So long, funny guy. |
Sore itu, saya dibangunkan Ibu.
Setelah percobaan ke sekian, akhirnya saya bangun. Masih setengah sadar, mata kriyip-kriyip, saya mendengar
sayup-sayup suara azan dari masjid di dekat rumah.
“Oalah, wis magrib to.”
Pikir saya, adalah hal wajar
kalau Ibu membangunkan anaknya ketika waktu magrib tiba. Pasti disuruh
buru-buru bangun, lalu salat. Maklum, waktu Magrib memang yang paling singkat
di antara waktu-waktu salat lainnya. Kalau saya masih klumbrak-klumbruk koyo kumbahan reget di atas kasur waktu magrib
tiba, tentu saja harga minyak dunia tidak akan melambung tinggi. Tapi ya itu,
paling besoknya nama saya sudah dicoret dari kartu keluarga. Dan itu jauh lebih
berbahaya.
“Le, bangun. Olga meninggal dunia.” Mak
jegagik. Saya langsung bangun, seketika nyawa saya terkumpul penuh.
Pertama, saya heran. Saya kira,
kalimat pertama yang bakal terucap waktu membangunkan saya—sama seperti
biasanya—itu, “Bangun, sudah anu* (*=
waktu shalat yang paling mendekati) lho. Ayo, keburu habis.” Kedua, siapa sosok Olga yang dimaksud Ibu?
Mengingat saya tidak punya kawan atau saudara dengan nama itu, pikiran saya
langsung merujuk kepada Olga Syahputra. Ketiga, kalau memang yang dimaksud
Olga Syahputra, tingkat urgensinya seberapa besar, sampai-sampai membangunkan
anaknya hanya untuk diberitahu berita duka artis—alih-alih perintah salat
magrib? Nah, ruwet to? Bangun tidur saja sudah punya tiga rumusan masalah.
Setelah bangun dan menyempatkan
untuk nonton tv sejenak, saya akhirnya tahu jawaban dari pertanyaan kedua; yang
meninggal memang Olga Syahputra. Kemarin memang ada hujan, pun ada angin, tapi
berita duka ini terasa mendadak betul. Kita semua tahu kalau Olga sedang sakit,
tapi karena tidak ada berita yang benar-benar akurat dan aktual, sedikit dari
kita yang tahu perkembangan kesehatannya selama beberapa bulan terakhir.
Seperti tebakan banyak orang,
berita kematian Olga tentu akan menghiasi media selama beberapa hari—bahkan
sampai beberapa pekan ke depan. Aneka tayangan di pelbagai stasiun tv,
berlomba-lomba menceritakan serba-serbi tentang Olga. Mulai dari tayangan
langsung pemakamannya, wawancara eksklusif dengan rekan-rekan terdekatnya, napak
tilas karir Olga di dunia hiburan, penelusuran rekam medis Olga di rumah sakit
di Singapura, hingga wawancara dengan petugas TPU yang mengebumikan Olga. Semua
lengkap.
Saat melihat tayangan-tayangan
itu, tiba-tiba saya teringat kalau Olga ini merupakan salah satu artis favorit
orang tua saya di rumah. Kemunculan Olga di layar kaca, adalah salah satu dari
sekian banyak hal yang bisa membuat Bapak dan Ibu bisa tertawa lepas. Saya coba
ingat-ingat lagi, dan saya masih belum bisa menemukan alasan yang menjadi
antitesis dari pernyataan saya sebelumnya. Memang betul, Olga Syahputra adalah
salah satu artis favorit kedua orang tua saya.
Saat Olga masih tampil di Dahsyat, Ibu selalu menjadikan kanal
stasiun tv berlambang siluet Rajawali—yang sejatinya lebih mirip manuk emprit—itu sebagai pilihan nomor
wahid. Beli sayur, minum jamu kunir langganan, jagongan sama tetangga, kemudian duduk anteng di depan tv sambil ketawa-ketiwi. Selalu begitu saban pagi.
Kalau sore, tak pasti. Tapi kalau menyempatkan diri nonton tv dan ndilalah ada Olga—entah di Pesbukers atau tayangan lain, Ibu pasti
beberapa kali ngakak. Nah kalau
malamnya, Bapak dan Ibu ini semacam duet maut di depan layar kaca. Kalau Avatar
bisa jadi pengendali air, api, tanah, dan udara, tapi kalau masuk rumah saya
pasti minder; kalah hebat dengan duet
Bapak dan Ibu yang jadi pengendali remot di malam hari. Kalau saya atau adik
kebetulan ada di rumah, kami juga ndak minat-minat
amat mau mengkudeta dominasi remot di rumah.
Bapak dan Ibu mau nonton YKS, monggo, mau nonton CHSI, monggo. Bakti sederhana kami—selain
selalu memilih makan siang di rumah dan jadi pegiat #SobatAntiNgiras—ya seperti
itu, mengikuti kehendak mereka berdua mau nonton apa, sembari mengiyakan dan
tidak berusaha membenarkan komentar mereka terkait kejanggalan adegan sinetron Indonesia,
atau model lawakan Olga. Yang penting lihat mereka berdua tertawa saja, saya
sudah senang bukan kepalang kok.
Kehadiran Olga di layar kaca
mulai dari pagi sampai malam, semacam guilty
pleasure bagi saya. Saya tak pernah suka dengan model lawakannya, tapi muskil
untuk tidak tertawa setiap melihat dia di layar kaca. Gestur dan perawakannya
yang gemulai, selalu saja bisa membuat saya tertawa. Kalau soal kebiasaanya
melempar joke yang cenderung
melecehkan orang lain, ya itu lain soal. Kadang saya berpikir, “Waduh,
kebangetan nih si Olga,” tapi terkadang saya juga tertawa terpingkal-pingkal
melihat banyolan Olga kepada obyek penderita. Gimana ya, wong kalau lagi kumpul sama kawan-kawan gitu saya juga suka becanda
nyacati kok. Entah ke teman, atau
orang tak dikenal yang kebetulan lewat. Apa yang dilakukan Olga, barangkali
juga kita lakukan—atau temui dalam pergaulan sehari-hari. Cuma bedanya, dia
menampilkan itu di layar kaca; sedangkan kita melakukan itu di kost, di burjo,
atau di emperan wedangan dengan
kawan-kawan.
Meski banyak yang mencibir,
Olga Syahputra tetaplah seorang entertainer.
Bagaimanapun juga, ia punya jasa menghibur banyak orang. Kalian boleh tidak
suka, tapi percayalah, di luar sana ada jutaan manusia yang bisa tertawa lepas
melihat tingkah laku Olga di layar kaca. Pun dengan Bapak—terlebih-lebih—Ibu
saya. Mereka berdua bisa sejenak melupakan pertanyaan, “Le, skripsimu piye?” kalau sudah megang remot sambil nonton Olga di
tv. Jal, kurang sangar piye cobo?
Saya rasa, kecintaan publik kepada
Olga bukan hanya karena sosoknya yang humoris. Selama ini, Olga memang dikenal
dermawan. Berdasarkan keterangan saudara, teman, dan manajernya, Olga memang
selalu memberi perhatian khusus kepada anak-anak yatim. Sejak karirnya meroket,
ia konsisten menyisihkan pendapatannya kepada yayasan amal yang ia percaya.
Orang lain tentu saja ada yang menyangsikan hal ini, “Cuma kalau ada sorotan
kamera aja jadi dermawan,” pikir mereka. Silakan saja, wong setiap orang berhak menyatakan pendapatnya. Tapi saya lebih
percaya dengan ucapan orang-orang terdekatnya, dibanding harus mengeluarkan
argumen bantahan yang ‘hanya’ disusun berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak
jelas. Selain itu, Olga juga dikenal tidak pelit rezeki kepada orang-orang
terdekatnya yang sedang meniti karir sebagai artis pendatang baru. Mulai dari
adiknya sendiri, Billy, sampai kawan-kawannya seperti Chand Kelvin, Tarra
Budiman, hingga Boiyen mengaku memiliki hutang budi kepada Olga—karena berjasa
mengorbitkan namanya ke panggung hiburan.
Tentu saja, saya memilih
menuliskan segala kebaikan Olga semasa ia masih hidup. Rasanya kurang ajar
betul, menambah kesedihan keluarga—dan mungkin orang banyak, dengan
mengungkit-ungkit keburukan Olga. Biar orang-orang aja yang gitu, saya sih
ogah. Cen sing paling penak ki mung nyacat
lan nyocot.
Terima kasih telah membuat Bapak dan Ibu
tertawa lepas mulai dari pagi sampai malam.
Seperti apa yang dibilang banyak
orang, sepertinya akhirat memang butuh hiburan.
Sebagai penutup, saya mau kasih
pantun.
***********
“Sapriiiiiii, ada pantun?”“Ada, Olga.”“Buat siapa?”“Buat elu! *emang iya* *emang begitu*Jonru curhat, Joko senyam-senyum*CAKEEEEP*Cengelmu njepat, koyo selang akuarium.
Kangen sosok olga :')
BalasHapus