Salah satu bentuk kuasa Tuhan bagi umatnya, 13 tahun lalu |
30 September 2000: Lini
belakang Napoli terlihat panik, ada —hitunglah
tiga atau empat— pemain yang
mengerubungi pemain bernomor punggung 10, kemudian salah satu dari mereka
berhasil merebut bola; dibuangnya secara ’ngasal’ ke depan. Namun sial, seorang
jenius bernomor punggung 21 berhasil membaca arah datangnya bola, tak sampai
detik ke lima setelah dia memegang bola, sebuah umpan ciamik mendarat di kaki
rekannya —pemilik nomor punggung 10 tadi— yang berada di sisi kiri; dan
‘JEGEEEER!’ sebuah tendangan ke arah pojok kanan gawang. Goal, dan kemudian seantero
San Paolo pun terdiam.
13 tahun adalah sebuah rentang waktu yang cukup lama; lebih-lebih
jika berbicara soal rekor kemenangan terakhir sebuah klub besar, ketika bertandang
ke kandang klub yang prestasi dan raihan pialanya tak sebanyak mereka. Ya, saya
berbicara tentang rekor pertemuan Juventus dengan Napoli,
dua tim Italia yang saat ini berada di peringkat teratas liga Serie-A.
Terakhir kali Juventus membukukan kemenangan saat melawat ke
San Paolo —kandang Napoli— adalah pada saat
Serie-A memasuki periode 2000/2001. Saat itu, Juventus ala Carlo Ancelotti dan Napoli rasa Zeman — beserta pola Zemanlandia-nya yang terkenal itu — memberi kesempatan kepada saya
untuk menikmati perpaduan dua orang seniman sepakbola; meninggalkan
‘tutorial-bagaimana-bermain-bola-dengan-baik’ kepada generasi penerusnya untuk 10-20
tahun ke depan. Saya yakin, apapun klub sepakbola yang kalian jadikan sebagai
agama kedua, sulit rasanya untuk tidak mengagumi mahakarya Del Piero dan Zidane
dalam satu tim.
Tapi —karena kita tidak sedang membahas Revolusi
Prancis/Gerakan Non-Blok/Liverpool— tentu saja tidak panjang lebar berbicara
tentang sejarah. 13 tahun juga merupakan rentang waktu yang lama, ketika
berbicara soal kemampuan tim mengembangkan aspek-aspek yang ada di dalamnya;
entah pembinaan akademi; finansial; maupun raihan gelar. Dan Napoli adalah
salah satu tim Italia yang berhasil memanfaatkan rentang waktu tersebut dengan
baik dan benar.
Kedua tim kini berada di garda terdepan perburuan titel Scudetto. Hingga pekan ke-26, Juventus
punya selisih 6 poin lebih banyak dibandingkan Napoli.
Mengingat Napoli dalam dua laga terakhir membuang kesempatan emasnya untuk
memangkas selisih poin dengan Juventus, tentu saja kesempatan emas di kandang
sendiri ini tidak ingin mereka sia-siakan. Lebih-lebih, rekor mereka ketika
menjamu Juventus di kandang tergolong apik.
Its’s a 3-5-2 show!
Entah kenapa, saya selalu melihat adanya kecenderungan
‘munculnya-duel-lini-tengah-yang-menarik’ ketika dua tim menerapkan skema
permainan yang sama. Pun dengan Napoli dan Juventus; mereka hampir selalu
menyisakan 3 centreback di lini pertahanan,
2 wingback yang mengapit 3 midfielder di tengah, dan kemudian 2 striker di depan.
Prakiraan Formasi:
Napoli - De Sanctis; Campagnaro, Cannavaro,
Britos; Maggio, Behrami, Inler, Zuniga; Hamsik; Cavani, Pandev
Juventus -
Buffon; Barzagli, Bonucci, Chiellini; Lichtsteiner, Vidal, Pirlo, Marchisio, Asamoah;
Giovinco, Vucinic
Meskipun pada praktiknya, Napoli taktis menggunakan skema
3-4-1-2 dengan menempatkan Hamsik sebagai attacking
midfielder, Pandev sebagai seconda
punta dan tentu saja Cavani sebagai prima
punta, namun secara garis besar Mazzari menempatkan pemainnya hampir sama
dengan apa yang dilakukan oleh Conte.
Sektor kiri, menjadi titik lemah Juventus dalam 3 bulan
belakangan. Bagaimana tidak, kehilangan Chiellini (cidera), Asamoah
(AFCON) dan — beberapa kali — Marchisio
dalam satu kesempatan, ibarat JKT-48 tanpa Melody, Nabillah dan Kinal ketika Team-J
tampil di theatre: pertunjukan tetap berlanjut, namun tetap ada sebuah
kehilangan besar yang mengganjal bagi para penikmatnya. Bahkan, Conte sampai mendatangkan Peluso dari
Atalanta untuk mem-backup sektor kiri
Juventus yang —sebelum mercato—
‘hanya’ di-backup oleh De Ceglie,
Giaccherini dan Caceres.
Namun menjelang pergantian bulan, mereka semua telah kembali ada di lapangan.
Sebuah ‘kado kecil indah’, bagi fans Juventus yang akan mengawali paginya di
awal Maret dengan ‘#MarchWish’ atau “March, please be nice to me.”
Yang menarik adalah, titik lemah kedua tim merupakan
keunggulan masing-masing tim. Juve begitu tidak berdaya, ketika jumpa tim yang
sangat kuat dalam skema counter attack;
sedangkan Napoli, adalah ahlinya. Lihat bagaimana
Napoli mencetak 2 gol di Beijing
—saat final Super Coppa Italia — misalnya, atau yang masih hangat, coba
saksikan bagaimana ketika Sampdoria menundukkan Juventus di Turin.
Sedangkan Napoli, juga bukan tim yang tampil tanpa celah.
Lini belakang mereka sering terlalu baik hati untuk menghibahkan beberapa ruang
kosong di depan kotak penalti, untuk kemudian mempersilakan lawan dengan
bebasnya melakukan tendangan kencang yang berbuah gol di gawang De Sanctis. Ini
menjadi bahaya, mengingat Juventus punya Marchisio, Vidal, dan Paul Pogba.
Khusus nama terakhir, harap diperhatikan; remaja berusia 19 tahun ini sudah
mengemas 5 gol di musim perdananya (menyamai rekor sang legenda, Alessandro Del
Piero, di awal kedatangannya dari Padova) dan 4 di antaranya dihasilkan dari
luar kotak penalti. Mungkin sebelum hengkang dari United, ia memanfaatkan
fasilitas gratis belajar tendangan gledek
dari Scholes di sesi latihan, untuk kemudian datang ke Turin dengan disambut
sesi latihan tendangan gledek part II
bersama pelatih khusus —yang juga mantan pemain Juventus— Edgar Davids.
Pun dengan Pirlo, yang sejauh ini jadi dirijen permainan
Juventus. Bagaimana tidak, sejauh ini dia yang bertanggung jawab atas statistik
ini: 86% pass
success, 60 long passes/game, total passes/game
yang mencapai 549 kali. ‘Matikan Pirlo, maka
kemungkinan kamu akan mematikan Juve’ mungkin sudah menjadi rahasia umum bagi
semua pelatih Serie-A ketika menghadapi Juventus. Jika mengingat usianya yang
jauh dari status ‘muda’ —dan masih tampil menawan—, rasa-rasanya kini saya
tahu, alasan kenapa Amy Qanita menyaksikan pertandingan liga Serie-A
akhir-akhiri ini.
Tapi hendaknya kita semua tidak lupa, bahwa Napoli selalu mempunyai motivasi tersendiri ketika
berhadapan dengan Juventus. Seringkali dicap sebagai tim yang ‘anti-Juve’,
musim ini Napoli menyodorkan dua nama yang mau-tidak-mau-harus-diwaspadai,
apabila Juventus tidak ingin kedua nama ini menjadi momok mereka di Naples: Cavani dan Pandev.
Cavani sejauh ini sudah mengemas 18 gol, dan tidak menutup kemungkinan
akan terus bertambah seiring berjalannnya giornata
Serie-A. Dia adalah bentuk perwujudan sempurna dari definisi Prima Punta, yang menjadi pencarian tak
berujung Juventus selama beberapa musim belakangan. Penempatan posisi dan skill-mencetak-gol-dari-segala-panca-indera,
adalah salah satu alasan kenapa Napoli bisa
konstan berada di peringkat atas kompetisi Serie-A.
Lain halnya dengan Goran Pandev —yang baru mengemas 3 gol
sejauh ini—. Pandev, seringkali kalah bersaing untuk masuk starting line up dengan pemain belia Lorenzo Insigne —yang sudah
mengemas 5 gol—. Namun ketika berhadapan dengan Juventus, seakan dia menemukan
jati dirinya sebagai seorang striker
yang hakiki; dia amat sangat sering menjebol gawang Buffon. Bersama Diego
Milito dan Julio Cruz, mungkin Pandev adalah salah satu striker yang pada saat duduk di bangku sekolah dasar, sering
mencantumkan ‘menjebol gawang Juventus’ di kolom cita-cita dan hobi;
berdampingan dengan kolom makanan & minuman favorit di lembar kumpulan
biodata teman sekelasnya dulu. Bisa jadi.
Tentu, dengan mengandalkan dua faktor di atas, Napoli berharap lebih untuk bisa memetik poin dan
memangkas selisih dengan Juventus. Supporter di Naples pun mungkin sudah
meletakkan beberapa ‘persembahan’ unruk penunggu San Paulo di beberapa titik
stadion, agar daya magisnya muncul kembali seperti biasa; seperti ketika
menjamu Juventus. Kehilangan poin dan menambah selisih angka dengan Juve, akan
semakin mendekatkan mereka dengan kemungkinan tanpa gelar musim ini.
Sebelum anda meng-close
laman ini, ada baiknya kita menyimak komentar sang legenda hidup Napoli, Diego
Maradona, ketika dimintai pendapat soal duel di Naples nanti:
“…….why should we gift
them the Scudetto? Napoli has to be there.
Juventus isn't better than Napoli. It's only
more practical. We can't give in. We know that away from home, Juventus is
not the same as they are in Turin.
The Scudetto race is open."