya tadi mau masuk habis shalat Subuh di masjid. Dikunci dari dalam kok ga dibukain, kirain masih tidur. Ya sudah masuk lewat pintu belakang.”

Lalu obrolan tentang firasat pun seketika usai tanpa dikomando. Agak sulit membayangkan kalau malaikat memang harus dibukakan pintu dulu untuk bisa melaksanakan tugasnya. Izrail bukan petugas sumbangan yang kalau tidak dibukakan pintu, lantas diminta untuk datang esoknya lagi.

5 Mei lalu, hari tidak berjalan baik-baik saja bagi saya. Sehabis santap sahur, saya tertidur di dipan teras rumah. Mak jegagik saya terbangun beberapa saat setelah azan subuh; dalam kondisi bangun yang sungguh tidak enak karena hampir terjatuh dari dipan, seperti baru mengalami mimpi jatuh dari jurang yang langsung membuatmu terbangun saat tertidur di meja sekolah. Belum sempat minum air putih dan gosok gigi untuk bekal menghadapi puasa selama 13 jam ke depan, saya langsung bergegas ambil air wudhu.

Subuh itu, entah kenapa saya tiba-tiba memikirkan hal-hal yang sepertinya jarang sekali saya bayangkan: kematian. Tiba-tiba sudut ingatan saya kembali tertuju pada hari di mana saya kehilangan Nenek. Buka pintu, subuh, dan obrolan Pakdhe-Budhe soal malaikat. Setelah shalat, bahkan saya masih bergumam: semisal malaikat datang pagi itu, apakah saya akan dibangunkan dulu untuk menunaikan ibadah subuh, atau langsung dijemput tanpa ba-bi-bu? Demi Tuhan, saya jauh sekali dari sosok religius, tapi saat itu, pikiran saya tidak henti-hentinya bergumul soal malaikat maut dan berbagai pengandaian tentang skenario saat berjumpa dengan kematian.

************************

Pukul 9 atau 10, adik membangunkan saya dari tidur. Belum sepenuhnya saya melek, adik saya nyerocos soal banyak hal yang tidak bisa saya ingat. Tapi yang jelas, kalimat akhirnya langsung membuat saya sadar dengan sempurna: “Papah mau nelpon, Didi Kempot meninggal lho!” Kabar itu langsung membuat saya seperti orang linglung. Saya cek ponsel, ternyata ada beberapa panggilan tak terjawab dari nomor yang tidak saya kenal dan beberapa chat yang berusaha memvalidasi kabar kepergian Mas Didi. Pun ketika mengecek Twitter, ada beberapa mention yang menuliskan ucapan belasungkawa kepada saya. Setelah mengecek beberapa sumber dan berulang-kali membaca dengan saksama, saya kemudian sadar bahwa Mas Didi benar-benar telah berpulang. Meninggal di usia 53, sama seperti sang kakak, Mamiek Prakoso, yang mangkat duluan pada 2014 silam. Bak petir di siang bolong, kabar itu sungguh bikin terhenyak dan membuat saya misuh-misuhi 2020 dalam batin. Oalah, pancen tahun ndlogok.

Beberapa kawan saya hubungi untuk saya tanyai posisi. Niat saya cuma satu: cari teman untuk berangkat ke Ngawi demi mengikuti prosesi pemakaman Mas Didi. Bada zuhur saya bergegas menuju Rumah Sakit Kasih Ibu, tempat Mas Didi dirawat, untuk bertemu Fajar, salah satu inisiator Sobat Ambyar, dua Sobat Ambyar dari Sukoharjo, dan Ayub, seorang Sobat Ambyar asal Papua yang sempat diajak berkolaborasi bersama Mas Didi di beberapa panggung di Jogja dan Jakarta. Kami berangkat duluan dibanding iring-iringan jenazah.

Di sepanjang perjalanan, kami saling bertukar cerita tentang momen kebaikan Mas Didi yang pernah kami rasakan. Ndane, begitu kami memanggilnya—sama seperti kru dan personel Lare Jawi yang dalam beberapa tahun terakhir mengiringi penampilan Mas Didi dari panggung ke panggung. (p.s: saya tidak pernah mau memanggil siapapun dengan sebutan “Ndan”, termasuk kepada kerabat atau kenalan yang punya latar militer atau jabatan tertentu. Dua orang yang saya panggil “Ndan” seumur hidup hanya ada dua: kawan kuliah bernama Bondan, dan Mas Didi di kesempatan tertentu.)

Dari sekian banyak cerita, kami sepakat bahwa satu benang merah yang ada di tiap cerita kebaikan Mas Didi adalah sifatnya yang gemar berbagi. Ayub, misalnya, berulangkali mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Ndane yang telah mengajaknya untuk berbagi panggung. Berawal dari video cover lagu-lagu Didi Kempot yang ia unggah ke Instagram dan sempat viral, Ayub lalu ditelpon langsung oleh Mas Didi untuk diajak berkolaborasi.

“Saya ga nyangka diajak Pakdhe, Mas. Karena saya ini awalnya cuma sering dengar lagunya waktu SMA. Tiba-tiba diajaki ikutan manggung.”

Ayub menjelaskan, bahwa insiden rasisme asrama Papua yang ada di Surabaya beberapa waktu lalu juga menjadi pertimbangan Mas Didi untuk mengajaknya berkolaborasi. Sebagai seniman, peran Mas Didi ‘hanya’ bisa melebur batas-batasan rasial lewat seni pertunjukan. Pesan persatuan yang berusaha disampaikan Mas Didi dengan mengajak Ayub, jelas menjadi preseden penting untuk mengatasi isu rasial di Pulau Jawa. Sebagai sosok yang bisa mengomando 1/3 pemuda Jawa untuk menangis tanpa sebab, suara Mas Didi jelas berpengaruh pada isu-isu krusial seperti ini. Vox Mpot-puli, Vox Dei: Suara Didi Kempot, adalah Suara Tuhan.

“Pakdhe itu suka ngasih sangu, Mas. Misal saya habis main lalu mau pamit pulang, Pakdhe suka bilang, ‘Nyoh Yub, nggo jajan.’ Padahal saya sudah dapat uang dari manajemen dari manggung.”

Ini jelas bukan cerita baru bagi saya. Entah sudah berapa cerita yang saya dengar tentang kesaksian orang ketika kebagian rezeki nomplok dari Mas Didi tanpa sebab musabab yang jelas. Saya jadi ingat, seorang kawan tiba-tiba ikut kebagian amplop dari Ndane setelah ikut menemani konser di Yogya. Di satu warung Nasi Liwet di daerah Kartasura—yang jadi langganan Mas Didi tiap selesai tampil, semua kru dan pemain berkumpul untuk ikut makan malam. Kawan saya hanya yang sekadar ngintil karena ikut dari Jogja untuk menyaksikan penampilan Mas Didi dan berbarengan pulang ke Solo untuk diajak makan malam bersama, tiba-tiba kebagian amplop juga selayaknya kru yang habis bekerja. Ia sudah menjelaskan tidak ada kontribusi apa-apa, cuma ikut makan saja, tapi dengan cepat dibalas Mas Didi: “wis, rapopo, nggo tumbas rokok Mas.” Pada cerita lain, Erix Soekamti malah pernah bertemu Mas Didi secara tidak sengaja di Surabaya, dan ‘tertangkap basah’ sedang bagi-bagi uang tanpa pengawalan. Saya percaya, sifat makrifat seperti ini hanya bisa dimiliki oleh orang-orang lulusan ndalan. Tahu sengsaranya ketika tidak punya uang, pun tahu seberapa senang seseorang ketika memegang uang meski tak seberapa.

Memori saya langsung kembali tertuju pada beberapa pertemuan dengan Mas Didi. Selain selalu menggunakan boso krama alus dan menyelipkan “maturnuwun” di setiap perbincangan, Mas Didi selalu berujar, “Sampun maem, Mas? Ngopi? Monggo, rokok’an riyin,” sebelum memulai perbincangan. Seperti yang pernah saya ceritakan di tulisan sebelumnya, ketika kali pertama berjumpa di Cikini, saya bahkan tidak berani pesan makan karena menahan mual dan grogi akibat duduk satu meja dengan dirinya. Saya cuma pesan kopi, minumnya diirit-irit supaya tidak terkesan nyucukne. Didi Kempot, maestro yang sudah tiga dekade berkarya di level nasional dan bolak-balik tampil di luar negeri, masih harus memastikan lawan bicaranya kenyang, sudah ngopi, dan rokoknya terjamin sebelum ngobrol bareng. Bahkan, kepada penggemarnya yang cuma mas-mas biasa seperti saya.

Kembali ke perjalanan menuju rumah duka. Di sepanjang tol Solo-Ngawi, saya masih sempat haha-hihi dan melempar beberapa kelakar terkait kepergian Mas Didi, berusaha menghibur diri sendiri yang sesungguhnya belum sadar betul bahwa satu-satunya solois yang ia idolai di luar nalar sudah berpulang, mangkat, tidak bisa ia temui lagi.

“Pamit lungo mung sedhelok yo Ndane ki, koyo ning lagu Stasiun Balapan.”
“Ngawi mendung ki, melu tangisan mbrambangi lungane Mas Didi po ya.

Saya teringat dialog Mustang di pemakaman Hughes dari serial Fullmetal Alchemist yang termasyhur itu, rasa-rasanya ingin sekali saya menatap langit mendung Ngawi dari kaca jendela sambil berkata lirih: it's a terrible day for rain.

************************

Rumah Duka sudah penuh sesak saat saya tiba di sana. Polisi berulangkali mengingatkan kepada pelayat untuk jaga jarak, sekaligus mengimbau agar kami tidak mendekati rumah duka karena keluarga sedang mempersiapkan prosesi shalat jenazah. Saya patuh, nurut, dan memilih untuk agak menjauh dari kerumunan. Tak lama, iring-iringan jenazah dari Solo pun tiba. Beberapa wajah familiar saya lihat keluar dari mobil jenazah dengan mata sembab dan tangis yang kembali pecah. Siang itu, Mas Didi kembali ke Ngawi, tempat kelahiran aslinya yang sering salah dikutip oleh banyak orang.

Seusai prosesi shalat jenazah, seorang kerabat memandu para pelayat untuk ishyad atau minta kesaksian. Pada kesempatan tersebut, ia memberi kesaksian tentang segala kebaikan Mas Didi semasa hidup; mulai dari berbagai gerakan sosial yang pernah ia lakoni, deretan karya yang mengubah hajat hidup orang banyak, sampai sumbangsih terakhir Mas Didi untuk penanganan COVID-19 lewat donasi yang diinisiasi Kompas TV. Pada konser amal yang dikonsep dalam kurun waktu satu pekan kurang tersebut, Mas Didi berhasil mengumpulkan dana setidaknya hingga 7,6 miliar. Sang kerabat lalu menutup kisah kesaksian tersebut dengan cerita, bahwa Mas Didi sebetulnya tengah mencanangkan rencana umroh beserta Mbak Safitri, istrinya, dan beberapa kerabat tahun ini.

“Niki mayit sae nopo awon?”
“Sae!”
“Niki mayit sae nopo awon?”
“Sae!”“
"Niki mayit sae nopo awon?”
“Sae!”

Saya berjalan tepat di samping mobil jenazah saat melaju menuju pemakaman yang jaraknya hanya 500 meter dari rumah duka. Mas Didi dimakamkan berdampingan dengan mendiang puterinya, Lintang, yang meninggal dalam usia belum genap satu tahun pada 1995. Majasem adalah desa yang kondisi geografisnya berbukit serta dikelilingi banyak pohon jati, berada di kaki Gunung Lawu dan berjarak 32 km dari Ibu Kota kabupaten Ngawi, kondisi tersebutapalagi ditambah fakta bahwa saya sedang di tengah kerumunan orang banyakmembuat sinyal ponsel saya jadi sedikit lemah dan membuat saya kesulitan untuk memberikan koordinat posisi kepada beberapa kawan yang juga turut hadir di sana. Ya sudah, nempel mobil jenazah saja, pikir saya. Sudah pasti aman dan gampang untuk menembus kerumunan menuju makam.

Semakin dekat dengan makam saya baru menyadari bahwa langkah kaki saya semakin terasa berat. Bukan karena kondisi jalanan yang naik-turun dan cuaca yang mendadak berubah jadi cukup terik, melainkan karena saya menyadari bahwa saya semakin dekat dengan tempat peristirahatan Mas Didi. Sebuah situasi yang bahkan tidak pernah saya bayangkan di sepanjang periode jadi penikmat lagu Didi Kempot sejak duduk di bangku Sekolah Dasar.

Tiba di makam, perasaan saya semakin tidak karuan. Padahal saya sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak menampilkan sisi kesedihan yang kelewat mencolok hari itu. Tapi pertahanan saya pelan-pelan mulai runtuh ketika saya menyaksikan pusara Mas Didi dengan mata kepala sendiei. Saya menjauh dari prosesi pemakaman, mencoba menghindarkan diri dari potensi mbrambangi di hadapan orang banyak. Dari jauh, saya mendengar isak tangis yang mengencang di antara doa-doa yang sedang dipanjatkan oleh pihak keluarga. Sesekali terlihat pula pelayat dengan atribut Kempoters atau Sobat Ambyar yang tak kuasa menahan air matanya di makam. Saya cuma bisa mengawang, memandangi sudut-sudut kosong sambil menanti usainya prosesi kirim doa dari keluarga inti. Saya tidak mau merusak kekhidmatan keluarga hanya karena saya masuk menyela antrean untuk kirim doa.

Satu per satu pihak keluarga kembali ke rumah duka dan saya perlahan memberanikan diri untuk mendekat. Saat itu pula, beberapa kawan dan personel band pengiring Mas Didi mulai kembali tterlihat. Ketika salah seorang menawarkan diri untuk memandu doa, kami semua sepakat dan segera mengambil posisi terbaik untuk memanjatkan doa. Saya membelakangi nisan Mas Didi, dan tidak beranjak dari posisi tersebut cukup lama.

Beberapa menit pertama saat doa dipanjatkan, saya masih tegar, tapi beberapa saat setelahnya, tiba-tiba setumpuk memori akan Mas Didi seperti tepat jatuh di kepala dan menghantam dada dengan amat kencang. Kondisi ini tepat seperti gambaran lirik Mas Didi di “Ketaman Asmoro”, “wis tak lali-lali, malah samsoyo kelingan.” Semakin keras usaha saya untuk menampik memori tentang Mas Didi, justru semakin besar kemungkinan air mata saya mengucur dengan deras.

Seorang kawan tak sengaja mengabadikan momen tersebut saat merekam kondisi pemakaman ketika sedang sepi. Kepala saya menunduk lama dan tak segera kunjung menegak. Masker dan kacamata hitam sungguh menyelamatkan saya dari situasi terlihat mimbik-mimbik seperti anak kecil yang kalah berebut permen. Doa selesai, saya kembali berjalan ke arah rumah duka dengan langkah yang berubah menjadi gontai karena memutuskan untuk tetap berpuasa. Bersedih ternyata menguras emosi dan tenaga yang cukup lumayan, rupanya.

Setelah berpamitan dengan beberapa kerabat di Rumah Duka, saya dan rombongan memutuskan untuk langsung kembali ke Solo. Seketika saya menyadari bahwa ujian paling sulit pada hari itu bukan menahan lapar atau dahaga karena sedang berpuasa, melainkan menahan air mata—dan sepertinya saya gagal. Kembang tebu yang saya lihat di perjalanan pulang dari Ngawi, seperti sengaja terbang ditiup angin untuk menjadi saksi bisu atas kenangan saya tentang momen terakhir bersama Mas Didi.

************************

Saya baru dua kali menulis obituari, tapi keduanya tidak memakan waktu lama. Yang pertama Johan Cruyff pada 2016, lalu Chester Bennington pada 2017. Tapi kali ini saya butuh 4 hari untuk menulis, durasi terlama kedua di sepanjang khazanah tulis-menulis saya setelah skripsi. Pada 5 Mei sepulang dari Ngawi, sebetulnya saya sudah mencicil untuk menulis tapi tidak bisa segera dirampungkan. Seperti tiba-tiba kehilangan mood saban mengulik memori tentang Mas Didi, dan benar-benar tidak bisa dilanjutkan kalau masih mau menjaga kualitas tulisan. Saya bahkan sampai dua kali membawa laptop ke angkringan, hanya karena mengalami writer's block ketika menulis di rumah. Saya perlu menghindar dari acara televisi yang masih menyiarkan apapun yang berkaitan dengan Didi Kempot. Niat hati bawa laptop ke angkringan untuk dapat suasana otentik khas ndalan yang bisa jadi stimulus akan memori soal Mas Didi, bakul angkringan langganan saya malah non-stop menyetel lagu Didi Kempot dan tanpa henti merepet saya dengan sederet pertanyaan soal Mas Didi. Oalah asu, rasane pengen tak pathak areng murup sak ceret-cerete.

Kepergian Mas Didi ini menegaskan kepada saya, bahwa saya memang bukan orang yang piawai dalam menyikapi ihwal kehilangan atau perpisahan. Pada 2017 silam, saya datang ke konser Didi Kempot di Mangkunegaran dan mengunggah fotonya dengan caption yang menyatakan bahwa saya tidak siap untuk menyaksikan idola saya menua. Padahal menua sangatlah manusiawi dan seringkali tidak berarti apa-apa, tapi saya nyaris tidak pernah siap. Di bayangan saya, Mas Didi seperti terpatri dalam visual kuru, gondes (gondrong ndeso), suka pakai kemeja kegedhen dan ganjen kepada wanita cantik seperti dalam video klip "Plong".

Ada banyak kisah tentang bagaimana terpukulnya seseorang pasca ditinggal orang terdekat, tapi ditinggal idola seringkali dianggap tidak memiliki beban yang setimpal meski meninggalkan sesak yang sama-sama butuh waktu untuk dipulihkan. Karena bagi saya, tidak ada kompetisi dengan strata ‘paling’ ketika bicara soal kehilangan. Akan selalu sulit, akan selalu butuh waktu.

Saya teringat testimoni beberapa orang yang merasa dibantu sekali dengan resurjensi Didi Kempot dalam dua tahun terakhir, terutama dari para lelaki. Beberapa lagu Didi Kempot, mampu menjembatani mereka untuk menembus dinding maskulinitas yang kokoh dibangun sejak kami kecil. Bahwa lelaki mesti kuat dan tangguh, saya setuju. Tapi lelaki tidak pantas terlihat rapuh, ini yang mesti diluruskan. Seolah-olah, kami ini cyborg atau android yang kalau jari kakinya terpentok ujung meja, tidak boleh meringis kesakitan dan harus mengeluarkan respons: “tenang, santai aja gapapa,” padahal sikile mlowek.

Pasca Ngobam Didi Kempot di Gulo Klopo pada 2019 lalu, video lelaki menangis di tengah konser Mas Didi kemunculannya jadi masif. Kita bisa berdebat sampai 2050 tentang mana yang benar-benar menangis dan mana yang dibuat-buat, tapi bagi saya, dari perspektif lain fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian lelaki kini berani melompati standar maskulinitas yang dirasa tidak relevan bagi dirinya.

“Laki-laki kok menangis di tempat umum?”

Lha kalau menangis di dapur umum, itu lebih bahaya lagi. Orang lain sedang masak untuk mempersiapkan bantuan, Anda tiba-tiba menangis padahal tidak sedang ngonceki bawang. Ya sudah to, mbok ben. Mungkin itu cara terbaiknya untuk meluapkan emosi, karena, bisa saja kalau ia ketahuan menangis di rumah akan menimbulkan sinisme luar biasa dari anggota keluarga atau orang terdekatnya.

Saya sendiri belum pernah menangis di konser Didi Kempot, karena lagu Mas Didi sebetulnya lebih banyak meninggalkan kesan semringah bagi saya. Tapi kalau ditanya pernah menangis di depan orang, ya pernah. Menangis saat teman pamit kembali ke daerah asalnya, menangis di depan orang yang disayang karena takut kehilangan, sampai mbrebes mili nonton Coco ya juga pernah. Tapi ya itu, saya tidak nyaman menampilkan sisi emosional di antara kerumunan atau di hadapan orang yang tidak saya kenal; sisi itu muncul hanya saat berada di orang terdekat saja, yang saya tahu tidak akan memberikan sinisme hanya karena lihat orang pakai kaos Slayer tangisan. Semisal Sobat Ambyar merasa lebih relevan untuk meluapkan emosi di konser Didi Kempot, ya silakan saja. Boleh patah hati, tapi ya baiknya sambil dijogeti. Leres nopo leres?

Yang membuat saya masih terasa sentimental sekali pasca kehilangan Mas Didi, adalah bagaimana karyanya membuat saya merasa terikat akan sesuatu atau terpatri pada satu memori. Apalagi sejak merantau, identitas saya sebagai mas-mas Jawa sontak langsung membuncah tiap mendengar intro “Nunut Ngiyup” atau “Sekonyong-Konyong Koder”, rasanya seperti sedang ada di kampung, bantu-bantu mencuci wortel atau memilih daun seledri untuk sop tirakatan seperti Jejak si Gundul. Pun halnya dengan “Mesti Penak” yang terdengar seperti himne menuju celetukan, “sewu-sewu dadi ciu” khas tongkrongan di berbagai sudut kota Solo. Pernah ada masa saat kuliah, saban malam saya lewati dengan karaoke dan gitaran lagu Didi Kempot di kediaman seorang kawan. Kala itu hidup sedang dalam masa terbaiknya seperti tidak berkalung beban, karena belum ditimpa tagihan, cicilan, dan berbagai ketakutan soal masa depan. Sekarang dipikir sekarang, sesuk dipikir sesuk.

Didi Kempot selalu berhasil membuat memori itu berlarian di kepala saya tanpa berusaha terlalu keras untuk meromantisasi momen nostalgia di barisan liriknya. Ketika bernyanyi, Didi Kempot terdengar seperti seorang kawan yang gemar bercerita untuk membuatmu tertawa, lalu dengan sukarela memboyongmu berjalan ketika sudah minum terlalu banyak. Pas sesuai porsinya, tidak kurang, tidak lebih.

Jika ada satu penyesalan, saya hanya menyesali ketidakberanian saya untuk mengingatkan Mas Didi akan kondisi kesehatannya sendiri di tengah jadwal padatnya kala itu. Saya hanya dua kali membicarakan ini, satu lewat chat WhatsApp via Mas Ige (tim dokumentasi/roadman Didi Kempot) untuk titip jaga kondisi Mas Didi karena Mas Didi hanya bisa dijangkau lewat SMS, lalu pada obrolan di belakang panggung Live Space, SCBD, pada September 2019 lalu. Saat itu, Mas Didi sedang menunggu giliran tampil dan saya berseloroh, “Umpami sayah, leren lho Ndan. Ampun kesupen dhahar,” dan langsung direspons Mas Didi sembari tertawa singkat, “Tenang wae Mas, aku wis suntik vitamin-C iki!” Kami tertawa, lalu menyalakan rokok masing-masing sembari menunggu waktu dipanggil MC.

Namun begitulah, saya tidak ingin melewati sesuatu yang sudah ditetapkan ketentuannya. Saya ingin batas antara idola dan penggemar di antara kami berdua masih terpampang nyata, agar saya tetap memiliki kadar kekaguman yang sama seperti saat pertama mengidolainya dulu. Meski setelah beberapa pertemuan kadar kekaguman saya justru semakin bertambah, namun saya tidak ingin merasa ‘dekat’ sehingga merasa punya kuasa untuk memberi masukan ini dan itu tanpa diminta. He’s fucking Dionisius Prasetyo anyway.

Setelah 30 tahun berkarya dan melewati 1000 kota, kini ia tiba pada destinasi terakhirnya. Suwiwi yang dulu pernah ia mimpikan, akhirnya benar-benar mengantarnya untuk kembali pulang.

Sugeng tindak, Ndan.