Sabtu, 30 November 2013

Diorama Kota Bengawan: Di Antara Bianglala dan Nirwana Pura-Pura

Wis to Mas, percoyo aku. Enak anak.


“…dulu kanan dan kiri jalan ini
pohon-pohon asam besar melulu
saban lebaran dengan teman sekampung
jalan berombongan
ke taman sriwedari nonton gajah
banyak yang berubah kini
ada holland bakery
ada diskotik ada taksi
gajahnya juga sudah dipindah
loteng-loteng arsitektur cina
kepangkas jadi gedung tegak lurus…”

“Jalan Slamet Riyadi Solo” — Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru (2000)

R
asa-rasanya, tak perlu saya menjelaskan mengenai makna tersirat dari puisi di atas. Secara gamblang, Thukul berbagi keluh tentang wajah kota kelahirannya yang kini telah berganti rupa. Baginya, bahagia kini tak bisa ditebus dengan cara-cara sederhana. Sebermula dari sudut kota yang menjadi tempatnya berbagi tawa bersama teman sekampung, berganti menjadi tempat mewah; di mana tawa semringah berbanding lurus dengan banyaknya gelontoran rupiah. Kegamangan seperti inilah, yang mungkin saya rasakan dalam beberapa tahun terakhir. Duapuluh satu tahun saya hidup di Solo, selama itu pula saya menyaksikan kota ini makin gemar bersolek —kalau tak ingin dikatakan berubah. Pangling? sudah barang tentu. Kecewa? Hmm, nanti dulu.

**********************************
Kedua orangtua saya adalah seorang perantau. Ibu saya adalah seorang Sunda tulen, yang lahir dan tumbuh besar di Tasikmalaya. Sedangkan ayah saya, menghabiskan masa kecil dan masa mudanya di Indramayu. Setelah menikah, mereka hijrah ke Solo karena urusan pekerjaan. Saya lahir di tahun pertama setelah mereka menginjakkan kaki di kota ini. Entah memang mbrojol karena sudah direncanakan, atau karena mak-mbendhunduk njedul di tengah-tengah kesibukan mereka di tanah perantauan. Yang saya maksut dengan kesibukan, tentu ‘kesibukan’ di luar urusan pekerjaan. Maklum, sebagai orang rantau—merangkap sebagai pasangan pengantin baru yang tak memiliki kerabat juga sanak saudara, tentu kesibukan-di-luar-pekerjaan macam apa yang saya maksut ini, sudah saling kita ketahui bersama. Yah, namanya juga pengantin baru.
            Akhirnya, saya lahir ke dunia. Meski tak memiliki garis keturunan Jawa, atau dibesarkan dalam keluarga yang njawani banget, saya selalu memperkenalkan diri sebagai orang asli Solo, setiap kali berkenalan dengan seseorang di luar kota. Beberapa orang mungkin menyebutnya sebagai kebanggaan semu, tapi saya menyebutnya sebagai identitas. Saya merasa senang saja, kalau bisa memperkenalkan kota kelahiran saya kepada orang lain. Apalagi kalau kemudian mereka bertanya perihal seluk beluk kota ini. Tanpa perlu diminta, seketika kemampuan saya untuk bercerita mengenai kota Solo dari A-Z menjadi fasih; mungkin menyamai kemampuan berbicara para gadis-gadis cantik berpakaian batik yang ada di iklan biro pariwisata.
            Semakin hari, tentu pengalaman hidup saya semakin bertambah. Setelah melakukan pelbagai perjalanan, berulang kali singgah ke tempat-tempat baru yang selama ini belum pernah dikunjungi, jumpa banyak orang—dengan karakteristik dan kepribadian yang berbeda-beda pula, saya belajar satu hal: yang saya dapatkan selama tinggal di Solo sampai sekarang, mutlak soal kesederhanaan hidup. Ini, yang mendasari saya untuk memperkenalkan Solo kepada khalayak. Bukan hanya soal destinasi wisata semata, lebih dari itu, saya merasa ada nilai-nilai sosial di kota ini yang harus dipelajari oleh setiap orang, bila ingin mencapai kesempurnaan hidup. Terdengar berlebihan? Tunggu sampai kalian datang kota ini. Buktikan sendiri, Solo akan membuatmu berulangkali jatuh cinta dengan cara yang sama.
            Saya pertama kali jatuh cinta dengan kota ini, saat masih berusia belasan. Mungkin saat menginjak bangku sekolah menengah pertama, saat perlahan-lahan saya menyadari bahwa nikmat dunia juga bisa berasal dari harta, dan…uhm — paras cantik wanita. Sosok gadis cantik nan pendiam dari kelas sebelah, membuktikan bahwa magis Putri Solo memang benar adanya. Saya ingat betul, gerak malu-malunya tatkala berpapasan dengan saya di kantin. Hanya bisa tersipu, dan lirih membalas rayuan saya dengan suara medhok-nya yang kental dan khas. Parasnya memang cantik, tapi saya yakin bedak dan berbagai macam riasan aneh-aneh itu hanya sesekali bersarang di wajahnya. Maklum saja, waktu itu bagi kami —siswa SMP, perkembangan harga Lembar Kerja Siswa (LKS) di belakang Sriwedari lebih menarik disimak, dibanding naik-turun harga kosmetik di gerai Matahari. Bandingkan saja, dengan tampilan siswi SMP di Ibu Kota. Tampil jauh lebih matang melebihi usia aslinya. Nampaknya, harus ada ahli bahasa yang mencatut definisi ‘menyerupai ibu-ibu atau tante-tante’ dari kata ‘cantik’, di Kamus Besar Bahasa Indonesia yang beredar di sekolah-sekolah Ibu Kota. Singkat kata, kalau ingin membuat daftar alasan untuk jatuh cinta dengan Solo, jangan lupa sertakan Puteri Solo ke dalam posisi tiga besar.
            Beranjak remaja, tentu lingkup bermain saya semakin luas. Yang awalnya hanya berkeliaran di berbagai rental Playstation, pematang sawah, atau lapangan sepakbola, kini mulai beralih ke pusat perbelanjaan atau kafe. Namun uniknya, dari dulu sampai sekarang saya tak pernah menjadikan kafe atau pusat perbelanjaan sebagai alternatif utama ketika ada seorang kawan bertanya, “Cah, nongkrong neng ndi ki?”. Selalu, saya mengajukan tawaran untuk nongkrong di wedangan saja, toh bagi saya nongkrong di mana saja tak pernah jadi masalah, selama teman nongkrongnya adalah orang-orang yang menyenangkan. Tak ayal, di kota ini saya punya beberapa tempat wedangan yang menjadi langganan. Mulai dari yang di pinggir jalan, di emperan toko, sampai halaman rumah yang disulap menjadi tempat wedangan; lengkap dengan angkringan beserta lincak­ yang menjadi fasilitas para pengunjungnya untuk betah berlama-lama teng-teng-cit/tenguk tenguk crito, berleha-leha sembari berbagi cerita.

Teng-teng cit. Tenguk-tenguk sambi cerito
            Nongkrong sembari beralas tikar di pinggir jalan, atau duduk di atas lincak—bangku panjang yang terbuat dari bambu, bagi sebagian orang mungkin terkesan biasa saja atau bahkan dianggap sebagai alternatif tongkrongan masyarakat kelas bawah. Tapi percayalah, bukan tanpa alasan kenapa saya selalu menjadikan wedangan sebagai alternatif tongkrongan utama. Di berbagai sudut kampung di Solo wedangan dianggap sebagai sarana gebyar temu keberagaman, sekaligus menjadi fasilitas warga sekitar untuk bersosialisasi. Bagaimana tidak, di wedangan, gelar profesor, haji, dokter, copet, preman, karyawan, mahasiswa, pedagang, semuanya lebur. Semua seragam: kaos polos —kadang ditutup dengan jaket hadiah dari dealer motor, sarung apek yang diselempangkan selayaknya pertanda gelar Putra-Putri Solo, dan celana kolor; semua berkumpul, tunduk dalam kuasa aneka ragam sate penuh kolesterol.
Sering saya bersama beberapa teman berkeliling ke perkampungan-perkampungan, hanya untuk mencari suasana wedangan baru, sekaligus mencari obrolan-obrolan menarik dengan sang bakul. Uniknya, kemampuan seorang bakul wedangan bukan hanya ditentukan dari bagaimana dia menyajikan hidangan, meracik teh, atau menyuguhkan aneka ragam santapan yang nikmat, tapi juga dituntut untuk bisa menjalin komunikasi dengan para pembeli yang tak pernah kehabisan bahan cerita. Sang bakul, harus tahu kapan harus diam, kapan harus memulai/mengakhiri bahan obrolan, nyamber di antara sebuah percakapan, atau paling tidak, punya kemampuan untuk meng-ho’oh-ho’oh-i setiap ucapan pembeli, tanpa terkesan menyakiti. Di wedangan, semua topik tak pernah dirasa terlalu basi untuk dibicarakan. Mulai dari taktik sepakbola timnas, gosip selebritis tanah air, rahasia negara, gonjang-ganjing prahara rumah tangga tetangga sebelah, besaran biaya SPP anak yang semakin mencekik, kiat-kiat menjadi jawara saat melakoni hubungan suami-istri, sampai jokes om-om yang membahas agama, politik, juga selangkangan. Saya ingat betul, seorang kawan dari luar kota yang menolak saya ajak ke restoran cepat saji untuk makan malam, dan memilih untuk makan di wedangan, karena ingin mencoba sendiri bagaimana sensasi makan sembari guyub dengan sekitar.
Bagi saya, wedangan di kota Solo bukan merupakan antitesis dari simbol-simbol kemakmuran yang sering ditampilkan kaum borjuis saat nongkrong di kafe kelas menengah ke atas. Wedangan adalah budaya, yang merepresentasikan perangai warga kota Solo: guyub, nyengkuyung, dan sederhana —bahasa halus dari irit, kalau bukan berkantung tipis. Tidak, saya bercanda. Sebetulnya, wedangan adalah bentuk perlawanan atas ulah para kapitalis dan sosialis yang telah menggerogoti kestabilan ekonomi negeri in. Ini merupakan gelanggang bagi kami —para kaum buruh, untuk bertukar pikiran dan gagasan dalam rangka memajukan kesejahteraan wong cilik. Tidak, saya bercanda lagi. Maaf.
Sebetulnya, kesederhanaan di Solo juga bisa diartikan secara harafiah. Biaya SPP di UNS —satu-satunya perguruan tinggi negeri di kota ini, termasuk biaya SPP yang paling murah di antara perguruan tinggi se-Indonesia. Biaya hidup di Solo, masih tergolong murah. Sebagai contoh, Anda masih bisa mendapatkan banyak opsi tempat makan murah nikmat —selain wedangan, hanya berbekal selembar rupiah bergambar Tuanku Imam Bonjol, atau paling banter Sultan Mahmud Badaruddin.

**********************************

Jokowi: lelananging jagad
Beberapa tahun belakangan, Solo bersolek diri. Semenjak Jokowi menjadi orang nomor satu di kota ini, banyak perbaikan dan pembenahan di sana-sini. Perbaikan birokrasi, serta revitalisasi ekonomi, kebudayaan, dan pariwisata, menjadi fokus utama pria berbadan ceking ini. Walhasil, Solo kini menjadi kota metropolis. Event berskala nasional maupun internasional kini semakin sering singgah kemari, pusat perbelanjaan berskala besar yang awal mula jumlahnya bisa dihitung dengan jari, kini semakin banyak dan bervariasi. Kafe atau tempat nongkrong yang sudah tenar di luar kota, kini mulai melebarkan jangkauan ke kota Bengawan. Jika dirasa mengejutkan, tunggu sampai Anda mengetahui fakta ini: sejak 2012 hingga Juni 2013, Pemerintah kota sudah menerbitkan izin mendirikan bangunan kepada 21 hotel. Iya, 21. Anda tidak sedang salah, baca, atau saya sedang melebih-lebihkan jumlah ini agar terkesan dramatis, memang jumlah itulah yang baru saja diterbitkan izinnya oleh pemerintah.
Pada periode itu, kursi pemerintahan tertinggi memang tak lagi dijabat Jokowi, melainkan oleh Rudi, wakilnya yang setia menemani selama hampir dua periode masa jabatan. Namun, Jokowi lah yang berperan untuk kembali menghidupkan geliat ekonomi dan pariwisata kota Solo yang sempat tertunduk lesu. Ia yang ‘mendirikan’ pilar-pilar ini, agar kemudian bisa diteruskan oleh siapapun yang menjabat sebagai orang nomor satu di Solo. Tanpa mengecilkan peran Rudi, serta pejabat-pejabat terkait lainnya, mungkin kalau kata orang Jawa, pekerjaan ini gari nuthukne, atau tinggal meneruskan. Jokowi seakan menanam bibit unggul, yang mungkin siap berbuah kapan saja, dan siap dipetik oleh siapa saja.
Hingar bingar prestasi Jokowi, membuat gaung namanya menggema di seantero Nusantara. Prestasinya semasa menjabat di kota Solo pula, yang membuatnya dilirik sebagai pengisi jabatan orang nomor satu di Ibu Kota. Kalau boleh jujur, pada awalnya saya sempat kecewa dengan keputusan ini. Ego saya berkata, orang seperti Jokowi ini terlalu ‘suci’ untuk ditugaskan dalam benam lumpur kotor Jakarta, pikir saya, biarkan saja kota itu diurus oleh orang lain, asal jangan Jokowi. Tapi akhirnya saya berpikir, saya tak boleh egois. Salah satu putera terbaik bangsa itu, bukan milik saya —atau rakyat Solo semata. Kalau memang hadirnya bisa mengubah Ibu Kota negeri ini menjadi lebih baik, saya rasa biarkan saja menjadi demikian. Bagi kami, warga Solo, melepas kepergian Jokowi ini bukan hanya soal mampu, tapi lebih ke soal mau. Dan pada akhirnya, mau tidak mau, mampu tidak mampu, harus mau juga mampu
Kembali menyoal Solo. Geliat kota ini tak terhenti hanya karena Jokowi pergi. Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, muncul banyak potensi yang menanti Solo untuk menjadi lebih maju. Tapi sebagaimana puisi “Jalan Slamet Riyadi Solo” gubahan Thukul, saya juga memiliki kegamangan akan konsekuensi yang harus ditebus, tatkala Solo mulai bersiap untuk menjadi kota maju. Saya takut, bianglala yang menghiasi kota ini nantinya akan menjadi nirwana pura-pura; di mana bahagia, rasa senang, dan kebanggaan yang ada di dalamnya hanyalah semu belaka. Kota ini hanya nampak istimewa dari luarnya saja, tapi di dalamnya ternyata banyak menyimpan luka yang tak nampak. Naudzubillah.
            Tempo hari, teman dekat saya berkata: “Wah, enak nih ada gerai X di Solo. Sekarang kalau mau beli ini-itu, ndak usah pergi ke luar kota. Praktis.” Sejurus kemudian, ia menambahkan, “Kalau ada kerabat atau saudara dari luar kota yang mau liburan di sini, kita juga punya banyak opsi tempat menginap nih sekarang. Ndak melulu di hotel itu-itu saja.” Saya terdiam, ada benarnya juga perkataan teman saya ini. Di luar segala puja-puji untuk kota ini, dulu saya selalu kenyang dengan gurauan sarkas macam “Ah, di Solo memang ada?”, “Lho, kamu kan di Solo, mana tahu soal beginian,” atau “Solo kan cuma itu-itu saja,” dari kawan-kawan saya yang ada di luar kota. Mau tidak mau, harus diakui bahwa stigma konservatif, kolot, terbelakang, tertinggal, memang sempat melekat pada kota Solo. Tapi dengan hadirnya pelbagai fasilitas dan pembangunan di sana-sini, sedikit demi sedikit stigma itu mulai tergerus. Akan tetapi pertanyaannya adalah: apakah memang harus seperti itu, untuk membuktikan bahwa kita ini adalah kota maju?
            Ndak gitu, Nyuk. Terus kalau gitu, bedanya kita sama kota-kota besar yang saban hari kamu cela itu sekarang apa? Sudah sama semua sekarang. Ngopi di tempat mahal, renang di hotel mahal, beli baju sampai menghabiskan gaji bulanan. Ndak pernah tahu penemuan yang namanya kopi sachet, blumbang, sama klithikan po? Ha?” ujar saya menanggapi perkataan teman saya tadi.
Yo ngene ki, sing marai kutha Solo ora ndang maju. Kamu itu konservatif, yang dibahas cuma sentimen masa lalu thok til. Seakan ndak mau terbuka sama masa depan. Yen enek kanca dolan mrene, sing mbok duduhne mung reca Gladhag, sega liwet karo wayang Sriwedari tok,” balas teman saya.
“Lho, memang itu identitas kita kan?
Yo memang pancen kui identitas kita, tapi bukan berarti kita itu mandheg di situ tok. Kalau ada tawaran untuk menjadi maju, ya diambil to ya. Eman yen ora dijipuk. Solo kui berpotensi.”
Saya kembali terdiam. Saya, sang pegiat wedangan, seakan ditampar dengan kalimat: “Kamu itu konservatif, yang dibahas cuma sentimen masa lalu thok til. Seakan ndak mau terbuka sama masa depan. Solo kui berpotensi, eman yen ora dijipuk.” Bukan tanpa alasan, saya skeptis akan perubahan yang ada di kota Solo. Saya hanya tidak ingin, elemen-elemen masyarakat di kota Solo memunculkan gerakan Jogja Ora Didol jilid 2. Pedih rasanya, jika melihat kota ini dianggap melakukan eksploitasi potensi yang ujung-ujungnya hanya dianggap memberikan keuntungan tertentu bagi golongan tertentu pula.
Tapi di satu sisi, saya juga tak ingin terjebak pada sentimen masa lalu semata. Kota ini harus beranjak dewasa. Tapi tentu saja, tanpa melupakan akar rumput kota ini sebagaimana mestinya. Dan yang paling penting, melibatkan masyarakat sebagai elemen terpenting dalam pembangunan kota ini. Bisa?

**********************************
  
"Aku rindu harga tiket bis tingkat yang dulu," remaja 90-an Solo
Suatu siang, pernah saya tampil ber-standup comedy di sekolah menengah kejuruan, yang fokus pada kajian ilmu perhotelan. Sebagaimana pria muda —dan normal, tentu saya mengambil kesempatan ini untuk berbincang dengan salah satu siswi tercantik di sekolah ini. Sekedar mengobrol ngalor-ngidul, sambil membaca tiap peluang untuk menanyakan nomor telepon atau pin BBM. Sampai akhirnya, kami membahas soal satu persatu alumni dari sekolah ini. Saya sedikit kaget, tatkala mendapatkan fakta bahwa hampir sebagian siswa —juga guru di sekolah ini merasa senang dengan banyaknya pembangunan di kota ini —khususnya hotel.
            “Lulusan sini banyak yang ditarik kerja di hotel-hotel baru itu, Mas. Dulu, banyak yang lari ke luar kota, paling banyak Jogja, buat daftar cari kerja yang sesuai dengan bidang kami. Alhamdulillah, sekarang banyak hotel di sini. Sedikit banyak, meyakinkan kami kalau kami tidak salah pilih jurusan,” ujar dia sambil tersenyum-cantik-minta-disayang. Betul saja gumam saya. Sebetulnya hal-hal semacam ini adalah potensi —seperti kata teman saya sebelumnya. Hanya saja, tergantung pada kita; ingin menjadikan ini sebagai sarana menuju maju, atau menjadikannya belenggu menuju maju.
            Perlahan saya yakin, bahwa kota ini bisa menjadi maju tanpa menangggalkan aspek-aspek terdahulu. Saya masih menyimpan keyakinan baik pada pemerintah, bahwa mereka tak akan dengan mudahnya menggadaikan identitas kota ini hanya demi kepentingan pribadi. Di tengah ke-skeptis-an saya akan kelestarian identitas kota ini, rasanya selalu ada alasan untuk membuat saya kembali menjadi optimis. Mulai dari antrian penumpang Batik Trans Solo, tawa anak-anak TK saat menaiki Bus Tingkat Werkudara, senyum sapa alumni sekolah perhotelan saat saya mendatangi grand opening hotel baru, gegap gempita segerombolan kolektif panas penggagas Rock In Solo, dan yang hebat baru-baru ini: ucapan terima kasih dari petugas parkir yang mengenakan lurik berserta blangkon, saat memberi uang kembalian. Saya rasa, optimisme itu masih ada. 
            Pada akhirnya, kita hanya bisa berharap pemerintah dan segala aspek terkait untuk tetap bekerja menggunakan hati nurani sebagai rujukan utama dalam setiap pengambilan keputusan, serta berperan serta untuk memantau dan menjaga mereka agar tetap pada lintasan, demi terciptanya cita-cita Solo yang maju juga berbudaya. Klise dan terdengar seperti kalimat kesimpulan yang dibacakan oleh moderator seminar politik yang (pura-pura) dihadiri mahasiswa (demi kepentingan nilai dan absensi) sebuah universitas ternama; tapi memang benar adanya. 
            Saya berharap, Solo bersolek dengan filosofi bedak dingin. Tetap bisa membuat pemakainya tampil cantik dan menawan, namun dengan racikan tradisional yang tak kalah menawan dibandingkan bedak modern yang hanya bisa ditembus dengan beberapa lembar uang seratus ribuan. Sekali lagi, karena kota ini terlalu berharga. Kota yang telah mengajarkan saya, tentang bagaimana menjaga kesederhanaan dalam sebuah kemegahan. Lebih dari sekedar kota, bagi saya, Solo adalah sekolah kehidupan.

2 komentar:

  1. mas, bagaimana kalau kata tercetak miring "wedhangan" itu ditulis sebagai "wedangan" saja. Bukankah dalam bahasa aslinya pun ditulis tanpa "h" ?
    Suwun, salam.

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas koreksinya, Mas/Mba! :)))

    BalasHapus