Senin, 24 Agustus 2015

Perkara Terbaik dan Perdebatan yang Tak Akan Pernah Usai

"Mangan ra mangan sing penting gelut."
Pada laga pembuka Premier League beberapa waktu lalu, beberapa hasil mengejutkan bermunculan. Duo unggulan, Chelsea dan Arsenal harus terseok-seok kala menghadapi klub ‘non-unggulan’ macam Swansea dan West Ham. Chelsea—beruntung bisa bermain—imbang 2-2 dengan Swansea setelah bermain dengan 10 pemain, sedangkan Arsenal terjungkal di kandangnya sendiri dengan skor 0-2. Pada awal musim, London sepertinya sama-sama tidak bercorak biru atau merah. Sementara itu, kedua tim unggulan sisanya Manchester United dan Liverpool, sama-sama bermain pragmatis dengan menomorsatukan poin dibanding keindahan permainan, sesuatu yang seringkali mereka gunakan sebagai senjata untuk menyerang kedigdayaan Chelsea musim lalu.


Anda tahu, apa yang paling menyenangkan dari itu? Melihat bagaimana para pendukungnya menjadi hipersensitif, tatkala klub kesayangannya dijadikan bahan lelucon padahal musim baru berjalan satu laga. Coba anda lempar kelakar dengan nuansa sedikit menyindir kekalahan Arsenal kepada rekan Anda yang juga seorang The Gooners. Lihat, apa reaksinya?

Jika kawan Anda juga menertawai kekalahan Arsenal dan mengkritik betapa rapuhnya lini belakang dan tidak efektifnya skema serangan milik Wenger, selamat, Anda punya kawan yang pantas untuk diajak ngobrol sampai menghabiskan bergelas-gelas kopi ketika dimintai saran untuk keputusan terbaik tentang masa depan. Jika kawan Anda kemudian naik pitam, mengeluarkan kata-kata kotor, dan sesumbar bahwa “Ini baru satu laga, Bung! Lihat saja, di akhir musim kami akan berpesta,” maka besar kemungkinan ada dua hal: kawan Anda itu pernah menjadi penggemar Liverpool, atau obrolan dengan orang seperti ini cukup sampai kepada bahasan mengenai perkembangan hal-hal nihil guna macam, “Semalam, siapa yang tersisih dari ajang pencarian bakat yang menunjuk Saipul Jamil sebagai dewan juri?”

Tentu, bicara tentang klub kesayangan adalah bicara soal kecintaan, loyalitas, dan pengejawantahan nilai-nilai kesetiaan lainnya yang sulit diukur secara kasat mata. Anda mungkin sesekali menyaksikan wanita cantik yang lengkap mengenakan atribut Manchester United dari atas sampai bawah, kemudian berganti mengenakan seragam Barcelona beberapa pekan kemudan—ketika menemukan kekasih baru dan diajak nonton bareng bersama rekan-rekannya. Tentu tidak ada yang salah dari itu, tapi sekali lagi, menakar loyalitas dan kesetiaan seorang penggemar klub hanya dari apa—yang-bisa—kita—lihat adalah hal yang konyol, kalau disebut dungu terasa kelewat ekstrim.

Dunia maya, memfasilitasi kita semua untuk melakukan itu. Dari balik papan tuts, monitor, dan layar ponsel kita berlomba-lomba untuk menunjukkan bukti kecintaan kepada klub kesayangan. Mulai dari username, bio, avatar, kicauan, seperti harus menyuarakan dukungan selama 24/7 untuk dapat menyandang gelar suporter paling sejati. Seolah-olah, ia yang rela menggadaikan jam tidur dan berhadapan dengan kantuk luar biasa hebat di kantor—karena semalam menyaksikan tim kesayangannya bertanding, adalah orang yang tidak pernah membuktikan rasa cinta untuk klub kesayangannya.

Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan itu. Semua penggemar berhak untuk mengungkapkan kecintaannya dengan cara apapun selama tidak merugikan orang lain. Namun, beda ceritanya ketika ia terus memamerkan bentuk kecintaannya itu kepada orang lain—yang sejatinya tidak peduli-peduli amat, dan memaksakan pendapat kepada khalayak bahwa klub kesayangannya tidak seperti yang dipikirkan banyak orang.

Perdebatan tentang siapa yang lebih baik dimulai. Semua bicara sejarah, semua bicara raihan trofi, semua bicara siapa yang lebih baik dari siapa, tapi sedikit yang tertarik untuk membahas bagaimana menariknya pertandingan itu sendiri. Entah dari komposisi pemain, racikan strategi, atmosfer laga, atau hal-hal menarik lainnya. Bahasan seperti itu tentu jauh lebih memiliki nilai guna, sebab akan membawa kita pada keterbukaan pikiran dan kelimpahan wawasan. Tidak seperti bahasan pertama, yang justru membawa perdebatan pada labirin tak berujung, sebagaimana yang dilakukan banyak orang ketika membandingkan Isyana Sarasvati dan Raisa Andriana. Kenapa harus membuktikan siapa yang terbaik, jika mampu menikmati segala macam keindahan dari biduanita itu pada saat yang bersamaan?

Namun, ejekan dan sindiran itu tetap diperlukan dalam sepakbola. Kedua elemen itu seringkali membuat pertandingan menjadi berlipat-lipat jauh lebih menarik, karena membuat rasa penasaran dan geregetan akan terus muncul, sehingga tensi pertandingan jauh lebih terasa. Panas? Pasti. Melakukan pembelaan demi harga diri klub yang ribuan kilometer jaraknya dari tempat kita berdiri? Entah. Semua orang punya cara masing-masing untuk mengungkapkan kecintaan, dan memilih untuk menanggapinya secara elegan tentu punyai nilai lebih tersendiri.

Jika kolom komentar artikel ini nantinya akan dipenuhi argumentasi dengan nada-nada kebencian, atau perdebatan tentang siapa yang paling loyal dan klub mana yang terbaik, sapa yang bersangkutan dengan sebuah pesan singkat yang mengutip salah satu judul hit milik Pure Saturday di album Utopia pada 1999 silam,

Langit terbuka luas, mengapa tidak pikiranku, pikiranmu?

*)tulisan ini sebelumnya tayang di sini.

1 komentar:

  1. Eh, pertamax, ya? Haha.

    Baca ini, saya jadi teringat kolom bio akun @PLESETANBOLA di Twitter. Hehe

    BalasHapus