Senin, 18 Maret 2013

“Habis, Kamu Selebtwit Sih”

Bermain-main dengan 140 karakter, tak pernah menjadi semenarik ini. Ya, semenjak ada Twitter, menit-menit yang biasanya hanya kita habiskan dengan dlangap-dlongop ga jelas, bengong, membayangkan sesuatu yang sebagian besar hanya bisa dibayangkan saja; tiba-tiba beralih menjadi menit-menit yang diisi dengan sebuah kegiatan menyenangkan. Twitter juga bertanggung jawab atas gaya berjalan baru hampir sebagian anak muda di Indonesia: menunduk, memandangi layar hp, berjalan dengan ritme tidak jelas, dan seringkali susah-nyambung jika diajak berbicara. Sering, kita mengulang pembicaraan yang tadi sudah disampaikan, karena lawan bicara — seperti disebutkan tadi — pasti akan merengek: “Eh, apa? Gimana gimana tadi? Tadi ga jelas. Ulangin ulangin deh.” 


Yang sudah mengenal perkembangan teknologi dengan baik, pastilah akrab dengan Twitter. Rentang usia penggunanya pun beragam: mulai dari anak kecil usia 8 tahun – sampai orang tua yang digit dari umurnya hanyalah pengulangan dari angka tadi: 88 tahun. Tapi memang — seperti rentang umur pengguna jejaring sosial lainnya di Indonesia — kebanyakan pengguna Twitter masih didominasi oleh anak-anak muda, dan (orang yang merasa dirinya masih seperti) anak muda Sebutlah pantaran umur 15 – 35 tahun. Patut dicurigai, apabila ada dari mereka yang masih dalam rentang usia tadi, tapi tidak memiliki — atau bahkan belum pernah mengenal — akun Twitter; pastilah sistem pemerintahan di daerah rumahnya masih menggunakan pola kadipaten, di mana mereka memilih seorang Adipati sebagai pemimpin di daerahnya. Bisa jadi.
Di antara sekian banyak pengguna Twitter tadi, muncul segelintir orang yang dinilai pantas untuk menyandang sebuah gelar, yaitu ‘Selebwtit’. Lalu, apa itu Selebtwit?

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang ‘Selebtwit’, di antaranya:
  • Selebtwit bukan berarti ‘taruh di pohon’ dalam bahasa Jawa, karena itu seleh wit.
  • Selebtwit bukan berarti ‘taruh di sepeda’ dalam bahasa Jawa, karena itu seleh pit.
  • Selebtwit bukan berarti mantan jurnalis Rolling Stone yang sekarang konsen menggeluti karir di ranah Standup Comedy, Seleh Solihun. Oh, itu Soleh Solihun. Iya, tau yang ini garing. Garing Nugroho. [ b u n u h s a j a l a h]
Siapa yang pertama kali mencetuskan istilah ‘selebtwit’, ibarat berapa umur Nikita Willy yang sesungguhnya: hingga kini, masih menjadi misteri. Tiada satu orang pun yang tahu. Definisi ‘selebtwit’, bagaimana acuan standar selebtwit yang baik dan sesuai kaidah (hei, bukankah ini lahan bagus untuk MUI?), dan siapa-siapa saja yang berhak menjadi selebtwit masih rancu. Membolak-balik kitab suci pun seakan nihil; karena saya juga tak mendapati jawaban atas kebingungan saya perihal ‘selebtwit’ ini. Jadi, (sekali lagi) apa itu selebtwit?
Entah angin apa yang mendasari saya untuk melakukan riset, sebelum mulai menulis artikel yang bahkan-saya-tak-tahu akan dibaca oleh orang atau tidak ini; yang jelas, saya sempat melakukan riset sederhana dengan metode random sampling, dengan koresponden beberapa teman-teman saya kuliah:

Q: “Menurut kamu, apa itu selebtwit?”

(Beberapa jawaban ada yang saya edit & sederhanakan, tanpa mengubah makna jawaban tersebut)

A1: “Yang followers-nya banyak. Yang nge-tweet ‘capek’ aja di-retweet berpuluh-puluh orang.”
A2: “Yang kalo nge-tweet lebay, semua orang juga tahu, dan maksa. Apalagi kalo ngiklan.”
A3: “Ngga tahu juga. Tapi biasanya, orang yang sering nongol di timeline kita, sekalipun dia ga kita follow."
A4: “Anak sajak. Timeline-nya rapih. Kadang ada yang suka modus-modus murahan gitu. Eh tapi seru juga kok timeline-nya. Keren.”
A5: “Orang yang tahu bener caranya bersenang-senang di Twitter”
A6: “Yang kaya kamu bukan, Bon?”

Jawaban tadi saya dapatkan lewat bincang-bincang sederhana, bukan ter-struktur seperti riset skripsi/thesis mahasiswa.  Tidak dibuat-buat, hanya diedit & disederhanakan tanpa mengurangi makna sesungguhnya.*

(*) = Buat teman-teman Komunikasi UNS 2010, terima kasih kesediannya menjawab, ya. Maaf saya dulu tanya-tanya, tapi ga bilang buat apa. :p

Sebelum menyimak jawaban 1-5, mungkin ada baiknya kita sedikit membahas poin nomer 6. Yang pertama, saya tidak pernah self proclaimed sebagai selebtwit. Dari definisi selebwit yang disampaikan di poin 1-5, saya hanya ada di poin 4 dan 5; timeline saya bukan rapat tirakatan, yang hanya dipenuhi RT-RT dari berbagai tempat, hanya saja saya menaruh sedikit perhatian pada penggunaan tanda baca, estetika susunan kata, dan unsur ‘penak disawang opo ora’ kalo di-tweet. Pun, saya menggunakan Twitter sebagai media bersenang-senang dan dan perantara bagi saya untuk mengobati kejenuhan. Mungkin bagi beberapa orang, saya masuk di poin ke 2, tak apa, itu hak mereka menilai saya bagaimana. Untuk sisanya,  saya jelas tidak termasuk di kategori yang lain: followers banyak, retweet-able, menggunakan akun untuk kepentingan iklan barang/jasa, tidak pandai bersajak, tidak pandai ber-modus ria, atau bahkan selalu muncul di timeline orang yang tidak mem-follow saya. Saya jauh dari itu.

Namun memang, saya kenal & intens berhubungan dengan beberapa teman yang seringkali disebut namanya ketika diajukan pertanyaan ‘selebtwit siapa sih?’, itu saja. itupun tidak banyak. Sekali lagi, esensi bermain Twitter bagi saya adalah bersenang-senang, kalaupun sempat mengenal beberapa orang hebat dan luar biasa di sini, itu bonus. Dan tidak ada salahnya untuk menerima bonus itu dengan senang hati. Bukankah tidak baik, jika menolak rejeki?  [h e k c u I h]

Kembali ke bahasan soal jawaban beberapa rekan saya tadi. Jadi, apakah selebtwit itu bisa didefinisikan persis seperti apa yang didefinisikan oleh rekan saya tadi?

Buat saya pribadi: tidak.

Sebut saya sebagai lelaki ber-standar ganda (karena standar nasional sudah jadi milik Maspion, dan standar samping sudah jadi milik mas-mas parkir) karena saya kenal beberapa rekan yang seringkali menerima gelar — dan mau tidak mau harus menerima definisi suka-suka dari — Selebtwit.

Tapi hei, akal sehat saya juga nampaknya sulit untuk menerima kenyataan sepihak seperti itu, pun seandainya saya tidak mengenal beberapa dari mereka. Bagaimana bisa, kita menyalahkan mereka atas melimpahnya followers yang mereka miliki, hanya karena banyak dari orang yang tertarik dengan ‘ketidak-biasaan’ yang ada di akun miliknya? Jika kalian sanggup membenci seseorang karena dia memiliki pengikut lebih banyak, lantas bolehkah saya tiba-tiba membenci kalian hanya karena kalian jauh lebih kaya? Tentu tidak
.
Mungkin ada dari kita yang berpikir “yang kami benci sikap angkuhnya, bukan jumlah follower-nya”. Well, ini adalah bahasan yang tak akan pernah usai. Di satu sisi menganggap ‘tidak membalas mention adalah bentuk kesombongan’, yang satu menanggap itu sebagai hal yang biasa saja. Saya sering ngobrol dengan teman, tentang bagaimana memandang gejala ‘keangkuhan’ ini. Saya pribadi, lebih memilih terlihat angkuh di dunia maya, untuk kemudian bersikap ramah di dunia nyata, daripada sebaliknya. Fokus hidup saya di luar, bukan di linimasa. Tapi, memang lebih baiknya menjadi ramah di dua ranah yang saya sebutkan. Musuh bukan kepingan Tazoz, yang harus dikumpulkan sebanyak mungkin. Tidak ada salahnya juga, untuk menjadi ramah dan mengumpulkan teman sebanyak-banyaknya di dunia maya.

Sebagai manusia normal, tentu kita memiliki kecenderungan untuk menganggap ‘diri kita lebih dari orang lain’, yang membedakan antara individu satu dengan yang lain, hanya di kadarnya. Ada yang terus menganggap hal ini sebagai sebuah pride yang harus terus dijunjung tinggi, ada pula yang sesekali mau berkompromi dengan gengsinya. Ketika kalian memiliki sesuatu yang orang lain tidak punya — dan itu dicapai dengan perjuangan —, tentu saja itu sangat menggoda kita untuk bersikap jemawa; lihat bagaimana Andhika Kangen Band beranjak dari remaja kampung yang memancing simpati & rasa salut akan perjuangannya untuk menapaki kesuksesan, beralih jadi sosok tengil & memancing umpatan seluruh ibu-ibu PKK di manapun berada. Di Twitter mungkin tidak seekstrem itu, tapi pada dasarnya memiliki gejala sama: syndrome superstar. Kembalikan saja pada masing-masing individunya. 

Emang Lu Bisa Bikin? Bisa. Tapi…..

Lantas, ada beberapa kawan yang kemudian menciptkan sebuah karya. Entah itu buku, entah itu film, entah itu perhelatan, entah itu merchandise, atau apapun yang diawali dari keberhasilan mereka menarik orang untuk mengamati setiap kicauan mereka di Twitter. Namun seperti halnya sambutan sebuah karya di manapun berada: selalu ada yang menyuarakan dukungan, pun dengan cercaan. Tidak terkecuali karya ‘anak-anak’ Twitter.

Ada yang memang sudah menikmati karyanya, lalu kemudian mengeluarkan opini pribadinya. Ada pula yang memang nampaknya dianugerahi bakat untuk jadi cenayang, karena tanpa menikmati karyanya, sudah mampu untuk mencerca. Sah-sah saja.

Saya pribadi, berusaha untuk menikmati karyanya terlebih dahulu, lalu kemudian berkomentar. Ada beberapa karya milik mereka, yang jujur, bagi saya biasa saja. Tidak menimbulkan kesan “anjing, keren!” dan membuat saya untuk terus menikmatinya secara berulang-ulang. Namun, ada pula yang sanggup membuktikan kepercayaan publik, bahwa dia bukan hanya mengandalkan ‘nama besar di Twitter’ semata.
Namun ada baiknya kita mengingat, bukan tanpa pertimbangan seseorang ditunjuk untuk menghasilkan sebuah karya. Di balik — bagaimanapun —hasil akhir sebuah karya,  tentu ada kelebihan dan sebuah pencapaian yang sudah berhasil mereka torehkan.  Bukan tanpa sebab, seseorang menunjuk mereka untuk menciptakan sebuah karya. Namun ketika jumpa dengan industri, mungkin mereka dihadapkan dengan berbagai pilihan.  Ada baiknya sering-sering berkunjung ke ‘dunia’ mereka sebelum di Twitter (blog, website, dsb), untuk menilai bagaimana kualitas mereka dalam berkarya.

Aku, Kamu, Kita Cuma Perlu Cuma Piknik

Jika ternyata kita melewati hari dengan terus-menerus mencaci, mengolok-olok, atau bahkan menentang pencapaian dengan membabi-buta, tanpa mau menerima fakta-fakta yang selalu menyertainya;  ada baiknya kita mulai menghujat diri sendiri, karena begitu bebal, sampai-sampai tidak mau menerima keberagaman.
Sampai saat ini, saya hanya menganggap Twitter sebagai tempat bermain. Taman bermain pastilah menyebalkan, jika hanya diisi oleh orang-orang relijius yang hidupnya semata hanya untuk urusan surgawi saja. Di taman bermain, kita perlu orang tengil, orang setengah tengil setengah alim, orang asyik, orang bandel, orang pendiam, orang membosankan, untuk kemudian mengisi keberagaman yang ada di dalamnya.   
Pun dengan Twitter yang selalu menjadi menarik karena ada banyak ‘pelangi’ di dalamnya. Ada yang dari pagi sampai malam, kejar setoran untuk cari retweet dan follower; ada yang bahkan dalam sehari, hanya menuliskan satu tweet; ada yang dari pagi sampai malam, hanya membicarakan soal cinta; ada pula yang komposisi jumlah tweet-nya, hampi 80 % ditujukan untuk mencibir akun-akun yang gemar menulis perihal cinta; ada yang gemar menumpuk twitlonger tanpa memperhatikan tanda baca; ada pula yang sangat teliti, mulai dari titik sampai koma. Tapi sekali lagi, mereka yang membuat taman bermain kita menjadi menarik. Tanpa si RT-abuser, kita tak akan tahu betapa indahnya ketika kita memperhatikan keindahan susunan kalimat & tanda baca, tanpa mereka yang setiap hari mengeluh soal betapa sengsaranya jatuh cinta, kita tentu akan jauh lebih menghargai orang tercinta, jika tidak ingin bernasib sama ngenesnya seperti mereka.

Hidup, terkadang seperti warna rambut Mitha The Virgin: tak menentu dan selalu penuh dengan kejutan. Tapi karena tak menentu itulah, hidup jadi menarik. Siapa yang tahu, suatu hari nanti kita (berada pada kondisi yang sering dijumpai beberapa anak-anak Twitter) akan kesulitan untuk berkata ‘tidak’, kepada mereka yang menawari kita untuk melebarkan pencapaian dan karya yang pernah kita buat. Padahal setiap hari, kita mencibir pencapaian mereka.

Siapa yang tahu pula, akun dengan pengikut banyak yang sering kita agung-agungkan itu, tiba-tiba di-hack oleh jasa layanan pembesar penis, sehingga tak lagi bisa kita gunakan. Mulai lagi dari semula, menjalin hubungan kembali dengan beberapa kawan yang ada di akun terdahulu, kembali menjadi orang yang sedikit ‘ngoyo’ untuk kejar setoran retweet dan follower. Yah, siapa yang tahu?

Ketika kita masih meributkan perihal ‘siapa-harusnya-harus-ngetweet-apa’, di lain tempat, lahan bermain ini sudah bisa menggerakkan seseorang untuk melakukan perubahan. Lihat, bagaimana masyarakat Mesir bisa menggulingkan tirani, hanya karena isu-isu yang mereka angkat di linimasa mampu menggerakkan orang banyak; lihat bagaimana masyarakat kita bisa menyuarakan dukungan untuk KPK, keberagaman beragama, dan kesetaraan hak, karena beberapa orang hebat di linimasa, mampu menggiring mereka untuk memiliki paradigma yang sama; lihat bagaimana standup comedy di Indonesia (mendadak bisa) jadi lahan penghasilan bagi pekerja seni, karena kemunculannya diawali oleh bincang-bincang beberapa orang, yang sebelumnya hanya saling mengenal via Twitter; saya juga sempat menyaksikan langsung, bagaimana animo anak muda di kota Solo – dan kemudian diikuti oleh kota-kota lain —, untuk mengungkapkan kecintaannya pada Lokananta (yang sebelumnya terbengkalai), hanya melalui movement sebuah tagar di Twitter, tanpa media promosi lain yang jor-joran. Twitter, memang hanya dibatasi oleh 140 karakter, tapi dampak dan manfaat yang bisa dirasakan oleh penggunanya, bisa menjamah individu yang dipisahkan jarak hingga beribu-ribu kilometer.

Sayup-sayup terdengar “Bisanya ngetwit sama ngebacot doang lu di Twitter. Kaya selebtwit aje,” yang kemudian dibalas:
LAH ELU MAU NGAPAIN KALO DI TWITTER? KHATAMAN AL-QURAN? NANEM PALAWIJA?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar