Njedul siji, njuk ilang sak lawase |
Jika Anda dihadapkan pada sebuah pilihan, “merasakan puncak ketenaran, walau hanya sekali —namun tak pernah dikenal lagi,” atau “memiliki popularitas yang sedang-sedang saja —tak pernah berada di puncak maupun tenggelam,” mana yang akan Anda pilih? Mereka yang perfeksionis dan ambisius, tentu tidak akan memilih keduanya. Bagi mereka, akan selalu ada opsi ketiga, seperti: “merasakan puncak ketenaran, tapi tak pernah tenggelam.” Sah-sah saja, namanya juga ambisi. Meski pada kenyataannya, dunia seringkali tidak kompromistis; tak ada ruang bagi kita untuk memilih.
Begitu juga dalam jagat industri musik. Jika boleh memilih, ambisi musisi tentu akan meletakkan opsi ketiga sebagai capaian karir peringkat wahid. Sebagai empunya karya, adalah wajar jika mengharapkan adanya apresiasi. Apalagi, jika datang dalam skala masif. Tak ayal, semua musisi akan mengerahkan kemampuan mereka sampai titik maksimal demi mendapat kepuasan batin —juga sambutan apik dari para pendengar. Terdengar seperti pakem fundamental seorang seniman. Tapi sekali lagi, di tengah badai ketidakpastian jagat industri musik, siapa yang bisa menjamin?
Fenomena one-hit wonder bisa menjadi contoh, bagaimana badai ketidakpastian jagat industri musik bisa meruntuhkan formula ‘sukses’ dengan rujukan basa-basi seperti dua paragraf di atas. Awal mulanya, one-hit wonder dimaknai sebagai “lagu yang menduduki peringkat pertama dalam tangga lagu 40 Billboard, kemudian tidak pernah mencapainya lagi,” oleh Wayne Jancik, dalam bukunya The Billboard Book of One-Hit Wonders.
Namun seiring berjalannya waktu, definisi one-hit wonder mengalami pemekaran makna yang signifikan. Kini, lagu yang menyandang gelar one-hit wonder tak lagi harus memenuhi syarat ‘tembus tangga lagu 40 Billboard’, tapi jauh lebih sederhana. Generalisasi makna one-hit wonder, kini bisa dijabarkan (kurang lebih) menjadi: musisi dengan satu lagu yang pernah mencapai puncak ketenaran, namun tak pernah memperoleh capaian sama setelahnya. Beberapa dari mereka, mungkin tidak hanya memiliki satu lagu saja, namun yang jelas, lagu-lagu lainnya tidak pernah bisa memperoleh kesuksesan layaknya tembang one-hit wonder mereka.
Ketika menyusun daftar seperti ini, tentu saja akan selalu memunculkan perdebatan. Mungkin salah satu bahan perdebatan yang bisa saya prediksi, seperti “Kok artis ini bisa masuk? Kan lagunya ga ini aja? Yang terkenal ada lagi kok,” atau komentar lain, yang kurang lebih bernada sama. Silakan saja, karena itu hal yang wajar. Namun jika Anda mempertanyakan keputusan saya untuk tidak memasukkan one-hit wonder macam “Harus Terpisah” milik Cakra Khan, “SMS” milik Ria Amelia, atau “Pecinta Wanita” milik Irwansyah ke dalam daftar ini, tentu saja itu jadi lain soal.
10.“Inikah Cinta” — M.E, Terbuka (1998)
Bagian terbaik: “Kujumpa dia
berikutnya/suasana berbeda/getaran itu masih ada.”
Sebelum tren sekumpulan pria
dengan kualitas vokal semenjana dan aransemen lagu seadanya muncul ke
permukaan, M.E telah lebih dulu hadir sebagai salah satu cetak biru boyband Tanah Air —yang sanggup tenar
tanpa perlu melacurkan diri dengan modal jualan tampang semata. Tak seperti
pendahulunya, Trio Libels, yang lagu-lagunya lebih kental dengan nuansa
pop-disko ala ’80-an, M.E hadir dengan suguhan lagu yang memadukan ketukan
R&B dengan unsur pop yang terdengar lebih catchy. Jika kebanyakan musisi menelurkan one-hit wonder terlebih dahulu, baru kemudian
menghasilkan lagu yang terkesan ‘biasa saja’, maka karya milik kuintet asal
Bandung ini adalah kebalikannya. Sebelum tenar lewat “Inikah Cinta”, M.E pernah
punya dua single yaitu “Ada Satu” dan “Kasih
Putih”. Dalam proses pembuatannya, kedua single ini melibatkan musisi kawakan Trie
Utami dan Purwa Tjaraka —namun tidak mencapai puncak kesuksesan layaknya
“Inikah Cinta”. Usia boyband ini tidak bertahan lama, karena
dua dari personel mereka —yang juga pasangan kakak & adik, Denny Saba dan
Didan Fitrasakti memutuskan untuk hengkang dan membentuk duo baru. Ketiga
personel lainnya —bersama tambahan satu personel baru, akhirnya membentuk grup
tandingan bernama Nine Seasons. Meski menempuh jalan berbeda, namun mereka
memiliki akhir yang sama: jeblok dan tak laku di pasaran. “Inikah Cinta”, juga
pernah digarap ulang oleh trio pop Ibu Kota, Ran, dengan sentuhan berbeda —dan
tentu saja: tidak melibatkan Shanty yang tampil menggoda sebagai penari latar,
sebagaimana yang pernah M.E lakukan di video klip aslinya.
9. “Hilang” — Garasi, Original Soundtrack
Garasi (2006)
Bagian terbaik: “Kurangkai
kata/kurangkai nada/yang ‘ku inginkan hanyalah cinta.”
Ada banyak soundtrack, yang
ketenarannya berbanding lurus dengan filmnya. Namun, seingat saya hanya Garasi yang mampu melahirkan soundtrack hit dengan melibatkan aktor dan
aktrisnya sendiri ke dalam sebuah grup band. Ayu Ratna, Fedi Nuril, dan Aries Budiman
adalah personel band Garasi yang juga tampil sebagai aktor dan aktris di film Garasi. Medio 2006, “Hilang” masih sering
berseliweran di beberapa stasiun radio dan MTV Indonesia, meski filmnya sendiri
sudah turun dari bioskop. Kekuatan lagu ini (selain karena campur tangan Abdee,
Indra Lesmana, dan Anang) terletak pada vokal Ayu Ratna yang berkarakter kuat.
Karakter ini bukan datang secara kebetulan, melainkan memang karena hasil
latihan; mengingat sebelum terjun ke dunia seni peran, Ayu memang seorang
vokalis band dan pernah lolos audisi ajang pencarian bakat —namun harus
tereliminasi, karena saat melaju ke babak selanjutnya ia menderita sakit. Ayu
hengkang pada 2009, dan sempat bersolo karir di Jepang, sebelum akhirnya
membentuk band elektro-rock, The Aiu. Karir Ayu nampak lebih bersinar di negeri
Sakura; terbukti ia berhasil masuk dalam album kompilasi Seasoning of Songs, bersama jajaran musisi indie
Jepang. Ngomong-ngomong, selain “Hilang”, sebetulnya Garasi punya hit lain di
album perdananya: “Hilang” versi solo-akustik.
8. “Apanya Dong” — Euis
Darliah, Apanya Dong (1982)
Bagian terbaik: “Apa apa apanya
dong/dang-ding-dong.”
Lagu gubahan Titiek Puspa
ini, bertanggung jawab atas merebaknya tren penggunaan kata “dong” dalam setiap
judul lagu periode ’80-an. Kebiasaaan Euis Darliah yang gemar tampil
gila-gilaan di panggung, mempengaruhi pembawaannya dalam menyanyikan lagu ini: sesekali
centil, santai, slengean, kemudian ditutup dengan vokal
menukik ala rock lady-rocker macam Nicky Astria. Lagunya
sendiri kental dengan iringan walking bass —yang
dipadu dengan ketukan patah-patah ala musik reggae. Berkat “Apanya Dong”,
eks-vokalis Antique Clique ini berhasil merasakan sukses komersial yang cukup
fantastis; penjualan albumnya sanggup menembus angka 1 juta keping. Pasca
meluncurkan album Apanya Dong, Euis sempat melempar single
“Apanya Dong 2” dan “Dicoba Dong”, tapi hasilnya seperti tebakan Anda semua:
tak pernah sukses di pasaran.
7. ”Kepompong” — Sind3ntosca, Tiduran, Tertidur, +
Bertelur ++ (2005)
Bagian terbaik: “Kini kita melangkah
berjauh-jauhan/kau jauhi diriku karena sesuatu.”
Lagu jujur, yang bercerita
tentang lika-liku persahabatan. Lagu ini terinspirasi dari kisah pribadi Jalu
Hikmat Fitriadi, satu-satunya personel —yang juga merangkap sebagai pencipta
lagu, pengaransemen musik, dan manajer band ini, dengan saudara sepupunya.
Karakter vokal Jalu yang gemar ber-falsetto, terdengar begitu tulus ketika
melantunkan bentuk kepedulian untuk seorang sahabat dalam lirik “Mungkin ‘ku terlalu
bertingkah kejauhan/namun itu karena ‘ku sayang.” Lagu ini, untuk kali
pertama diperdengarkan secara luas lewat jaringan Nu Buzz, dan kemudian menarik
perhatian stasiun radio Prambors. Setelah beberapa pekan rutin diputar di
Prambors —dan stasiun radio lokal lainnya, “Kepompong” juga dijadikan soundtrack untuk sinetron dengan judul yang
sama. Namun sayang, hasil kesuksesan lagu ini tidak begitu dirasakan oleh sang
empunya karya. Jalu, dikabarkan tidak mendapatkan royalti dari sinetron Kepompong dan hasil penjualan nada sambung
pribadi lagunya sendiri. Pasca munculnya kabar tragis tersebut, Sind3ntosca
tidak pernah terdengar lagi gaung karyanya.
6. “Bintang” — Air, Air (1999)
Bagian terbaik: “Bintang di
langit/kerlip engkau di sana/memberi cahayanya, di setiap insan.”
Salah satu anthem generasi ’90-an terbaik. Jika
kebanyakan band harus menuliskan lirik tentang cinta —sebagai formula sukses
lagunya, maka Air memilih untuk menjadikan keindahan semesta sebagai objek
inspirasi lagunya. Proyek ini melibatkan pasangan kakak-adik, Sintawati pada
departemen vokal dan Bambang “Bengbeng” Sutejo —yang lebih dulu dikenal sebagai
personel Pas Band, sebagai gitaris. Pada awal kemunculannya, video klip lagu
ini langsung mendapat tempat spesial di kalangan penikmat musik. Video yang
diambil dengan teknik one-shot, dengan sisipan teks jenaka di tengah
adegan dan warna-warni latarnya, adalah aneka alasan kenapa video klip lagu ini
mudah sekali untuk dikenang —bahkan setelah 15 tahun sejak peluncuran
pertamanya. Dari segi musikalitas, “Bintang” juga tidak asal-asalan; karakter
vokal manis, dikawinkan dengan kocokan gitar enerjik dan keseluruhan aransemen
yang minimalis. Yang paling menyenangkan dari lagu ini, adalah paduan suara
anak-anak di bagian intro, yang diiringi oleh bebunyian khas music box. Setelah sukses dengan album
pertamanya, Air sempat meluncurkan album kedua bertajuk Rairaka pada 2001. Lama menghilang, pada
awal tahun lalu —lewat akun Twitter resminya, Air menyatakan sedang menggarap
album ketiga dengan nomor andalan “Pelangi”.
5. “Kebebasan” – Singiku, Cerita Pagi (1996)
Bagian terbaik: “Ku
senang, ku senang/ku telah bebas/ku senang, ku senang dunia ini indah.”
Beberapa tahun lalu, saya
ingat sebuah percakapan dengan seorang kawan. Mungkin, dialog seperti ini juga
pernah Anda alami. Kurang lebih, kawan saya bertanya seperti ini:
“Kowe kelingan band sing
video klip’e Andara Early pas jaman isih cupu ra? Sing iku, sing lirike, ‘ku
senang/ku senang,’ iku lho.”
“Iyo, Jek. Singiku.”
“Iyo iku lirike, opo jeneng
band’e?”
‘Lha iyo, Singiku.”
*begitu terus sampai
berpekan-pekan*
Wiby, Pongky, dan Denny
merangsek muncul di tengah-tengah belantara pop ’90-an dengan mengusung aliran new-wave sebagai tajinya. Sesuai dengan
namanya, “Kebebasan” memang bercerita mengenai jalan hidup seorang gadis yang
baru saja bertemu dengan kebebasan. Penggambaran wanita lugu yang baru saja
mengenal ‘dunia luar’ ini, diperankan dengan baik oleh Andara Early dalam video
klip aslinya. Yang menjadikan lagu ini spesial, adalah keberanian Singiku untuk
bereksperimen dengan unsur musik elektronik modern sampai titik maksimal, namun
masih terdengar punchy. Tempo cepat yang diiringi dengan
irama walking-bass rapat dan sesekali disisipi sayatan
gitar yang tipis sebelum menuju reff, adalah salah satu bagian favorit
saya di “Kebebasan”. Dan ironisnya, elemen fundamental yang menjadi daya tarik
lagu ini dihilangkan secara biadab oleh Cinta Laura, saat membuat garap ulang
lagu ini empat tahun silam.
4. “Warik” — Last Few Minutes
(LFM), Waktu (1996)
Bagian terbaik: “Biarku melangkah/dengan sisa batin
yang terkulai.”
Apa jadinya jika seorang
maestro musikalisasi puisi, bergabung membentuk band dengan salah satu gitaris
rock terbaik dan pembetot bass band gothic rock? Jika Anda menebak akan ada
lirik puitis di dalamnya, Anda benar. Tapi jika Anda menebak, aransemen
musiknya akan terkesan menghentak dan tak jauh dari kategori ugal-ugalan, Anda
salah besar. 18 tahun silam, Ridho Hafiedz (Slank) dan Adam Joswara alias Adam
VlapVamp (Kubik/Koil) pernah tergabung dalam sebuah band bersama maestro
musikalisasi puisi, Ari Malibu. “Warik” bercerita tentang kisah seorang pria
yang ditolak olah sang tambatan hati, namun masih terkesan gagah dan jauh dari
nuansa melankolis. Sentuhan gitar akustik yang berpadu dengan irama perkusi,
justru membuat lagu ‘sedih’ ini menjadi terkesan ceria dan membuat pendengarnya
tidak terjebak dalam jurang kesedihan yang kelewat dalam. Dalam proses
penggarapannya, LFM melibatkan sentuhan penata musik top dalam negeri, Alm.
Billy J Budiharjo dan Aminoto Kosin. Sayang, selang setahun setelah merilis
album ini mereka membubarkan diri. Kedua personelnya –Ridho dan Adam, kini
berkonsentrasi bersama band barunya; sedangkan Ari Malibu konsisten berada di
jalur musikalisasi puisi dan sempat terdengar kembali gaungnya saat
memusikalisasikan puisi tenar gubahan Sapardi Djoko Damono, “Hujan Bulan
Juni”.
3. “Gubahanku” — Deddy Damhudi, Deddy Damhudi (1976)
Bagian terbaik: “Setahun kita
berpisah/sewindu terasa sudah.”
Jika Anda merasa asing ketika
mendengar judul lagu ini, percayalah, Anda tidak sendirian. Coba ketik judul
lagu ini di laman mesin pencarian Google, dan yang Anda dapat pasti pelbagai
versi “Gubahanku” yang dibawakan oleh banyak musisi tenar macam Koes Hendratmo,
Broery Marantika, Titik Sandora & Muchsin Alatas, sampai Siti Nurhaliza.
Bukan tanpa alasan, tembang ciptaan Gatot Soenjoto ini digarap ulang oleh
banyak musisi. Bagi saya, “Gubahanku” adalah salah satu lagu balad yang
berhasil membangun suasana sedemikian kelam, sehingga berhasil membuat para
pendengarnya bermuram durja sembari membayangkan betapa pilunya kisah cinta
yang menjadi inspirasi lagu ini. Pembawaan vokal Deddy yang sederhana, nampak
begitu padu saat menyanyikan lirik tulus macam, “Walau apa yang terjadi/tabahkan
hatimu selalu/jangan sampai kau tergoda/mulut manis yang berbisa.” Selain mendapat sambutan hangat
dari jajaran penikmat musik perode ’70-an, lagu ini juga pernah menorehkan
prestasi ciamik dengan menyabet posisi kedua dalam gelaran Pop Gong Festival ’73 —sebuah festival musik pop
berskala nasional yang tenar pada medio ’70 hingga ’80. Meski popularitas sang
empunya karya sudah tenggelam, namun tidak dengan lagunya. Buktinya, lagu ini
masih sering menjadi pilihan utama bagi para penikmat lagu lawas, tatkala
menelpon stasiun radio kesayangan mereka untuk sekedar mengirim salam sambil
mengajukan “Gubahanku” agar masuk daftar putar selanjutnya.
2. “Satu Jam Saja” — Asti
Asmodiwati, 10 Suara Emas
Remaja (1989)
Bagian terbaik: “Jangan
berakhir/ku ingin sebentar lagi/satu jam saja.”
Setelah mengalami kesuksesan
dengan ajang Lomba Cipta Lagu
Remaja, Prambors mengadakan
gelaran serupa dengan tajuk Lomba
Penyanyi Remaja. Sebagaimana Lomba Cipta Lagu Remaja, Lomba
Penyanyi Remaja juga
meluncurkan album kompilasi yang memuat talenta-talenta terbaik hasil deteksi
mereka. Pada 1989, 10 Suara
Emas Remaja berhasil
mencatatkan hasil penjualan yang cukup bagus; ini dikarenakan, 10 Suara Emas Remaja memuat salah satu single yang
cukup fenomenal, “Satu Jam Saja” milik Asti Asmodiwati. “Satu Jam Saja” adalah
lagu apik, yang mampu mengemas kompleksitas asmara ke dalam ungkapan sederhana.
Petikan gitar akustik dalam tempo lambat yang dikawinkan dengan lantunan flute
nan elegan pada awal pembukaan lagu, adalah salah satu magis lagu ini. Belum
lagi, vokal lirih Asti yang mampu mengajak pendengarnya untuk sama-sama
merenungi, tentang betapa pahitnya perkara putus cinta —dengan pendekatan yang
sederhana. Dan jangan lupa, “Satu Jam Saja” adalah lagu visioner yang menjadi
anomali tren lagu pada zamannya; kebanyakan dari kita, mungkin akan salah
menebak tahun rilis lagu ini, jika tidak menyimak diskografinya terlebih
dahulu. Lagu ini sendiri, dirilis pada akhir ’80-an; di mana badai ketukan
disko dan sisipan bebunyian musik elektronik, sedang berhembus
kencang-kencangnya. Tiga tahun berselang, Asti bekerjasama dengan Erwin Gutawa,
untuk merilis solo albumnya dengan tajuk Asti. Sayang, album ini tidak pernah
mencapai punjak kejayaan selayaknya karya Asti sebelumnya. Tak patah arang,
Asti kemudian merilis album Karena
Cinta, dengan menggandeng
Dorie Kalmas untuk departemen tata lagu. Sebagaimana Asti, Karena Cinta juga tidak bernasib baik di
pasaran. Bahkan ironisnya, salah satu lagu di album ini “Hasrat Cinta”, justru mendapat
kesuksesan ketika digarap ulang oleh Yana Julio beberapa tahun kemudian. “Satu
Jam Saja” juga pernah digarap ulang dengan apik oleh Audy dan Lala Karmela.
Sayangnya, dua dekade kemudian ada seorang pedangdut yang merilis lagu dengan
judul yang sama —hingga kadang memunculkan kerancuan. Tak perlu saya menyebut
nama penyanyi dangdutnya. Yang jelas, ketika sedang bergoyang, bagian pinggul
dan pantatnya terlihat indah betul; nikmat rupa, tapi tidak dengan suara.
1. “Tentang Aku” — Jingga, Tentang Aku (1996)
Bagian terbaik: “Cinta, cinta, harapan/dan ku
terbawa dalam kisah lama.”
“Tentang Aku” adalah salah
satu suvenir terbaik periode ’90-an. Saya kira, setiap elemen yang ada di lagu
ini, sulit untuk membuat Anda tidak jatuh cinta —bahkan pada kali pertama
mendengarnya. Duet Fe & Therry yang dibesut oleh Budhi Bidun ini, berhasil
membawa konsep duo-grup pop menjadi satu tingkat lebih apik. Dibuka dengan
ketukan drum machine klasik yang dihantam dengan lead
guitar Eet Syahranie,
“Tentang Aku” kemudian menyuguhkan perpaduan bunyi delay milik Eet dengan denting piano Therry
—yang melebur dengan karakter vokal datar Fe, sebagai sajian utamanya. Meski
terkesan datar dan biasa saja, bagian favorit saya justru saat Fe membawakan
lirik “teee—r-bawa dalam kisah lama” dengan
teknik vokal yang menukik. Pernah menonton video klip aslinya? Sungguh, terasa
ala ’90-an sekali. Adegan sang vokalis yang bernyanyi dengan latar berwarna
kelam, kemudian berpindah ke sebuah objek pariwisata, lalu diakhiri dengan
adegan semua personel memainkan instrumen masing-masing —saat lagu menginjak
bagian overtune. Setahun setelah memperoleh kesuksesan,
Jingga justru memilih untuk membubarkan diri. Santer terdengar, mereka bubar
karena ingin merampungkan jenjang perkuliahan; Therry tercatat sebagai
mahasiswa akuntansi, sedangkan Fe adalah mahasiswi desain grafis di Universitas
Trisakti. “Tentang Aku” pernah digarap ulang oleh Andien pada 2006, dan kembali
dinyanyikan oleh Fe bersama unit elektronik asal Jakarta, Ape On The Roof.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar