dialog legendaris jaman semono |
“Eh, mampir Indomaret sedhilit ya. Tak tuku rokok
karo Aqua. Kowe titip ra?”
“Ah ora,
rokokku isih. Ndang cepet ya, tak
enteni njobo.”
Sebatang rokok Gudang Garam dengan setia
menemani saya di halaman parkir, tatkala menanti seorang teman yang pamit untuk
beli rokok di dalam minimarket. Saya malas kalau harus ikut masuk. Bukan
apa-apa, meski teman saya ini hanya punya niat beli rokok, durasi dia ada di
dalam minimarket itu mungkin sama dengan durasi Ibu-Ibu yang sedang memilih
barang untuk belanja bulanan; tengok ini, tengok itu, cek harga A, bandingkan
dengan harga B — meski pada akhirnya, barang pertama yang ia sentuh juga lah
yang akan ia beli. Selain itu, tidak turun dari motor juga menghindarkan kalian
dari jerat Ninja Parkir, yang
seringkali mendadak muncul —entah dari mana asalnya, untuk minta uang parkir
saat hendak pergi meninggalkan tempat. Tak terasa, hampir 20 menit saya menanti
teman saya di luar; scrolling timeline, sembari
berjuang keras menahan diri untuk tidak tergoda dengan semerbak aroma surga
yang berasal dari gerobak martabak yang bersebelahan dengan saya.
“Cuk, ayo.”
“Ayo ndasmu.
Suwe men kowe mung tuku rokok, nyambi karo khataman Al-Quran opo piye neng
kono?”
“Enggggh….cengelmu
semphal. Ning njero antrine akeh mau Cuk.”
Singkat kata, kami berdua kemudian kembali
melanjutkan perjalanan. Namun sempat tebersit pertanyaan, “jika memang hanya
ingin membeli rokok dan air mineral, kenapa teman saya ini tidak memilih untuk
beli di kios rokok/toko kelontong yang jaraknya hanya berapa meter dari
Indomaret ini? Aneh.” Kita semua tentu tahu, kalau membeli rokok di kios
rokok/toko kelontong pasti akan terbebas dari antrean panjang. Apalagi, selisih
harganya juga cukup lumayan. Harga sebungkus Gudang Garam di kelontong, paling
mahal Rp. 11.000 —bandingkan saja dengan harga di minimarket, bisa sampai Rp.
11.800 atau Rp. 12.400. Memang hanya selisih Rp. 800 – Rp. 1.200, namun namanya
selisih tetap saja selisih. Lagipula, tidak ada yang bisa mengalahkan sensasi
beli rokok eceran tatkala kondisi keuangan sedang memprihatinkan, atau pinjam
korek api yang digantung menggunakan tali-karet untuk menyulut sebatang
pertama. Dan tentu saja, tatkala menyambangi minimarket, kita tidak akan bisa
menyapa si penjual dengan sapaan legendaris: “tumbaaaaaaaas.”
Jika didata, mungkin jawaban praktis dan
nyaman akan menempati posisi puncak dalam daftar alasan orang berbelanja di
minimarket; sekalipun barang yang ingin dibeli juga tersedia di warung
kelontong —dan juga lebih murah. Bagaimana tidak, di minimarket kita bisa
langsung membandingkan harga dan mengambil barang dalam varian yang jauh lebih
lengkap, tanpa perlu menunjuk dan menyebut nama barang yang ingin dibeli kepada
si penjual. Lagipula, di mana lagi kita bisa beli kondom sembari mengenakan
helm dan melewati proses transaksinya tanpa kebanyakan ba-bi-bu selain di minimarket?
Tak ada yang tak sepakat, jika kemudian saya
menyebut kehadiran minimarket ini semakin menjamur dari tahun ke tahun. Sebermula dari beberapa gerai dalam lingkup
satu kota; kemudian memperlebar sayap jadi beberapa gerai dalam satu kecamatan;
lalu bertambah banyak lagi menjadi tiap gerai dalam satu kelurahan. Bahkan
dalam beberapa kasus di kota-kota besar, minimarket ini sudah mulai masuk ke
komplek perumahan. Pernah Anda bayangkan sebelumnya, bahwa suatu saat
minimarket akan masuk ke pemukiman warga? Kalau belum pernah, Anda tidak
sendiri; saya pun demikian.
Di beberapa kota di Indonesia, fenomena
pertumbuhan jumlah minimarket yang gila-gilaan ini terjadi hampir secara
serentak. Pun di kota kelahiran saya, Solo. Sejak pertengahan 2012 hingga akhir
2013 lalu, Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu setidaknya menerima 60 pengajuan
izin pendirian minimarket baru, dengan 13 di antaranya juga mengajukan izin
untuk buka selama 24 jam. Itu saja, belum ditambah dengan jumlah minimarket
yang sudah duluan ada di beberapa titik di kota Solo. Meskipun pihak BPMPT mengklaim bahwa mereka
hanya akan meloloskan setengah dari jumlah pengajuan izin pendirian yang masuk,
namun bagi saya pribadi —dan mungkin diiyakan juga oleh warga Solo yang lain,
jumlah ini saja sudah cukup banyak. Pertanyaannya adalah, seperlu itukah kita
akan kehadiran minimarket?
Menengok ke belakang, sebetulnya kota ini
punya rekam jejak yang cukup baik dalam pengelolaan ritel modern. Pada era
kepemimpinan Joko Widodo (2005-2012), setidaknya jumlah pengajuan izin
pendirian ritel modern ini lebih gila-gilaan lagi: 12 pengajuan izin pendirian
mal dan 130 pengajuan izin pendirian minimarket. Dan berapa jumlah yang lolos izin?
Hanya dua mal dan 12 minimarket saja. Namun sepeninggal Jokowi, pembatasan ini
terkesan menjadi longgar. Padahal, ini jelas bersinggungan dengan proyek investasi
‘militansi ideologi’ pemkot waktu itu; di mana rakyat adalah pilar utama yang
berperan sebagai investor terbesar dalam total pendapatan daerah. Sebagai
contoh pada 2010 lalu, pendapatan asli daerah kota Solo yang terbesar justru disumbangkan
oleh sektor pedagang kaki lima dan usaha kecil menengah. Dengan kontribusi
sebesar Rp. 19,2 miliar, angka ini jauh melampaui kontribusi hotel (10 miliar),
iklan (6 miliar), parkir (1,8 miliar) dan restoran (5 miliar). Dan mirisnya,
sektor penyumbang pendapatan terbesar itu kini mulai terancam dengan hadirnya
retail modern. Dalam kasus yang sederhana saja, sudah banyak warung kelontong —bagian
dari usaha kecil menengah di kawasan pemukiman warga, yang kemudian harus
gulung tikar karena kalah bersaing dengan minimarket. Sad but true.
Padahal, rentetan perizinan yang harus
dilalui oleh investor untuk mendirikan sebuah minimarket tidak bisa disebut
mudah. Mengutip Adityo Setyawarman dalam “Pola Sebaran Dan Faktor – Faktor Yang
Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Retail Modern (Studi Kasus Kota Surakarta)”, ada
beberapa tahap yang harus dilalui untuk bisa mendirikan sebuah minimarket,
antara lain: IPR dan cetak peta, proses UKL/UPL, rembug dengan masyarakat, kajian Amdalin, IMB. Selain itu,
minimarket juga harus mengantongi rekomendasi dari Dinas UMKM untuk
mengakomodasi produk usaha kecil menengah, serta mengakomodasi tenaga kerja
lokal yang direkomendasikan oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Dinsosnakertrans). Apalagi, Perda No 5/2011 tentang Penataan dan Pembinaan
Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern mensyaratkan semua ritel modern —termasuk
minimarket, harus berjarak minimal 500 meter dari pasar tradisional. Dan bagi
minimarket yang ingin mengajukan izin buka 24 jam, harus berada di jalan
nasional dan jalan provinsi. Selain itu, minimarket 24 jam juga harus berada di
sekitaran Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan berada di kawasan Rumah
Sakit.
Terdengar rumit dan berbelit? Mungkin. Namun
tidak bagi pengusaha ritel modern. Bagi pengusaha ritel modern, ‘usaha’ bukan
hanya mencakup ketrampilan mengelola segala hal yang berbau finansial semata, namun
juga ketrampilan membaca peluang untuk melakukan tipu muslihat dengan
pihak-pihak tertentu —yang dianggap perlu.
Pada Oktober 2013 lalu, BPMPT merasa janggal (?) dengan pendirian sejumlah minimarket baru di beberapa titik di kota Solo. Diduga, para pengusaha ritel modern ini sengaja ‘menabrak’ deretan perizinan yang berbelit itu untuk menghindari proses yang bertele-tele. Kebanyakan pemilik minimarket anyar ini disinyalir baru memiliki surat pemanfaatan ruang dan cetak peta, padahal bangunannya sudah jadi dan beberapa bahkan sudah beroperasi. Mereka menganggap bahwa sisa proses perizinan lainnya bisa diurus sembari jalan, yang penting bangunan jadi dan beroperasi terlebih dahulu. Toh kalau saja dikenai sangsi, paling hanya membayar denda, tidak mungkin disegel dan dirubuhkan, wong bangunannya sudah jadi dan siap beroperasi. Kemlinthi!
Di beberapa tempat, saya bahkan menyaksikan
sendiri bagaimana Perda No 5/2011 ini ‘dikencingi’ sendiri oleh minimarket. Di
jalan Dr. Radjiman misalnya, ada minimarket baru yang hanya berjarak 450-460
meter dari pasar tradisional terdekat, Pasar Jongke. Tetangganya, Sukoharjo,
bahkan ketempatan dua minimarket dalam radius 1 km dan salah satu di antaranya
bahkan hanya berjarak kurang dari 200 m dari pasar tradisional terdekat, pasar Gentan.
Di Jagalan, Indomaret dan Alfamart berdekatan menjalin hubungan love-hate-relationship selayaknya Farhat
Abbas – Nia Daniaty dalam radius kurang dari 50 meter. Dan yang lebih biadab
lagi sewaktu saya indekos di Jakarta untuk urusan magang, saya menemui lima
sampai tujuh minimarket yang saling berdekatan di sepanjang jalan Bangka, yang
mana di situ juga terdapat pasar tradisional, Pasar Bangka. God bless Mart-Mart’an!
Dari segi dampak, tanpa perlu menggunakan
kajian yang terlalu njelimet pun sebetulnya
saya paham bahwa kehadiran minimarket ini tentu berimbas pada usaha kecil dan
juga pasar tradisional. Karena saya sempat menyaksikan sendiri, bagaimana belasan
warung kelontong di beberapa kampung yang saling berdekatan dengan kediaman
saya, perlahan gulung tikar karena ada dua minimarket baru di sekitar lingkungan
kami. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam skala kecil, kebanyakan dari
kami lebih memilih untuk berbelanja di minimarket meski dengan banderol yang
sedikit lebih mahal. Kalaupun masih ada warung kelontong yang buka, jumlah barang
yang tersedia di sana pun kini menurun drastis. Tidak selengkap dan sekomplit
biasanya —atau lebih tepatnya, sebelum kemunculan minimarket.
Di beberapa minimarket yang buka 24 jam, bahkan menyediakan tempat nongkrong. Yang ini, bahkan tidak bisa saya pahami lagi: konsep nongkrong di minimarket. Saya ingat, New York Times edisi Mei 2012 bahkan sempat mengangkat fenomena ‘nongkrong’ di minimarket ala orang Indonesia ini. Sang penulis, Sara Schohardt, menuliskan bahwa nongkrong di 7-Eleven —minimarket yang dijadikan objek observasi menunjukkan adanya penghapusan jenjang sosial di masyarakat. Bagi Sara, di mana lagi kita bisa menyaksikan motor Astrea berdampingan mesra dengan mobil Mercedes Benz di tempat parkir?
Tuhan memang menganugerahi bangsa Indonesia
dengan segala jenis keunikan. Pun dengan cabang 7-Eleven-nya —yang mana menjadi
satu-satunya gerai 7-Eleven di bagian dunia manapun yang menyediakan kursi dan
payung berukuran besar untuk tempat nongkrong. Karena hakikatnya, 7-Eleven di
negeri asalnya pun hanya ‘berfungsi’ sebagai minimarket biasa yang menyediakan
pelbagai kebutuhan sehari-hari. Bukannya saya anti nongkrong, saya justru
sangat menyukai kegiatan meeting-talking-and-doing
nothing tersebut, hanya saja saya memiliki tempat yang —bagi saya lebih menarik
untuk dijadikan tempat nongkrong, daripada harus berlama-lama berkumpul di
bawah lampu terang minimarket selayaknya laron. Daripada saya menghabiskan
belasan ribu hanya untuk berdandan necis menenteng sebotol minuman bersoda
beserta sebungkus kacang atau keripik dengan bonus saus-krim gratis yang bisa
di-refill sebanyak mungkin di
minimarket, saya lebih memilih untuk menghabiskan belasan ribu dalam jumlah
yang sama untuk duduk di wedhangan mengenakan
celana kolor dan jaket dari dealer motor untuk tanduk dalam berhala bernama bebakaran
sate jeroan penuh kolesterol. Sebut saya sebagai pemuda konservatif, tapi
kultur dan budaya keseharian pula lah yang membuat saya lebih nyaman untuk
melakukan ‘nongkrong’ dengan opsi kedua.
Kembali ke minimarket. Memang kurang pas jika
kemudian membandingkan minimarket dan angkringan sebagai opsi tempat nongkrong,
karena masing-masing memiliki pasar yang berbeda pula. Angkringan bukan
merupakan bentuk antitesis tempat nongktong dari minimarket, namun mungkin lebih
tepatnya sebagai alternatif substitusi. Lagipula, saya tidak sebegitu antinya kepada
minimarket. Jika saya butuh perlengkapan teng
plenyik saat melakukan perjalanan ke luar kota, mencari sekaleng bir
sebagai teman menonton bola di kala dini hari tiba, atau seketika butuh celana
dalam ekstra saat jarum jam menunjuk angka 2 dini hari, tentulah minimarket
menjadi opsi utamanya. Toh dari segi bisnis, minimarket
juga menyerap puluhan ribu tenaga kerja. Apalagi jika efek berantainya (multiplier effects) diperhitungkan,
kehidupan ratusan-ribu orang bertali-temali dengan bisnis ini.
Hanya saja jauh sebelum hiruk pikuk
minimarket ini hadir, sebetulnya toko kelontong dan pasar tradisional sudah
memiliki konsep berjualan yang kurang lebih serupa. Menjual kebutuhan
sehari-hari dan pendapatannya sangat bergantung kepada kehadiran pengunjung. Jika
berbicara efek berantai dari pasar tradisional, tidak kalah banyak orang yang
bertali-temali dengan pasar. Pernah pada pertengahan 2013 lalu, saya beserta
kawan-kawan kuliah membuat video feature tentang
kuli panggul Pasar Gede, dan menyaksikan sendiri bagaimana keterlibatan banyak
orang dalam proses transaksi, mulai dari skala jual-beli yang paling kecil. Pasar
tradisional merupakan representasi sempurna dari prinsip ekonomi kerakyatan
yang sempat menjadi fokus utama Jokowi-Rudy, karena di sana banyak varian usaha
mikro dan kecil memperdagangkan produknya. Hanya saja, jumlah modal memang
sering menjadi pembeda dalam kedua jenis usaha ini. Karenanya, saya rasa tak
adil jika kemudian usaha kecil seperti ini harus disandingkan dengan raksasa
ritel macam minimarket.
Pembeli juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan.
Mereka menjadi konsumtif, karena fasilitas untuk menunjang itu ada dan juga
dekat dengan lingkungannya. Adalah wajar, jika kemudian mereka lebih memilih
untuk berbelanja di tempat yang letaknya strategis, bersih, memiliki jenis
barang yang komplit, dan dilengkapi dengan fasilitas pendingin ruangan; daripada
harus berkubang di tempat belanja yang becek, kumuh, pengap dan juga tak nyaman.
Namun pertanyaanya adalah, berapa banyak dari kita yang terakhir kali
menginjakkan kaki di pasar tradisional —yang dicap sedemikian buruknya itu? Alangkah
naif dan bodoh, jika kemudian kita terjebak ke dalam persepsi seperti itu dalam
kurun waktu yang cukup lama, hanya karena ‘katanya’ dan jarene —tapi tak pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Statistik menunjukkan, Pemkot Solo baru saja
selesai merevitalisasi tiga pasar tradisional dengan dana Rp. 16,7 miliar pada
kurun waktu 2013. Dan ke depannya, 12 pasar tradisional (lima pasar pada 2014,
tujuh pasar pada 2015) lain juga sudah direncanakan untuk direvitalisasi. Ini
berarti, hampir setengah dari jumlah keseluruhan pasar tradisional di Solo, 43,
telah direvitalisasi. Tak ada lagi bangunan
becek, kumuh, pengap, dan tak nyaman. Menilik fakta tersebut, lagi-lagi
pertanyaannya adalah: kapan terakhir kali Anda menginjakkan kaki di pasar?
Dalam kasus ini, saya bermimpi pemerintah
kota di seluruh nusantara berani mengambil kebijakan tegas macam kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah kabupaten Sragen. Badan Perizinan Terpadu dan
Penanaman Modal Sragen memutuskan untuk tidak lagi mengeluarkan izin
pendirian minimarket atau pasar modern sejak awal tahun ini, karena cengkram
gurita minimarket yang berjumlah 30 gerai itu dirasa sudah kelewat banyak. Hal
ini juga bertujuan, untuk melindungi keberadaan pasar tradisional yang sudah
terlebih dahulu menjadi tumpuan masyarakat untuk berbelanja. Pembatasan
pertumbuhan gerai minimarket ini memang sudah seharusnya dilakukan pemerintah,
dan jangan diterjemahkan sebagai usaha untuk menghalangi orang berbisnis. Ini
bertujuan, untuk tidak membiarkan roda perekonomian dari hulu ke hilir hanya
dikuasai oleh segelintir orang dari perusahaan yang itu-itu saja. Karena tidak dapat dipungkiri, bahwa keberadaan toko
kelontong, pasar tradisional, dan warung-warung kecil telah menjadi tulang
punggung ekonomi pelaku usaha ekonomi mikro selama puluhan tahun. Di
titik inilah, pemerintah bekerja; baik sebagai regulator maupun pengelola negara.
Sebagai sesama kaum muda —yang seringkali
menjadikan minimarket sebagai destinasi utama untuk berbelanja, saya menyarankan
kepada Anda-Anda sekalian untuk mencoba menyambangi pasar. Asah kemampuan nego
kalian di sana, temukan pelbagai varian sayur yang tak pernah bisa kita temukan
di katalog promo bulanan yang dilempar dari depan pagar rumah, icipi aneka
jajanan kue pasar yang tak kalah nikmat dibanding kue warna-warna pelangi so-called premium seharga pulsa paket
internet bulanan itu. Coba. Lagipula, sudah tak terhitung berapa kali kasus
jatuh cinta dan momentum penemuan jodoh berasal dari tempat ini —setidaknya itu
yang saya lihat di beberapa episode FTV; “Cintaku Untuk Putri Bakul Brambang
Asem Sar Gedhe”, “Juragan Daging Segar Kesayanganku”, atau “Bronjong Sayur
Cinta” tidak terdengar terlalu buruk, bukan? Apalagi jika Ibunda tercinta mengajak
Anda untuk menemaninya pergi berbelanja di pasar; jangan sesekali lancang untuk
menolaknya. Tonton 15 menit terakhir Hello Ghost untuk cari tahu alasannya, and you’ll thank to me later.
selamat datang ke dalam era neolib.. bwahahaha
BalasHapustapi wong kene diarani neolib wegah sih.. padahal perilakune jelas jelas koyo ngono
Antek Sri Mulyani! 8)))
BalasHapus