Kamis, 17 Juli 2014

Fly You High, Antonio!

So long, Coach!

“Do you know what your problem is? You can't live with the idea that someone might leave.” ― John Green, An Abundance of Katherine


*******************************************


Ada yang lebih pedih, dari cinta yang tak berbalas? Tentu ada. Salah satu di antaranya, mungkin ditinggalkan saat cinta sedang mencapai titik puncaknya. Bagaimana tidak, saban hari kita dipersilakan untuk mencintai, memuji, dan membayangkan hal-hal indah lainnya. Hingga pada suatu titik, saat sudut terlemah kita —yang tak pernah membayangkan kemungkinan-kemungkinan pahit— tidak pernah benar-benar terjaga, dihantam dengan satu kenyataan yang bertolak belakang dengan pengharapan. Blam. Semua hancur. Seketika.

Belum lama ini, sosok yang menyerang sudut terlemah saya bernama Antonio Conte. Ia pertama kali membuat saya jatuh cinta pada 2000. Pada sebuah laga penuh gengsi tak lama setelah pekan pembukaan liga, tendangan Conte dari pinggir kotak penalti di menit 89 berhasil menembus sudut kiri jala Christian Abbiati. Laga berakhir imbang, 2-2 untuk Juventus dan A.C Milan. Tapi malam itu, seorang supersub yang baru saja sembuh dari cidera parah berhasil memukau hati bocah ingusan umur 8 tahun, lewat tendangan spektakulernya.

11 tahun berselang, ia kembali ke Juventus. Kali ini statusnya sebagai pelatih. Setelah berpetualang —sembari menimba ilmu bersama Bari, Siena, dan Atalanta, akhirnya Conte kembali ke tempat yang ia sebut sebagai ‘rumah’. 14 tahun berkarir di Turin, pria kelahiran Lecce ini berhasil merengkuh semua trofi bergengsi di tingkat klub. Mulai dari gelar Serie-A, Coppa, Super Coppa, UEFA Cup, Champions League, UEFA Super Cup, Intercontinental, bahkan sampai Intertoto. Pernah menjabat sebagai kapten dan menjadi pemain kunci selama satu dekade lebih, Conte menjadi salah satu simbol terpenting dalam sejarah klub. Gaya bermainnya jauh dari kategori elegan ala kompatriotnya di lini tengah, Zidane. Pun tak memiliki naluri mencetak gol setajam Del Piero, Inzaghi, atau Trezeguet, tapi ia dikenal memiliki grinta —semangat juang yang merepresentasikan identitas klub. Marcelo Lippi pernah berujar, semasa jadi pemain, Conte memiliki tekad yang begitu kuat untuk meraih kemenangan, jauh melebihi siapapun di dalam tim. Untuk alasan itulah, ia memberi nama putrinya Vittoria —yang berarti kemenangan.

Conte datang ke Juventus dengan satu misi yang jelas: mengembalikan momen kejayaan klub sebagaimana mestinya. Berbekal stadion baru dan manajemen yang mumpuni, Conte berhasil menempatkan Juventus ke kasta tertinggi di Italia —setelah bertahun-tahun sebelumnya terseok-seok di kubangan papan tengah dan jerat pemain medioker. Dalam kurun waktu 3 tahun, Conte berhasil menorehkan catatan fantastis. 3 gelar Serie-A secara beruntun, 2 gelar Super Coppa, satu musim tak terkalahkan, dan —yang paling sensasional, berhasil memecahkan rekor poin tertinggi klub Serie-A dalam satu musim, 102 poin. Sebuah pencapaian yang bahkan tidak bisa digapai oleh deretan pelatih hebat macam Marcelo Lippi, Trapattoni, Ancelotti, Carcano, atau Capello. Dan hebatnya, Conte menorehkan prestasi itu bersama skuat yang tidak memiliki dimensi internasional, sebagaimana skuat milik pelatih sebelumnya. Kita mengenal Del Piero, Zidane, Vialli, Montero, Davids, Deschamps, Trezeguet pada Juventus era Lippi, atau Cannavaro, Vieira, Emerson, Nedved, Ibrahimovic pada Juventus era Capello. Tentu, sekarang kita bisa menyebut Buffon, Pirlo, Vidal atau Chiellini, tapi bisakah Anda membayangkan, Juventus meraih gelar 2011/2012 bersama Estigarribia, Matri, Boriello, dan Pepe sebagai andalan?

Lantas, apa yang menjadikan skuat milik Conte ini spesial? Jawabnya adalah: Conte itu sendiri. Dalam tulisan ini, Anda bisa menyimak bagaimana Conte menjadi egosentrisme taktik Juventus dari tahun ke tahun. Bagaimana ia ‘menendang’ pemain tenar macam Krasic/Elia dan lebih memilih Giaccherini/Pepe, bagaimana ia menempatkan Bonnuci, Vidal, dan Pogba dalam posisi terbaiknya, dan memilih kolektivitas tim dalam mencetak gol di dua tahun pertamanya. Namun kelebihan Conte bukanlah dari segi taktikal, melainkan pendekatan personal dan karakter. Sesuatu yang tidak dimiliki Ranieri, Del Neri dan Zaccheroni.

Conte adalah elemen fundamental dalam kebangkitan Juventus. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Turin, tugas pertamanya bukan untuk mengubah taktik, tapi memperbaiki mentalitas tim. Pavel Nedved yang sudah lebih dulu bergabung dengan manajemen tim mengatakan, salah satu penyebab kegagalan Juventus pasca Calciopoli adalah masalah mental. Menurutnya, pemain baru belum mengerti makna mengenakan seragam Juventus, sedangkan pemain lama kehilangan gairah untuk menularkan grinta yang mereka miliki kepada pemain baru. Conte paham betul akan hal ini. Sejak masih bermain, ia sadar bahwa ketika mengenakan seragam Juventus, kalian harus dituntut untuk menang —apapun yang terjadi. Apalagi, ia merupakan penggemar Juventus sejak masih remaja. Dalam suatu perlombaan melukis di Lecce, Conte muda pernah melukis Roberto Bettega sebagai sosok idolanya. Sejak remaja ia sudah mengenal kultur kemenangan yang ada di dalam diri La Vecchia Signora. Karena sesuai perkataan legenda hidup Juventus, Giampiero Boniperti, yang kemudian dijadikan slogan klub: Alla Juventus, vincere non è importante. È l'unica cosa che conta. Di Juventus, kemenangan bukan menjadi hal yang penting, tapi jadi satu-satunya hal yang berarti.

Saya tak pernah sangsi, akan kemampuan Conte untuk memperbaiki mentalitas tim. Karena sejak menjadi pemain, ia memiliki kemampuan itu. Luciano Moggi pernah berujar, “Zidane adalah seorang pemain bintang, tapi di ruang ganti, ia bukan seorang pemimpin. Di lapangan dan di ruang ganti, pemimpin sesungguhnya adalah Conte. Ia tahu bagaimana harus berbicara dan membakar semangat pemain lain.”

Saat menjadi pelatih, Conte menjadi Conte. Karakternya tidak berubah, hanya saja ia mempelajari gaya pelatih lain. Dalam bukunya, Testa, Cuore e Gambe, Conte menjadikan Van Gaal sebagai panutan. Menurutnya, seorang pelatih harus menjadi poros utama dalam sebuah kesatuan tim. Ia harus menjadi pemimpin —yang mana kehendaknya, adalah satu-satunya hal yang dijadikan acuan dalam melakukan apapun. Dan tentu saja, ‘arogansi ala Van Gaal’ ini tidak mentolerir segala pembangkangan dari pelbagai pihak. Maka dari itu, hal pertama yang akan ia bangun adalah mentalitas tim.

Testimoni mengenai karakter melatih Conte, pernah dituliskan dengan jelas dalam buku biografi Andrea Pirlo, I Think Therefore I Play. Pirlo mendeskripsikan Conte sebagai sosok pelatih yang tidak pernah merasa senang, karena selalu marah dan berteriak ke semua pemain di ruang ganti; meskipun sedang dalam posisi unggul. Menurutnya, Conte adalah sosok pekerja keras yang sangat mencintai Juventus, sampai-sampai ia pernah berujar, “Saya tidak paham, apakah Conte itu seorang pelatih atau penggemar berat Juventus. Ia selalu memikirkan tim ini, sampai ke detail kesalahan yang pernah kami perbuat. Ia melakuan itu, bahkan ketika tidak berada di lapangan dan sampai berhari-hari. Conte sangat benci kekalahan.” Bersama Buffon, Pirlo menempatkan Conte sebagai pelatih terbaik yang pernah menanganinya. Sebuah gelar prestisius, mengingat mereka berdua pernah dilatih oleh deretan pelatih top macam Ancelotti, Prandelli, Trapattoni, Capello dan Lippi.

Seperti yang sudah saya sebut sebelumnya, metode kepelatihan Conte ini berbuah sukses. Juventus melaju kencang di Italia, dan mentalitas juara yang selama ini hilang berhasil disematkan kembali ke dalam jati diri masing-masing pemain. Semua diraih dalam kurun waktu 3 tahun. Namun, deretan prestasi ‘instan’ ini tidak serta merta menghilangkan adanya kemungkinan ‘cacat tak terlihat’ di dalam klub. Perlahan-lahan, suara sumbang dari sana-sini mulai terdengar.

Yang pertama muncul, tentu soal target prestasi. Atmosfer Serie-A yang tidak kompetitif, membiarkan Juventus melaju kencang seorang diri di Italia. Bagi sebagian kalangan, hal ini tidak menjadi masalah —apalagi yang pernah merasakan/menyaksikan pahitnya turun kasta ke Serie-B. Tapi bagi pribadi ambisius macam Conte, hal ini tentu saja mengganjal. Sejak memenangi scudetto pertamanya, ia langsung menyatakan keinginannya untuk melebarkan sayap di kancah Eropa. Sejumlah nama ia sebut, sebagai daftar pemain yang harus menjadi target belanja Marotta dan Paratici. Mulai dari Robin van Persie, Cavani, Tevez, Higuain, sampai Aguero. Di tahun kedua Conte, Juventus mendatangkan pemain yang dinilai mampu memperbaiki titik lemah di sektor kiri, Asamoah dan Peluso. Alih-alih mendatangkan penyerang kualitas wahid untuk mempertajam lini depan, manajemen ‘hanya’ mendatangkan kembali Giovinco, serta merekrut pemain dari galaksi lain, Nicklas Bendtner dan penyerang veteran Anelka. Beruntung, Juventus mampu meraih scudetto kedua, dan tampil cukup memuaskan di liga Champions, meski dilumat Bayern Muenchen di perempat final —yang akhirnya keluar sebagai juara. 

Di tahun ketiga, salah satu target lawas Conte, Carlos Tevez, berhasil didatangkan ke Turin. Meski menjadi tandem maut bersama Llorente—dengan total 39 gol dan meraih scudetto kali ketiga secara beruntun, nyatanya Juventus tidak bisa berbuat banyak di Eropa. Sneijder dan salju di Turki, menghempaskan mimpi Juventus untuk melangkah ke babak perdelapan final. Bahkan saat ‘turun kasta’ di Europa League, Conte harus merelakan timnya kandas oleh Benfica. Menyedihkan, mengingat final Europa League sendiri berlangsung di Juventus Stadium. Hasil ini tentu membuat Conte geram. Bahkan di penghujung musim, ia terang-terangan mengatakan bahwa scudetto kali ini tidak cukup membuat dirinya merasa senang. Menurutnya, ia perlu amunisi yang lebih komplet di musim depan, agar bisa berbicara banyak di kancah Eropa. Untuk kali pertama, spekulasi mengenai pengunduran diri Conte berhembus. Kepada media, Conte mulai melancarkan pernyataan-pernyataan multitafsir. Entah karena ingin memberi tekanan kepada manajemen untuk segera menuruti permintaannya, atau memang murni karena ingin hengkang.

Jika ditelusuri lebih dalam, sebetulnya tuntutan untuk melangkah jauh di Eropa, tidak pernah diutarakan oleh manajemen tim. Dalam pidato pembukaan jelang musim 2013/2014, Presiden Andrea Agnelli berkata bahwa target utama Juventus adalah scudetto ketiga secara beruntun, bukan melangkah jauh di Eropa. Saya rasa, manajemen tim paham betul bahwa kesuksesan di Eropa tidak datang secara instan —sebagaimana sukses di Italia. Kasus Atletico dan Dortmund mungkin sebuah anomali, tapi pada kenyataannya, mereka ‘hanya’ melangkah sampai babak final; gelar juaranya tetap milik klub yang memang pantas menyandang gelar klub terbaik di Eropa, Bayern dan Real Madrid. Dan fondasi kedua klub tersebut, tidak dibangun dalam setahun atau dua tahun. Hasil yang mereka dapatkan adalah buah dari proyek jangka panjang. Mr. Trap bahkan baru bisa memenangi gelar Eropa pertamanya, setelah 10 tahun menukangi Juventus.

Lantas, ini ambisi siapa?

Dalam kunjungannya ke Turin beberapa bulan lalu, David Trezeguet pernah menjelaskan alasan, kenapa Conte sangat tergila-gila dengan gelar Eropa. “Semasa menjadi pemain, Antonio pernah mencapai babak final sebanyak empat kali (1997, 1998, 1999, 2002). Sedangkan saya, baru sekali —di 2002. Tapi saya masih memiliki penyesalan yang amat mendalam soal itu, saya tak akan lupa bagaimana kami kalah melawan A.C Milan di babak adu penalti. Berkaca pada saya, bisa kalian bayangkan perasaan Antonio? Pantas jika ia sangat berambisi mengejar gelar Eropa.” Tentu, saya tidak menjadikan pernyataan Trezeguet ini sebagai satu-satunya pembenaran atas ambisi Conte. Tapi setidaknya, saya paham dari mana sebagian besar rasa penasaran Conte akan gelar Eropa berasal.

Jika Anda mengikuti Seria-A dalam tiga tahun belakangan, tentu akan paham betul bahwa Juventus benar-benar melaju seorang diri. Di musim 2011/2012, Juventus memuncaki klasemen dengan selisih 4 poin dengan tim peringkat kedua, A.C Milan. Di 2012/2013, selisih poin Juventus dengan tim peringkat kedua, Napoli, sebanyak 9 poin. Sedangkan di musim 2013/2014, Juventus menorehkan selisih 17 poin dengan klub yang tampil sensasional di bawah asuhan Rudi Garcia, A.S Roma. Padahal, A.S Roma sendiri memiliki selisih poin yang cukup besar dengan klub peringkat tiga, Napoli, yaitu sebanyak 7 poin. Praktis, selama tiga tahun belakangan, perebutan tempat ketiga, zona UCL, atau siapa yang lolos dari zona degradasi menjadi lebih menarik untuk ditonton di Serie-A. Membosankan? Untuk pelatih seambisius Conte, bisa jadi. Sesekali saya membayangkan, apabila Juventus gagal merengkuh gelar ketiga atau kedua, mungkin saja ambisi Conte untuk merajai Italia masih tetap terjaga. Mungkin.

Dan benar saja, Conte akhirnya tiba pada titik lelahnya. Pada 16 Juli, Conte resmi mengundurkan diri sebagai pelatih Juventus. Dalam video yang diunggah di kanal YouTube tim, ia mengucapkan salam perpisahan dan memberikan ucapan terima kasih kepada semua elemen tim yang pernah bekerjasama dengannya. Presiden, staf kepelatihan, pemain, bahkan sampai pengurus stadion dan pemotong rumput lapangan. Hanya dua sosok yang tidak ia sebut, Beppe Marotta dan Fabio Paratici —duet paling berpengaruh dalam kebijakan transfer klub. Hal ini, jelas menimbulkan spekulasi: apakah kebijakan transfer kali ini, mempengaruhi keputusan Conte untuk mengundurkan diri?

Apabila menyimak video perpisahan Conte, tentu pendapat tadi terbantahkan. Dalam video tersebut, Conte menyatakan bahwa ia mundur karena merasa tidak lagi memiliki energi untuk membawa Juventus ke dalam performa terbaiknya. Ia merasa lelah, karena Juventus selalu menututnya untuk menang —dan kadang terasa menyakitkan. Apalagi kawan baiknya, Gianluigi Buffon juga menyertakan argumen pendukung. “Dari nada berbicaranya, saya bisa melihat bahwa ia kelelahan, dan tidak memiliki energi lagi untuk membawa tim ini menjadi juara. Ini pukulan telak bagi seluruh tim.” Namun, argumen ini terkesan normatif. Tidak mungkin, sosok haus kemenangan seperti Conte kehabisan ‘bahan bakar’ untuk melaju kencang di arena kompetisi. Belajar dari pengalaman, Conte tidak pernah blak-blak’an kepada media, apalagi sejak dituduh terlibat dalam skandal pengaturan skor sewaktu menjabat pelatih Siena 2011 silam. Conte sedikit memberi jarak dengan media, apalagi terkait hal-hal yang bersifat pribadi seperti ini.

Kembali pada spekulasi awal, menurut saya Conte memang hengkang karena kebijakan transfer. Conte telah berada di titik puncak, di mana ia memang tidak bisa melangkah lebih jauh jika tidak ada perubahan signifikan. Dan sedari awal, wish-list Conte memang belum bisa dipenuhi oleh manajemen. Bagaimana tidak, Alexis Sanchez —pemain yang sudah getol diburu Conte sejak berseragam Udinese, gagal digaet Juventus dengan alasan finansial, pun dengan pemain incaran Conte yang lain, Cuadrado dan Iturbe. Sanchez, Cuadrado dan Iturbe adalah opsi kesekian Conte, setelah manajemen ‘memaksa’ dirinya untuk putar otak memaksimalkan potensi yang ia miliki. Sejak awal datang ke Juventus, Conte memang berniat untuk menggunakan taktik 3-5-2, seperti yang pernah ia tulis dalam tesis kepelatihan di Coverciano. Dalam skema ini, ia menjadikan 3-5-2 ala Brazil 2002 sebagai acuan; tiga centre-back kualitas wahid, tiga midfielder yang diapit dua fullback dengan kemampuan bertahan dan menyerang yang mumpuni, kemudian satu seconda punta dan satu prima punta. Conte tak pernah memiliki masalah berarti dengan tiga barisan lini belakang, pun dengan tiga gelandang yang ada di depannya. Yang selalu menjadi masalah adalah, dua fullback dan duet penyerang yang ada di depan. Dari tahun ke tahun, sektor ini terus mengalami perubahan. Conte tak pernah mendapatkan pemain yang benar-benar ia incar, kecuali Tevez dan Llorente di tahun ketiga. Mulai dari Esti & Pepe, beralih ke Asamoah & Lichsteiner, dari Vucinic & Matri – Giovinco & Vucinic sampai akhirnya duet sempurna El Apache & El Rey Leon. Skema 3-5-2 idaman Conte, memang mencapai transformasi paling sempurna di tahun ketiga. Namun nyatanya, skema ini menjadi mudah terbaca dan tidak sanggup berbuat banyak ketika dipakai di kancah Eropa.

Contohnya, saat Juventus bertemu Bayern Muenchen dan Real Madrid. Kala berjumpa Bayern, Conte harus menghadapi kenyataan bahwa 3-5-2 miliknya tak berarti apa-apa di hadapan 4-2-3-1 milik Heynckes. Ribery dan Robben, malam itu menjadi mimpi buruk bagi lini belakang Juventus. Duet winger berkecepatan penuh seperti mereka, tak pernah Juventus temukan di kompetitornya di Serie-A. Di musim 2013/2014 —pasca ditaklukan 4-2 oleh Fiorentina di Artemio Franchi, wacana Conte untuk mengubah taktik semakin mengerucut. Eksperimen pertamanya di Eropa, saat bertandang ke Madrid. Meski kalah 2-1, skema 4-3-3/4-5-1 miliknya menuai hasil yang tidak begitu mengecewakan. Semenjak pertandingan itu, Conte —dan diiyakan oleh banyak pandit, berencana untuk menyempurnakan taktik 4-3-3, dengan syarat mendapat sokongan pemain berkualitas dari manajemen. Maka, diincarlah nama-nama seperti Evra, Cuadrado, Sanchez, Morata dan Iturbe.

Namun apa daya, beberapa hari sebelum Conte mengundurkan diri, nampaknya tidak ada gayung bersambut dari manajemen. Bahkan hingga saya menulis artikel ini, belum nampak tanda-tanda salah satu di antara mereka —minus Sanchez, bakal hengkang ke Turin. Apalagi, berita terbaru menyebutkan bahwa Iturbe kini resmi berbaju Roma, dengan kontrak senilai €22m (dengan tambahan pembayaran tahap ketiga sebesar €8m, atau total sekitar €3om). Bahkan, dikabarkan Juventus akan melego salah satu di antara Vidal atau Pogba, sebelum bisa belanja secara leluasa di bursa transfer pemain musim panas nanti.

Kaget? Tentu. Namun jika menilik alasan tersebut, nampaknya Conte memang tidak lagi sejalan dengan manajemen klub. Ingat prinsip melatih Conte tadi. Karakter bossy yang terkesan arogan ala Van Gaal itu, menempatkan titah pelatih sebagai rujukan utama. Ini masalah prinsip yang sifatnya sangar mendasar. Dan ketika prinsip itu ditawar —atau bahkan diinjak-injak, tentu pemiliknya akan gusar. Pun dengan Conte. Terdengar pongah memang, tapi itulah jalan yang diambil Conte. Pria yang ingin mengembalikan identitas juara Juventus dengan caranya sendiri, dan terbukti berhasil.

Manajemen klub telah menunjuk Massimiliano Allegri sebagai suksesor Conte. Betul, mantan pelatih Milan yang selalu berdiam diri saat timnya menang, seri, ataupun kalah itu. Betul, yang sering saya ledek semasa menjabat di Milan itu. Iya, Massimiliano Allegri yang itu. Semenjak resmi menjabat sebagai pelatih Juventus, saya mencoba berpikir jernih, dan sesegera mungkin mencari kelebihan yang dia miliki, atau apapun, yang setidaknya bisa membuat saya sedikit tenang. Persis seperti anak kecil yang mengunggul-unggulkan mobil-mobilan dari kulit jeruk buatannya sendiri, setelah menangis karena tak pernah dibelikan mobil remote control oleh orang tuanya. Seteleh mencari di pelbagai sumber, akhirnya memang ada beberapa argumen pendukung yang bisa membuat saya menjadi sedikit tenang. Ah, hasil mengulik kelebihan Allegri tadi nampaknya tidak perlu saya tulis di sini. Biarkan saja. Biarkan mobil kulit jeruk itu melaju dengan caranya sendiri, tanpa perlu saya tuntun.

Mulai detik ini, saya harus membiasakan diri mendengar teriakan “Dai, dai, dai!” milik Allegri —yang tersohor itu dari pinggir lapangan. Tak akan ada lagi, sosok pria berambut tipis yang akan siap meloncat ke siapapun yang ada di dekatnya, apabila pemainnya mencetak gol; tak akan ada lagi, pria berambut tipis yang ditelanjangi di ruang ganti —dan diceburkan ke kolam renang saat perayaan scudetto; tak akan ada lagi pintu ruang ganti yang akan ia pukul dengan botol minuman saat jeda babak pertama tiba; tak akan ada lagi pria berambut tipis yang langsung menghampiri dan berjabat tangan dengan wasit —sesaat setelah peluit pertandingan tiba, apapun hasilnya, tak akan ada lagi pria berambut tipis yang langsung memeluk erat semua pemainnya. Tak akan ada lagi Antonio Conte; pria berambut tipis yang telah menjadi ikon klub ini selama dua dekade. Grazie il’ capitano, grazie!

Jika bicara harapan, tentu saya berharap Allegri menjadi Pep di masa peralihan Barca dari Rijkaard. Di mana ia hanya tinggal meneruskan fondasi kuat yang sudah dibangun dalam skala tahunan, tanpa perlu memoles kelewat jauh. Atau mungkin, Lippi pasca mendapat warisan skuat juara dari Mr. Trap pada 1994. Jangan sampai, ego miliknya menghancurkan tatanan solid tim, sebagaimana yang dilakukan Pep pasca Bayern ditinggal Heynckes. Atau kalau mau berdelusi, saya tentu mengharapkan Conte hanya rehat selama setahun, untuk kemudian kembali ke Juventus dalam kondisi yang lebih matang. Sebagaimana yang dilakukan Lippi di 2001.

Apapun itu, keputusan telah diambil. Saya harus menghadapi kenyataan, bahwa Conte memutuskan untuk melangkah menggapai kesuksesan dengan caranya sendiri. Keputusannya sudah bulat, tak perlu disesali, karena disesali berulangkali pun yang akan saya dapatkan tetap Massimiliano Allegri. Nasi sudah menjadi bubur. Tapi setidaknya, mari berharap bahwa bubur buatan Allegri akan menghantarkan kita semua naik haji.

10 komentar:

  1. thanks ya artikelnya, keren. gue nemu di TL nya bang Ponco tadi. kita optimis dengan pelatih yang baru dengan kharisma yang berbeda jauh bahkan berbanding terbalik.
    #AVANTIJUVE

    BalasHapus
  2. bused.....nih artikel keren..... thanks....

    BalasHapus
  3. TULISAN YANG BAGUS!!!!

    salam kenal, minta ijin buat ngubek2 tulisan yang lainnya...

    \m/

    BalasHapus
  4. sebenernya yang keren fotonya tuh... conte pelukan sama chiellini,


    ehhh di belakang ada tokoh utama, simone pepe..... yang sibuk nasehatin lawannya... :D :D :D

    BalasHapus
  5. keren om, jadi terharu bacanya om...
    luar biasa....
    Fino Alla Fine Forza Juventus...!!!!!

    BalasHapus
  6. Terima kasih sudah berkunjung, semua.

    BalasHapus