Jumat, 15 Juli 2016

Kamis yang Tak Habis

Menurutku, kau tak banyak berubah.

Lengkung mata yang membentuk sudut tajam ketika kau tertawa masih bisa kunikmati dengan khidmat. Kukira dulu bekas luka; terjatuh, tergores, atau membentur benda yang kau sendiri tak tahu apa namanya, sambil berulangkali berujar bahwa ini adalah adun yang tergaris sejak kali pertama kau memecah tangis di dunia.

Swift yang pernah kukenalkan padamu kini beranjak menjadi diva. Kemarin selintas kubaca di portal berita, mantan kekasihnya menabur drama perpisahan di mana-mana. Sedangkan Swift, gadis Pennsylvania yang dulu selalu bercerita tentang koboi penunggang mustang dari utara itu, bebas berjalan di Suffolk bersama putera raksasa Fárbauti tanpa menenteng palu saudaranya yang termasyhur seantero Asgard.

Kau dan Swift sama, sejak saat itu, kalian berdua lebih banyak mengenal dunia. Waktu bagimu adalah perkara yang harus diburu dengan lekas, tak ada ruang untuk ini-itu yang nantinya hanya akan membuatmu tertatih. Semua serba cepat, meski kau tak pernah terbersit bahwa hidup adalah kompetisi yang menuntutmu tiba di garis finis lebih dulu—kau hanya tidak ingin berhenti, itu saja.

Kemarin kulihat kau masih ingin berlari, cepat mengejar mimpi yang kau kisahkan sambil menggebu dengan hebat. Kalau sudah seperti itu, kau tahu bahwa yang terbaik yang bisa kulakukan adalah terdiam, mengudak kopi yang tak pernah kuseduh gula sambil sesekali memberikan koreksi. Sampai akhirnya kita berdua menikmati hening yang dicipta sendiri, dan menyadari bahwa kau masih memiliki ingatan yang buruk—meski sialnya aku tidak.

“Kamu terlalu banyak mikir. Hidupmu kelewat serius,” ucapmu pelan.

Setiap kali mendengar ucapanmu yang tajam seperti itu, aku selalu teringat bahwa pernah suatu ketika kau kuanggap sebagai ladang dosa yang harus memanen satu persatu kesialan saban harinya. Hatimu tidak menyisakan apapun selain untuk dicaci dan dimaki, meski pada akhirnya tawa kecil dan suara lirihmu dari seberang yang membuatnya sirna dalam seketika, persis daun kering yang diempas angin sore pada ujung gang yang sepi—layaknya momen favorit Toru dan Naoko, tokoh fiksi karangan Murakami.

Kau juga paham, bicaramu yang tiada henti dan tanpa spasi—laksana tangis bayi—itu selalu diikuti oleh kesediaanmu untuk ditatap berlama-lama tanpa ada sepatah kata dariku. Tapi aku tahu, kali ini ada yang berbeda. Matamu memerah. Aku tak pandai menerjemahkan gerak tubuh, tapi tak perlu kuambil kursus hanya untuk memahami bahwa kau sedang dirundung duka; bisa karena penyesalan atas apa yang sudah atau ketakutan atas apa yang belum.

Menangislah jika kesedihan tidak bisa lagi kau tawar. Meski barang sebentar, kukira kau masih perlu itu. Betul kau beranjak jauh lebih tangguh, tapi tak harus juga menjadi dungu. Kau tentu tahu bahwa airmata tidak membuatmu menjadi selemah yang kau pikir. Dewasa bukan berarti menjauhkanmu dari hakikat manusia biasa, kecuali kau perlu alat pacu jantung bertenaga soda yang tertanam di dada kirimu dan kepalamu mesti kupukul pelan andai sistem motorikmu sedang sedikit tersendat.

Mungkin di pertemuan selanjutnya, tak perlu melewati beberapa musim berganti lagi, atau kesedihan baru di antara aku dan kau yang akhirnya membuat salah satu dari kita memberanikan diri untuk membuat janji. Sebab aku yakin, rindu tak akan usai untuk waktu yang sebentar.

(Surakarta, 10 hari jelang aku berkurang umur dan rasa tergesa-gesa karena mengejar ceramah khotib Shalat Jumat.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar