"Wis, ngalamat sarapan sego nget-ngetan ki" - Messi kepada bandar. |
Bagi siapapun yang mengikuti perkembangan dunia anime,
mungkin tidak begitu asing dengan judul di atas. Ya, judul di atas adalah salah
satu judul chapter di komik 'Yu-Gi-Oh', yang dirilis dalam versi komik seri
ke-20, dengan judul "The Pressuring God."
Saya tentu tidak akan panjang lebar bercerita tentang
bagaimana jalan cerita komik karangan Kazuki Takahashi itu. Tapi, kiranya ada
sebuah kemiripan antara alur cerita di chapter itu, yang bisa merefleksikan
pertandingan antara Milan vs Barca semalam.
"Revival Slime vs Osiris" bercerita tentang
bagaimana sebuah monster card yang memiliki attack poin 1500 dan defense poin
500 ― sebuah nominal yang
kecil di ranah battle card yu-gi-oh ― memenangkan duel melawan kartu berlabel 'dewa' yaitu
Saint Dragon The God of Osiris. Osiris tak memiliki nominal poin, di kartunya
hanya terpampang X000. Akan tetapi, dia bukan dipanggil 'dewa' tanpa sebab. 'X'
di attack/defense poin-nya adalah angka yang merujuk jumlah kartu yang ada di
deck lawan. Semakin banyak kartu yang keluar, semakin tinggi nominal angka 'X'
yang ada di attack/defense poin.
Di atas kertas, Revival Slime tak mungkin bisa menang
melawan Osiris. Sama seperti halnya Dewa buatan Ahmad Dhani, Dewa di card duel
Yu-Gi-Oh pun punya kelemahan. Di card duel Yu-Gi-Oh, seorang duelist harus
tetap memiliki kartu di deck-nya, sebagai syarat meneruskan pertandingan. Di
duel itu, Osiris kewalahan menghadapi Revival Slime defense mode yang
dibentengi oleh card trap Defense Slime & Repayment of Life. Kedua card
trap ini adalah kunci, di mana setiap serangan dari Osiris akan 'dimentahkan'
oleh defense slime dan kemudian menjadi mubadzir, karena Repayment of Life
membuat kedua pemain di harus membuang 3 kartu ke graveyard setiap kali
gilirannya datang. Combo ini terus berulang, sampai akhirnya Osiris mencapai
attack poin 28.000, tapi menyisakan 0 kartu di deck-nya. Yugi Mutou 1 - 0
Malik.
Pun dengan pertandingan Milan - Barcelona semalam.
Datang ke San Siro dengan penuh keyakinan karena
menyandang gelar sebagai pemuncak klasemen di fase group UCL dan pemuncak
klasemen di La-Liga, Barcelona seolah-oleh datang ke Milan hanya untuk berlibur
& berbelanja kebutuhan fashion team, yang kemudian disisipi agenda
pemanasan ringan melawan El Shaarawy & friends FC oleh manajemen tim.
A.C Milan pun sebetulnya tak jauh berbeda dengan
Barcelona. Mengawali musim dengan start terburuk dalam 2 dekade terakhir ― hingga akhirnya sempat nangkring di posisi 7 klasemen
―, mereka perlahan
tapi pasti mulai menunjukkan jati dirinya dengan merangkak naik ke posisi 3
klasifika. Moral tim pun sedang bagus, karena pasca kedatangan si bengal
Balotelli, tim ini terus memetik hasil positif di liga.
Tapi, semua keberhasilan itu nampak tidak berarti jika
dihadapkan dengan kedigdayaan pasukan Catalan. Ibarat sukses penjualan single
album Cakra Khan yang meledak laris di pasaran Indonesia, single itu hanya akan
menjadi olok-olok & backsong tvc obat pelega tenggorokan di ranah yang jadi
kiblat industri musik dunia, Amerika & UK. Keberhasilan pelakunya di ranah
masing-masing, memiliki standar yang sungguh jauh berbeda.
Sebelum pertandingan dimulai, sulit bagi saya untuk
menentukan kepada siapa dukungan saya berlabuh. Di satu sisi, Milan adalah
salah satu tim yang saya benci di Serie-A, karena selalu menyulitkan langkah
Juve dalam perburuan gelar (lebih-lebih ke Mexes & Boateng). Namun, di satu
sisi saya juga tak ingin melihat nama belakang saya menang, karena jujur saja
saya sudah bosan melihat dominasi Barcelona di setiap kompetisi yang mereka ikuti.
Namun untuk sesaat, akal sehat saya ikut berperan
untuk mengalamatkan dukungan di match kali ini.
Kemenangan Milan di San Siro, tentu akan memuluskan
langkah mereka ke babak perempat final UCL. Jika skenario ini berjalan lancar,
bersama Juventus mereka akan menambah nilai plus serie-A di koefisien liga
peserta UCL. Seperti yang kita ketahui, semenjak terlempar dari top three liga
Eropa, serie-A praktis hanya boleh mengirimkan 3 wakilnya di kancah UCL.
Imbasnya, pemain dengan label 'top' tak lagi sering kita dengar seliweran di
mercato, selayaknya apa yang biasa tim-tim besar Italia lakukan pada periode
90- 2000'an awal. Jadi, kemulusan langkah 2 wakil Italia di UCL adalah mutlak,
apabila mereka mengharapkan kejayaan serie-A kembali lagi seperti dulu.
Saat mengetahui Allegri menerapkan formasi 4-4-3, hal
pertama yang saya cari adalah: di mana dia menempatkan Boateng. Allegri cukup
waras dengan menempatkan dia sebagai winger, bukan sebagai trequartista seperti
biasanya di 4-3-1-2. Jujur, melihat dia mengenakan nomer 10 dan bermain sebagai
treq di Milan, bagi saya merupakan salah satu bentuk penghinaan untuk Rui Costa
dan Seedorf. Selain karena dia tak memiliki skill pemain tipikal classic number
ten ― visi, holding ball,
akurasi passing di atas rata-rata ― seperti biasa, dia adalah salah satu pemain
ter-tengil di dalam tim. Menantikan headline "Ballotelli vs Boateng"
di laman La Gazetta Dello Sport, hanya jadi bom waktu buat saya.
Mengawali laga dengan terus menekan sepanjang
pertandingan, Barcelona nampak memberi angin segar kepada fans-nya di seluruh
dunia yang gemar ber-#ViscaBarca di manapun mereka sanggup menuliskannya itu.
Seakan mereka berkata "tenang, di babak kedua kita baik hati ga ngejebol
Abbiati lebih dari 3 gol".
Tapi alih-alih mencuri gol, justru mereka lah yang
kebobolan terlebih dulu. Boateng memanfaatkan dengan baik, assist dari Kobe
"Zapata" Bryant. Sesuatu yang membuat timeline saya dipenuhi dengan
tulisan "wasit asu! wasit goblok, atau wasit dibayar!"
Jika Milan adalah Revival Slime, maka boleh dibilang
Massimo Ambrosini adalah Defense Slime Milan. Lihat bagaimana dia membuat Xavi
- Iniesta tak lagi tampil selayaknya pasangan emas Tsubasa - Misaki, namun
lebih seperti jebolan Primavera yang baru saja menjalani laga debut di liga
profesional. Ambrosini memang tak seperti Montolivo, yang terlihat berandil
besar dalam skema serangan Milan, namun ketika Milan dalam posisi bertahan, dia
tahu harus berbuat apa. Hanya berhasil membuat 9 dari rataan biasanya yang
mencapai 30 touches/match, dan menghibahkannya secara ikhlas ke Messi 1 dari
kebiasaan 6 touches/match, adalah bukti betapa 'seret'-nya suplai bola dari
lini kedua Barca. Dan sekali lagi, Ambrosini yang paling bertanggung jawab atas
statistik ini.
Gol dari Muntari, seakan mengukuhkan pendapat para
pengamat yang meragukan posisi Pique di best starting-XI FIFA kemarin. Lubang
menganga yang dia buat, tak lagi disia-siakan oleh Muntari. Mungkin dia belajar
banyak dari pertemuan Juventus - Milan season lalu. Setelah laga, kini dia tak
lagi trauma dengan siapapun yang berteriak 'oit! Dapet salam dari hakim garis
tuh!' kepadanya.
Tapi Barca tetaplah Barca. Sekalipun kalah, mereka
harus punya nilai lebih yang mungkin bisa diunggul-unggulkan oleh remaja
ber-#ViscaBarca. Barca unggul jauh dalam ball possesion, dibanding Milan.
Rataan mereka mencapai angka 66% ― meleset 4% dari perkiraan orang-orang ― dan menyisakan 34% sisanya untuk AC Milan. Seperti
kebanyakan team yang doyan ber-false-nine-ria, unggul penguasaan bola adalah
wajib fardlu, tampil menghibur sembari kutak-katik-umpan-satu-sentuhan atau
biasa disebut "Tiki-Taka" adalah sunnah muakad. Sedangkan kemenangan
adalah makruh. Sungguh berbeda dengan filosofi permainan Milan pada malam itu.
Jauh dari kategori 'menghibur', menempatkan 9 pemain
di daerah pertahanan sembari menyisakan 1 prima punta di depan, kalah jauh di
penguasaan bola, adalah salah satu alasan yang menyebabkan penikmat bola di
seluruh dunia mengambil kopi 3 sendok lebih banyak saat jeda babak pertama
kemarin. Milan sungguh jauh dari kata 'berbahaya'. Catenaccio/Zone Press Up
Match System atau apapun itu namanya, memang seperti raut muka Sultan
Bhatoegana: tak pernah sedap dipandang mata. Namun, strategi ini sangat efektif
ketika menghadapi Barca yang sering lupa diri menerapkan all-out-attack. Lihat
bagaimana Inter 09/10, Chelsea 11/12, Celtic 12/13 berhasil meredam 'amukan'
Messi dkk. Berlama-lama menahan bola di daerah aman sembari menumpuk pemain
bertahan, terbukti ampuh ketika berhadapan dengan gempuran L1 - X - X - L1 -X -
△ milik Barca. Allegri
kini bergabung bersama Mourinho, Di Matteo, dan Lennon, sebagai penasehat
Jokowi untuk memperbaiki kualitas armada bus Transjakarta dalam 5 tahun ke
depan.
Setelah laga, Allegri merayakan euphoria ini dengan
berkunjung ke salah satu kafe di kota Milan. Ketika baru saja membuka pintu
masuk, seisi pengunjung kafe memberikan tepuk tangan sebagai bentuk penghargaan
atas kejeniusannya di laga semalam. Sungguh, bertentangan dengan sikap
supporter mereka di awal musim yang menginginkan Allegri pergi setelah memetik
rentetan hasil buruk di kompetisi dalam negeri.
Barca sang Osiris pun tumbang di hadapan Revival
Slime, A.C Milan. Tim yang dianggap terbaik di dunia dalam 2 dasawarsa
terakhir, tunduk di hadapan tim yang diklaim sebagai skuad-terburuk-dalam-sejarah-klub
di 2 dasawarsa terakhir pula. Siapapun yang dianggap 'dewa', pastilah tetap
memiliki celah, dan Allegri paham benar bagaimana memanfaatkan titik lemah
tersebut. Pazzini - Boateng - Muntari - Mexes - Abate pun seakan memberi bukti,
bahwa Milan tak lagi perlu Van Basten - Seedorf - Rijkaard - Tasotti - Maldini,
hanya untuk mempertahankan harga diri tim. Ketika mereka diberi arahan dan
porsi yang mumpuni, status 'medioker' yang mereka sandang pun seakan menjadi
tak penting lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar