"Mangan ra mangan sing penting gelut." |
Anda tahu, apa yang paling menyenangkan dari itu? Melihat bagaimana para pendukungnya menjadi hipersensitif, tatkala klub kesayangannya dijadikan bahan lelucon padahal musim baru berjalan satu laga. Coba anda lempar kelakar dengan nuansa sedikit menyindir kekalahan Arsenal kepada rekan Anda yang juga seorang The Gooners. Lihat, apa reaksinya?
Jika
kawan Anda juga menertawai kekalahan Arsenal dan mengkritik betapa rapuhnya
lini belakang dan tidak efektifnya skema serangan milik Wenger, selamat, Anda
punya kawan yang pantas untuk diajak ngobrol sampai menghabiskan bergelas-gelas
kopi ketika dimintai saran untuk keputusan terbaik tentang masa depan. Jika
kawan Anda kemudian naik pitam, mengeluarkan kata-kata kotor, dan sesumbar
bahwa “Ini baru satu laga, Bung! Lihat saja, di akhir musim kami akan
berpesta,” maka besar kemungkinan ada dua hal: kawan Anda itu pernah menjadi
penggemar Liverpool, atau obrolan dengan orang seperti ini cukup sampai kepada bahasan
mengenai perkembangan hal-hal nihil guna macam, “Semalam, siapa yang tersisih
dari ajang pencarian bakat yang menunjuk Saipul Jamil sebagai dewan juri?”
Tentu,
bicara tentang klub kesayangan adalah bicara soal kecintaan, loyalitas, dan
pengejawantahan nilai-nilai kesetiaan lainnya yang sulit diukur secara kasat
mata. Anda mungkin sesekali menyaksikan wanita cantik yang lengkap mengenakan
atribut Manchester United dari atas sampai bawah, kemudian berganti mengenakan
seragam Barcelona beberapa pekan kemudan—ketika menemukan kekasih baru dan
diajak nonton bareng bersama rekan-rekannya. Tentu tidak ada yang salah dari
itu, tapi sekali lagi, menakar loyalitas dan kesetiaan seorang penggemar klub
hanya dari apa—yang-bisa—kita—lihat adalah hal yang konyol, kalau disebut dungu
terasa kelewat ekstrim.
Dunia
maya, memfasilitasi kita semua untuk melakukan itu. Dari balik papan tuts,
monitor, dan layar ponsel kita berlomba-lomba untuk menunjukkan bukti kecintaan
kepada klub kesayangan. Mulai dari username, bio, avatar, kicauan, seperti
harus menyuarakan dukungan selama 24/7 untuk dapat menyandang gelar suporter
paling sejati. Seolah-olah, ia yang rela menggadaikan jam tidur dan berhadapan
dengan kantuk luar biasa hebat di kantor—karena semalam menyaksikan tim
kesayangannya bertanding, adalah orang yang tidak pernah membuktikan rasa cinta
untuk klub kesayangannya.
Sekali
lagi, tidak ada yang salah dengan itu. Semua penggemar berhak untuk
mengungkapkan kecintaannya dengan cara apapun selama tidak merugikan orang
lain. Namun, beda ceritanya ketika ia terus memamerkan bentuk kecintaannya itu
kepada orang lain—yang sejatinya tidak peduli-peduli amat, dan memaksakan
pendapat kepada khalayak bahwa klub kesayangannya tidak seperti yang dipikirkan
banyak orang.
Perdebatan
tentang siapa yang lebih baik dimulai. Semua bicara sejarah, semua bicara
raihan trofi, semua bicara siapa yang lebih baik dari siapa, tapi sedikit yang
tertarik untuk membahas bagaimana menariknya pertandingan itu sendiri. Entah
dari komposisi pemain, racikan strategi, atmosfer laga, atau hal-hal menarik lainnya.
Bahasan seperti itu tentu jauh lebih memiliki nilai guna, sebab akan membawa
kita pada keterbukaan pikiran dan kelimpahan wawasan. Tidak seperti bahasan pertama,
yang justru membawa perdebatan pada labirin tak berujung, sebagaimana yang
dilakukan banyak orang ketika membandingkan Isyana Sarasvati dan Raisa Andriana.
Kenapa harus membuktikan siapa yang terbaik, jika mampu menikmati segala macam
keindahan dari biduanita itu pada saat yang bersamaan?
Namun,
ejekan dan sindiran itu tetap diperlukan dalam sepakbola. Kedua elemen itu
seringkali membuat pertandingan menjadi berlipat-lipat jauh lebih menarik,
karena membuat rasa penasaran dan geregetan akan terus muncul, sehingga tensi
pertandingan jauh lebih terasa. Panas? Pasti. Melakukan pembelaan demi harga
diri klub yang ribuan kilometer jaraknya dari tempat kita berdiri? Entah. Semua
orang punya cara masing-masing untuk mengungkapkan kecintaan, dan memilih untuk
menanggapinya secara elegan tentu punyai nilai lebih tersendiri.
Jika
kolom komentar artikel ini nantinya akan dipenuhi argumentasi dengan nada-nada
kebencian, atau perdebatan tentang siapa yang paling loyal dan klub mana yang
terbaik, sapa yang bersangkutan dengan sebuah pesan singkat yang mengutip salah
satu judul hit milik Pure Saturday di album Utopia
pada 1999 silam,
Eh, pertamax, ya? Haha.
BalasHapusBaca ini, saya jadi teringat kolom bio akun @PLESETANBOLA di Twitter. Hehe