Kamis, 10 Mei 2012

Kenang-kenangan.


Saya tak pandai dalam menuliskannya, tapi selalu suka dengan yang namanya puisi. Saya ingat ketika SMP kelas 1, saat berkunjung ke rumah kerabat di Bandung, dan kemudian mendapati tumpukan majalah Horison. Saat itu, saya belum terlalu mengerti apa isi di dalam majalah tersebut. Namun yang pasti, sepulang dari Bandung, rasa penasaran saya semakin membukit. Teramat sangat. Kemudian, saya minta kepada Ayah untuk mencarikan majalah serupa. Dan semenjak itu, kecintaan saya [meskipun tak terlalu besar] kepada puisi pun mulai tumbuh.

Ada banyak penyair yang saya kagumi, diantaranya Cecep Syamsul Hari. Beberapa karyanya sering dimuat di Kompas, Horison, dan The Jakarta Post. Yang saya kagumi dari beliau adalah: seleranya yang terkadang liar dan cenderung ‘sakit’. Bisa dilihat di karya terjemahan dan suntingannya, antara lain: ‘Para Pemabuk dan Putri Duyung’  (1996: Pablo Neruda), Hikayat Kamboja (1996:  D.J Enright), dan Mamannoor: Umi Dachlan dan Abstraksi (2000). Puisi-puisinya juga pernah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Salah satunya dalam ‘Kenang-Kenangan’, yang diterjemahkan ke Heat Literary International oleh Harry Aveling, 1999, Australia dan Secret Words: Indonesian Poetry 1966 – 1998, 2001, Amerika Serikat,


Berikut, puisi dari beliau yang menjadi salah satu favorit saya:

Kenang-kenangan

Bagaimana harus kuucapkan pengakuan ini: Aku jatuh cinta
berulang kali pada matamu, danau dalam hutan di negeri ajaib
yang jauh menyelusup dalam ingatan itu. Berabad-abad
yang lalu, kuucapkan selamat tinggal pada apa pun
yang berbau dongeng, atau masa sulam. Tetapi cinta,
bukan sebotol coca-cola. Atau Film Disney:
di sana tokoh apa pun tak pernah mati. Juga bukan Rumi
yang menari. Sebab pada matamu bertemu semua musim,
sejarah dan sesuatu yang mengingatkan aku pada sautu hari
ketika waktu berhenti, dan kusapa engkau mesra sekali.

Kini, bahkan wajahmu samar kuingat kembali.
Haruskah kuucapkan pengakuan ini: Aku jatuh cinta
berulang kali pada matamu, danau dalam hutan di negeri
ajaib yang jauh menyelusup dalam ingatan itu. Tetapi cinta,
bukan sekedar popok kertas. Atau sayap sembilan puluh
sembilan burng Attar yang terbakar. Cinta, barangkali,
kegagapanku mengecup sepasang alismu.

1994, Cecep Syamsul Hari.

2 komentar: