The 'Invisible Hand', Ambrose |
Glasgow Celtic menjamu Juventus
dengan penuh keyakinan. Bagaimana tidak, dari 23 pertandingannya di Eropa,
mereka hanya 2 kali kalah di Celtic
Park. Dan hanya pasukan
Catalan saja yang berhasil membukukan kemenangan di sana. Belum lagi ditambah dengan hadirnya
60.000 supporter mereka yang terkenal militan dan tak arogan, karena tak pernah
mengklaim “You’ll Never Walk Alone” sebagai satu-satunya
chant-yang-hanya-boleh-dinyanyikan-eksklusif-oleh-mereka. Jangan lupakan juga,
bahwa di fase group, Celtic berhasil menumbangkan Barcelona -satu satunya tim Eropa yang berhasil
mencatatkan kemenangan saat melawat ke Celtic Park- dengan skor 2-1. Sebuah laga dramatis yang
berhasil membuat Rod Stewart berhasil menitikkan air mata, selayaknya dia baru
saja melebihi pencapaiannya memenangkan Grammy pertamanya di tahun 2005.
Tetapi Juventus tetaplah
Juventus.
Saat di bawah tekanan, entah
kenapa Juventus selalu tampil justru di luar perkiraan. Grinta-nya yang terkenal itu, selalu berhasil membalikkan ekspektasi
penikmat bola di berbagai belahan dunia. Masih ingat jelas dalam ingatan saya, ketika
mereka mengawali laga pertama UCL –setelah absen selama 3 tahun berturut-turut-
melawan sang juara bertahan, Chelsea, di Stamford Bridge. Comeback setelah tertinggal 2-0 di London adaalah bukti, bahwa mereka bukan
tanpa alasan pantas mengagung-agungkan jargon Lo Spirito Juve. Pun dengan laga di Turin,
yang kemudian berhasil membantu Abrahamovic untuk menemukan alasan melengserkan
Di Matteo dari singgasana kepelatihan Chelsea.
Juve berhasil membuat Chelsea
tampil selayaknya sekolah sepakbola U-14, yang baru coba-coba-berhadiah untuk
ikut kompetisi Danone Cup di Paris.
Mereka dipermalukan secara biadab dengan skor 3-0 di Juventus Stadium.
Prediksi banyak orang bahwa
Celtic akan menyulitkan Juventus terbukti benar adanya. Tapi mereka lupa,
‘menyulitkan’ dengan ‘menumbangkan’ adalah dua kata yang jauh berbeda maknanya.
Secara keseluruhan, Celtic memang benar-benar menyulitkan Juventus di sepanjang
’90 menit pertandingan. Tapi tidak dengan predikat menumbangkan. Karena pada
akhirnya, skor 0-3 berhasil dibukukan Juventus di papan skor Celtic Park.
First Half
Memasuki menit ke 3, sebuah
long-pass dari Peluso berhasil disambut dengan sundulan-lemah-tak-terarah ke kotak
penalti oleh Matri. Bola yang seharusnya dibuang dengan mudah oleh kiper/pemain
belakang manapun itu, malah hanya ditonton dan disambut Forster dengan pelan
dan lemah lembut. Tak ayal, Matri yang sepersekian-detik lebih cepat menyambut
bola muntah tadi, berhasil mengkolong Foster. Meskipun pada akhirnya bola yang
sudah melewati kedua paha Forster dan garis itu dibuang lagi oleh pemain
Celtic, namun Marchisio seakan memantapkan keabsahan gol Matri, dengan
memasukkan bola tepat ke arah jaring gawang. Belakangan baru diketahui, bahwa
Forster sangat mengidolakan Pepe Reina dan Victor Valdes, sehingga kita tidak
perlu heran dari mana datangnya ‘talenta’ tersebut berasal. Papan skor sempat
mencatatkan nama Marchisio sebagai pencetak gol, hingga beberapa menit kemudian
UEFA meralat dan menghadiahkan gol tersebut kepada Matri. Sebuah kejadian yang
tentu saja membuat Muntari kesal bukan kepalang..
Selepas Matri mencetak gol,
Celtic memberikan pressing gila-gilaan pada Juventus. Hampir semua pemain Celtic
selalu ikut naik ke depan saat mereka menyerang. Pun saat mereka bertahan,
mereka sama sekali tidak memberi ruang pada lini tengah Juventus. Dengan
kondisi demikian, mau tidak mau Conte harus fokus untuk melakukan serangan
lewat rangkaian counter attack dan
suplai bola-bola atas. Terbukti rataan aerial
pass Juventus mencapai angka 60%, unggul jauh dibanding Celtic yang hanya
mencapai angka 40%. Sepanjang berlangsungnya babak I, ada 3 pemain Celtic yang
membuat saya enggan memalingkan perhatian dari mereka..
Pertama, Scott Brown. Duelnya di
lini tengah bersama Pirlo, terlalu menyenangkan untuk dilewatkan. Melihat
bagaimana dia mengkawal Pirlo dalam jangkauan area-nya, mengingatkan saya pada
Paspampres yang selalu ada paling tidak 2 meter saat Presiden berada. Bersama
Oscar edisi Stamford
Bridge, Brown adalah
salah satu orang yang berhasil masuk jajaran Paspampir (Pasukan Perngaman Pirlo) di kancah UCL. Memang kehadiran
Paspampir ini mutlak diperlukan oleh siapapun lawan yang berhadapan dengan
Juventus. Karena arus serangan Juventus, hampir semua berawal dari pergerakan
Pirlo. Dan ketika babak 1 berlangsung kemarin, Brown cukup sukses melakukan
tugasnya.
Kedua, Kris Commons.
Karena Samaras absen, praktis dia bersama Hooper yang menjadi tumpuan serangan
Celtic. Tercatat dia berhasil membukukan 7 shots
on target, dari 17 total shots ke lini pertahanan Juventus. Tapi entah
amnesia atau bagaimana, nampaknya Kris
Commons lupa kalo penjaga
gawang Juventus itu Gianlugi Buffon, bukan Markus Horison. Tendangan biasa-biasa
saja tidak cukup membuat gol bersarang ke gawangnya. Gigi tercatat berhasil
membuat 5 blocks, dan membuat semua
tendangan ke arah gawang dari pemain Celtic nampak seperti sesi latihan shoting
klub semenjana Eropa.
Ketiga, tentu saja Gary Hooper.
Striker berperawakan kekar nan sangar selayaknya Debt Collector Adira ini harus
merengek cengeng kepada wasit, setiap kali ia berada di kotak penalti.
Alasannya jelas: karena ia merasa ‘direcoki’ oleh Stephan Lichsteiner, saat ingin
mengganggu konsentrasi Buffon ketika corner kick berlangsung. Drama antara The
Swiss Train dan Hooper ini berlanjut sampai peluit panjang pertandingan, di
mana Celtic menciptakan 10 peluang tendangan sudut. Setelah laga, Lichsteiner berkata bahwa ia
dan rekan-rekannya telah mempelajari setiap pertandingan Celtic di UCL, dan
mendapati fakta bahwa mereka sangat berbahaya dari set pieces terlebih-lebih corner kick. 40% gol mereka di Eropa berawal
dari sana. Yang
biasa Celtic lakukan adalah: mengganggu konsentrasi kiper, sehingga pemain bisa
‘bebas’ memanfaatkan kelengahan daerah pertahanan lawan. Maka tidak heran bila
kemudian Licht berusaha mati-matian melindungi dan menjauhkan Hooper dari
jangkauan Buffon. There’s no hope for Hooper.
Secara keseluruhan babak I,
Celtic mendominasi jalannya pertandingan. Juve hanya sesekali nampak berbahaya
saat mereka melangsungkan counter attack.
Itupun seringkali kemudian dipatahkan lini ke-dua Celtic, mengingat mereka
menerapkan pressing gila-gilaan yang membuat suplai bola dari lini tengah ke
depan terbatas. Pirlo-Vidal-Marchisio tidak begitu banyak diberi ruang malam
itu.
Second Half
Tidak ada pergantian dari kedua
kubu. Nampaknya masing-masing tim masih nyaman dengan taktik yang mereka
terapkan di babak I. Lennon masih gemar menginstrusikan anak buahnya untuk
terus berlari sepanjang pertandingan, dan Conte lebih memilih untuk tetap
menginstuksikan anak buahnya agar tetap ‘santai’ sambil sesekali memberikan
ancaman lewat counter attack.
Namun sebenarnya malapetaka
Celtic dimulai dari sini.
Seperti kebanyakan tim dari
dataran Britania Raya, Celtic juga gemar bermain ‘lari-larian’ seperti yang
lain. Mereka terus berlari kemanapun bola pergi, memberikan pressing sepanjang pertandingan, kerap
menciptakan peluang, dan tampil mendominasi selayaknya tim yang sudah pasti
bakal menang. Dan tentu saja, hal seperti ini sangat disukai oleh tim-tim
Italia yang gemar bermain ‘lambat’, dan sangat bertumpu pada kecerdasan pelatih
lewat keahlian membaca strategi.
Itulah yang kemudian menjadi
malapetaka Celtic. Tampil menekan dan jor-joran sepanjang pertandingan, memang
harus mengorbankan sesuatu sebagai konsekuensinya. Dalam hal ini, Celtic lebih
memilih mengorbankan ‘stamina’, dibanding harus mendesak pelatihnya berhenti
berteriak kesetanan dari pinggir lapangan, untuk segera menemukan racikan pas demi
menarik pemain Juventus keluar ‘sarang’. Mereka tidak belajar dari Chelsea
–yang sama-sama berasal dari Britania Raya, sama-sama gemar berlarian sepanjang
pertandingan, sama-sama gemar mengecewakan pendukungnya juga- yang 2 kali dibobol Juventus di 10 menit
menuju pertandingan usai. Saat pertandingan nampak sudah berakhir 2-1 untuk Chelsea, Quagliarella
tiba-tiba masuk dan menyarangkan gol di menit ’86. Bahkan dia hampir mencatatkan
namanya di papan skor 3 menit kemudian, bila tendangannya tidak membentur
mistar gawang. Pun dengan Giovinco di Turin, yang berhasil menjebol gawang Petr
Cech saat pertandingan tinggal menyisakan beberapa menit lagi. Juventus
benar-benar mengajarkan pada mereka, bahwa kehilangan stamina dan konsentrasi
pada saat yang bersamaan adalah sesuatu yang buruk di sepakbola.
Benar saja, ketika babak kedua
berjalan 20 menit, Celtic seakan ‘kehabisan’ bahan bakar. Pirlo memang masih
dikawal dengan baik oleh Brown, tapi Juventus bukan hanya Pirlo seorang. Juve
punya Vidal dan Marchisio, yang sama baiknya ketika menyerang dan
bertahan, Vidal bahkan mencatatkan 4
tackles, jauh lebih banyak dibanding trio Bonucci-Barzagli-Caceres. Ketika
Celtic kehabisan stamina untuk memberikan pressing di lini tengah Juve,
perlahan-lahan Marchiso & Vidal mulai menggerogoti ruang kosong yang dengan
murah hati dibuka oleh Celtic.
Dominasi Juventus di paruh babak
kedua, berbanding lurus dengan bertambahnya menit-demi-menit jalannya
pertandingan. Saat laga memasuki menit ke 77, Marchisio seakan minta jatah
preman ke Matri atas kepemilikan gol pertama yang sudah dihibahkan ke dirinya. Seakan
tak bisa menolak, Matri pun memberikan upeti berupa sodoran assist ke
Marchisio, yang kemudian diteruskan gocekan ciamik yang berhasil mengecoh
Ambrose, untuk kemudian dilanjutkan dengan sebuah tendangan keras ke arah
gawang. Gol. Skor 0-2 untuk Juventus.
Alih-alih ingin memperkuat lini
pertahanan sembari menjaga perasaan 60.00 fans Celtic yang merelakan uangnya
untuk beli tiket dan nonton pertandingan di Celtic Park agar tidak tersakiti
terlalu jauh (p.s: setelah gol ke dua, Celtic Park untuk sesaat menjadi sunyi
senyap karena supporter mereka tidak lagi bernyanyi. Chant mereka kalah keras dibanding cori 3000 fans Juventus yang melawat ke Glasgow. Parahnya lagi, sebagian dari mereka
sudah pulang sebelum laga berakhir), Conte menarik keluar Matri, dan
menggantinya dengan Paul Pogba. Indikasi Conte jelas; memperkuat lini
pertahanan agar Celtic tidak memiliki deposit gol saat melawat ke Turin. Sesuatu yang
acapkali dilakukan oleh tim tuan rumah. Namun apa daya ketika Conte
berkehendak, sesaat kemudian Amborse (lagi-lagi) mengaburkannya. Niat Conte
untuk mempertahankan keunggulan 0-2, nampaknya tak disetujui oleh lini belakang
Celtic yang menganut filsafah anak muda Jawa’ Edan-edan sisan, totalitas / jadi gila jangan nanggung, yang
totalitas’. Mereka dengan baik hatinya mempersilakan Vucinic untuk meyakinkan
Forster, bahwa mengidolakan Pepe Reina adalah sebuah kesalahan besar dalam
hidupnya. Skor berubah menjadi 0-3 untuk Juventus. Dan yang mencengangkan, ini
merupakan shots on target Juventus
yang ke empat, dan tiga di antaranya berbuah menjadi gol.
Di dua gol terakhir Juve, Ambrose
turut serta sebagai –meminjam isitilah Adam Smith- Invisible Hand yang memuluskan pergerakan Marchisio dan Vucinic. Namun
apabila mengingat dia baru saja bergabung bersama tim 48 jam setelah
memenangkan piala Afrika bersama Nigeria, nampaknya hal itu bisa
dimaklumi. Lebih-lebih jika dia mengambil bonus yang dijanjikan Federasi
Sepakbola Nigeria
yang you-know-what-lah-itu lebih
cepat, pastilah tempurung lutut miliknya bekerja ekstra keras pada laga malam
itu. Untuk alasan yang sama, Conte menyimpan LWB terbaik mereka Kwadwo Asamoah,
yang baru saja mengikuti laga perebutan juara ke-3 Piala Afrika bersama Ghana. Sebuah
keputusan yang tepat, mengingat 3 hari kemudian mereka harus bertandang ke
Olimpico, untuk menghadapi serigala kota
Roma.
Credit special juga layak diberikan pada Martin Ceceres dan
Frederico Peluso, karena berhasil meng-cover sektor kiri pertahanan Juventus
dengan baik. Lubang yang selama ini digadang-gadang bakal menjadi sumber
masalah karena ditinggal Chiellini dan Asamoah ini, terbukti dilindungi dengan
baik oleh mereka berdua. Dari 17 total shots yang berhasil dibuat Celtic, hanya
4 yang berasal dari sektor kiri. Sisanya merata di sektor tengah dan kanan.
Sesaat setelah laga, Lennon
mengatakan bahwa timnya butuh keajaiban untuk bisa lolos ke babak selanjutnya.
Ia juga mengkritisi wasit asal Spanyol, Alberto Mallenco, yang ia sebut sebagai ‘wasit pro Juventus’. Menurutnya, ada perbedaan mendasar antara
pertandingan di Inggris dengan Spanyol dan Italia, yang menganggap bahwa
melakukan penjagaan berlebih kepada pemain lawan adalah sebuah pelanggaran yang
seharusnya berbuah tendangan pinalti. Well, memang ada baiknya kita mampu
memaklumi (dan mengkasihani) komentar Lennon, karena dia menyamaratakan
kecengengan liga-liga di Britania Raya, dengan Serie-A dan La Liga.
Mungkin sesaat setelah laga, Lennon bersama Rod Steward berjanji untuk
bertemu di salah satu bar pinggiran Glasgow.
Untuk sekedar bercerita dan minum beer, sembari karaoke salah satu lagi hits
Rod, “For The First Time”. Mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar