Kamis, 01 Oktober 2015

Totti dan Swastamita di Ufuk Roma

No Totti, No Party

Pjanic datang memotong bola dari Consigli, yang sejatinya ditujukan kepada rekan setimnya di depan kotak penalti. Dengan cepat, penyihir dari Bosnia itu memberikan umpan dengan sekali sentuhan kepada Totti yang berada tepat di depannya. Berdiri bebas, Kaisar Roma itu sedikit memutar badan dan langsung melakukan sontekan mendatar dengan kaki kanannya. Bola itu mengecoh Consigli yang terlanjur mati langkah, dan tidak bisa menjangkau bola pelan dengan tangan kanannya.

Gol.


Totti membuat Roma menyamakan kedudukan menjadi 1-1 pada menit 36.
Laga memang berakhir imbang 2-2, setelah Sassuolo mencetak gol balasan lewat Politano, dan dibalas lima menit kemudian oleh Mohamed Salah. Roma hanya bisa meraih satu poin di kandang sendiri, tapi lebih dari itu, mereka punya satu momen yang pantas untuk dirayakan.

Adalah pencapaian 300 gol milik Totti, yang pantas membuat publik Olimpico berada dalam gegap gempita. Di usianya yang ke-38, ia masih bisa mencetak gol dan membuat semua mata dunia tertuju kepadanya. 23 musim mengabdi untuk Roma, ia sudah menorehkan 300 gol dan 187 assists dari 745 laga, lima gelar kolektif, belasan gelar individu, dan ratusan memori indah di tiap sudut kota Roma. Secara raihan trofi kolektif, ia bahkan kalah dibandingkan Paduka Padoin atau Baginda Muntari, tapi dedikasi yang ia buat selama 23 musim dalam satu seragam, adalah pencapaian dalam level lain yang muskil dibuat oleh sembarang pemain.

Menarik perhatian Roma sejak masih berusia 10 tahun, Totti bisa saja menjadi ikon rival sekota—setelah Lazio juga mengajukan tawaran bermain kepada dirinya. Namun Totti kala itu memilih Roma, dan menjadi sesuatu yang tidak akan ia sesali di sepanjang hidupnya. Tiga musim membela Roma Primavera, gayung pun bersambut, Roma kemudian dipanggil ke skuat senior dan melakukan debut melawan Brescia pada 1993, atau saat masih berusia 16 tahun. Empat tahun berselang, ia kemudian ditunjuk sebagai kapten, sekaligus tercatat sebagai kapten termuda dalam sejarah klub. Sejak saat itu, Totti dinahbiskan sebagai Pangeran Roma, dan seperti yang kita tahu, sisanya adalah sejarah.

Ia baru sekali merasakan gelar juara Serie-A, tapi melihat bagaimana performanya bisa menimbulkan debat tak berujung mengenai pemain nomor 10 terbaik sepanjang masa—di mana ada nama-nama sarat gelar seperti Del Piero, Maradona, Totti, Platini, Ronaldinho, Pele, Eusebio, Hagi di dalamnya—adalah bukti, bagaimana Totti memiliki magis yang membuat dirinya disebut sebagai salah satu playmaker terbaik pada masanya.

Selain torehan gol dalam jumlah yang tidak wajar itu, Totti juga selalu dikenang akan selebrasinya ketika berhasil menjebol gawang lawan. Ia biasa menyisipkan pesan khusus di kaus yang ia kenakan, dan beberapa di antaranya benar-benar ikonik. Mulai dari sindirannya kepada sang rival abadi saat menjebol gawang Lazio di musim 98/99, pesan khusus untuk sang istri ketika melahirkan anak perempuannya, hingga pesan politknya untuk mendukung pembebasan Giuliana Sgrana yang diculik di Irak pada 2005 silam. Dan tentu saja, selebrasi selfie yang termasyhur itu pada Derby della Capitale di awal 2015 silam.

Kini, Totti hidup dalam genangan rekor. Semua rekor yang berbau gol dan banyaknya penampilan ketika berkostum Roma di semua kompetisi, kini menjadi milik Totti. Di Italia, ia kini menjadi pencetak gol terbanyak kedua sepanjang sejarah (244) di bawah Silvio Piola yang mencatatkan raihan 274 gol. Ia menjadi pemain keempat dengan jumlah penampilan terbanyak di Serie-A (590), di bawah Maldini, Zanetti, dan Pagliuca.

Melihat selisih gol dan penampilan yang ia miliki, rasanya muskil untuk melihat Totti melampaui pencapaian nama-nama di atas. Kini ia berada dalam usia senja, yang mungkin bagi pemain lain, adalah usia yang tepat untuk mencoba peruntungan di Amerika, Tiongkok, atau negeri kaya minyak di semenanjung Arab. Di usianya yang tak lagi muda, Totti memang masih memiliki daya untuk memberikan kejutan di atas lapangan, atau menjadi figur penting di ruang ganti, tapi jelas ia tidak bisa dijadikan satu-satunya tumpuan untuk meraih gelontoran hasil positif bagi skuat Rudi Garcia.

Musim ini, lampu sorot di Roma besar kemungkinan akan tertuju pada Dzeko, Salah, atau Pjanic, dan Totti akan sering berada di bangku cadangan untuk menyaksikan ‘kekasihnya’ bertanding di atas lapangan. Mungkin akan terasa berat bagi Totti, tapi jelas ia akan selalu mendukung apapun yang terbaik bagi klubnya. 23 tahun mengenal Roma, Totti tentu paham betul bahwa apapun yang bisa membuat timnya melaju lebih kencang, akan mendapat dukungan penuh dari dirinya—meski itu juga berarti, meninggalkan Totti sebagai komando utamanya.

Perjalanan karir Totti di Roma kini sedang berada pada fase senja. Setelah menyaksikan arunika, dan melewati panas terik pada masa-masa sulit selama berkostum kuning-merah, kini saatnya Totti menikmati sisa-sisa keindahan Roma hingga nanti masa tenangnya—sebagai pemain—telah tiba. Gelar juara dan raihan trofi di akhir musim ini, atau musim depan, atau musim depannya lagi, tentu akan menjadi penutup sempurna untuk perjalanan karir Il Bimbo d’Oro. Tapi jika tidak, sepertinya Totti tak terlalu peduli.

Apa yang ia lewatkan selama ini bersama Roma, adalah hadiah terbaik untuk hidupnya. Dua dekade mengabdi, tak sedikitpun Totti menunjukkan gelagat ingin pindah ke lain hati. Gelontoran trofi bisa saja datang andai Totti bersedia hijrah ke klub yang lebih besar, tapi bicara soal kesetiaan adalah pencapaian lain yang berada di level tertinggi. Dan kini di usia 38 tahun, ia masih (selalu) siap untuk melakukan selebrasi isap jempol ketika diberi kesempatan bermain. Apa yang dicapai Totti, mungkin persis seperti ucapan Sapardi.

Yang fana adalah waktu, Totti abadi.

(*)tulisan ini sebelumnya tayang di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar