Selasa, 02 Mei 2017

Kulihat Kau Ada di Seberang Jalan

Di jalanan yang lengang itu, pikiranku bergaduh hebat. Aku dan bagian diriku yang lain saling berdebat, bicara tentang bagaimana cara menunjukkan keberanian untuk sekadar menyapamu di seberang jalan, tepat di pinggir kedai kopi favoritmu itu. Takdir tak pernah suka untuk diburu, tapi kurasa ia juga tak betah berlama-lama menanti gerak lelaki yang nyalinya senyap dan lidahnya kelu. Kau akhirnya hilang, larut ditelan temaram lampu jalan dan pergi tanpa permisi bagaikan pejudi kampung yang kocar-kacir kabur kala mendengar sirine mobil polisi.

78 detik lampu merah memberiku sedikit ruang untuk berpikir, tentang menu apa yang baru saja kau pesan di tempat yang selalu kau bangga-banggakan itu. Tebakanku, kopi Sidikalang dengan dua kue kering sebagai pendamping. Diminum lima sampai tujuh menit setelah tersaji di meja, dan gelasnya pasti kau letakkan di tengah; diapit dompet di sisi kiri, sedang di sisi kanannya ada tumpukan kunci—beserta pengisi daya portabel yang kau tempeli stiker Lotso, si beruang merah jambu penguasa Sunnyside.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, kepalaku sesak dengan tebak-tebakan yang akhirnya berusaha untuk kujawab sendiri. Aku kira, kau masih suka mendebat lawan bicaramu tentang mana yang lebih nikmat antara seduhan kopi robusta atau arabika. Kemudian jika kau tak puas, kau akan menjejalinya dengan pilihan mana karya terbaik Sheila on 7 antara Kisah Klasik Untuk Masa Depan atau 07 Des. Sebagai penutup, kau bakal meyakinkan dia bahwa bubur yang tak diaduk adalah sebaik-baiknya cara untuk menikmati bubur. Kuharap dia juga bakal selalu menentangmu, dengan mengatakan bahwa menikmati hidangan adiluhung seperti bubur lewat cara yang tak elok—tidak diaduk—adalah sebuah penghinaan bagi peradaban umat manusia.
 
Aku tidak akan pernah sepakat untuk pilihanmu atas perdebatan itu. Yang kucari dari bubur adalah rasa, bukan estetika dan keindahan tampak. Lagi pula jika memang itu yang aku cari, tentu jauh lebih mudah untuk menatap parasmu saja dibanding harus memandangi semangkuk bubur. Lebih indah dan—waktu itu—bisa kunikmati kapan pun aku mau.
 
Kemudian aku teringat, pesan singkat terakhir yang kau kirim sempat membuatku serasa bagaikan pegawai honorer yang baru saja naik status. Kau bertanya tentang bagaimana cara menyusun kata dan merangkai ejaan dengan sempurna, sedang saat tulisanmu kubaca, aku masih saja jatuh cinta dengan caramu menempatkan titik dan koma. Kau paham cara memberi jeda, menitik akhir, sedang aku masih berharap pada awal. Entah kau sadari atau tidak, sejatinya kisah kita berdua tergambar dalam fragmen tulisan yang kau buat sendiri.
 
Sampai di rumah, aku akhiri semua tebak yang membawaku pada kilas balik tak berujung. Kurebahkan diri sembari menyusun nyali untuk sekadar menyapamu lewat ponsel, demi memastikan jawaban atas semua tanya yang mengganjalku hari ini. Saat niatku belum terkumpul sempurna, ponselku seketika berdering nyaring. Ada notifikasi pesan masuk. Tentu perasaanku berkecamuk, sebab pikirku, rasa penasaran bakal memaksamu untuk menyapaku lebih dulu; demi memastikan apakah pria yang barusan kau lihat di seberang jalan memang diriku atau bukan.

Setelah kubuka, ternyata bukan namamu yang kulihat, melainkan akun Line Event dengan pesan berisi tawaran untuk menawar harga barang—yang sudah pasti langsung kuhapus. Aku kembali merebah dan ponselku kusetel dalam mode senyap. Malam itu, aku memilih tidur lebih dulu.

1 komentar:

  1. Hobby main judi bola , sudah tepat bersama BOLAVITA
    Kesempatan menang terbesar dan Bonus yang banyak dari BOLAVITA
    judi bola terbaik
    Untuk info lebih lanjut bisa melalui:
    whatup : 08122222995
    Wechat : Bolavita.
    Line : Cs_bolavita.
    BBM: D8C363CA


    BalasHapus