Kamis, 14 Maret 2013

Atas Nama Pasar, Semuanya Begitu Banal?

Judul di atas merupakan penggalan lirik lagu ‘Cinta Melulu’ yang dibawakan oleh grup musik Efek Rumah Kaca. Ini merupakan bentuk sindiran kepada para musisi tanah air yang cenderung menyampingkan ideologi bermusik mereka demi permintaan pasar. Lagu ini dengan gamblang menggambarkan bagaimana kondisi industri musik tanah air saat ini, yang selalu  menjanjikan tempat yang layak bagi mereka yang masih setia mengangkat tema percintaan dalam setiap karyanya. Industri pertelevisian di negeri ini pun (sialnya) masih didominasi oleh tayangan yang kurang pantas disebut ‘berkualitas’. Banyak sekali pilihan tayangan di stasiun televisi di negeri ini yang mampu membuat pemirsanya mengernyitkan dahi, kemudian buru-buru mencari remote control untuk mengganti salurannya sembari menggerutu.

Perasaan tersebut nampaknya hampir pernah dirasakan oleh seluruh pemirsa televisi di Indonesia. Sungguh ironis, mengingat televisi masih menjadi pilihan utama keluarga di Indonesia untuk mencari hiburan tanpa harus keluar rumah. Hampir setiap keluarga dari berbagai lapisan masyarakat di pelosok negeri ini, memiliki  televisi, atau — paling tidak — pernah menyaksikan tayangan  televisi.

Setiap stasiun televisi pasti mempunyai tayangan unggulan. Keberadaan tayangan unggulan di sebuah stasiun televisi selalu mudah dikenali cirinya. Seperti, mempunyai jam tayang yang lebih lama dibandingkan tayangan lain; mendapatkan porsi iklan yang lebih banyak; lebih gencar promosinya, baik promosi on-air maupun off-air; menempati jam tayang ‘strategis’; dan mempunyai rating yang cukup tinggi. Wajar rasanya, bila kita menyebut sinetron masih menjadi tayangan unggulan di beberapa stasiun televisi. Lalu, apa itu sinetron?

Sinema elektronik atau lebih populer dalam akronim sinetron, adalah istilah untuk serial drama sandiwara bersambung yang disiarkan oleh stasiun televisi. Istilah sinetron pertama kali dicetuskan oleh Soemardjono, salah satu pengajar dan pendiri Institut Kesenian Jakarta, dan semenjak itu isitilah ‘sinetron’ mulai menjadi istilah yang digunakan secara luas. Sinetron menyajikan sebuah drama bersandiwara. Lalu, apa itu drama? Aristoteles pernah berujar bahwa, “Drama adalah sebuah karya seni yang bermanfaat untul memperlihatkan bagaimana yang seharusnya, sebagai ideal dari realitas yang ada.“

Akan tetapi nampaknya landasan filosofi drama di atas telah usang dimakan zaman.  Dewasa ini tayangan sinetron sering memaksa kita untuk dapat — meskipun sangat sulit — mencerna isi tayangannya dengan akal sehat. Rasanya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak ‘berkeluh kesah’ setelah melihat perkembangan sinetron di negeri ini dari waktu ke waktu. Fred Wibowo, dalam bukunya ‘Kebudayaan Menggugat’ berujar, “Padahal, awalnya banyak sinetron bermutu yang ditayangkan oleh berbagai stasiun televisi di Indonesia, Sayekti dan Hanafi, Aksara Tanpa Kata, Keluarga Cemara, Senandung dan Si Doel Anak Sekolahan, adalah sinetron yang patut menjadi referensi moral, sikap, dan kehidupan di negeri ini. Tetapi dalam perkembangannya, sinetron–sinetron kemudian menjadi sangat komersial dan semata-mata mempertontonkan gaya hidup tanpa mempedulikan pengaruh atas moral dan sikap hidup para penontonnya.“

Ya. Coba tengoklah kondisi dunia persinetronan kita sekarang. Saya rekomendasikan anda untuk rajin-rajin mengganti saluran televisi anda pada pukul 19.00 – 22.00. Coba cari stasiun televisi yang sedang menayangkan wajah wanita cantik yang sedang di-close up, sembari mengguman di dalam hati, menyusun rencana jahat merebut harta warisan atau berencana mencelakakan karakter lain dengan cara menabraknya menggunakan mobil — dan anehnya pasti selalu akan diselamatkan karakter lain dengan sangat dramatis — atau berbagai jalan cerita lainnya yang kelihatan menggelikan, kalau tidak mau disebut bertolak belakang dengan akal sehat. Terdengar aneh? Tunggu sampai anda melihat tayangan yang satu ini: jam tayang berkisar pukul 13.00 – 17.00. Sekali lagi rajin-rajnlah anda mengganti saluran televisi pada jam-jam ini, jangan kaget kalo anda akan disuguhi sinetron yang menampilkan pemainnya menunggangi sebuah naga sembari melawan manusia berkepala ular, berpenampilan serba putih layaknya seorang pemuka agama, dan mampu merubah kerikil menjadi armada kalajengking.

Segala keanehan jalan cerita diatas terasa lebih aneh lagi kalau anda mengetahui bahwa tayangan terebut memiliki rating yang tinggi di setiap penayangannya. Artinya, masih banyak dari masyarakat kita yang mau meluangkan waktunya untuk menyaksikan tayangan sinetron. Memangnya, ada yang salah dengan menyaksikan sinetron?

Tidak. Menyaksikan tayangan sinetron merupakan refleksi dari kegunaan media menurut Laswell, yaitu fungsi hiburan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa media bukan hanya dituntut untuk mampu meningkatkan apresiasi hiburan saja, akan tetapi juga diharapkan mampu untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat, melakukan kontrol sosial, dan memberi kontribusi di bidang informasi (Mursito B.M, Memahami Institusi Media: Sebuah Pengantar)

Kiranya jika tuntutan tersebut dialamatkan kepada para rumah produksi, jawaban mereka pasti kurang lebih begini “Kalau mau yang kaya begitu liat berita saja mas. Kalau bikin sinetron yang kaya gitu ga laku mas, pasar maunya yang enteng-enteng saja, “ Memang, tidak ada yang salah dengan menuruti kemauan pasar. Akan tetapi bukan juga berarti harus mengesampingkan ideologi dan kualitas karya yang mereka ciptakan demi menuruti kemauan pasar. Saya yakin, apabila sebuah karya diciptakan dengan sepenuh hati, penuh persiapan, dan ditambah dengan kejelian membaca peluang, pasti dengan sendirinya akan memunculkan ketertarikan bagi para penikmatnya. 

Maka tidak berlebihan bila ada ungkapan ‘pasar bisa kita ciptakan‘. Sebab kecenderungan orang untuk menyaksikan tayangan buruk bisa muncul, karena tak dihadapkan pada pilihan tayangan-tayangan berkualitas. Mari bersama-sama mengharap, semoga insan pertelevisian kita semakin cerdas dan memiliki kesadaran untuk ikut memajukan generasi bangsa, paling tidak melalui kualitas tayangan yang mereka buat. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar