|
So long, funny guy. |
|
|
Sore itu, saya dibangunkan Ibu.
Setelah percobaan ke sekian, akhirnya saya bangun. Masih setengah sadar, mata kriyip-kriyip, saya mendengar
sayup-sayup suara azan dari masjid di dekat rumah.
“Oalah, wis magrib to.”
Pikir saya, adalah hal wajar
kalau Ibu membangunkan anaknya ketika waktu magrib tiba. Pasti disuruh
buru-buru bangun, lalu salat. Maklum, waktu Magrib memang yang paling singkat
di antara waktu-waktu salat lainnya. Kalau saya masih klumbrak-klumbruk koyo kumbahan reget di atas kasur waktu magrib
tiba, tentu saja harga minyak dunia tidak akan melambung tinggi. Tapi ya itu,
paling besoknya nama saya sudah dicoret dari kartu keluarga. Dan itu jauh lebih
berbahaya.
“Le, bangun. Olga meninggal dunia.” Mak
jegagik. Saya langsung bangun, seketika nyawa saya terkumpul penuh.
Pertama, saya heran. Saya kira,
kalimat pertama yang bakal terucap waktu membangunkan saya—sama seperti
biasanya—itu, “Bangun, sudah anu* (*=
waktu shalat yang paling mendekati) lho. Ayo, keburu habis.” Kedua, siapa sosok Olga yang dimaksud Ibu?
Mengingat saya tidak punya kawan atau saudara dengan nama itu, pikiran saya
langsung merujuk kepada Olga Syahputra. Ketiga, kalau memang yang dimaksud
Olga Syahputra, tingkat urgensinya seberapa besar, sampai-sampai membangunkan
anaknya hanya untuk diberitahu berita duka artis—alih-alih perintah salat
magrib? Nah, ruwet to? Bangun tidur saja sudah punya tiga rumusan masalah.