Kamis, 09 Mei 2013

Egosentrisme Taktik Ala Turin

Ill Capitano
Di dunia ini, tak ada yang abadi.
Dominasi pasukan Catalan, puasa gelar Robin van Persie, bahkan sampai pesona kecantikan Nadya Hutagalung yang dianggap imortal, pada waktunya nanti juga akan menemui masa kadaluarsa. Akan selalu tiba masa, dimana apapun yang sudah diklaim sebagai “paten” dan “pasti” akan mengalami peralihan. Satu-satunya yang pasti dari kepastian sendiri adalah ketidakpastian. Tidak hanya berlaku di jagad sepakbola, tapi juga berlaku di segala aspek kehidupan.

Tapi, bukan karena tak ada yang abadi, bukan berarti tidak ada yang tidak bertahan lama.

Romantisme Arsenal – Wenger – dan banner “In Arsene We Trust”, sorotan kamera ke arah Fergie dengan permen karet dan pipi merahnya di bench United, optimisme fans Liverpool dengan “musim depan EPL akan jadi milik kami’-nya yang terkenal itu, betahnya klub-klub Serie-A numpang di stadion milik pemerintah, masa kelam sepakbola Indonesia, ukuran botol Yakult, adalah salah satu dari sekian banyak hal di dunia ini yang — mungkin tidak akan bersifat —  abadi, namun pada kenyataannya sudah bertahan sekian lama. Bertahan pada sebuah paten, agar tetap berada pada koridor kepastian, adalah salah satu cara menghindari ketidakpastian; sekalipun nanti akan tiba masa dimana “paten” itu akan mengalami peralihan. Di jagad sepakbola, hal yang demikian adalah sesuatu yang lumrah.

Tapi nampaknya, ideologi Conte adalah sebuah anomali. Baginya, skema permainan Juventus tidak ubahnya gaya rambut Mitha The Virgin: selalu berubah-ubah di setiap kesempatan. Berikut beberapa skema permainan yang pernah Conte rancang selama 2 musim menukangi Juventus.

4-2-4: Flank, flank, flank.

Mengawali musim perdananya di Turin dengan skema all-out-attack 4-2-4, Conte masih sedikit mewarisi kebiasaan jaman Jahilliyah Juve era Del Neri – Secco, dengan fokus serangan lewat flank. Memang, kala itu tak ada lagi teriakan “MILOOOOOOOS!” khas Del Neri dari pinggir lapangan, untuk meminta Krasic menyusuri sisi kanan lapangan sembari berlari dengan kondisi NOS yang ada di kedua kakinya menyala. Conte tidak begitu suka dengan gaya bermain Krasic. Bagi Conte, pemain dengan tipikal ngotot dan grinta yang kental, selalu lebih baik dibanding pemain yang punya keunggulan skill di bidang tertentu: Krasic, Giaccherini, Elia – tipikal speed merchant, selalu kalah dibandingkan dengan Pepe, Estigarribia, atau bahkan Padoin. Sesuatu yang tentu sangat tidak lazim di formasi PES.

Di 4-2-4 milik Conte 11/12, ada beberapa hal yang menjadi sorotan saya. Di antaranya:

(-) Chiellini bermain bukan pada posisi aslinya, centreback, tapi dia ditempatkan sebagai fullback di sisi kiri. Hal ini sungguh disayangkan, mengingat menempatkan seorang CB murni menjadi fullback berarti harus mampu menyelaraskan antara menyerang dan bertahan. Chiellini sangat baik ketika ditempatkan di opsi kedua, namun tidak sebaik Ashley Cole ketika ditanya perihal opsi pertama.

(-) Bonucci tampil selayaknya medioker yang selalu gugup di setiap laga. Bersama Barzagli, dia menjadi duet centreback yang mengawal lini pertahanan Juventus paruh musim 11/12. Sepanjang musim 10/11, dia adalah salah satu alasan kenapa lini pertahanan Juventus nampak seperti pesakitan. Entah sudah berapa kali gaya ‘sekali-tebas-buang’-nya jadi malapetaka buat Buffon. Hanya Barzagli yang nampak tidak kesulitan dengan skema 4-2-4 ini. Tapi tidak dengan Bonucci. Saya seringkali berharap, Bonucci diculik seseorang dan ditempatkan dalam bunker setiap kali Juventus main dengan skema ini. Orang Jawa bilang, dia tampil hayub-hayuben.

(-) M-V-P (Marchisio, Vidal, Pirlo) tidak tampil sebagaimana mestinya. Sayang sekali dalam skema ini, salah satu dari Marchisio atau Vidal pasti jadi ‘korban’. Pirlo diplot berada central midfield bergantian dengan salah satu di antara Marchisio atau Vidal. Mengingat bagaimana ketiga manusia ini bekerjasama dengan sangat apik saat dimainkan bersama, 4-2-4 ini menjadi semacam kesia-siaan talenta yang ada di lini tengah.

(-) Konsistensi sungguh tidak akrab dengan flank kiri Juventus di skema ini. Chiellini yang bermain sebagai LB untuk menopang Estigarribia/De Ceglie di depan, jadi salah satu titik lemah Juventus di  4-2-4. Sebagaimana penggemar Maicih lvl.10 saat disuguhi Mie Instant dengan embel-embel “selera pedas”, gregetnya pasti kurang dan tidak berasa. Kira-kira seperti itu gambaran sisi kiri Juventus dalam skema 4-2-4.

(-) Sulit bagi fullback sekelas Lichtsteiner untuk overlap ke depan, ketika winger seperti Pepe sudah mendapatkan ruang lebih banyak. Agresivitas sisi kanan Juve berkurang, karena seperti yang kita ketahui bersama Lichtsteiner is a monster. Determinasinya menyusuri sisi kanan, baik ketika bertahan dan menyerang sama baiknya. Skema ini sulit membuat ke-khasan Licht itu nampak.

(+) Bisa menyaksikan penggunaan dua midfielder di tengah, yang sudah sangat jarang diterapkan pelatih modern. Pirlo era Milan sukses melakoni posisi ini, karena dia ditopang oleh seorang ‘so-called-gelandang-pengangkut-air’ semacam Gattuso yang terus menerus berlari dan mengcover sektor yang ditinggal Pirlo (kita tahu, melihat Pirlo berlari kencang kesana kemari merupakan salah satu  keajaiban dunia yang belum tentu kejadian dalam 10 tahun sekali). Di Juventus, tugas ini dicover dengan baik oleh Marchisio/Vidal. Sama-sama seorang petarung, dengan usia yang lebih muda. Di akademi Juventus, Il Principino ditempatkan sebagai trequartista, dan sangat jauh dari tipikal holding player. Maka dari itu, sekalipun skema ini menjadi menarik karena sudah jarang digunakan, hal ini menjadi sia-sia jika mengingat Juventus punya Vidal. Juve akan selalu butuh midfielder ke-tiga selama Conte masih ada di Juventus.

(+) Bagaimana lini tengah Juventus bisa mengcover ruang yang diciptakan lawan. Pertengahan 2007, Wenger pernah bilang: “Dengan menempatkan 4 gelandang di lini tengah — merujuk ke 4-4-2 miliknya pada waktu itu —  efisiensi covering space sebuah tim bisa mencapai angka 60%”. Memang secara kasat mata, 4-2-4 praktis hanya menyisakan dua midfielder sebagai penguasa lini tengah, dan dua winger sisanya berkonsentrasi bermain di flank. Namun jangan salah, Estigarribia/De Ceglie dan Pepe justru menjadi sosok yang pemain yang paling bisa menguasai ruang di skema ini. Masih ingat jelas dalam ingatan saya ketika Juventus melakukan comeback setelah tertinggal 2-0 dari Napoli, kemudian menjadi 3-3. Pemain kunci pada waktu itu adalah Pepe. Ia selalu bisa menemukan ruang, di saat Pirlo dan Vidal ‘melindungi’ dia dan memberikan kebebasan kepadanya untuk maju ke depan

(+) Sangat efisien sebagai peralihan, ketika jumpa tim dengan skema serupa dengan stamina yang lebih buruk. Sekali lagi, 3-3 saat melawan Napoli 11/12 adalah representasi sempurna dari efektivitas skema permainan ini. Paruh babak pertama, Juve berusaha melakukan mirroring skema permainan Napoli. Sama-sama menggunakan 3-5-2 (Napoli 11/12 cenderung ke 3-4-1-2, dengan Hamsik berada di belakang Lavezzi dan Cavani. Namun secara garis besar, hampir sama pola permainannya sama dengan 3-5-2 milik Juventus. Hamsik seringkali fleksibel ditempatkan sebagai attacking midfielder, atau dalam beberapa kasus menjadi central midfielder) di babak pertama. Hasilnya, Maggio benar-benar jadi malapetaka malam itu. Estigarribia yang diplot untuk mengisi flank kiri, ‘diperkosa’ secara biadab oleh Maggio. Kemampuan bertahan miliknya memang tak sebaik ketika menyerang. Wajar, mengingat Esti adalah tipikal sayap murni. Walhasil, 2 gol Napoli berasal dari sisi kiri Juventus. Pirlo juga dengan baik ‘dimatikan’ oleh Hamsik, supplai bola ke depan benar-benar mandeg. Jadilah babak pertama Juventus seperti hati anak kecil yang balon hijaunya meletus: sangat kacau.

Namun di babak kedua, kejeniusan Conte untuk mengubah skema 3-5-2 menjadi 4-2-4 sungguh membuahkan hasil. Chiellini yang tadinya diplot jadi centreback ditarik ke kiri untuk jadi fullback, Lichtsteiner juga ditarik mundur untuk kembali jadi fullback, Bonucci dan Barzagli diplot jadi centreback, Sisi kanan ditempati Pepe, kiri masih menjadi milik Estigarribia. Namun yang membedakan adalah: Pepe dan Esti sama-sama ditarik ke depan untuk menjadi sayap murni. Urusan pertahanan biar menjadi urusan Chiello dan Lichtsteiner Pirlo dan Vidal ditugaskan untuk mengcover lini tengah. Namun ini yang membedakan dengan skema babak pertama: Estigarribia berada di zona nyamannya, posisinya lebih maju ke depan dan ditugaskan Conte untuk memberikan pressing pada Maggio sehingga ia benar-benar harus ditarik ke belakang oleh Mazzari. Terbukti, 3 gol balasan Juventus berasal dari pergerakan sektor kiri. Sekali lagi, melihat bagaimana Conte memilih untuk ‘menyerang’ Maggio alih-alih harus memperkuat lini pertahanan dari serangan sayapnya adalah sebuah kejeniusan. 

4-1-4-1: Demi Vidal

4-2-4 adalah bentuk kesia-siaan lini tengah Juventus. Memiliki Marchisio, Vidal dan Pirlo dalam satu komposisi, namun lebih memilih untuk merotasi salah satu dari mereka dengan alasan kecocokan skema permainan adalah hal yang konyol bagi saya. Dengan kemudian memilihi 4-1-4-1, saya melihat bagaimana Conte ingin memaksimalkan talenta yang ada di dalam timnya. Pirlo sebagai regista, sedangkan Marchisio/Vidal sebagai mezalla. Tugas Marchisio/Vidal yang bergantian menemani Pirlo di skema 4-2-4 memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Sama-sama ditugaskan untuk ‘melindungi’ Pirlo dari godaan marking lawan yang terkutuk,  Marchisio cenderung lebih memiliki visi menyerang yang lebih baik dibandingkan Vidal. Sekali lagi, penempatan dia sebagai trequartista semasa berada di akademi Juve mau tidak mau mempengaruhi gaya bermainnya sampai sekarang. Mewarisi kekhasan pemain nomer 8 Juventus milik pendahulunya — Conte salah satunya — yang memiliki grinta kental, Marchisio mempadupadankannya dengan tipikal pemain petarung yang ada di dalam dirinya. Sedangkan Vidal sendiri, adalah jawaban atas kekurangan Marchisio: kemampuan untuk holding ball. Vidal didapuk untuk melakukan ‘tugas-kasar’ milik lini tengah Juve: tackle, intercept, skill box-to-box, pressing semua dilakukan Vidal dengan baik. Namun sayang, seringkali visi menyerangnya tidak sebaik Il Principino. Musim 11/12 untuk urusan mencetak gol, nama Marchisio lebih sering muncul di papan skor ketimbang Vidal (9 banding 7). Dan ketika akal sehat Conte menuntun dirinya ke jalan yang benar dengan menempatkan mereka berdua dalam satu kesempatan untuk menemani Pirlo, saya merasa bahwa berkah dari Tuhan itu memang benar adanya. Pirlo diplot sebagai deep-lying “creative” central midfielder, Marchisio sebagai attacking midfielder, dan Vidal sebagai defensive midfielder. Sungguh, padu padan yang pas.

4-1-4-1 diformat untuk menyenangkan Pirlo. Pirlo dibiarkan untuk bersabar dan duduk tenang, sementara Marchisio dan Vidal diplot untuk bekerja dan meng-cover area Pirlo, sembari terus memberi ruang bagi Pirlo untuk bekerja di dalamnya. Alur serangan benar-benar dimulai dari tingkatan yang paling dalam. Tidak heran, suplai bola ke depan seringkali berupa long-pass dari Bonucci, atau dari Pirlo. Hanya berkisar dari itu.

Tapi formasi ini bukan tanpa cacat. Ada celah yang begitu menganga di antara Chiellini dan Vucinic. Mengingat sektor kiri yang ditempati Marchisio tidak begitu baik dalam bertahan — untuk mengcover area kerja Pirlo saja buat saya sudah cukup berat —, maka tidak heran celah ini seringkali dimanfaatkan oleh lawan. Pemain dengan tipikal penjelajah seperti Robben dan Ribery akan sangat senang dengan celah seperti ini. Beruntung, klub-klub Serie-A tidak cukup memiliki tipikal stok pemain seperti mereka berdua. Maka tidak heran, kalau formasi seperti terhitung cukup aman jika dimainkan di liga. 

Entah kenapa saya juga tidak suka dengan penempatan Vucinic di belakang lone frontman, Matri. Menurut hemat saya, Vucinic bukan seorang energetic runners yang bersedia untuk menyusuri areanya sembari memberikan suplai bola secara konsisten ke depan. Vucinic adalah seorang ‘papan pantul’ bagi siapapun yang ada di dekatnya. Ia lebih jemput bola, untuk kemudian berlama-lama menahan bola sambil menunggu bantuan dari lini kedua.  Di posisi paling pucuk, saya melihat Matri malah cocok dengan skema permainan seperti ini. Sekalipun ia bukan tipikal targetman yang sebegitu menyeramkan seperti Cavani, diposisikan sebagai striker murni yang memang membuatnya nyaman tentu saja membuat perbedaan dalam skema permainan. Matri sejatinya adalah seorang poacher. Penyempurnaan dari skema ini adalah pemain tipikal classic number 9 seperti Trezegol yang memang selama ini jadi incaran Juventus. Andai Llorente dan Giovinco datang lebih awal, untuk kemudian menggantikan Matri dan Vucinic untuk bermain dalam skema ini, bukan tidak mungkin formasi 4-1-4-1 akan bertahan dalam kurun waktu yang lama.

3-5-2: Transformasi Penyempurnaan

3-5-2 menuntut adanya keseimbangan dalam bertahan dan menyerang.  Yang paling mendasar adalah peran dua wingback yang berada di sisi kanan dan kiri, mereka dituntut harus bisa memiliki kedua aspek tersebut dengan baik. Hampir di sepanjang musim 11/12 dan 12/13, Conte sering menjadikan skema ini sebagai pilihan utama. 

Dimulai dengan lini belakang: trio Barzagli – Bonucci – Chiellini menjadi pakem kekuatan baru lini pertahanan di Italia, bahkan dunia. Terbukti pada musim 2011/2012, Juve hanya kebobol 20 gol. Catatan terbaik di Eropa. Dan musim ini hingga pekan ke 35, Juventus juga hanya kebobolan 20 gol.  Bonucci tampil dengan sangat baik ketika Juventus bermain dengan skema seperti ini.  Dengan formasi 3 CB, membuat konsentrasi bertahan benar-benar dibagi rata oleh ketiga pemain ini. Dengan kehadiran Barzagli dan Chiellini di kanan-kirinya, tentu saja ini menjadi jaminan aman bagi Bonbon. Bonucci hadir seperti anak bungsu yang jika diganggu oleh anak kecil nakal yang lebih tua, kemudian mengadu untuk minta perlindungan ke kedua kakaknya, yaitu Chiellini dan Barzagli. Rataan passing Bonucci juga salah satu yang terbaik setelah Pirlo. Pokoknya, Bonucci seperti tamiya yang dinamonya baru saja ditune-up, setelah Juventus beralih formasi jadi 3-5-2. Mungkin pada periode sebelum ‘90an, posisi Bonucci ini lebih cocok ditempati oleh seorang sweeper atau offensive libero, namun ini akan menjadi sia-sia mengingat Bonucci memiliki seorang deeplying midfielder sekelas Pirlo di depannya.  Menjadi seorang stopper untuk mengcover bola saat pertandingan berlangsung, nampak lebih cocok baginya. Sementara Chiellini dan Barzagli sering naik ke depan untuk overlap (sering intercept dari kedua pemain ini berlanjut dengan solo-run ke depan, untuk kemudian memberi assist kepada siapapun yang ada di depan mereka untuk kemudian dikonversikan menjadi gol), Bonucci malah sering menjadi pilar terakhir lini pertahanan Juventus.

Salah satu keunggulan lini belakang Juventus ketika menerapkan skema seperti ini adalah: sangat efektif ketika jumpa dengan tim yang menurunkan 2 striker. Barzagli dan Chiellini akan ditugaskan untuk me-marking mereka, sementara Bonucci akan menghentikan arus serangan dari lini keduanya. Namun, seringkali trio B-B-C ini dibuat kebingungan ketika jumpa dengan tim yang mendapuk 1 pemain di lini paling depan. Pembagian jatah marking dan konsentrasi penghentian bola seringkali terpecah jika mereka menghadapi situasi demikian. Akibatnya, gol justru lebih sering muncul dari lini kedua. Contoh paling nyata, mungkin ketika mereka harus berhadapan dengan hanya seorang Mandzukic di perempatfinal UCL, dan harus menghadapi Fabregas seorang di lini paling depan, di final Euro 2012. Dan kita tahu sendiri hasil akhirnya seperti apa.

Maju ke tengah. Kita bisa melihat kunci keberhasilan permainan skema 3-5-2 ada di wingback. Sebagai contoh: Brazil menjuarai World Cup 2002. Dengan formasi seperti ini. Lucio – Edmilson – Juan begitu kokoh di lini pertahanan, sementara Cafu dan Roberto Carlos bergantian membombardir dari sisi kanan dan kiri. Pun saat bertahan, kedua pemain ini sama baiknya.

2011/2012, peran ini bergantian diperankan oleh Estigarribia/De Ceglie dan Lichtsteiner. Musim 2012/2013, pernah pos flank kiri diisi oleh Kwadwo  Asamoah. Duet Asamoah – Lichsteiner tentu saja adalah versi upgrade dari  De Ceglie – Licht. Asamoah yang sebetulnya bermain sebagai CM di Udinese, tampak tidak canggung saat bermain sebagai LWB. Saat menyerang, kemampuan box-to-box Asamoah tidak perlu diragukan lagi. Saat bertahan, dia juga mampu menutup dan menjembatani celah yang sering terjadi dibuat Vucinic – Chiellini. Sekalipun ia belum menemui performa terbaiknya pasca AFCON kemarin, Asamoah adalah opsi terbaik untuk menempati posisi LWB Juventus. Untuk RWB, saya no comment. Lichtsteiner adalah seorang monster. Bagi saya, performa The Swiss Train selama ini luar biasa. Tidak melulu menakjubkan, tapi konsisten.

Madrid punya Makelele Role, sedangkan bagi saya dua tahun belakangan ini Juventus punya Pirlo Role. Sebuah skema dimana gaya bermain dan arus bola ke berbagai lini sangat bergantung pada sosok Andrea Pirlo. Saat melakukan perjanjian terlarang dengan Jin Ifrit, Pirlo tidak membaca terms of agreement yang tertulis: kamu akan selalu bermain baik, dengan syarat harus menumbalkan dua pemain untuk bekerja keras dan mati-matian melindungimu serta memberimu ruang bermain untuk berkreativitas. Di Milan, Pirlo menumbalkan Gattuso dan Ambrosini. Di Juventus, Marchisio dan Vidal. Di Italia, Marchisio dan De Rossi. Hasilnya, Pirlo bertanggung jawab atas statistiknya di Juventus selama ini: 2,9 key passes/game, 87% pass success/game, 10.3 accurate long pass/game, 80% rataan passing/game. Hanya Xavi, Xabi Alonso dan Schweinsteiger yang mampu mendekati capaian statistik angka tadi.

Vidal dan Marchisio juga berperan penting selain sebagai ‘ tumbal’ untuk kecemerlangan permainan Pirlo: physical play dan kemampuan box-to-box untuk melayani dua striker yang ada di depan. Ini adalah versi sempurna dari 4-1-4-1 yang memungkinkan M-V-P main secara bersamaan.  Penjabaran kelebihan mereka berdua sudah tercantum di bahasan sebelumnya.
Untuk lini depan, Juventus masih cenderung labil  Coba lihat rotasi duet striker yang Conte miliki (statistik diambil sampai dengan laga Juventus – Bayern) saat menerapkan strategi 3-5-2:
  1. Vucinic dan Giovinco – 14 kali
  2. Matri dan Giovinco – 7 kali
  3. Quagliarella dan Giovinco – 6 kali
  4. Matri dan Vucinic – 6 kali
  5. Vucinic dan Quagaliarella – 4 kali
  6. Matri dan Quaglirella  - 2 kali
Saat Vucinic dan Giovinco bermain, praktis Conte tidak memasang seorang CF. Vucinic dan Giovinco adalah tipikal seconda punta. Entah kebanyakan orang menyebutnya false-nine atau bagaimana, yang jelas ini adalah duet terbaik Juventus menurut hemat saya. Vucinic dan Giovinco adalah tipikal pemain yang gemar berlama-lama menahan bola sambil mencari ruang untuk rekan setimnya. Gol akan datang dari mana saja ketika dua orang ini bermain secara bersamaan. Umpan-umpan pendek terlihat sangat mendominasi. Dalam beberapa kali kesempatan, Vidal/Marchisio sangat gemar mencetak gol yang berawal dari pergerakan Mirko dan Seba. Jumlah gol mereka memang tidak mencapai 2 digit, hanya 9 dan 6. Tapi mereka berkontribusi banyak dengan menyumbang sejumlah assist. Sejauh ini, jumlah assist mereka masing-masing (6) hanya kalah oleh Vidal (7).  Memang yang dibutuhkan Conte adalah tipikal dynamic forward yang ditugaskan untuk mempersempit jarak dan harus mampu bersinergi dengan dua wingback yang ada di belakang mereka. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya mereka harus mampu menyuguhkan linking-up play untuk lini tengah. Sejauh ini, tugas itu mampu diemban dengan baik oleh Vucinic.

Untuk alasan itulah, kenapa Matri nampak tidak cocok dengan skema seperti ini. Matri bukan tipikal pemain yang mau ‘ngoyo’ untuk mendapatkan bola dan mengemban tugas linking-up play dengan lini tengah. Ia adalah seorang targetman. Menarik, menanti perubahan formasi seperti apalagi yang akan Conte buat jika Llorente sudah bergabung dengan tim.


3-5-1-1: A Brilliant Player With a Bright Future. Pog, Pog, Pogba!

Kesimpulan dari transformasi skema permainan Juventus selama ini adalah: Conte selalu mencari solusi untuk memaksimalkan potensi pemain yang dia miliki.

4-2-4: memaksimalkan Pepe
4-1-4-1: memaksimalkan Vidal
3-5-2: memaksimalkan M-V-P, mengeluarkan roh jahat yang selama ini bersemayam di tubuh Bonucci, menjadikan Lichtsteiner seorang monster.
Pun dengan 3-5-1-1.

Juventus musim ini kedatangan sebuah bocah ajaib yang bernama Paul Pogba. Kedatangannya yang bersifat free transfer dari Manchester United ini, sedikit banyak mempengaruhi gaya bermain Juventus. Pada awal musim, Pogba diplot sebagai pelapis M-V-P. jika salah satu dari mereka absen, nama Pogba akan mencuat terlebih dahulu sebagai penggantinya. Yang mencengangkan adalah, pemain yang baru saja genap berusia 20 tahun ini justru tampil di luar ekspektasi.

Setiap kali dia dipasang, ia nampak seperti kerasukan Vieira dan Deschamps dalam satu kesempatan. Pernah, Edgar Davids dan Paul Scholes juga mencoba masuk ke raga anak ini saat Juventus melakoni pertandingan melawan Udinese. Walhasil, dua tendangan keras dari luar kotak pinalti berhasil bersarang ke gawang Padelli malam itu.

Namun bicara soal Pogba, bukan hanya bicara soal tendangan kencangnya saja. Pada awal kedatangannya, potongan rambutnya memang seakan ingin bersaing dengan potongan rambut ala ‘kabel-charger- Blackberry-yang-tertinggal’ milik Rodrigo Palacio dalam hal perebutan Rambut Norak Awards. Namun saya berulang kali mengucap syukur ketika mengetahui ia memutuskan untuk bercukur dan menyemir sisa rambutnya dengan cat hitam. Nominasi ini tinggal menyisakan Boateng dan Palacio sebagai pesertanya.

Namun lebih dari itu, Pogba adalah seorang Pogboss. Ketika ia bermain, dia seringkali terus berlari seakan-akan pemain tidak ada pemain yang menjaganya. Posturnya yang tinggi dan kakinya yang panjang, juga membuat dia memiliki jangkauan area bola yang lebih luas. Seringkali melakukan intercept-intercept penting. Aerial duel won per game-nya mencapai 2,3. Tertinggi kedua setelah Chiellini. Sejauh ini sudah berhasil membuat 48 dribble, hanya kalah dari Asamoah yang membuat 59 dribble. Wajar, mengingat Pogba lebih jarang bermain dibandingkan Asamoah. Namun menjadi luar biasa, mengingat usianya yang baru 20 tahun dan ini adalah musim pertamanya Di Juventus.

Untuk itulah, Conte tidak ingin menyia-nyiakan talenta yang ada di dalam skuatnya. Ia memilih untuk merombak skema permainan tim demi menempatkan Pogba, tanpa harus mengorbankan pemain terbaiknya. Pogba diplot menggantikan posisi Marchisio sebagai CM. Sedangkan Marchisio kembali menjadi treq, dengan menempati posisi di belakang Vucinic yang seorang diri berada di depan.

Pada saat Derby Della Mole, Pogba benar-benar menunjukkan kelasnya. Membuat akurasi passing mencapai 86%, touches sebanyak 59 kali, 5 total shots, 6 tackles dan 2 kali intercept. He’s a good ball winning midfielder. 

Jelas, tidak ada pemain kesayangan bagi Conte. Egosentrisme taktik yang dia buat, berada di dirinya sendiri. Bukan Pirlo, Vidal, Pogba, Vucinic atau siapapun yang ada di dalam tim. Baginya, kesempurnaan dan kolektivitas tim jauh lebih penting dibandingkan produktivitas gol atau rating pemain. Elia, Krasic, Bendtner adalah contoh: bahwa nama besar dengan banderol harga mahal bukan jaminan akan mendapat tempat di Juventus. Sejauh mana sang pemain bisa berkontribusi untuk tim, itu yang menjadi pertimbangan dia. Bahkan, sekalipun harus mengorbankan rekrutan anyar, pemain kesayangan publik, pemain kesayangan media, atau pemain kesayangan sang pemilik klub.

Tidak heran, Buffon dan Pirlo pernah menyebut bahwa Conte adalah pelatih terbaik yang selama ini pernah melatih mereka. Mengingat mereka pernah berada di bawah asuhan berbagai pelatih top: Lippi, Ancelotti, Mr. Trap, Prandelli, maka penghormatan ini adalah bentuk penghormatan tertinggi untuk Conte.

Seorang kawan yang juga seorang Milanisti pernah berkata, “Conte terus berteriak dari pinggir lapangan, seakan-akan dia kalah 3-0 dari lawan. Sedangkan Allegri hanya duduk diam di bench, seakan-akan dia sudah menang 3-0 dari lawan. Padahal kenyataannya, Milan sedang tertinggal 0 -1 dari Juve. Pelatihmu itu gila.

Saya tersenyum.