Jumat, 08 November 2013

Golput: Skeptisisme Berbalut Intelektualitas


hanya ada satu kata; kenthu!
"Voting for the lesser of two evils is still voting for evil. Next time, go all out and write in Lucifer on the ballot.  Jarod Kintz, 99 Cents For Some Nonsense.
Dalam hidup, kita akan selalu dihadapkan dengan berbagai pilihan. Baik dalam skala kecil nan sederhana, sampai skala besar nan kompleks. Pun dengan pemilu; karena berbicara soal pemilu, pastilah berbicara soal pilihan. Pemilu, adalah sebuah proses pemilihan seseorang untuk jabatan politik tertentu. Dan dalam proses pemilihan tersebut, seorang pemilih tentu dipengaruhi beberapa faktor, sehingga membuat si pemilih merasa perlu untuk turut menyumbangkan suara. Aurel Croissant, seorang profesor ilmu politik dari University of Heidelberg, mengatakan ada tiga faktor pendorong yang mempengaruhi seorang pemilih untuk terlibat dalam proses pemilu: fungsi keterwakilan, integrasi, serta kemampuan dan jaminan stabilitas seseorang untuk menjalankan jabatannya. Lalu pertanyaannya adalah: bagaimana jika faktor tersebut tak sanggup dipenuhi oleh sang calon empunya jabatan?

Kebanyakan pemilih di Indonesia, tak mempermasalahkan apabila seorang calon tidak memlih faktor pendorong kedua dan ketiga. Dalam The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, dijelaskan bahwa masyarakat —khususnya di skala lokal— masih melihat faktor keterwakilan; entah ditinjau dari aspek geografis, maupun —meminjam istilah Feith dan Castle— ikatan emosional, sebagai salah satu faktor kuat yang membuat mereka turut  menyumbang suara. Wajar, karena isu yang dijual oleh para bakal calon ini cenderung lebih dekat dengan kepentingan pemilih lokal. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, terjadi peningkatan kualitas pemilihan. Berbekal pendidikan politik yang baik, hal-hal yang dinilai tidak relevan dengan jaminan mutu, kini tidak lagi menjadi jaminan faktor pendorong. Integrasi dan kemampuan seseorang untuk menjalankan jabatan, kini dipandang sebagai faktor utama yang dapat mempengaruhi perolehan suara. Akan tetapi, perlu diketahui juga bahwa tidak semua bakal calon yang terlibat dalam proses pemilu, memiliki jaminan mutu tersebut. Dalam sebuah sistem kepemimpinan yang menjunjung tinggi asas demokrasi, setiap individu dinilai memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki sebuah jabatan politik. Asalkan sanggup memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku, baik/buruk-nya jejak rekam sang bakal calon, tentu menjadi pertimbangan nomor sekian.

Berangkat dari kecemasan inilah, muncul gerakan masif yang mulai merambat dari skala lokal menuju ke skala nasional. Gerakan ini disebut sebagai gerakan golongan putih atau biasa disebut golput. Tidak memilih, adalah antitesa dari hiruk pikuk pemilu. Namun sekalipun begitu, golput bukanlah sesuatu yang diharamkan dalam proses pemilu, karena pemilu di Indonesia —termasuk pilkada— menggunakan sistem legitimasi formal, dan prinsip memilih sebagai sebuah voluntary voting. Sebagaimanapun tingginya angka golput, tidak akan pernah membatalkan hasil pemilu. Meski secara substansif, tingginya angkat golput ini merepresentasikan rendahnya legitimasi serta kepercayaan para pemilih terhadap bakal calon, atau bahkan pemilu itu sendiri. Namun jika ingin dicermati, gerakan golput sebenarnya memiliki kecenderungan membela hak pilih, hanya saja hak pilihnya bukan untuk memilih partai tapi hak pilih untuk tidak memilih.

Golput sendiri, hadir bukan tanpa alasan. Golput merupakan bentuk perilaku memilih, yang kecenderungannya ditentukan oleh pelbagai kajian teori. Kajian teori yang paling relevan, mungkin melalui kajian teori sosiologis dan psikologis. Sebagaimana pernah dikemukakan dalam jurnal National Choice Theory terbitan Michigan University, perilaku memilih ini bukan merupakan bentuk reaksi, bukan sebuah aksi. Seringkali, kalkulasi untung rugi yang menjadi pertimbangan utama dalam gerakan ini.

Dalam hal ini, golput —bisa juga disebut perilaku tidak memilih (non voting behavior)—merupakan bentuk reaksi, atas sebuah fenomena dalam pemilu yang dinilai akan menimbulkan kerugian. Penumpukan rasa kecewa dan frustasi, tentu akan melahirkan krisis kepercayaan. Belum lagi, ditambah dengan ketakutan akan penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat. Situasi less democracy ini sebetulnya sudah pernah digadang-gadang oleh Franklin D. Roosevelt: “Democracy cannot succeed unless those who express their choice are prepared to choose wisely. The real safeguard of democracy, therefore, is education.”

Menurut hemat saya, sedari awal golput memang tidak memiliki target untuk meng-ilegitimasi-kan pemerintahan hasil pemilu. Saya yakin pula, bahwa mereka yang terlibat di gerakan ini sadar bahwa tidak ada pengaruh yang terlalu signifikan yang bisa dicapai melalui golput. Namun perlu diketahui juga, pada pemilu 1973, bukan tanpa tujuan Arief Budiman dan kawan-kawannya mencetuskan gerakan golput. Kala itu, ia memilih gerakan ini sebagai tandingan Golkar yang dianggap membelokkan cita-cita awal Orde Baru untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis. Apa yang dilakukan Arief, tendensinya memang untuk memberikan pesan kepada pemerintah; bahwa ada gerakan moral yang bergerilya di bawah sistem politik autokrasi yang penuh dengan pengebirian kebebasan sipil, dan pemasungan aspirasi rakyat.

Salah satu putera terbaik bangsa ini, Aburrahman Wahid, juga memilih jalur golput dalam pemilu Presiden 2004, sebagai bentuk protes atas kecurangan, pemihakan, manipulasi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dinilai melanggar sejumlah undang-undang (UU), UU No. 23/1992 tentang Kesehatan, No.4/1997 tentang Penyandang Cacat, No. 12/2003 tentang Pemilu Legislatif dan dua pelanggaran terhadap UU No.23/2003 tentang Pemilu Presiden. Namun yang membedakan gerakan Arief dengan Gus Dur adalah, Gus Dur memenuhi ketentuan undang-undang tentang hal ini; tidak mengajak siapapun, melainkan melakukan tindakan yang merupakan pilihan pribadinya. Sedangkan Arief Budiman, bahkan sampai sekarang masih menyerukan ajakan golput dalam skala nasional secara lantang.

Sekali lagi, tak ada yang bisa mengelak bahwa tingginya angka golput memang merupakan representasi minimnya legitimasi pemerintah, sehingga kedudukan dan kepemimpinan bakal calon masih disangsikan oleh masyarakat. Namun rasanya, terus-menerus ‘melepas tangan’ dari keikutsertaan pemilu hanya menjadi cerminan rasa skeptis yang tak berujung. Apalagi, jika kemudian para pemilih yang menganut paham golput, hanya berpangku tangan setelah gegap gempita pemilu usai. Tak ada realisasi lebih lanjut, dari bentuk protes dan kekecewaan yang sebelumnya mereka gembar-gemborkan.  

Maka dari itu —sebagai sebuah gerakan moraldalam kajian demokrasi hari ini, rasa-rasanya paham golput tak lagi relevan. Jika dirasa ada sebuah sistem yang keliru, bukankah lebih baik apabila kemudian ikut bergerak untuk membenahinya? Bukan hanya menjadi komentator serta penonton yang simple minded, dengan selalu mempermasalahkan keadaan sekitar, tapi kemudian tak pernah ikut serta dalam usaha menyelesaikan persoalan.

Kita hidup dalam sistem demokrasi. Kita diberikan hak untuk turut memperbaiki sistem yang berlaku, tanpa perlu membubarkan sistem yang sudah ada. Dan yang perlu diingat, sistem demokrasi adalah satu-satunya sistem yang memberikan ruang bagi koreksi, termasuk kepada sistem itu sendiri. Tak perlu skeptis ketika jumpa demokrasi, hadapi saja dengan santai —jangan terlalu serius—, karena seperti kata Goenawan Muhammad dalam Catatan Pinggir 7, demokrasi tak ayal seperti teater; ini bukan soal proses menemukan kebenaran, namun tentang mengatasi serta menghadapi kesalahan.

1 komentar:

  1. Saya tidak dapat cukup berterima kasih kepada Dr EKPEN TEMPLE kerana telah membantu saya mengembalikan kegembiraan dan ketenangan dalam perkahwinan saya setelah banyak masalah yang hampir menyebabkan perceraian, alhamdulillah saya bermaksud Dr EKPEN TEMPLE pada waktu yang tepat. Hari ini saya dapat mengatakan kepada anda bahawa Dr EKPEN TEMPLE adalah jalan keluar untuk masalah itu dalam perkahwinan dan hubungan anda. Hubungi dia di (ekpentemple@gmail.com)

    BalasHapus