Kamis, 14 Februari 2013

A Scottish Fallen



The 'Invisible Hand', Ambrose


Glasgow Celtic menjamu Juventus dengan penuh keyakinan. Bagaimana tidak, dari 23 pertandingannya di Eropa, mereka hanya 2 kali kalah di Celtic Park. Dan hanya pasukan Catalan saja yang berhasil membukukan kemenangan di sana. Belum lagi ditambah dengan hadirnya 60.000 supporter mereka yang terkenal militan dan tak arogan, karena tak pernah mengklaim “You’ll Never Walk Alone” sebagai satu-satunya chant-yang-hanya-boleh-dinyanyikan-eksklusif-oleh-mereka. Jangan lupakan juga, bahwa di fase group, Celtic berhasil menumbangkan Barcelona  -satu satunya tim Eropa yang berhasil mencatatkan kemenangan saat melawat ke Celtic Park-  dengan skor 2-1. Sebuah laga dramatis yang berhasil membuat Rod Stewart berhasil menitikkan air mata, selayaknya dia baru saja melebihi pencapaiannya memenangkan Grammy pertamanya di tahun 2005.

Tetapi Juventus tetaplah Juventus.

Saat di bawah tekanan, entah kenapa Juventus selalu tampil justru di luar perkiraan. Grinta-nya yang terkenal itu, selalu berhasil membalikkan ekspektasi penikmat bola di berbagai belahan dunia. Masih ingat jelas dalam ingatan saya, ketika mereka mengawali laga pertama UCL –setelah absen selama 3 tahun berturut-turut- melawan sang juara bertahan, Chelsea, di Stamford Bridge. Comeback setelah tertinggal 2-0 di London adaalah bukti, bahwa mereka bukan tanpa alasan pantas mengagung-agungkan jargon Lo Spirito Juve. Pun dengan laga di Turin, yang kemudian berhasil membantu Abrahamovic untuk menemukan alasan melengserkan Di Matteo dari singgasana kepelatihan Chelsea. Juve berhasil membuat Chelsea tampil selayaknya sekolah sepakbola U-14, yang baru coba-coba-berhadiah untuk ikut kompetisi Danone Cup di Paris.  Mereka dipermalukan secara biadab dengan skor 3-0 di Juventus Stadium.

Prediksi banyak orang bahwa Celtic akan menyulitkan Juventus terbukti benar adanya. Tapi mereka lupa, ‘menyulitkan’ dengan ‘menumbangkan’ adalah dua kata yang jauh berbeda maknanya. Secara keseluruhan, Celtic memang benar-benar menyulitkan Juventus di sepanjang ’90 menit pertandingan. Tapi tidak dengan predikat menumbangkan. Karena pada akhirnya, skor 0-3 berhasil dibukukan Juventus di papan skor Celtic Park.

           
First Half

Memasuki menit ke 3, sebuah long-pass dari Peluso berhasil disambut dengan sundulan-lemah-tak-terarah ke kotak penalti oleh Matri. Bola yang seharusnya dibuang dengan mudah oleh kiper/pemain belakang manapun itu, malah hanya ditonton dan disambut Forster dengan pelan dan lemah lembut. Tak ayal, Matri yang sepersekian-detik lebih cepat menyambut bola muntah tadi, berhasil mengkolong Foster. Meskipun pada akhirnya bola yang sudah melewati kedua paha Forster dan garis itu dibuang lagi oleh pemain Celtic, namun Marchisio seakan memantapkan keabsahan gol Matri, dengan memasukkan bola tepat ke arah jaring gawang. Belakangan baru diketahui, bahwa Forster sangat mengidolakan Pepe Reina dan Victor Valdes, sehingga kita tidak perlu heran dari mana datangnya ‘talenta’ tersebut berasal. Papan skor sempat mencatatkan nama Marchisio sebagai pencetak gol, hingga beberapa menit kemudian UEFA meralat dan menghadiahkan gol tersebut kepada Matri. Sebuah kejadian yang tentu saja membuat Muntari kesal bukan kepalang..

Selepas Matri mencetak gol, Celtic memberikan pressing gila-gilaan pada Juventus. Hampir semua pemain Celtic selalu ikut naik ke depan saat mereka menyerang. Pun saat mereka bertahan, mereka sama sekali tidak memberi ruang pada lini tengah Juventus. Dengan kondisi demikian, mau tidak mau Conte harus fokus untuk melakukan serangan lewat rangkaian counter attack dan suplai bola-bola atas. Terbukti rataan aerial pass Juventus mencapai angka 60%, unggul jauh dibanding Celtic yang hanya mencapai angka 40%. Sepanjang berlangsungnya babak I, ada 3 pemain Celtic yang membuat saya enggan memalingkan perhatian dari mereka..

Pertama, Scott Brown. Duelnya di lini tengah bersama Pirlo, terlalu menyenangkan untuk dilewatkan. Melihat bagaimana dia mengkawal Pirlo dalam jangkauan area-nya, mengingatkan saya pada Paspampres yang selalu ada paling tidak 2 meter saat Presiden berada. Bersama Oscar edisi Stamford Bridge, Brown adalah salah satu orang yang berhasil masuk jajaran Paspampir (Pasukan Perngaman Pirlo) di kancah UCL. Memang kehadiran Paspampir ini mutlak diperlukan oleh siapapun lawan yang berhadapan dengan Juventus. Karena arus serangan Juventus, hampir semua berawal dari pergerakan Pirlo. Dan ketika babak 1 berlangsung kemarin, Brown cukup sukses melakukan tugasnya.

Kedua, Kris Commons. Karena Samaras absen, praktis dia bersama Hooper yang menjadi tumpuan serangan Celtic. Tercatat dia berhasil membukukan 7 shots on target, dari 17 total shots ke lini pertahanan Juventus. Tapi entah amnesia atau bagaimana, nampaknya Kris Commons lupa kalo penjaga gawang Juventus itu Gianlugi Buffon, bukan Markus Horison. Tendangan biasa-biasa saja tidak cukup membuat gol bersarang ke gawangnya. Gigi tercatat berhasil membuat 5 blocks, dan membuat semua tendangan ke arah gawang dari pemain Celtic nampak seperti sesi latihan shoting klub semenjana Eropa.

Ketiga, tentu saja Gary Hooper. Striker berperawakan kekar nan sangar selayaknya Debt Collector Adira ini harus merengek cengeng kepada wasit, setiap kali ia berada di kotak penalti. Alasannya jelas: karena ia merasa ‘direcoki’ oleh Stephan Lichsteiner, saat ingin mengganggu konsentrasi Buffon ketika corner kick berlangsung. Drama antara The Swiss Train dan Hooper ini berlanjut sampai peluit panjang pertandingan, di mana Celtic menciptakan 10 peluang tendangan sudut.  Setelah laga, Lichsteiner berkata bahwa ia dan rekan-rekannya telah mempelajari setiap pertandingan Celtic di UCL, dan mendapati fakta bahwa mereka sangat berbahaya dari set pieces terlebih-lebih corner kick. 40% gol mereka di Eropa berawal dari sana. Yang biasa Celtic lakukan adalah: mengganggu konsentrasi kiper, sehingga pemain bisa ‘bebas’ memanfaatkan kelengahan daerah pertahanan lawan. Maka tidak heran bila kemudian Licht berusaha mati-matian melindungi dan menjauhkan Hooper dari jangkauan Buffon. There’s no hope for Hooper.

Secara keseluruhan babak I, Celtic mendominasi jalannya pertandingan. Juve hanya sesekali nampak berbahaya saat mereka melangsungkan counter attack. Itupun seringkali kemudian dipatahkan lini ke-dua Celtic, mengingat mereka menerapkan pressing gila-gilaan yang membuat suplai bola dari lini tengah ke depan terbatas. Pirlo-Vidal-Marchisio tidak begitu banyak diberi ruang malam itu.

Second Half

Tidak ada pergantian dari kedua kubu. Nampaknya masing-masing tim masih nyaman dengan taktik yang mereka terapkan di babak I. Lennon masih gemar menginstrusikan anak buahnya untuk terus berlari sepanjang pertandingan, dan Conte lebih memilih untuk tetap menginstuksikan anak buahnya agar tetap ‘santai’ sambil sesekali memberikan ancaman lewat counter attack.

Namun sebenarnya malapetaka Celtic dimulai dari sini.

Seperti kebanyakan tim dari dataran Britania Raya, Celtic juga gemar bermain ‘lari-larian’ seperti yang lain. Mereka terus berlari kemanapun bola pergi, memberikan pressing sepanjang pertandingan, kerap menciptakan peluang, dan tampil mendominasi selayaknya tim yang sudah pasti bakal menang. Dan tentu saja, hal seperti ini sangat disukai oleh tim-tim Italia yang gemar bermain ‘lambat’, dan sangat bertumpu pada kecerdasan pelatih lewat keahlian membaca strategi.

Itulah yang kemudian menjadi malapetaka Celtic. Tampil menekan dan jor-joran sepanjang pertandingan, memang harus mengorbankan sesuatu sebagai konsekuensinya. Dalam hal ini, Celtic lebih memilih mengorbankan ‘stamina’, dibanding harus mendesak pelatihnya berhenti berteriak kesetanan dari pinggir lapangan, untuk segera menemukan racikan pas demi menarik pemain Juventus keluar ‘sarang’. Mereka tidak belajar dari Chelsea –yang sama-sama berasal dari Britania Raya, sama-sama gemar berlarian sepanjang pertandingan, sama-sama gemar mengecewakan pendukungnya juga-  yang 2 kali dibobol Juventus di 10 menit menuju pertandingan usai. Saat pertandingan nampak sudah berakhir 2-1 untuk Chelsea, Quagliarella tiba-tiba masuk dan menyarangkan gol di menit ’86. Bahkan dia hampir mencatatkan namanya di papan skor 3 menit kemudian, bila tendangannya tidak membentur mistar gawang. Pun dengan Giovinco di Turin, yang berhasil menjebol gawang Petr Cech saat pertandingan tinggal menyisakan beberapa menit lagi. Juventus benar-benar mengajarkan pada mereka, bahwa kehilangan stamina dan konsentrasi pada saat yang bersamaan adalah sesuatu yang buruk di sepakbola.

Benar saja, ketika babak kedua berjalan 20 menit, Celtic seakan ‘kehabisan’ bahan bakar. Pirlo memang masih dikawal dengan baik oleh Brown, tapi Juventus bukan hanya Pirlo seorang. Juve punya Vidal dan Marchisio, yang sama baiknya ketika menyerang dan bertahan,  Vidal bahkan mencatatkan 4 tackles, jauh lebih banyak dibanding trio Bonucci-Barzagli-Caceres. Ketika Celtic kehabisan stamina untuk memberikan pressing di lini tengah Juve, perlahan-lahan Marchiso & Vidal mulai menggerogoti ruang kosong yang dengan murah hati dibuka oleh Celtic.

Dominasi Juventus di paruh babak kedua, berbanding lurus dengan bertambahnya menit-demi-menit jalannya pertandingan. Saat laga memasuki menit ke 77, Marchisio seakan minta jatah preman ke Matri atas kepemilikan gol pertama yang sudah dihibahkan ke dirinya. Seakan tak bisa menolak, Matri pun memberikan upeti berupa sodoran assist ke Marchisio, yang kemudian diteruskan gocekan ciamik yang berhasil mengecoh Ambrose, untuk kemudian dilanjutkan dengan sebuah tendangan keras ke arah gawang. Gol. Skor 0-2 untuk Juventus. 

Alih-alih ingin memperkuat lini pertahanan sembari menjaga perasaan 60.00 fans Celtic yang merelakan uangnya untuk beli tiket dan nonton pertandingan di Celtic Park agar tidak tersakiti terlalu jauh (p.s: setelah gol ke dua, Celtic Park untuk sesaat menjadi sunyi senyap karena supporter mereka tidak lagi bernyanyi. Chant mereka kalah keras dibanding cori 3000 fans Juventus yang melawat ke Glasgow. Parahnya lagi, sebagian dari mereka sudah pulang sebelum laga berakhir), Conte menarik keluar Matri, dan menggantinya dengan Paul Pogba. Indikasi Conte jelas; memperkuat lini pertahanan agar Celtic tidak memiliki deposit gol saat melawat ke Turin. Sesuatu yang acapkali dilakukan oleh tim tuan rumah. Namun apa daya ketika Conte berkehendak, sesaat kemudian Amborse (lagi-lagi) mengaburkannya. Niat Conte untuk mempertahankan keunggulan 0-2, nampaknya tak disetujui oleh lini belakang Celtic yang menganut filsafah anak muda Jawa’ Edan-edan sisan, totalitas / jadi gila jangan nanggung, yang totalitas’. Mereka dengan baik hatinya mempersilakan Vucinic untuk meyakinkan Forster, bahwa mengidolakan Pepe Reina adalah sebuah kesalahan besar dalam hidupnya. Skor berubah menjadi 0-3 untuk Juventus. Dan yang mencengangkan, ini merupakan shots on target Juventus yang ke empat, dan tiga di antaranya berbuah menjadi gol.

Di dua gol terakhir Juve, Ambrose turut serta sebagai –meminjam isitilah Adam Smith- Invisible Hand yang memuluskan pergerakan Marchisio dan Vucinic. Namun apabila mengingat dia baru saja bergabung bersama tim 48 jam setelah memenangkan piala Afrika bersama Nigeria, nampaknya hal itu bisa dimaklumi. Lebih-lebih jika dia mengambil bonus yang dijanjikan Federasi Sepakbola Nigeria yang you-know-what-lah-itu lebih cepat, pastilah tempurung lutut miliknya bekerja ekstra keras pada laga malam itu. Untuk alasan yang sama, Conte menyimpan LWB terbaik mereka Kwadwo Asamoah, yang baru saja mengikuti laga perebutan juara ke-3  Piala Afrika bersama Ghana. Sebuah keputusan yang tepat, mengingat 3 hari kemudian mereka harus bertandang ke Olimpico, untuk menghadapi serigala kota Roma.

Credit special juga layak diberikan pada Martin Ceceres dan Frederico Peluso, karena berhasil meng-cover sektor kiri pertahanan Juventus dengan baik. Lubang yang selama ini digadang-gadang bakal menjadi sumber masalah karena ditinggal Chiellini dan Asamoah ini, terbukti dilindungi dengan baik oleh mereka berdua. Dari 17 total shots yang berhasil dibuat Celtic, hanya 4 yang berasal dari sektor kiri. Sisanya merata di sektor tengah dan kanan.

Sesaat setelah laga, Lennon mengatakan bahwa timnya butuh keajaiban untuk bisa lolos ke babak selanjutnya. Ia juga mengkritisi wasit asal Spanyol, Alberto Mallenco, yang ia sebut sebagai ‘wasit pro Juventus’. Menurutnya, ada perbedaan mendasar antara pertandingan di Inggris dengan Spanyol dan Italia, yang menganggap bahwa melakukan penjagaan berlebih kepada pemain lawan adalah sebuah pelanggaran yang seharusnya berbuah tendangan pinalti. Well, memang ada baiknya kita mampu memaklumi (dan mengkasihani) komentar Lennon, karena dia menyamaratakan kecengengan liga-liga di Britania Raya, dengan Serie-A dan La Liga.

Mungkin sesaat setelah laga, Lennon bersama Rod Steward berjanji untuk bertemu di salah satu bar pinggiran Glasgow. Untuk sekedar bercerita dan minum beer, sembari karaoke salah satu lagi hits Rod, “For The First Time”. Mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar