Selasa, 30 Desember 2014

7 Lagu Indonesia Untuk Inspirasi Menikung & Selingkuh

Gari wani po ra?

Salah satu fase dalam hidup yang mendewasakan, adalah saat kehilangan. Baik kehilangan keluarga, kawan, kekasih bahkan gadget. Kenpa gadget saya sebut? Sebab, akhir-akhir ini saya rasa banyak yang lebih sedih kalau kehilangan gadget dibanding kehilangan kawan. Wong biaya yang harus dikeluarkan untuk menebus gadget-nya sendiri, bisa jauh lebih banyak dibanding total biaya yang pernah dikeluarkan untuk mentraktir teman selama empunya gadget hidup. Ndak heran.

Lain lagi dengan kehilangan kekasih. Kehilangan kekasih yang saya maksud di sini, tentu bukan ‘kehilangan’ berdasarkan arti leksikal lho ya. Bukan ‘kehilangan’ macam: sedang makan berdua, kemudian dia pamit pergi ke toilet dan mak jegagik hilang begitu saja—karena diculik Mas-Mas berjaket kulit yang naik mobil Espass seperti adegan ftv di siang hari. Bukan yang seperti itu. Yang saya maksut ‘kehilangan’ di sini, tentu saja ihwal perpisahan. Baik terpisah secara baik-baik—yang sudah pasti tidak mungkin ada—atau pisah secara terpaksa, karena campur tangan oknum-oknum yang tidak diinginkan.

Musabab perpisahan yang terakhir, tentu tidak menghasilkan suasana yang baik-baik saja. Sumpah serapah, ancaman, doa-doa buruk, hingga pelbagai tindakan tidak berpendidikan lainnya, seringkali muncul dari kubu yang paling merasa tersakiti. Berpisah karena hal-hal wajar—macam sudah tidak cocok lagi—saja sudah terasa menyakitkan, apalagi disebabkan karena teman sendiri atau orang lain. Sesak dan nyerinya tentu sampai di ulu hati. (Jika fenomena ini terus berulang meski tanpa sebab, bisa jadi Anda mengidap maag akut, dispepsia, atau gejala sakit jantung.)

Kali ini, saya mencoba membuat daftar lagu yang bisa menjadi peringatan dini bagi Anda. Jika pasangan mulai sering mendengarkan salah satu lagu yang ada di daftar ini, segera ambil tindakan preventif. Inspirasi bisa datang dari mana saja, termasuk lewat lagu. Waspada akan bahaya laten selingkuh atau ditikung itu perlu, sebab kedua hal tersebut bisa terjadi bukan hanya karena ada niat—tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah, waspadalah.


Minggu, 09 November 2014

Ramen, Gama-Chan, Sexy no Jutsu, dan Hal-Hal Dungu Lainnya


Keluarga Cemara

Malam itu serasa surreal. Saya yang baru saja rampung melahap suguhan sci-fi nan elegan milik Nolan, Interstellar, kembali harus terdiam sembari mengawang-awang setelah membaca bab terakhir Naruto. Untuk alasan yang pertama, tentu karena terkagum. Hampir selama 3 jam, saya menikmati visual megah dengan sentuhan Odissey-esque dan muatan emosional yang pas. Untuk alasan yang kedua, karena muatan emosional yang membuncah. Pikiran saya kacau untuk sejenak, karena komik yang saya ikuti sejak 12 tahun silam, malam itu tamat. Bukan hal mengejutkan memang, karena Naruto sendiri sudah sejak jauh-jauh hari dikabarkan oleh Masashi Kishimoto—sang empunya karya—akan tamat jelang penutupan 2014. Bukan karena ada twist yang sedemikian mengejutkan dari segi plot juga, karena menurut hemat saya komik ini sudah mengalami degradasi kualitas sejak cukup lama; yang mana, hal ini mengakibatkan cerita jadi mudah ditebak dan terkesan ‘terpaksa selesai’ lebih lekas.

Naruto memang tidak menempati posisi nomor wahid dalam deretan komik terbaik yang pernah saya baca. Tapi, Naruto pernah membuat saya tergila-gila selayaknya saat saya membaca komik favorit saya sepanjang masa, Dragon Ball, dulu. Apa alasannya? Mari sedikit bernostalgia.


Jumat, 22 Agustus 2014

10 One-Hit Wonder Indonesia yang Sebaiknya Anda Dengar

Njedul siji, njuk ilang sak lawase




Jika Anda dihadapkan pada sebuah pilihan, “merasakan puncak ketenaran, walau hanya sekali —namun tak pernah dikenal lagi,” atau “memiliki popularitas yang sedang-sedang saja —tak pernah berada di puncak maupun tenggelam,” mana yang akan Anda pilih? Mereka yang perfeksionis dan ambisius, tentu tidak akan memilih keduanya. Bagi mereka, akan selalu ada opsi ketiga, seperti: “merasakan puncak ketenaran, tapi tak pernah tenggelam.” Sah-sah saja, namanya juga ambisi. Meski pada kenyataannya, dunia seringkali tidak kompromistis; tak ada ruang bagi kita untuk memilih.

Begitu juga dalam jagat industri musik. Jika boleh memilih, ambisi musisi tentu akan meletakkan opsi ketiga sebagai capaian karir peringkat wahid. Sebagai empunya karya, adalah wajar jika mengharapkan adanya apresiasi. Apalagi, jika datang dalam skala masif. Tak ayal, semua musisi akan mengerahkan kemampuan mereka sampai titik maksimal demi mendapat kepuasan batin —juga sambutan apik dari para pendengar. Terdengar seperti pakem fundamental seorang seniman. Tapi sekali lagi, di tengah badai ketidakpastian jagat industri musik, siapa yang bisa menjamin?

Fenomena ­one-hit wonder bisa menjadi contoh, bagaimana badai ketidakpastian jagat industri musik bisa meruntuhkan formula ‘sukses’ dengan rujukan basa-basi seperti dua paragraf di atas. Awal mulanya, one-hit wonder dimaknai sebagai “lagu yang menduduki peringkat pertama dalam tangga lagu 40 Billboard, kemudian tidak pernah mencapainya lagi,” oleh Wayne Jancik, dalam bukunya The Billboard Book of One-Hit Wonders.

Namun seiring berjalannya waktu, definisi one-hit wonder mengalami pemekaran makna yang signifikan. Kini, lagu yang menyandang gelar one-hit wonder tak lagi harus memenuhi syarat ‘tembus tangga lagu 40 Billboard’, tapi jauh lebih sederhana. Generalisasi makna one-hit wonder, kini bisa dijabarkan (kurang lebih) menjadi: musisi dengan satu lagu yang pernah mencapai puncak ketenaran, namun tak pernah memperoleh capaian sama setelahnya. Beberapa dari mereka, mungkin tidak hanya memiliki satu lagu saja, namun yang jelas, lagu-lagu lainnya tidak pernah bisa memperoleh kesuksesan layaknya tembang one-hit wonder mereka.

Ketika menyusun daftar seperti ini, tentu saja akan selalu memunculkan perdebatan. Mungkin salah satu bahan perdebatan yang bisa saya prediksi, seperti “Kok artis ini bisa masuk? Kan lagunya ga ini aja? Yang terkenal ada lagi kok,” atau komentar lain, yang kurang lebih bernada sama. Silakan saja, karena itu hal yang wajar. Namun jika Anda mempertanyakan keputusan saya untuk tidak memasukkan one-hit wonder macam “Harus Terpisah” milik Cakra Khan, “SMS” milik Ria Amelia, atau “Pecinta Wanita” milik Irwansyah ke dalam daftar ini, tentu saja itu jadi lain soal.



Kamis, 17 Juli 2014

Fly You High, Antonio!

So long, Coach!

“Do you know what your problem is? You can't live with the idea that someone might leave.” ― John Green, An Abundance of Katherine


*******************************************


Ada yang lebih pedih, dari cinta yang tak berbalas? Tentu ada. Salah satu di antaranya, mungkin ditinggalkan saat cinta sedang mencapai titik puncaknya. Bagaimana tidak, saban hari kita dipersilakan untuk mencintai, memuji, dan membayangkan hal-hal indah lainnya. Hingga pada suatu titik, saat sudut terlemah kita —yang tak pernah membayangkan kemungkinan-kemungkinan pahit— tidak pernah benar-benar terjaga, dihantam dengan satu kenyataan yang bertolak belakang dengan pengharapan. Blam. Semua hancur. Seketika.

Belum lama ini, sosok yang menyerang sudut terlemah saya bernama Antonio Conte. Ia pertama kali membuat saya jatuh cinta pada 2000. Pada sebuah laga penuh gengsi tak lama setelah pekan pembukaan liga, tendangan Conte dari pinggir kotak penalti di menit 89 berhasil menembus sudut kiri jala Christian Abbiati. Laga berakhir imbang, 2-2 untuk Juventus dan A.C Milan. Tapi malam itu, seorang supersub yang baru saja sembuh dari cidera parah berhasil memukau hati bocah ingusan umur 8 tahun, lewat tendangan spektakulernya.

11 tahun berselang, ia kembali ke Juventus. Kali ini statusnya sebagai pelatih. Setelah berpetualang —sembari menimba ilmu bersama Bari, Siena, dan Atalanta, akhirnya Conte kembali ke tempat yang ia sebut sebagai ‘rumah’. 14 tahun berkarir di Turin, pria kelahiran Lecce ini berhasil merengkuh semua trofi bergengsi di tingkat klub. Mulai dari gelar Serie-A, Coppa, Super Coppa, UEFA Cup, Champions League, UEFA Super Cup, Intercontinental, bahkan sampai Intertoto. Pernah menjabat sebagai kapten dan menjadi pemain kunci selama satu dekade lebih, Conte menjadi salah satu simbol terpenting dalam sejarah klub. Gaya bermainnya jauh dari kategori elegan ala kompatriotnya di lini tengah, Zidane. Pun tak memiliki naluri mencetak gol setajam Del Piero, Inzaghi, atau Trezeguet, tapi ia dikenal memiliki grinta —semangat juang yang merepresentasikan identitas klub. Marcelo Lippi pernah berujar, semasa jadi pemain, Conte memiliki tekad yang begitu kuat untuk meraih kemenangan, jauh melebihi siapapun di dalam tim. Untuk alasan itulah, ia memberi nama putrinya Vittoria —yang berarti kemenangan.

Conte datang ke Juventus dengan satu misi yang jelas: mengembalikan momen kejayaan klub sebagaimana mestinya. Berbekal stadion baru dan manajemen yang mumpuni, Conte berhasil menempatkan Juventus ke kasta tertinggi di Italia —setelah bertahun-tahun sebelumnya terseok-seok di kubangan papan tengah dan jerat pemain medioker. Dalam kurun waktu 3 tahun, Conte berhasil menorehkan catatan fantastis. 3 gelar Serie-A secara beruntun, 2 gelar Super Coppa, satu musim tak terkalahkan, dan —yang paling sensasional, berhasil memecahkan rekor poin tertinggi klub Serie-A dalam satu musim, 102 poin. Sebuah pencapaian yang bahkan tidak bisa digapai oleh deretan pelatih hebat macam Marcelo Lippi, Trapattoni, Ancelotti, Carcano, atau Capello. Dan hebatnya, Conte menorehkan prestasi itu bersama skuat yang tidak memiliki dimensi internasional, sebagaimana skuat milik pelatih sebelumnya. Kita mengenal Del Piero, Zidane, Vialli, Montero, Davids, Deschamps, Trezeguet pada Juventus era Lippi, atau Cannavaro, Vieira, Emerson, Nedved, Ibrahimovic pada Juventus era Capello. Tentu, sekarang kita bisa menyebut Buffon, Pirlo, Vidal atau Chiellini, tapi bisakah Anda membayangkan, Juventus meraih gelar 2011/2012 bersama Estigarribia, Matri, Boriello, dan Pepe sebagai andalan?

Lantas, apa yang menjadikan skuat milik Conte ini spesial? Jawabnya adalah: Conte itu sendiri. Dalam tulisan ini, Anda bisa menyimak bagaimana Conte menjadi egosentrisme taktik Juventus dari tahun ke tahun. Bagaimana ia ‘menendang’ pemain tenar macam Krasic/Elia dan lebih memilih Giaccherini/Pepe, bagaimana ia menempatkan Bonnuci, Vidal, dan Pogba dalam posisi terbaiknya, dan memilih kolektivitas tim dalam mencetak gol di dua tahun pertamanya. Namun kelebihan Conte bukanlah dari segi taktikal, melainkan pendekatan personal dan karakter. Sesuatu yang tidak dimiliki Ranieri, Del Neri dan Zaccheroni.

Conte adalah elemen fundamental dalam kebangkitan Juventus. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Turin, tugas pertamanya bukan untuk mengubah taktik, tapi memperbaiki mentalitas tim. Pavel Nedved yang sudah lebih dulu bergabung dengan manajemen tim mengatakan, salah satu penyebab kegagalan Juventus pasca Calciopoli adalah masalah mental. Menurutnya, pemain baru belum mengerti makna mengenakan seragam Juventus, sedangkan pemain lama kehilangan gairah untuk menularkan grinta yang mereka miliki kepada pemain baru. Conte paham betul akan hal ini. Sejak masih bermain, ia sadar bahwa ketika mengenakan seragam Juventus, kalian harus dituntut untuk menang —apapun yang terjadi. Apalagi, ia merupakan penggemar Juventus sejak masih remaja. Dalam suatu perlombaan melukis di Lecce, Conte muda pernah melukis Roberto Bettega sebagai sosok idolanya. Sejak remaja ia sudah mengenal kultur kemenangan yang ada di dalam diri La Vecchia Signora. Karena sesuai perkataan legenda hidup Juventus, Giampiero Boniperti, yang kemudian dijadikan slogan klub: Alla Juventus, vincere non è importante. È l'unica cosa che conta. Di Juventus, kemenangan bukan menjadi hal yang penting, tapi jadi satu-satunya hal yang berarti.

Saya tak pernah sangsi, akan kemampuan Conte untuk memperbaiki mentalitas tim. Karena sejak menjadi pemain, ia memiliki kemampuan itu. Luciano Moggi pernah berujar, “Zidane adalah seorang pemain bintang, tapi di ruang ganti, ia bukan seorang pemimpin. Di lapangan dan di ruang ganti, pemimpin sesungguhnya adalah Conte. Ia tahu bagaimana harus berbicara dan membakar semangat pemain lain.”

Saat menjadi pelatih, Conte menjadi Conte. Karakternya tidak berubah, hanya saja ia mempelajari gaya pelatih lain. Dalam bukunya, Testa, Cuore e Gambe, Conte menjadikan Van Gaal sebagai panutan. Menurutnya, seorang pelatih harus menjadi poros utama dalam sebuah kesatuan tim. Ia harus menjadi pemimpin —yang mana kehendaknya, adalah satu-satunya hal yang dijadikan acuan dalam melakukan apapun. Dan tentu saja, ‘arogansi ala Van Gaal’ ini tidak mentolerir segala pembangkangan dari pelbagai pihak. Maka dari itu, hal pertama yang akan ia bangun adalah mentalitas tim.

Testimoni mengenai karakter melatih Conte, pernah dituliskan dengan jelas dalam buku biografi Andrea Pirlo, I Think Therefore I Play. Pirlo mendeskripsikan Conte sebagai sosok pelatih yang tidak pernah merasa senang, karena selalu marah dan berteriak ke semua pemain di ruang ganti; meskipun sedang dalam posisi unggul. Menurutnya, Conte adalah sosok pekerja keras yang sangat mencintai Juventus, sampai-sampai ia pernah berujar, “Saya tidak paham, apakah Conte itu seorang pelatih atau penggemar berat Juventus. Ia selalu memikirkan tim ini, sampai ke detail kesalahan yang pernah kami perbuat. Ia melakuan itu, bahkan ketika tidak berada di lapangan dan sampai berhari-hari. Conte sangat benci kekalahan.” Bersama Buffon, Pirlo menempatkan Conte sebagai pelatih terbaik yang pernah menanganinya. Sebuah gelar prestisius, mengingat mereka berdua pernah dilatih oleh deretan pelatih top macam Ancelotti, Prandelli, Trapattoni, Capello dan Lippi.

Seperti yang sudah saya sebut sebelumnya, metode kepelatihan Conte ini berbuah sukses. Juventus melaju kencang di Italia, dan mentalitas juara yang selama ini hilang berhasil disematkan kembali ke dalam jati diri masing-masing pemain. Semua diraih dalam kurun waktu 3 tahun. Namun, deretan prestasi ‘instan’ ini tidak serta merta menghilangkan adanya kemungkinan ‘cacat tak terlihat’ di dalam klub. Perlahan-lahan, suara sumbang dari sana-sini mulai terdengar.

Yang pertama muncul, tentu soal target prestasi. Atmosfer Serie-A yang tidak kompetitif, membiarkan Juventus melaju kencang seorang diri di Italia. Bagi sebagian kalangan, hal ini tidak menjadi masalah —apalagi yang pernah merasakan/menyaksikan pahitnya turun kasta ke Serie-B. Tapi bagi pribadi ambisius macam Conte, hal ini tentu saja mengganjal. Sejak memenangi scudetto pertamanya, ia langsung menyatakan keinginannya untuk melebarkan sayap di kancah Eropa. Sejumlah nama ia sebut, sebagai daftar pemain yang harus menjadi target belanja Marotta dan Paratici. Mulai dari Robin van Persie, Cavani, Tevez, Higuain, sampai Aguero. Di tahun kedua Conte, Juventus mendatangkan pemain yang dinilai mampu memperbaiki titik lemah di sektor kiri, Asamoah dan Peluso. Alih-alih mendatangkan penyerang kualitas wahid untuk mempertajam lini depan, manajemen ‘hanya’ mendatangkan kembali Giovinco, serta merekrut pemain dari galaksi lain, Nicklas Bendtner dan penyerang veteran Anelka. Beruntung, Juventus mampu meraih scudetto kedua, dan tampil cukup memuaskan di liga Champions, meski dilumat Bayern Muenchen di perempat final —yang akhirnya keluar sebagai juara. 

Di tahun ketiga, salah satu target lawas Conte, Carlos Tevez, berhasil didatangkan ke Turin. Meski menjadi tandem maut bersama Llorente—dengan total 39 gol dan meraih scudetto kali ketiga secara beruntun, nyatanya Juventus tidak bisa berbuat banyak di Eropa. Sneijder dan salju di Turki, menghempaskan mimpi Juventus untuk melangkah ke babak perdelapan final. Bahkan saat ‘turun kasta’ di Europa League, Conte harus merelakan timnya kandas oleh Benfica. Menyedihkan, mengingat final Europa League sendiri berlangsung di Juventus Stadium. Hasil ini tentu membuat Conte geram. Bahkan di penghujung musim, ia terang-terangan mengatakan bahwa scudetto kali ini tidak cukup membuat dirinya merasa senang. Menurutnya, ia perlu amunisi yang lebih komplet di musim depan, agar bisa berbicara banyak di kancah Eropa. Untuk kali pertama, spekulasi mengenai pengunduran diri Conte berhembus. Kepada media, Conte mulai melancarkan pernyataan-pernyataan multitafsir. Entah karena ingin memberi tekanan kepada manajemen untuk segera menuruti permintaannya, atau memang murni karena ingin hengkang.

Jika ditelusuri lebih dalam, sebetulnya tuntutan untuk melangkah jauh di Eropa, tidak pernah diutarakan oleh manajemen tim. Dalam pidato pembukaan jelang musim 2013/2014, Presiden Andrea Agnelli berkata bahwa target utama Juventus adalah scudetto ketiga secara beruntun, bukan melangkah jauh di Eropa. Saya rasa, manajemen tim paham betul bahwa kesuksesan di Eropa tidak datang secara instan —sebagaimana sukses di Italia. Kasus Atletico dan Dortmund mungkin sebuah anomali, tapi pada kenyataannya, mereka ‘hanya’ melangkah sampai babak final; gelar juaranya tetap milik klub yang memang pantas menyandang gelar klub terbaik di Eropa, Bayern dan Real Madrid. Dan fondasi kedua klub tersebut, tidak dibangun dalam setahun atau dua tahun. Hasil yang mereka dapatkan adalah buah dari proyek jangka panjang. Mr. Trap bahkan baru bisa memenangi gelar Eropa pertamanya, setelah 10 tahun menukangi Juventus.

Lantas, ini ambisi siapa?

Dalam kunjungannya ke Turin beberapa bulan lalu, David Trezeguet pernah menjelaskan alasan, kenapa Conte sangat tergila-gila dengan gelar Eropa. “Semasa menjadi pemain, Antonio pernah mencapai babak final sebanyak empat kali (1997, 1998, 1999, 2002). Sedangkan saya, baru sekali —di 2002. Tapi saya masih memiliki penyesalan yang amat mendalam soal itu, saya tak akan lupa bagaimana kami kalah melawan A.C Milan di babak adu penalti. Berkaca pada saya, bisa kalian bayangkan perasaan Antonio? Pantas jika ia sangat berambisi mengejar gelar Eropa.” Tentu, saya tidak menjadikan pernyataan Trezeguet ini sebagai satu-satunya pembenaran atas ambisi Conte. Tapi setidaknya, saya paham dari mana sebagian besar rasa penasaran Conte akan gelar Eropa berasal.

Jika Anda mengikuti Seria-A dalam tiga tahun belakangan, tentu akan paham betul bahwa Juventus benar-benar melaju seorang diri. Di musim 2011/2012, Juventus memuncaki klasemen dengan selisih 4 poin dengan tim peringkat kedua, A.C Milan. Di 2012/2013, selisih poin Juventus dengan tim peringkat kedua, Napoli, sebanyak 9 poin. Sedangkan di musim 2013/2014, Juventus menorehkan selisih 17 poin dengan klub yang tampil sensasional di bawah asuhan Rudi Garcia, A.S Roma. Padahal, A.S Roma sendiri memiliki selisih poin yang cukup besar dengan klub peringkat tiga, Napoli, yaitu sebanyak 7 poin. Praktis, selama tiga tahun belakangan, perebutan tempat ketiga, zona UCL, atau siapa yang lolos dari zona degradasi menjadi lebih menarik untuk ditonton di Serie-A. Membosankan? Untuk pelatih seambisius Conte, bisa jadi. Sesekali saya membayangkan, apabila Juventus gagal merengkuh gelar ketiga atau kedua, mungkin saja ambisi Conte untuk merajai Italia masih tetap terjaga. Mungkin.

Dan benar saja, Conte akhirnya tiba pada titik lelahnya. Pada 16 Juli, Conte resmi mengundurkan diri sebagai pelatih Juventus. Dalam video yang diunggah di kanal YouTube tim, ia mengucapkan salam perpisahan dan memberikan ucapan terima kasih kepada semua elemen tim yang pernah bekerjasama dengannya. Presiden, staf kepelatihan, pemain, bahkan sampai pengurus stadion dan pemotong rumput lapangan. Hanya dua sosok yang tidak ia sebut, Beppe Marotta dan Fabio Paratici —duet paling berpengaruh dalam kebijakan transfer klub. Hal ini, jelas menimbulkan spekulasi: apakah kebijakan transfer kali ini, mempengaruhi keputusan Conte untuk mengundurkan diri?

Apabila menyimak video perpisahan Conte, tentu pendapat tadi terbantahkan. Dalam video tersebut, Conte menyatakan bahwa ia mundur karena merasa tidak lagi memiliki energi untuk membawa Juventus ke dalam performa terbaiknya. Ia merasa lelah, karena Juventus selalu menututnya untuk menang —dan kadang terasa menyakitkan. Apalagi kawan baiknya, Gianluigi Buffon juga menyertakan argumen pendukung. “Dari nada berbicaranya, saya bisa melihat bahwa ia kelelahan, dan tidak memiliki energi lagi untuk membawa tim ini menjadi juara. Ini pukulan telak bagi seluruh tim.” Namun, argumen ini terkesan normatif. Tidak mungkin, sosok haus kemenangan seperti Conte kehabisan ‘bahan bakar’ untuk melaju kencang di arena kompetisi. Belajar dari pengalaman, Conte tidak pernah blak-blak’an kepada media, apalagi sejak dituduh terlibat dalam skandal pengaturan skor sewaktu menjabat pelatih Siena 2011 silam. Conte sedikit memberi jarak dengan media, apalagi terkait hal-hal yang bersifat pribadi seperti ini.

Kembali pada spekulasi awal, menurut saya Conte memang hengkang karena kebijakan transfer. Conte telah berada di titik puncak, di mana ia memang tidak bisa melangkah lebih jauh jika tidak ada perubahan signifikan. Dan sedari awal, wish-list Conte memang belum bisa dipenuhi oleh manajemen. Bagaimana tidak, Alexis Sanchez —pemain yang sudah getol diburu Conte sejak berseragam Udinese, gagal digaet Juventus dengan alasan finansial, pun dengan pemain incaran Conte yang lain, Cuadrado dan Iturbe. Sanchez, Cuadrado dan Iturbe adalah opsi kesekian Conte, setelah manajemen ‘memaksa’ dirinya untuk putar otak memaksimalkan potensi yang ia miliki. Sejak awal datang ke Juventus, Conte memang berniat untuk menggunakan taktik 3-5-2, seperti yang pernah ia tulis dalam tesis kepelatihan di Coverciano. Dalam skema ini, ia menjadikan 3-5-2 ala Brazil 2002 sebagai acuan; tiga centre-back kualitas wahid, tiga midfielder yang diapit dua fullback dengan kemampuan bertahan dan menyerang yang mumpuni, kemudian satu seconda punta dan satu prima punta. Conte tak pernah memiliki masalah berarti dengan tiga barisan lini belakang, pun dengan tiga gelandang yang ada di depannya. Yang selalu menjadi masalah adalah, dua fullback dan duet penyerang yang ada di depan. Dari tahun ke tahun, sektor ini terus mengalami perubahan. Conte tak pernah mendapatkan pemain yang benar-benar ia incar, kecuali Tevez dan Llorente di tahun ketiga. Mulai dari Esti & Pepe, beralih ke Asamoah & Lichsteiner, dari Vucinic & Matri – Giovinco & Vucinic sampai akhirnya duet sempurna El Apache & El Rey Leon. Skema 3-5-2 idaman Conte, memang mencapai transformasi paling sempurna di tahun ketiga. Namun nyatanya, skema ini menjadi mudah terbaca dan tidak sanggup berbuat banyak ketika dipakai di kancah Eropa.

Contohnya, saat Juventus bertemu Bayern Muenchen dan Real Madrid. Kala berjumpa Bayern, Conte harus menghadapi kenyataan bahwa 3-5-2 miliknya tak berarti apa-apa di hadapan 4-2-3-1 milik Heynckes. Ribery dan Robben, malam itu menjadi mimpi buruk bagi lini belakang Juventus. Duet winger berkecepatan penuh seperti mereka, tak pernah Juventus temukan di kompetitornya di Serie-A. Di musim 2013/2014 —pasca ditaklukan 4-2 oleh Fiorentina di Artemio Franchi, wacana Conte untuk mengubah taktik semakin mengerucut. Eksperimen pertamanya di Eropa, saat bertandang ke Madrid. Meski kalah 2-1, skema 4-3-3/4-5-1 miliknya menuai hasil yang tidak begitu mengecewakan. Semenjak pertandingan itu, Conte —dan diiyakan oleh banyak pandit, berencana untuk menyempurnakan taktik 4-3-3, dengan syarat mendapat sokongan pemain berkualitas dari manajemen. Maka, diincarlah nama-nama seperti Evra, Cuadrado, Sanchez, Morata dan Iturbe.

Namun apa daya, beberapa hari sebelum Conte mengundurkan diri, nampaknya tidak ada gayung bersambut dari manajemen. Bahkan hingga saya menulis artikel ini, belum nampak tanda-tanda salah satu di antara mereka —minus Sanchez, bakal hengkang ke Turin. Apalagi, berita terbaru menyebutkan bahwa Iturbe kini resmi berbaju Roma, dengan kontrak senilai €22m (dengan tambahan pembayaran tahap ketiga sebesar €8m, atau total sekitar €3om). Bahkan, dikabarkan Juventus akan melego salah satu di antara Vidal atau Pogba, sebelum bisa belanja secara leluasa di bursa transfer pemain musim panas nanti.

Kaget? Tentu. Namun jika menilik alasan tersebut, nampaknya Conte memang tidak lagi sejalan dengan manajemen klub. Ingat prinsip melatih Conte tadi. Karakter bossy yang terkesan arogan ala Van Gaal itu, menempatkan titah pelatih sebagai rujukan utama. Ini masalah prinsip yang sifatnya sangar mendasar. Dan ketika prinsip itu ditawar —atau bahkan diinjak-injak, tentu pemiliknya akan gusar. Pun dengan Conte. Terdengar pongah memang, tapi itulah jalan yang diambil Conte. Pria yang ingin mengembalikan identitas juara Juventus dengan caranya sendiri, dan terbukti berhasil.

Manajemen klub telah menunjuk Massimiliano Allegri sebagai suksesor Conte. Betul, mantan pelatih Milan yang selalu berdiam diri saat timnya menang, seri, ataupun kalah itu. Betul, yang sering saya ledek semasa menjabat di Milan itu. Iya, Massimiliano Allegri yang itu. Semenjak resmi menjabat sebagai pelatih Juventus, saya mencoba berpikir jernih, dan sesegera mungkin mencari kelebihan yang dia miliki, atau apapun, yang setidaknya bisa membuat saya sedikit tenang. Persis seperti anak kecil yang mengunggul-unggulkan mobil-mobilan dari kulit jeruk buatannya sendiri, setelah menangis karena tak pernah dibelikan mobil remote control oleh orang tuanya. Seteleh mencari di pelbagai sumber, akhirnya memang ada beberapa argumen pendukung yang bisa membuat saya menjadi sedikit tenang. Ah, hasil mengulik kelebihan Allegri tadi nampaknya tidak perlu saya tulis di sini. Biarkan saja. Biarkan mobil kulit jeruk itu melaju dengan caranya sendiri, tanpa perlu saya tuntun.

Mulai detik ini, saya harus membiasakan diri mendengar teriakan “Dai, dai, dai!” milik Allegri —yang tersohor itu dari pinggir lapangan. Tak akan ada lagi, sosok pria berambut tipis yang akan siap meloncat ke siapapun yang ada di dekatnya, apabila pemainnya mencetak gol; tak akan ada lagi, pria berambut tipis yang ditelanjangi di ruang ganti —dan diceburkan ke kolam renang saat perayaan scudetto; tak akan ada lagi pintu ruang ganti yang akan ia pukul dengan botol minuman saat jeda babak pertama tiba; tak akan ada lagi pria berambut tipis yang langsung menghampiri dan berjabat tangan dengan wasit —sesaat setelah peluit pertandingan tiba, apapun hasilnya, tak akan ada lagi pria berambut tipis yang langsung memeluk erat semua pemainnya. Tak akan ada lagi Antonio Conte; pria berambut tipis yang telah menjadi ikon klub ini selama dua dekade. Grazie il’ capitano, grazie!

Jika bicara harapan, tentu saya berharap Allegri menjadi Pep di masa peralihan Barca dari Rijkaard. Di mana ia hanya tinggal meneruskan fondasi kuat yang sudah dibangun dalam skala tahunan, tanpa perlu memoles kelewat jauh. Atau mungkin, Lippi pasca mendapat warisan skuat juara dari Mr. Trap pada 1994. Jangan sampai, ego miliknya menghancurkan tatanan solid tim, sebagaimana yang dilakukan Pep pasca Bayern ditinggal Heynckes. Atau kalau mau berdelusi, saya tentu mengharapkan Conte hanya rehat selama setahun, untuk kemudian kembali ke Juventus dalam kondisi yang lebih matang. Sebagaimana yang dilakukan Lippi di 2001.

Apapun itu, keputusan telah diambil. Saya harus menghadapi kenyataan, bahwa Conte memutuskan untuk melangkah menggapai kesuksesan dengan caranya sendiri. Keputusannya sudah bulat, tak perlu disesali, karena disesali berulangkali pun yang akan saya dapatkan tetap Massimiliano Allegri. Nasi sudah menjadi bubur. Tapi setidaknya, mari berharap bahwa bubur buatan Allegri akan menghantarkan kita semua naik haji.

Rabu, 25 Juni 2014

Dari Hati, Untuk Jokowi: Sebuah Testimoni, Doa, dan Harapan

Ngelaras dhisik, Ngger.
Sugeng siang, Pak Jokowi.

Saya menulis surat ini di tengah siang yang tiba-tiba beranjak mendung, Pak. Sedikit terasa aneh, menyaksikan langit kota Surakarta terlihat kelam seperti saat ini; di siang hari, di bulan Juni, di mana saya lebih sering mendengar bahaya ancaman kebakaran musim kemarau, seperti yang sering diberitakan di tayangan televisi. Mungkin saat saya selesai menulis surat ini, hujan akan turun. Tentu akan saya nikmati saja, Pak. Karena bagi saya, tak ada yang lebih nikmat dari tidur siang di tengah rintik-rintik hujan. Tapi kalau Bapak mau alasan yang lebih puitis, silakan simak kata Sapardi —penyair yang juga lahir di kota yang kita cintai ini, dalam puisinya yang ia tulis pada 1994, Hujan Bulan Juni, “tak ada yang lebih bijak, dari hujan di bulan Juni.”

Tempo hari, saya menyaksikan Bapak tampil di televisi. Dalam kesempatan itu, Bapak berulangkali menyebut soal Drone, cyber, hybrid, dan istilah-istilah lain yang mesti memaksa saya untuk membuka laman Google. Saya bersyukur, tidak menjadi lawan debat Bapak pada malam itu. Saya hanya menjadi penonton layar kaca, saya masih punya kesempatan untuk membuka ponsel dan berselencar di mesin pencarian dunia maya, sembari mencari tahu makna istilah yang sering Bapak sebut tadi. Sebuah momen sederhana, yang tentu saja sangat diinginkan Pak Prabowo saat melakoni debat sesi kedua beberapa pekan lalu. Kalau bisa melakoni hal yang sama, sudah barang tentu beliau tidak akan kebingungan soal istilah TPID. Ah, Pak Jokowi memang paling bisa kalau sudah melihat celah.

Saya terpukau, dari hal-hal kecil seperti itu. Bapak memang tidak memiliki latar belakang berkecimpung di bidang pertahanan negara, seperti yang dimiliki calon lain. Tapi terlihat jelas, Bapak belajar untuk mendalami permasalahan yang ada di dalamnya. Boleh jadi, orang beranggapan bahwa semua itu adalah saran dari tim penasihat Bapak —tim penasihat yang sudah dipersiapkan untuk meriset segala duduk permasalahan di bidang pertahanan negara, dan kemudian Bapak hanya tinggal “terima jadi” saja. Tapi jika memang seperti itu adanya, perlu diketahui bahwa saran hanya akan menjadi saran apabila tak didengar. Ini yang harus mereka tahu: jika dugaan mereka benar, maka apa yang Bapak sampaikan di dalam debat itu, adalah apa yang telah Bapak dengar. Sesuai dengan makna pemimpin yang berulangkali Bapak sampaikan: pemimpin yang baik, adalah pemimpin yang sanggup mendengar.

Tapi saya ingat, Bapak bukan sosok yang hanya suka mendengar dari satu pihak saja, bukan? Dalam debat kedua, Bapak bercerita tentang alasan melakukan blusukan. Bapak tidak bisa, hanya mendengar kabar dari bawahan Bapak, bahwa kampung ini sejahtera; kampung ini makmur; rakyat di sini kesehatannya terjamin; anak-anaknya sudah mendapat pendidikan yang layak; dan seterusnya dan seterusnya, tapi tidak pernah mendengar langsung dari yang bersangkutan —dari rakyat yang Bapak pimpin. Untuk itulah, Bapak turun ke bawah, mendengar langsung segala puja-puji dan keluh kesah dari rakyat, tanpa diberi ‘bumbu tambahan’ dari bawahan. Bukan begitu, Pak?

Pak Jokowi yang semringah, sering saya lihat di televisi, Bapak sudah berkeliling nusantara untuk berkampanye sekaligus mendengarkan aspirasi dari masyarakat setempat ya Pak? Kalau memang begitu, Alhamdulillah, berarti saya tidak perlu menulis surat ini terlalu panjang. Anggap saja ini seperti surat cinta dari Bu Iriana, Pak. Setahu saya, surat cinta mampu mengembalikan romansa antar pasangan, apalagi jika kedua pasangan tengah berada di titik jenuh. Karena ketika membaca surat cinta, mereka serasa diajak untuk kembali mengingat, alasan kenapa mereka berhubungan, kenapa mereka bisa saling jatuh cinta, dan berbagai kenangan manis yang ada di dalamnya. Aih, manis betul.

Nah, surat ini (saya harap) juga memiliki fungsi serupa, Pak. Jika Bapak sudah terpilih dan suatu saat berada di titik jenuh atau sedang butuh asupan semangat, kiranya surat ini bisa kembali mengingatkan Bapak, bahwa di pundak Bapak,  ada optimisme sebagian rakyat akan perubahan yang lebih baik; ada segala keluh kesah dari masyarakat, yang berharap bahwa masalahnya sanggup Bapak selesaikan; ada doa baik yang teriring, agar Bapak sanggup memimpin negeri ini dan dijauhkan dari segala macam kemaksiatan serta marabahaya. Semoga, surat ini sanggup menjalankan semua fungsi itu dengan baik. Semoga.

Yang ingin saya bahas pertama, Pak Jokowi, mengenai keputusan Bapak untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Tapi sebelumnya, izinkan saya untuk menceritakan apa yang saya lihat dan saya rasakan, selama Bapak memimpin kota Surakarta —selama hampir dua periode. Saya ingin mengucapkan banyak terima kasih. Semenjak dipimpin Bapak, kami makin punya banyak cerita yang siap dibanggakan, apabila orang bertanya tentang perkembangan kota ini. Tak perlu saya ceritakan satu per satu, karena jejak rekam Bapak selama di Surakarta sudah amat sering diberitakan oleh media. Satu yang pasti, sampai saat ini saya masih sering terpukau melihat program ‘militansi-ideologi’ yang Bapak usung bersama Pak Rudi dulu, membuahkan hasil yang begitu mencengangkan. Sesekali, saya menantang kawan yang berasal dari luar kota untuk menceritakan kembali apa yang saya ceritakan —tentang prestasi Bapak, kepada para pedagang atau pengusaha kecil di Surakarta, dan lihat apakah mereka mengamini semua ucapannya atau tidak. Dan hasilnya selalu sama, kawan saya mengalamatkan tepukan pelan di bahu kanan saya, seraya berkata: “Gila walikota lo, keren. Andai pemimpin di kota gue kaya punya lo juga!” Sungguh, ada kebanggaan tersendiri tatkala mendengar hal seperti itu.

Tapi bak petir di siang bolong, saya begitu terkejut saat mendengar Bapak akan mengajukan diri untuk menjadi calon Gubernur Jakarta. Saat itu, isunya memang sedang beredar kencang di berbagai media. Tapi, saya berusaha meyakinkan diri sendiri dengan berpikir “Ah, tidak mungkin,” berulang-ulang kali. Ngeyem-ngeyem awake dhewe. Tapi pada akhirnya, apalah saya ini. Saya hanya bisa berharap, dan Bapak sendiri yang sanggup untuk memutuskan.

Dan benar saja, Bapak akhirnya memutuskan untuk maju sebagai calon Gubernur Jakarta dan hasilnya berujung dengan kemenangan. Ada rasa sakit hati? Tentu. Saya seperti tidak rela, melihat Bapak berkecimpung di tengah pusaran bajingan-bajingan Ibu Kota. Saya terlalu sayang Bapak. Saya tidak sanggup membayangkan, jika nantinya salah satu putera terbaik kota Surakarta akan menjadi bulan-bulanan di Jakarta, padahal menyandang prestasi gemilang di kota kelahirannya sendiri.

Tapi setelah Bapak memimpin Jakarta, kenyataan berkata lain. Di Jakarta, Bapak bersama Ahok membuat berbagai gebrakan yang pada akhirnya membungkam keraguan para pembenci Bapak. Mulai dari pembenahan waduk Pluit, pengelolaan PKL Tanah Abang, penataan Rumah Susun Marunda dan Muara Baru, Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar, hingga perbaikan birokrasi dari skala paling kecil. Saya yang tadinya tidak peduli dengan perkembangan kota Jakarta, mau tidak mau jadi ikut memantau. Bapak berhasil membuat saya penasaran, untuk menanti gebrakan apa lagi yang akan Bapak lakukan demi terwujudnya Ibu Kota yang lebih baik. Saya lihat, Bapak juga berhasil menanamkan optimisme kepada warga Jakarta, bahwa kotanya memang akan bergerak menuju perubahan. Modal berharga, yang akan sangat berguna untuk pembangunan sebuah kota dari waktu ke waktu, siapapun pemimpinnya nanti.

Mendekati bursa pencalonan Presiden, berbagai nama muncul sebagai kandidat. Yang tidak saya paham, kenapa nama Bapak disebut-sebut? Pikir saya, Bapak baru 1,5 tahun menjabat. Tidak mungkin, Bapak mau menciderai kepercayaan warga Jakarta yang telah memilih Bapak. Tapi belajar dari kasus pencalonan Gubernur Jakarta kemarin, saya tidak berharap banyak untuk kali ini. Saya hanya menyaksikan saja, sembari berharap-harap cemas. Ah, akhirnya kejadian juga. Lewat akun Twitter resminya, PDI-P resmi mengajukan Bapak sebagai calon Presiden. Kecewa lagi? Sedikit. Tapi, sisanya saya merasa antusias.

Biar saya jelaskan, kenapa saya kecewa dan kenapa saya merasa antusias. Kecewa, karena Bapak kembali tidak menepati janji untuk mengurus kota yang Bapak pimpin, sampai masa jabatan Bapak rampung. Saya harus jujur, tentu saya kecewa. Tapi seiring berjalannya waktu, saya mencoba berpikir rasional. Apa betul, saya pantas kecewa lagi untuk kali ini?

Latar belakang kekecewaan saya —dan kebanyakan orang, mungkin hampir sama. Kami kecewa, karena sebetulnya kami berharap besar bahwa Bapak akan membuat sebuah perubahan spektakuler di Surakarta maupun Jakarta. Kami cemburu, kami ingin Bapak fokus mengurus kota kami saja, masa bodoh dengan kebutuhan lain yang lebih jauh lebih besar dan lebih penting. Pokoknya, Bapak harus membuat kota kami jadi lebih maju dan bersolek. Karena kami tahu, Bapak sudah teruji dan mempunyai kapabilitas yang mumpuni.

Kemudian saya tersadar, bahwa saya egois betul. Seharusnya, putera terbaik bangsa bukan hanya milik Surakarta dan Jakarta, tapi milik Indonesia. Jika ada tugas negara sanggup dia jalankan demi kepentingan dan kemaslahatan yang lebih besar, lantas kenapa kami menahan Bapak? Jika rakyat sudah punya mau, lantas kami ini mau apa? Surakarta dan Jakarta sanggup Bapak pimpin jadi baik, kenapa Indonesia tidak?

Memang betul, mengurus Indonesia tidak semudah mengurus Surakarta dan Jakarta. Tapi, tidak mudah bukan berarti tidak bisa. Bapak pernah bilang, duduk permasalahan di setiap wilayah itu biasanya kurang lebih sama, hanya skalanya saja yang berbeda. Lagi pula, yang Bapak pimpin di Surakarta dan Jakarta selama ini, juga sama-sama manusia, sama-sama warga negara Indonesia, bukan alien. Asalkan diiringi dengan niat baik, saya percaya Bapak pasti bisa melakoninya. Karena menjadi pemimpin bukan hanya soal mampu, tapi juga soal mau.

Selang beberapa hari setelah Bapak resmi mencalonkan diri sebagai Presiden, banyak opini bertebaran di sana-sini. Ada yang bersifat mendukung, ada pula yang bersifat menghujat. Salah satu yang paling saya ingat, di linimasa saya ada yang berkomentar seperti ini, “Mau Jokowi jadi Presiden juga sama aja, ga bakal ada bedanya. Indonesia ini udah gawat. Malah kasian Jokowi.” Benarkah?

Di dalam buku “Nasihat Untuk SBY”, Adnan Buyung Nasution berkali-kali mendapat kritik yang bernada tragis, mengenai keputusannya untuk menerima jabatan Wantimpres. “Negara ini ibarat kapal yang hampir karam, percuma masuk ke dalam pemerintahan pusat, karena hanya perkara menunggu waktu saja untuk tenggelam.” Lalu. Adnan menjawab kritik itu dengan baik, “Memang negeri ini hampir karam, tapi justru karena itu, saya sebagai pejuang bangsa berkewajiban untuk menyelamatkan martabat bangsa ini agar tidak tenggelam.” Ini poin yang saya maksut, justru karena negeri ini sedang dalam keadaan genting; di mana kami semua membutuhkan sosok pemimpin yang mampu menumbuhkan semangat untuk kembali bangkit, maka sudah seharusnya sosok seperti Bapak ini hadir.

Jadi, mantapkan keyakinan Bapak bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Jangan pernah ada sedikitpun keraguan di dalam hati Bapak. Bapak tidak melanggar undang-undang, hanya dianggap menciderai etika personal karena terjun ke arena politik yang lebih besar, saat masa jabatan Bapak belum selesai. Bapak sering diserang dengan kutipan Camus, “Seorang manusia yang lahir tanpa etika, adalah ibarat binatang liar yang berkeliaran di dunia.” Jangan takut, Pak, jauh sebelum Bapak terjun ke dunia politik pun, Indonesia sudah dikelilingi hewan-hewan liar. Jika Bapak diibaratkan seperti hewan liar, silakan serang hewan-hewan liar lain yang sudah lebih dulu menggerogoti sendi-sendi bangsa ini. Sebagaimana tikus got, Singa juga hewan liar. Paling tidak, jadilah singa yang bisa memastikan tikus-tikus got itu tidak dapat tempat spesial di Indonesia. Jangan ingin jadi macan, Pak, jadilah singa. Karena kalau cuma ingin jadi macan, cukup dengan makan Biskuat juga sudah bisa, Pak.

Kedua, teruskanlah kebiasaan blusukan dan kebiasaan mendengar keluhan dari masyarakat yang Bapak pimpin. Terjun langsung, amati sendiri duduk permasalahan yang mereka hadapi sehari-hari. 989 pedagang PKL di Surakarta yang Bapak pindahkan dari Banjarsari ke Klithikan, luluh bukan karena tongkat pentung dan gas air mata satpol PP, tapi karena kesabaran Bapak untuk melakukan mediasi bersama mereka, Pak. Setelah melalui 54 kali makan siang bersama —sambil mendengarkan keluhan mereka satu per satu, kesepakatan baru tercapai. 286 keluarga yang tinggal di bantaran waduk Pluit, tidak merasakan kepalan tangan aparat terlebih dahulu agar mau direlokasi. Bapak turun bernegoisasi dan melakukan kontrol lapangan, sampai akhirnya muncul kata sepakat. Saya pun masih ingat, selama menjabat di Surakarta, Bapak melarang gerbang pintu balai kota ditutup, agar keinginan para demonstran untuk bertemu dan bertukar pikiran dengan Bapak dapat terwujud. Bapak bilang, kalau di Solo dulu, malah kangen didemo.

Oh iya, saya sendiri punya pengalaman pribadi, tentang berbagi pikiran dan keluhan dengan Bapak.

Pada kurun waktu 2009, Bapak datang ke sekolah saya, Sma 2 Surakarta. Waktu itu, Bapak mengadakan acara “Bincang-Bincang Bersama Walikota” dan berlangsung dengan meriah di aula sekolah saya. Saya waktu itu masih menjabat sebagai ketua OSIS, dan diberi mandat oleh Kepala Sekolah untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Saya bertanya mengenai tiga hal: pertama, mengenai pembebasan lahan parkir di depan Sma 1 dan Sma 2, kedua mengenai pembangunan skatepark, dan ketiga soal ruang kreativitas anak muda kota Surakarta, khususnya untuk kesenian mural dan grafiti. Waktu itu, Bapak menjawab poin pertama itu tergantung kebijakan sekolah, di mana pemkot hanya bisa membantu jika memang sekolah mengajukan permohonan dana untuk pembebasan lahar parkir di depan sekolah saya. Kedua, Bapak terlihat tertarik dengan gagasan skatepark, dan meminta saya untuk membuat proposal pengajuan lengkap, beserta denah dan anggaran dananya. Ketiga, kalau Bapak ingat kita pernah terlibat adu pendapat lumayan sengit, soal ruang mural dan grafiti. Bapak bersikukuh, bahwa tidak ada jaminan bahwa pemberian ruang mural dan grafiti, akan menjamin berkurangnya vandalisme. Saya kemudian memberikan contoh di Jogja, di mana pemerintah bisa sedikit menekan jumlah vandalisme, dengan memberikan ruang publik yang legal untuk mural dan grafiti. Sayang, setelah seminar kita tidak sempat berfoto bersama.

Beberapa pekan kemudian, saya kembali berjumpa dengan Bapak di balai kota. Kalau tidak salah ada penyuluhan tentang bahaya narkoba atau sejenisnya, saya lupa pastinya. Saya menjadi delegasi dari Sma 2. Selesai seminar, ada sesi bersalaman. Saya tidak berharap Bapak mengingat saya, tapi saat kita hendak jabat tangan, Bapak bertanya: “Mas, proposal skatepark­-nya mana? Saya tunggu di kantor ndak datang-datang.” Aih, saya terharu betul. Saya kira jawaban Bapak waktu itu, hanya formalitas belaka, nyatanya Bapak ingat. Malah sampai sekarang, saya yang belum pernah bikin proposalnya, Pak. Maaf. (Oh iya, Bapak juga pernah menanyakan undangan untuk openmic di komunitas saya, Standup Comedy Surakarta, saat ditanya kenapa tidak jadi berkunjung ke acara kami. Maaf lagi, Pak. Kita malas bikin undangan. Padahal Bapak waktu itu sudah mengiyakan, dan berniat untuk datang.)

Pada 2010, saya lihat di sebelah barat Stasiun Purwosari ada beberapa tembok yang dipersilakan untuk diisi dengan mural dan grafiti. Kalau tidak salah, waktu itu awalnya berbentuk kompetisi. Wah, saya waktu itu senang bukan kepalang Pak. Entah itu berkat gagasan dari saya atau bukan, yang jelas pemberian ruang publik untuk sarana kreativitas anak muda di bidang mural dan grafiti, merupakan sebuah apresiasi sederhana yang sangat bermakna buat kawan-kawan saya. Yang jelas, Bapak sudah mendengar masukan saya.

Bapak selalu mendengar, mendengar, dan mendengar. Itu yang membuat saya yakin, bahwa Bapak bisa membawa negeri ini menjadi lebih baik. Tapi jika sudah terpilih nanti, saya berharap jangkauan Bapak untuk mendengar berbagai keluhan masyarakat jadi lebih luas, lebih-lebih untuk kasus intoleransi umat beragama. Karena sila pertama negeri ini, bicara soal Ketuhanan. Bicara soal Ketuhanan, tentu erat kaitannya dengan ibadah dan cara masing-masing umat untuk menyatakan keyakinannya. Namun di negeri ini, masih ada sekelompok golongan yang berusaha untuk tidak memberikan jaminan aman kepada mereka-mereka yang ingin beribadah sesuai dengan keyakinannya. Padahal semua warga setara, dan sudah menjadi tugas aparatur negara, untuk menjamin hak setiap warga untuk beribadah dengan tenang di dalamnya. Untuk kasus ini, tak salah jika sedikit menengok Piagam Gerakan Kebangsaan Iran, yang mana tertulis: “Rasa syukur kepada Tuhan, sangat bergantung kepada pencapaian kebebasan dan penggunaannya untuk mendapatkan hak asasi, keadilan, dan pelayanan.” Saya harap, Bapak bisa memberikan sikap tegas jika isu ini telah sampai di telinga Bapak. Tak perlu menjadi keras, karena tegas itu masalah sikap dan prinsip. Yang saya takutkan, bersikap keras hanya akan menimbulkan jarak di berbagai lini. Entah hubungan Bapak dengan satu golongan, atau dengan golongan yang lain.

Yang ketiga, saya berharap gagasan revolusi mental dapat berjalan sebagaimana mustinya. Pak Jokowi yang baik, saya yakin Bapak sadar bahwa di belakang Bapak, berdiri jutaan masyarakat Indonesia yang siap mendukung Bapak di manapun berada. Bapak bukan hanya mendapat dukungan, tapi juga mendapat kepercayaan. Di tengah krisis kepercayaan terhadap para pemimpin seperti saat ini, Bapak sanggup menyeruak muncul dengan suara rakyat sebagai motornya. Bukan tanpa alasan, kami berdiri di belakang Bapak. Kami sudah cerdas, kami sanggup membedakan mana yang bekerja, dan mana yang tidak. Mana yang ingin mengabdi kepada rakyat, mana yang ingin menjadikan rakyat sebagai abdi.

Kami —apalagi generasi muda, sangat sependapat dengan gagasan yang Bapak kemukakan. Pembangunan fisik dan ekonomi yang besarnya seperti apapun, tak akan pernah menjadi sempurna jika tidak disertai dengan pembangunan karakter. Saya berharap, Bapak bisa menjadi representasi revolusi mental bangsa Indonesia, yang sesegera mungkin akan kami mulai dari dalam diri kami sendiri. Sebab, sejarah selalu mencatat, bahwa karakter seorang pemimpin yang baik akan dengan mudah menular.

Guru besar bangsa ini —yang juga seorang mantan Presiden, Alm. Gus Dur, mendobrak kebiasaan Jahilliyah Indonesia pada masanya. Gus Dur, gigih menyebarkan spektrum toleransi beragama hingga jangkauan yang paling luas. Usahanya itu bukan datang sebagai produk keputusan negara, tapi bersifat gagasan dan sudut pandang; sehingga orang mengenali sifat toleransi ini sebagai karakter Gus Dur. Mereka yang benar-benar mengagumi Gus Dur, sudah barang tentu mewarisi hal serupa. Mereka berusaha mengadopsi segala hal baik dari Gus Dur, sebagai bentuk kesetiaan dan juga penghormatan. Hal baik macam inilah, yang sekiranya sanggup Bapak contoh.

Mungkin salah satu contoh karakter Bapak, yang bisa menjadi salah satu pendongkrak revolusi mental adalah sikap pro ekonomi rakyat. Selama di menjabat di Solo, Bapak berhasil meningkatkan pendapatan daerah dari pasar tradisional dan usaha kecil menengah, dari angka Rp. 7,8 miliar menjadi Rp. 19, 2 miliar, sementara ‘hanya’ hotel berkontribusi sebesar Rp.10 miliar, iklan Rp. 6 miliar, parkir Rp. 1,8 miliar, dan restoran Rp. 5 miliar. Saya membayangkan, jika Bapak terus menyuarakan gagasan pro ekonomi rakyat seperti ini, khususnya di bidang usaha kecil menengah, akan banyak sekali pengagum Bapak yang pelan-pelan ‘terdoktrin’ untuk memulai usaha sendiri, dan tidak bergantung pada pemodal besar yang cenderung memonopoli bidang usaha di Indonesia.

Kesederhanaan, kejujuran, kerja keras, dan juga sikap toleransi; di mana Bapak tidak gemar mengkafirkan saudara sendiri, adalah salah satu karakter yang harus terus Bapak jaga, dan Bapak tularkan kepada bangsa ini sebagai bagian dari usaha revolusi mental. Bapak, sekali lagi, bisa menjadi inspirasi bagi orang banyak. Lebih-lebih kepada saya dan generasi muda lainnya.

Yang terakhir, yang paling saya suka, tentang usaha merangkul generasi muda. Ada satu kutipan menarik dari salah satu putera terbaik bangsa, yang kini juga tengah berjuang bersama Bapak dalam usaha membangun Indonesia, Anies Baswedan. Ia berujar, “Anak muda memang minim pengalaman, karena itu ia tak tawarkan masa lalu, anak muda menawarkan masa depan.”

Ya, kami menawarkan masa depan. Sebab, mau tidak mau, suka tidak suka, suatu saat kami akan menjadi pilar bangsa ini. Selain soal revolusi mental yang sudah saya singgung sebelumnya, saya harap Bapak juga bisa memberikan bekal khusus kepada generasi muda. Dalam hal ini, yang ingin saya singgung berkaitan dengan industri kreatif.

Dalam debat kedua, ada beberapa hal menarik yang Bapak kemukakan soal industri kreatif. Bidang seni musik, seni pertunjukan, video, desain, dan animasi. Saya senang, Bapak menyinggung poin tersebut. Tandanya, Bapak memang melihat ada peluang menjanjikan dari bidang-bidang itu. Di dunia musik, tentu sudah banyak orang yang tahu. Bapak penggemar musik metal dan sering datang konser, baik band dalam negeri maupun luar negeri. Saya sendiri pernah menjadi saksi mata, Bapak datang tanpa protokoler berlebihan di Rock in Solo 2012 dan Rock in Solo 2013. Setelah datang di Rock in Solo 2012, Bapak berkelakar lewat Twitter, “Datangin Metallica ke Solo habis berapa ya?” Dan akhirnya, Bapak bisa menyaksikan Metallica di Indonesia —meski bukan di Solo, tapi di Gelora Bung Karno, Jakarta. Bapak yang notabene-nya seorang politisi, hadir di tengah kerumunan massa penggemar rock, dan dielu-elukan. Kebetulan saya juga hadir di malam yang berbahagia itu, Pak. Dan ketika para penonton lain terkaget-kaget, karena tiba-tiba Bapak datang tanpa pengamanan yang terkesan lebay, saya biasa saja. Pasalnya, sudah sering lihat Bapak seperti itu di Solo. Rock in Solo 2011, bersebelahan di lampu merah Jongke saat naik mobil dinas tanpa pengawal, datang berboncengan naik motor Mio saat kasus penembakan polisi di Singosaren, naik sepeda seorang diri saat CFD. Wis kulina, kalau kata orang Jawa.

Di bidang animasi, ini yang menarik. Bapak bilang, “Animasi kita banyak diekspor ke luar negeri, dan dinikmati bangsa lain. Perusahaan yang mengembangkan animasi di Indonesia juga masih perusahaan asing.” Saya setuju, Pak. Animator kita ini banyak yang bertangan emas. Kawan-kawan saya yang bergelut di bidang ini, nampak senang dengan kebihakan Bapak. Saya pernah baca, sebelum kartun Tsubasa terkenal, sepakbola Jepang bukanlah apa-apa. Kartun yang bercerita tentang perjuangan pesepakbola bernama Tsubasa Ozora itu, mampu menggugah minat orang Jepang terhadap sepakbola. Hasilnya? Kini Jepang menjadi langganan juara Asia, kontestan tetap Piala Dunia sejak 1998.

Kesaktian industri kreatif dalam membentuk pengaruh memang dahsyat. Protes anti perang yang disuarakan oleh Bob Dylan, Joan Baez, dan Donovan yang diselundupkan ke radio Angkatan Bersenjata Amerika di Vietnam, berhasil menumbuhkan sikap anti perang; pemerintah Jepang dan Korea Selatan, sama-sama mendanai setiap perkembangan industri kreatif mereka di luar negeri, sebagai usaha untuk menarik ketertarikan masyarakat internasional terhadap pop culture masing-masing negara. Jika geliat ini sanggup dikelola dengan baik, hal ini bukan hanya mendatangkan keutungan ekonomi semata, tapi juga bisa menjadi identitas negara.

Jadi besar harapan saya agar Bapak mampu meneruskan niat baik yang pernah Bapak sampaikan beberapa pekan lalu. Sekali lagi, generasi muda adalah generasi yang menjanjikan. Kami punya banyak ide dan tenaga, yang selama ini kurang diapresiasi oleh negara. Tentu kami tidak sanggup selalu bergantung kepada negara, tapi alangkah baiknya jika potensi yang menjanjikan seperti ini sanggup difasilitasi dan diberi apresiasi setinggi mungkin dari negara. Selama ini dukungan memang sudah ada, tapi masih belum maksimal dan masih sangat mungkin untuk dikembangkan menjadi jauh lebih besar.

Pak Jokowi, kiranya itu saja yang ingin saya sampaikan kepada Bapak. Surat ini, hanya sebagai simbol, bahwa betapa saya menyayangi Bapak dan sangat berharap Bapak mampu mengemban amanah, apabila kelak sudah terpilih. Doa saya, supaya Bapak memiliki karakter pemimpin yang disebut Eko Prasetyo dalam “Islam Kiri: Melawan Kapitalisme Modal dari Wacana Menuju Gerakan”: sanggup menjadi contoh otentik dari sebuah moralitas sederhana, dan berani bersikap melawan terhadap kesewang-wenangan.

Ah, tebakan saya betul Pak. Ini siang akhirnya hujan juga. Saya harus cepat bergegas, Ibu tadi keburu pergi sebelum sempat mengangkat jemuran. Jangan lupa makan, Pak.

Salam,

Bryan Barcelona.


Sabtu, 03 Mei 2014

Vakansi Sempurna ala Pasukan dari Selatan Jakarta

Lembe-Lembe!

Dari Jakarta, turun ke Lokananta. Enam sekawan ini bernyanyi, berdansa, sembari bercerita tentang angan yang tak kelewat muluk dan kemungkinan membuat album religi

**********************************

Selang setahun setelah merilis White Shoes and the Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah dalam format CD, White Shoes and the Couples Company (WSATCC) memutuskan untuk kembali merilis mini-album tersebut dalam format double gatefold 7 inch. Bekerjasama dengan The Think Organizer, pada Kamis (30/4) lalu mereka mengadakan pesta peluncuran dan penjualan mini-album tersebut di Lokananta —studio yang juga menjadi tempat penggarapan White Shoes and the Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah. Malam itu, ruangan studio Lokananta disulap menjadi panggung sederhana yang intim, dengan melibatkan WSATCC dan 300 penggemarnya yang hadir sebagai sejolinya.

Acara ini dibuka dengan testimoni dari sang manajer, Indra Ameng dan Andi —perwakilan dari Studio Lokananta, tentang proses penggarapan mini-album White Shoes and the Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah. Stephanus Adjie, vokalis Down For Life yang didapuk sebagai pembawa acara, berhasil membuat sesi testimoni ini menjadi kocak dan jauh dari kategori membosankan —sebagaimana testimoni pembuka di acara serupa. “Setelah White Shoes, saya dapat kabar kalau Metalllica juga akan membuat vinyl di Lokananta. Album mereka akan dibuat edisi vintage!” ujar Adjie. Mungkin jika sudah tidak lagi berkutat di ranah musik metal, Adjie tahu harus banting setir ke profesi apa.

Bukan kali pertama WSATCC tampil di dalam studio Lokananta. Hampir dua tahun silam, mereka juga pernah merasakan sensasi manggung di studio legendaris ini, dalam sebuah acara amal yang bertujuan untuk kembali ‘menghidupkan’ geliat Lokananta. Komposisinya masih sama: penonton di dalam duduk lesahan, intim, penuh sesak, dan sedikit gerah. Hanya saja, untuk konser kali ini WSATCC menyiapkan tata lampu dan cahaya yang lebih apik.

Seakan merayakan kembalinya momen kebersamaan dengan para penggemarnya di kota Solo, WSATCC langsung membuka dengan tembang cantik dari album Skenario Masa Muda, “Super Reuni”. Sang biduan, Aprilia Sari tahu betul cara menyapa dan membuat para penonton merasa semringah. Nona yang satu ini, tanpa henti menebar aura bahagia ketika bernyanyi dan berdansa. Seisi Lokananta seakan disuguhi dua anugerah secara bersamaan; nikmat rupa, juga nikmat suara. Tak lama berselang, mereka kemudian membawakan lagu yang sempat populer di era ’50, “Aksi Kucing” —dan seperti biasa, langsung dipenuhi dengan sahut-sahutan “meong, meong” antara penonton dengan sang penampil. Berurutan setelahnya, WSATCC memainkan “Vakansi”, “Senandung Maaf”, medley “Tentang Cinta – Selangkah – Masa Remadja”, sebelum mengakhiri pertunjukan dengan koor massal di nomor “Kisah dari Selatan Jakarta”.

Selayaknya adegan penutup konser pada umumnya, WSATCC kemudian undur diri sembari mengucapkan salam terimakasih kepada para penonton dengan terburu-buru. Selayaknya respon penonton pada umumnya pula, mereka kemudian berteriak “lagi, lagi, lagi!” dengan keyakinan penuh bawa musisi idolanya itu akan kembali naik ke atas panggung. Dan benar saja, sejurus kemudian WSATCC kembali berada di atas panggung. Riuh tepuk tangan dari penonton pun langsung terdengar. Dramatis? Bisa jadi.

Pertunjukan sebenarnya justru baru saja dimulai. Setelah lampu panggung dipadamkan, seketika itu pula muncul suara deburan ombak dan hembusan angin yang berulang. Kombinasi ini, adalah pengantar dari nomor pembuka mini-album White Shoes and the Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah, “Jangi Janger”. Lagu tradisional anak yang berasal dari Bali ini, dimainkan tanpa iringan instrumen dan berhasil menanggalkan kesan magis serta megah. Setelah itu WSATCC membawakan lagu “Tjangkurileung”, yang merupakan buah karya seniman besar Sunda, Koko Koswara. Nuansa rockabilly yang kental di dalam lagu ini, berhasil membujuk para penonton untuk menggoyangkan badan dan turut serta memberikan iringan tepuk tangan tanpa henti.

Pasca encore, mereka membawakan seluruh lagu yang ada di mini-album White Shoes and the Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah. Kejutan dengan suguhan eksplorasi musik sampai tingkatan paling dalam, mereka buktikan dengan menyisipkan sentuhan baru di tiap-tiap nomor. Sisipan surf-rock, psikedelik, akustik-ballad, ketukan disko klasik khas film ’70-an serta kocokan gitar ala funk-jazz yang dikawinkan dengan vokal nan ciamik milik Nona Sari, bisa Anda temukan di “Lembe-Lembe”, “Te O Rendang O”, dan “Tam-Tam Buku”. Repertoar ini, kemudian ditutup tanpa cacat oleh hit mereka dari 2005, “Windu Defrina”.

Konser telah usai, tapi tidak dengan keriaan yang ada di dalamnya. Setelah turun panggung, WSATCC langsung mengadakan sesi meet & greet dengan para pengggemarnya. Berfoto bersama, sekaligus menandatangani seluruh ‘dagangan’ yang mereka bawa dari Jakarta. Perwakilan Demajors —perusahaan rekaman yang bertanggung jawab untuk mendistribusikan mini-album ini, nampak tersenyum lebar tatkala mendapati lapaknya laris manis bak penjualan mantel plastik di kala musim hujan tiba. 50 piringan hitam dan 50 cakram padat yang mereka bawa, seluruhnya habis terjual. Piringan hitam White Shoes and the Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah sendiri hanya diproduksi sebanyak 300 keping, dan dilepas dengan harga Rp. 280 ribu.

Alhamdulillah deh kalau gitu,” ujar Sari tatkala mendengar kabar bahwa piringan hitam yang mereka bawa habis terjual.  Ricky Surya Virgana sang bassist, bercerita tentang proses produksi mini album ini. “Proses pengerjaan album ini memang di Lokananta, tapi pressing­­-nya sih di Italia. Sempat ada opsi, supaya hasil rekaman dibawa ke Prancis, tapi biaya produksinya kelewat mahal. Padahal dulu, semua piringan hitam musik Indonesia —bahkan Asia Tenggara pressing-nya ya di sini, di Lokananta. Tapi, mesinnya udah dijual ke Singapura.” kata Ricky.

Ketika disinggung mengenai pesan yang ingin disampaikan WSATCC dalam album ini, Sari mengaku bahwa mereka tidak merancang atau menyisipkan pesan yang kelewat muluk.

“Biasa aja.”

“Gini, sebetulnya kita rekaman di Lokananta itu memang karena kami ingin membuktikan bahwa studio ini tuh sama seperti studio-studio lain; bisa dipakai rekaman.  Udah itu aja. Karena kami sadar, bahwa pesan dari kami saja tidak akan mengubah sesuatu secara signifikan. Jamannya memang sudah berbeda, memang ga bisa dipaksakan kalau visi dan misinya memang sudah ga sejalan,” ujar Sari tegas. Nona Sari dan Aprilia Sari memang dua karakter yang berbeda: yang satu tampil sebagai biduan, dengan lemparan senyum setiap saat dan raut mata yang ingin menyenangkan semua orang dari atas panggung. Yang satu lagi: sesekali tersenyum, garis wajahnya sedikit serius dan lisannya terdengar tajam dalam menyampaikan gagasan. Tapi yang pasti, baik Nona Sari maupun Aprilia Sari sama-sama memiliki senyum yang menenangkan, juga menyenangkan.

Sari menambahkan, “Kalau soal lagu daerah, itu memang sudah menjadi kebiasaan kami sejak lama. Sebelum proses rekaman album ini, kami sempat beberapa kali membawakan lagu daerah. Meskipun yang sering kami bawakan, malah tidak kami rekam. Jadi, kami tidak terlalu mengemban misi yang kelewat spektakuler; melestarikan lagu daerah, menyelamatkan budaya, atau yang lainnya. Kami melakukan apa yang kami suka saja, kalau kemudian banyak pendengar yang sama-sama menyukai juga, ya itu bonus.”

Lagian, terdengar berlebihan ga sih kalau kita menyampaikan gagasan seperti itu? Toh sebetulnya, tiap hari lagu daerah itu masih sering dinyanyikan di sekolah dasar. Anak-anak masih banyak yang hapal lagu daerah. Banyak hal yang sering kita lakukan sehari-hari, sehingga saking seringnya, kita ga sadar kalau itu sudah menjadi bagian dari hidup kita,” tutur Sari.

“Cuma, dulu memang lagu daerah memiliki tempat yang sejajar dengan musik kebanyakan. Musik pop, misalnya. Kami cuma mau mengembalikan itu saja,” ujar Ricky menambahkan. “Kami tidak ingin merasa terbebani dengan apa yang kita buat. Misalnya mau puasa bikin lagu pop-religi, padahal gua ngaco, masih sering ngomongin orang, bahkan mungkin puasa juga ga! (tertawa)” kata Rio Farabi sang gitaris.

Penggebuk drum, John Navid juga mengiyakan pendapat personel lainnya. Menurutnya, ia juga menyadari kapasitas WSATCC. “Kami ga berharap lebih. Yaudah, sederhana aja gitu. Orang tau kita bisa rekaman di Lokananta......”

“....kalau suka beli, ga suka rugi,” pungkas Ricky dengan jujur.