Tempo
hari, sungai di belakang rumah saya hampir meluap. Hujan deras sejak siang sampai
sore hari membuat volume air semakin membeludak, untungnya, talut yang dibangun
di sisi sungai mencegah aliran untuk naik ke permukaan. Seingat saya, talut ini
baru berumur dua tahun. Ayah saya kebetulan ditunjuk sebagai penanggungjawab proyek
pembangunan tersebut.
Saat
ini, ia sedang bertugas di luar kota. Sesekali saat menelpon ke rumah, ia
bertanya soal kondisi sungai di belakang rumah pasca hujan deras. Pikir Ayah,
dirinya mungkin akan menjadi sosok yang paling bertanggungjawab andai jalan
pinggir komplek yang berdekatan dengan sungai masih dilanda banjir pasca dibangun
talut.
Ada
satu sudut ingatan tentang relasi Ayah dan sungai, yang selalu berhasil membuat
saya tersenyum simpul saban mengenangnya. Bukan soal talut atau banjir, tapi
soal anak tetangga yang dikabarkan hampir meregang nyawa saat aliran sungai
sedang deras-derasnya.
Delapan
atau sembilan tahun silam, tepatnya bada magrib, rumah saya didatangi oleh
tetangga yang terdengar sedang merasa cemas hanya dari nada bicaranya saja.
“Vio
hilang di kali, Bu.”
Sontak
saya kaget, meski tidak sampai membuat kedua bola mata saya copot sebagaimana
rujukan ekspresi kaget dalam skenario film kartun. Vio adalah anak tetangga
yang paling badung di antara anak tetangga lainnya di komplek perumahan saya. Keluarganya
tinggal di sebelah lapangan bola, persis di belakang masjid komplek ini. Dia blasteran
Jawa-Papua, dan saat indisen itu berlangsung, Vio masih duduk di bangku sekolah
dasar.
Yang
datang ke rumah saya saat itu adalah Ibunya. Dia melapor ke rumah, karena saat
itu Ayah menjabat sebagai ketua RW. Setelah ditanya kronologis singkatnya, Ayah
saya lalu bergerak cepat dengan menghubungi beberapa tetangga terdekat dan bergegas
pergi ke pinggir sungai. Ibu terlihat berusaha menenangkan Ibu Vio sembari
kembali menanyakan kronologis kejadian yang menimpa anaknya itu. Saya
menyaksikan nuansa getir dan pasrah pada saat bersamaan, bahkan kalau tidak
salah dengar, saya mendengar Ibu Vio berkata, “Yang penting anaknya ketemu,”
karena menganggap anaknya sudah pasti hilang terseret arus sungai yang sedang
deras-derasnya.
Saya
kemudian mengajak adik dan beberapa kawan untuk mendatangi tepi sungai, karena tetangga
sudah ramai berada di rumah untuk membantu menenangkan* Ibu Vio ini. Meski
tidak lagi deras, hujan tetap turun. Pikir saya, cuaca ini akan membuat proses
penyisiran sungai semakin sulit.
(Catatan: yang entah kenapa, ditafsirkan
dengan membuat teh hangat dan dipijat pundaknya seperti habis mengangkat
kuintalan karung beras. Tadinya hanya bicara dengan terbata-bata, kini mulai
menangis sesenggukan karena ditanya berulang-ulang layaknya interogasi polisi.
Pengejawantahan proses ‘menenangkan tetangga’ yang cukup aneh.)
Sesampainya
di pinggir sungai, saya melihat ada beberapa orang turun ke bawah dengan alat
keamanan seadanya; hanya ditali menggunakan tambang di bagian pinggang dan
diikatkan ke tiang jembatan. Seingat saya, ada tiga-empat orang yang turun ke
bawah untuk menyisir sungai dari sisi ke sisi dan salah satunya adalah Ayah Vio
sendiri. Hampir satu jam pencarian, hasilnya masih nihil. Medannya cukup sulit
memang. Sungai di belakang rumah saya ini tidak terlalu lebar dan dalam, lebarnya
hanya dua-tiga meter dengan kedalaman satu setengah meter, panjangnya juga
hanya satu kilometer yang melewati komplek perumahan saya. Tapi mengingat arus
yang cukup deras dan perkiraan korban adalah anak kecil, maka semua kemungkinan
terburuk dirasa cukup masuk akal.
“Ya
sudah Pak, ndak papa. Nanti kalau
sudah agak surut kita lanjut lagi, atau menunggu pagi saja. Mungkin nanti
ketemu di ujung,” ujar Ayah Vio.
Saya
bukan main merasa sedih mendengar ucapan itu. Bagaimanapun juga, mendengar
seorang Ayah merasa pasrah dan berusaha untuk tetap tenang saat anaknya
dianggap sudah meregang nyawa adalah ironi yang mendalam. Ayah mengiyakan
pendapat ucapan tersebut, dan memilih untuk mengajak ‘tim’ beristirahat sejenak
sambil menunggu arus sungai sedikit reda. Setelah terlihat tidak riweuh, akhirnya saya mendatangi Ayah
dan menanyai kronologis lengkap—sekaligus menawarkan bantuan yang bisa saya
berikan.
“Tadi
kata Om Hengky, Vio main di jembatan sama Alex dan Via—adiknya Vio. Pas hujan
makin deres, Alex disuruh masuk tapi Vio-Via masih main di situ. Gak lama
katanya cuma Via yang kelihatan, dan Om Hengky bilang kaya ada bunyi orang
jatuh.”
Aduh
biyung, Vio sudah pasti terpeleset ke sungai ini, pikir saya. Tapi karena masih
merasa penasaran, saya kemudian mencari Alex, anak kecil yang diduga terakhir
kali bermain bersama Vio. Meski dengan penjelasan yang sedikit terpatah-patah
karena mungkin merasa takut, Alex menjelaskan kronologi yang sama dengan
penjalasan sebelumnya. Hanya saja, ia menambahkan fakta bahwa ada satu lagi
anak tetangga yang ikut bermain bersama dirinya sore itu.
Saya
kemudian pamit ke Ayah untuk pergi ke kediaman anak tetangga yang satunya lagi.
Terlihat ‘tim’ sudah mulai bersiap-siap untuk kembali menyusuri sungai, dan
Ayah hanya memberikan kode “ya” secara selewat karena lebih fokus kepada proses
pencarian.
Bukannya
ingin berlagak sok detektif atau apa, tapi saat itu saya merasa penting untuk
mendengarkan banyak keterangan dari orang-orang yang tahu insiden itu secara
detail. Bukan hanya berdasarkan katanya atau jarene saja. Ada gunanya juga banyak membaca, karena malam itu saya
serasa sedang melakoni penelusuran dengan disusupi roh Kindaichi dan Shinichi
Kudo.
Lewat
penelusuran itu, saya mendapatkan keterangan bahwa Vio dan anak tetangga RT
sebelah—saya lupa namanya siapa—itu sempat bermain sepeda keliling komplek
sebelum berada di jembatan. Setelah itu, kejadiannya sama persis seperti keterangan
sebelumnya. Saya mau menanyai Via, adik si Vio, tapi tidak kesampaian karena
dia berada di rumah. Takut keluar, katanya. Tapi entah kenapa, saya merasa ada
yang janggal dalam insiden ini meski tanpa mendengarkan keterangan dari Via.
Semacam ada benang merah yang terputus, tapi saya tidak bisa memastikan itu
apa.
Kembali
ke tepian sungai, saya melihat ‘tim’ sudah kelelahan dan berusaha untuk mengaku
menyerah tapi sungkan dengan Ayah Vio. Setelah menceritakan hasil temuan yang
saya dapatkan dari dua saksi, Ayah menyuruh saya untuk pergi ke masjid. Saya
disuruh untuk mengumumkan berita kehilangan lewat mikrofon masjid. Anehnya, hal
ini tidak kepikiran oleh saya, Ayah, atau keluarga Vio sejak awal. Sesuatu yang
nantinya mungkin akan mencegah kami semua untuk melakukan hal-hal nihil guna di
tepian sungai.
Sebanyak tiga
kali pengumuman kehilangan diumumkan lewat mikrofon masjid. Semua tim kemudian
beristirahat sejenak di sana, sembari berharap-harap cemas ada kemungkinan baik
yang akan datang dari insiden ini. Semua sudah berkumpul; keluarga Vio, Ayah
beserta ‘tim’, dan beberapa tetangga sekitar yang ikut keluar karena mendengar
pengumuman dari masjid beberapa saat sebelumnya.
Apa
yang terjadi setengah jam sejak berita kehilangan itu diumumkan di masjid, akan
membuat kami semua merasa bodoh dan senang secara bersamaan. Sekonyong-konyong
Vio datang ke masjid dengan keadaan bugar, tidak basah kuyup, dan mengajukan
pertanyaan yang membuat kami semua ingin menghujaninya dengan berondongan
peluru yang ditembakkan dari AK-47.
“Ini
ada apa to rame-rame di masjid?”
Kabeh ki mumet goleki kowe, Su.
Suasana
haru baru seketika pecah di masjid. Kami semua merasa senang, tapi juga
penasaran tentang kronologis kejadian yang sesungguhnya. Vio diajak ke rumah
dahulu oleh Ibunya, disuruh mandi dan makan, kemudian tak lama setelahnya
Ibunya keluar rumah dan menceritakan kejadian sesungguhnya berdasar keterangan
dari anaknya tersebut.
“Habis
main di jembatan sama adiknya, dia takut pulang ke rumah karena bolos les. Adiknya
pulang dulu, tapi si Vio masih ada di luar. Dari tadi sore dia sembunyi di
gubuk RT 3, nunggu Bapaknya pergi baru berani pulang.”
“Oalaaaaaaaaaaaah,” ujar kami semua
setelah mendengar cerita tersebut.
Saya
yakin, saat itu kata “oalah” kami pakai sebagai substitusi dari sumpah serapah
yang ingin dikeluarkan—tapi tak tega. Dan yang lebih membuat kejadian ini
terdengar konyol, adalah fakta bahwa ‘gubuk RT 3’ yang dimaksud Ibu Vio ini hanya
berjarak selemparan cawat dari rumahnya. Persis di belakang rumah, hanya dipisahkan
kebun dan ilalang saja. 20 meter pun tak sampai, Anda hitung mundur satu sampai
sepuluh saja, mungkin akan tiba pada hitungan ketujuh atau kedelapan andai
tidak dilakoni sembari ngesot.
Namun
apapun itu, yang paling penting Vio selamat. Bertahun-tahun setelahnya, cerita
ini masih sukses mendulang gelak tawa andai dituturkan di pertemuan RT, arisan,
kerja bakti, atau malam tirakatan. Saya sendiri sampai saat ini masih terheran-heran,
kenapa rasa panik waktu itu sanggup membutakan logika kami untuk bisa berpikir
secara runtut. Tak pernah terlintas dalam pikiran, bahwa saya akan mengalami
insiden seperti jalan cerita film Setan
Kredit milik trio legendaris Warkop DKI: seharian penuh mencari anak hilang
di hutan belantara dan harus mendapati kejadian-kejadian kocak di dalamnya,
ternyata anak yang hilang itu hanya tertidur di gerobak es setelah pulang dia
pulang sekolah.
Teruntuk
Vio, mengutip ucapan Kasino dari film Dongkrak
Antik, “Dasar monyet bau, kadal bintit, muka gepeng, kecoa bunting, babi
ngepet, dinosaurus, brontosaurus, kirik!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar