Kamis, 10 Maret 2016

Mengenang Momen Setan Kredit dari Tepian Sungai

Tempo hari, sungai di belakang rumah saya hampir meluap. Hujan deras sejak siang sampai sore hari membuat volume air semakin membeludak, untungnya, talut yang dibangun di sisi sungai mencegah aliran untuk naik ke permukaan. Seingat saya, talut ini baru berumur dua tahun. Ayah saya kebetulan ditunjuk sebagai penanggungjawab proyek pembangunan tersebut.

Saat ini, ia sedang bertugas di luar kota. Sesekali saat menelpon ke rumah, ia bertanya soal kondisi sungai di belakang rumah pasca hujan deras. Pikir Ayah, dirinya mungkin akan menjadi sosok yang paling bertanggungjawab andai jalan pinggir komplek yang berdekatan dengan sungai masih dilanda banjir pasca dibangun talut.

Ada satu sudut ingatan tentang relasi Ayah dan sungai, yang selalu berhasil membuat saya tersenyum simpul saban mengenangnya. Bukan soal talut atau banjir, tapi soal anak tetangga yang dikabarkan hampir meregang nyawa saat aliran sungai sedang deras-derasnya.



Delapan atau sembilan tahun silam, tepatnya bada magrib, rumah saya didatangi oleh tetangga yang terdengar sedang merasa cemas hanya dari nada bicaranya saja.

“Vio hilang di kali, Bu.”

Sontak saya kaget, meski tidak sampai membuat kedua bola mata saya copot sebagaimana rujukan ekspresi kaget dalam skenario film kartun. Vio adalah anak tetangga yang paling badung di antara anak tetangga lainnya di komplek perumahan saya. Keluarganya tinggal di sebelah lapangan bola, persis di belakang masjid komplek ini. Dia blasteran Jawa-Papua, dan saat indisen itu berlangsung, Vio masih duduk di bangku sekolah dasar.

Yang datang ke rumah saya saat itu adalah Ibunya. Dia melapor ke rumah, karena saat itu Ayah menjabat sebagai ketua RW. Setelah ditanya kronologis singkatnya, Ayah saya lalu bergerak cepat dengan menghubungi beberapa tetangga terdekat dan bergegas pergi ke pinggir sungai. Ibu terlihat berusaha menenangkan Ibu Vio sembari kembali menanyakan kronologis kejadian yang menimpa anaknya itu. Saya menyaksikan nuansa getir dan pasrah pada saat bersamaan, bahkan kalau tidak salah dengar, saya mendengar Ibu Vio berkata, “Yang penting anaknya ketemu,” karena menganggap anaknya sudah pasti hilang terseret arus sungai yang sedang deras-derasnya.

Saya kemudian mengajak adik dan beberapa kawan untuk mendatangi tepi sungai, karena tetangga sudah ramai berada di rumah untuk membantu menenangkan* Ibu Vio ini. Meski tidak lagi deras, hujan tetap turun. Pikir saya, cuaca ini akan membuat proses penyisiran sungai semakin sulit.

(Catatan: yang entah kenapa, ditafsirkan dengan membuat teh hangat dan dipijat pundaknya seperti habis mengangkat kuintalan karung beras. Tadinya hanya bicara dengan terbata-bata, kini mulai menangis sesenggukan karena ditanya berulang-ulang layaknya interogasi polisi. Pengejawantahan proses ‘menenangkan tetangga’ yang cukup aneh.)

Sesampainya di pinggir sungai, saya melihat ada beberapa orang turun ke bawah dengan alat keamanan seadanya; hanya ditali menggunakan tambang di bagian pinggang dan diikatkan ke tiang jembatan. Seingat saya, ada tiga-empat orang yang turun ke bawah untuk menyisir sungai dari sisi ke sisi dan salah satunya adalah Ayah Vio sendiri. Hampir satu jam pencarian, hasilnya masih nihil. Medannya cukup sulit memang. Sungai di belakang rumah saya ini tidak terlalu lebar dan dalam, lebarnya hanya dua-tiga meter dengan kedalaman satu setengah meter, panjangnya juga hanya satu kilometer yang melewati komplek perumahan saya. Tapi mengingat arus yang cukup deras dan perkiraan korban adalah anak kecil, maka semua kemungkinan terburuk dirasa cukup masuk akal.

“Ya sudah Pak, ndak papa. Nanti kalau sudah agak surut kita lanjut lagi, atau menunggu pagi saja. Mungkin nanti ketemu di ujung,” ujar Ayah Vio.

Saya bukan main merasa sedih mendengar ucapan itu. Bagaimanapun juga, mendengar seorang Ayah merasa pasrah dan berusaha untuk tetap tenang saat anaknya dianggap sudah meregang nyawa adalah ironi yang mendalam. Ayah mengiyakan pendapat ucapan tersebut, dan memilih untuk mengajak ‘tim’ beristirahat sejenak sambil menunggu arus sungai sedikit reda. Setelah terlihat tidak riweuh, akhirnya saya mendatangi Ayah dan menanyai kronologis lengkap—sekaligus menawarkan bantuan yang bisa saya berikan.

“Tadi kata Om Hengky, Vio main di jembatan sama Alex dan Via—adiknya Vio. Pas hujan makin deres, Alex disuruh masuk tapi Vio-Via masih main di situ. Gak lama katanya cuma Via yang kelihatan, dan Om Hengky bilang kaya ada bunyi orang jatuh.”

Aduh biyung, Vio sudah pasti terpeleset ke sungai ini, pikir saya. Tapi karena masih merasa penasaran, saya kemudian mencari Alex, anak kecil yang diduga terakhir kali bermain bersama Vio. Meski dengan penjelasan yang sedikit terpatah-patah karena mungkin merasa takut, Alex menjelaskan kronologi yang sama dengan penjalasan sebelumnya. Hanya saja, ia menambahkan fakta bahwa ada satu lagi anak tetangga yang ikut bermain bersama dirinya sore itu.

Saya kemudian pamit ke Ayah untuk pergi ke kediaman anak tetangga yang satunya lagi. Terlihat ‘tim’ sudah mulai bersiap-siap untuk kembali menyusuri sungai, dan Ayah hanya memberikan kode “ya” secara selewat karena lebih fokus kepada proses pencarian.

Bukannya ingin berlagak sok detektif atau apa, tapi saat itu saya merasa penting untuk mendengarkan banyak keterangan dari orang-orang yang tahu insiden itu secara detail. Bukan hanya berdasarkan katanya atau jarene saja. Ada gunanya juga banyak membaca, karena malam itu saya serasa sedang melakoni penelusuran dengan disusupi roh Kindaichi dan Shinichi Kudo.

Lewat penelusuran itu, saya mendapatkan keterangan bahwa Vio dan anak tetangga RT sebelah—saya lupa namanya siapa—itu sempat bermain sepeda keliling komplek sebelum berada di jembatan. Setelah itu, kejadiannya sama persis seperti keterangan sebelumnya. Saya mau menanyai Via, adik si Vio, tapi tidak kesampaian karena dia berada di rumah. Takut keluar, katanya. Tapi entah kenapa, saya merasa ada yang janggal dalam insiden ini meski tanpa mendengarkan keterangan dari Via. Semacam ada benang merah yang terputus, tapi saya tidak bisa memastikan itu apa.

Kembali ke tepian sungai, saya melihat ‘tim’ sudah kelelahan dan berusaha untuk mengaku menyerah tapi sungkan dengan Ayah Vio. Setelah menceritakan hasil temuan yang saya dapatkan dari dua saksi, Ayah menyuruh saya untuk pergi ke masjid. Saya disuruh untuk mengumumkan berita kehilangan lewat mikrofon masjid. Anehnya, hal ini tidak kepikiran oleh saya, Ayah, atau keluarga Vio sejak awal. Sesuatu yang nantinya mungkin akan mencegah kami semua untuk melakukan hal-hal nihil guna di tepian sungai.

Sebanyak tiga kali pengumuman kehilangan diumumkan lewat mikrofon masjid. Semua tim kemudian beristirahat sejenak di sana, sembari berharap-harap cemas ada kemungkinan baik yang akan datang dari insiden ini. Semua sudah berkumpul; keluarga Vio, Ayah beserta ‘tim’, dan beberapa tetangga sekitar yang ikut keluar karena mendengar pengumuman dari masjid beberapa saat sebelumnya.

Apa yang terjadi setengah jam sejak berita kehilangan itu diumumkan di masjid, akan membuat kami semua merasa bodoh dan senang secara bersamaan. Sekonyong-konyong Vio datang ke masjid dengan keadaan bugar, tidak basah kuyup, dan mengajukan pertanyaan yang membuat kami semua ingin menghujaninya dengan berondongan peluru yang ditembakkan dari AK-47.

“Ini ada apa to rame-rame di masjid?”

Kabeh ki mumet goleki kowe, Su.

Suasana haru baru seketika pecah di masjid. Kami semua merasa senang, tapi juga penasaran tentang kronologis kejadian yang sesungguhnya. Vio diajak ke rumah dahulu oleh Ibunya, disuruh mandi dan makan, kemudian tak lama setelahnya Ibunya keluar rumah dan menceritakan kejadian sesungguhnya berdasar keterangan dari anaknya tersebut.

“Habis main di jembatan sama adiknya, dia takut pulang ke rumah karena bolos les. Adiknya pulang dulu, tapi si Vio masih ada di luar. Dari tadi sore dia sembunyi di gubuk RT 3, nunggu Bapaknya pergi baru berani pulang.”

Oalaaaaaaaaaaaah,” ujar kami semua setelah mendengar cerita tersebut.

Saya yakin, saat itu kata “oalah” kami pakai sebagai substitusi dari sumpah serapah yang ingin dikeluarkan—tapi tak tega. Dan yang lebih membuat kejadian ini terdengar konyol, adalah fakta bahwa ‘gubuk RT 3’ yang dimaksud Ibu Vio ini hanya berjarak selemparan cawat dari rumahnya. Persis di belakang rumah, hanya dipisahkan kebun dan ilalang saja. 20 meter pun tak sampai, Anda hitung mundur satu sampai sepuluh saja, mungkin akan tiba pada hitungan ketujuh atau kedelapan andai tidak dilakoni sembari ngesot.

Namun apapun itu, yang paling penting Vio selamat. Bertahun-tahun setelahnya, cerita ini masih sukses mendulang gelak tawa andai dituturkan di pertemuan RT, arisan, kerja bakti, atau malam tirakatan. Saya sendiri sampai saat ini masih terheran-heran, kenapa rasa panik waktu itu sanggup membutakan logika kami untuk bisa berpikir secara runtut. Tak pernah terlintas dalam pikiran, bahwa saya akan mengalami insiden seperti jalan cerita film Setan Kredit milik trio legendaris Warkop DKI: seharian penuh mencari anak hilang di hutan belantara dan harus mendapati kejadian-kejadian kocak di dalamnya, ternyata anak yang hilang itu hanya tertidur di gerobak es setelah pulang dia pulang sekolah.

Teruntuk Vio, mengutip ucapan Kasino dari film Dongkrak Antik, “Dasar monyet bau, kadal bintit, muka gepeng, kecoa bunting, babi ngepet, dinosaurus, brontosaurus, kirik!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar