Menakar logika seorang megalomania di kursi nomor satu El Real. |
Seperti yang sudah diduga sebelumnya, Rafael Benitez akhirnya tergusur juga dari kursi pelatih Real Madrid. Meski tak kelewat mengejutkan, kabar didepaknya Benitez ini masih menyisakan tanya bagi sebagian orang. Ia 'hanya' diberi waktu selama tujuh bulan di Bernabeu, dan klub menunjuk seorang suksesor yang belum memiliki banyak pengalaman di level senior sebagai penggantinya. Tak ada yang menyangkal, bahwa Zinedine Zidane adalah salah satu pemain paling brilian dalam sejarah sepakbola.
Tapi ketika berbicara sebagai pelatih utama, ia belum membuktikan apapun.
Tapi ketika berbicara sebagai pelatih utama, ia belum membuktikan apapun.
Memang ada anomali seperti Pep Guardiola, yang seketika sukses bersama Barcelona meski 'hanya' berbekal pengalaman sebagai pelatih tim muda saja. Tapi jangan lupa, ada Filippo Inzaghi dan Clerence Seedorf yang hancur lebur bersama Milan karena dianggap terlalu cepat berada di kursi pelatih utama. Madrid tidak bisa seketika tampil menakjubkan, hanya berbekal kisah nostalgia Zidane pada masa keemasan—plus kata-kata bijak nan penuh motivasi di ruang ganti. Tim sekelas Real Madrid butuh lebih dari itu.
Bahkan dengan skenario yang hampir serupa, Antonio Conte (Juventus) dan Luis Enrique (Barcelona) masih harus menimba ilmu di klub lain, sebelum kembali dan akhirnya meraih kesuksesan masif di klub yang membesarkan namanya.
Tapi sekali lagi, kita sedang membicarakan Florentino Perez; sosok megalomania yang memiliki kesesatan jalan pikir sejak dalam pikiran. Mendepak maestro seperti Carlo Ancelotti dan menggantinya dengan Rafael Benitez saja sudah dianggap sebagai blunder fatal, ditambah dengan kenyataan bahwa Benitez akhirnya digantikan oleh sosok nihil pengalaman tujuh bulan kemudian. Itu bukan hanya jatuh ke lubang buaya, tapi terjungkal ke mulut Sarlacc, dan mendapati Brock Lesnar yang sedang mencari rekan berlatih gulat ada di dalamnya.
Pembenaran yang digunakan Perez ketika bongkar pasang pelatih selama ini, adalah soal kultur kemenangan di tubuh El Real. Menurutnya, rangkaian kesalahan yang berbuah nirgelar adalah hal yang tidak bisa ditolerir ketika berada di Bernabeu. Tidak peduli sebaik apapun kualitas tim yang mereka miliki, raihan trofi macam apa yang disabet sebelumnya, ketika Perez sudah mengeluarkan titah pemecatan—maka terjadilah.
Namun sejatinya, apa yang ditorehkan Perez dalam hampir 15 tahun masa jabatannya (2000-2006/2009-2016) ini tidak kelewat apik jika dibandingkan dengan dana yang ia gelontorkan dalam urusan pembelian pemain. Ia sudah menggelontorkan dana hingga 1,6 miliar Euro untuk membeli 39 pemain sejak 2000, namun 'hanya' mendapatkan 3 trofi La Liga, 2 Copa del Rey, 3 Supercoppa, 1 gelar Intercontinental, 1 Piala Dunia Klub, dan 2 trofi Champions League di bawah kepemimpinannya. Dalam satu dekade terakhir saja, Barcelona punya torehan trofi jauh lebih banyak dibanding Madrid. Plus, rogohan kocek yang tak segila itu untuk urusan pembelian pemain.
Tapi di lain sisi, apa yang dilakukan Perez membuat finansial Real Madrid menjadi luar biasa sehat dan memiliki salah satu nilai dagang terbesar di dunia. Saking apiknya pertumbuhan finansial Real Madrid, ia bahkan pernah dianggap lebih memikirkan urusan nilai dagang dibanding prestasi klub pada 2006 silam.
Dalam 15 tahun terakhir, Madrid memiliki 15 pelatih—dan 11 di antaranya berada di bawah kepimpinan Perez. Banyak dari mereka yang hanya bertahan selama satu tahun menjabat, dan hanya ada tiga nama yang bertahan di Real Madrid dengan catatan menangani minimal 100 laga: Del Bosque (233), Mourinho (178), Ancelotti (119). Mereka bisa bertahan cukup lama, karena berhasil mempersembahkan gelar dan punya nasib beruntung. Pasalnya, nama-nama lain seperti Queiroz, Capello, dan Schuster yang berhasil mempersembahkan trofi juga tak seberuntung tiga nama sebelumnya.
Kita semua sepakat, bahwa Benitez tak cukup baik untuk memenuhi standar pelatih Real Madrid jika dibandingkan nama-nama di atas. Selain gaya bermainnya yang jauh dari kata menarik, ia memang tidak memiliki kharisma untuk menaklukan ego penggawa Madrid yang membukit. Anda boleh membenci Mourinho, pun menganggap Ancelotti sebagai sosok yang kelewat kalem, tapi mereka berdua punya kesamaan: piawai dalam menarik respek dari pemainnya sendiri.
Bandingkan dengan Benitez, yang hanya dalam kurun waktu tujuh bulan saja, sudah menjadi bulan-bulanan media dan sasaran olok penggawa Real Madrid di beberapa kesempatan. Benitez tak salah, sebab ia ditawari jabatan yang sulit untuk ditolak pelatih manapun di seluruh dunia. Perkara kapabilitas yang belum memadahi, itu urusan belakang, yang penting jabatan sebagai manajer Madrid berhasil ia sabet. Apalagi, ia notabenenya adalah putra setempat sekaligus punya pengalaman menangani Real Madrid B sebelumnya. “Saya kembali ke rumah,” ujar Benitez di awal sesi jumpa pers sebagai pelatih El Real.
Yang jadi pertanyaan, ke mana logika sosok yang paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan ini?
Dengan statusnya sebagai legenda hidup Real Madrid, Zinedine Zidane sudah mendapatkan penghormatan jauh melebihi pemain lain yang pernah berkarir di sana. Apalagi dengan pilihannya terjun ke dunia pelatih, maka menduduki kursi manajer Real Madrid sejatinya hanya perkara takdir yang tinggal menunggu waktu. Cepat atau lambat ia akan menerima itu.
Kini, Zidane sudah mendapatkan posisi tersebut. Posisi yang mungkin diincar oleh jajaran pelatih kelas wahid di seluruh dunia, pun yang paling beresiko jika mengingat besarnya tekanan dan ekspektasi yang berada di pundaknya. Menjadi pelatih jangka pendek akan menjadi buruknya, dan menjadi pelatih jangka panjang—berdasarkan rekam jejak pelatih sebelumnya, besar kemungkinan—akan menjadi mimpi yang kelewat muluk bagi dirinya. Namun satu yang pasti, performa baik dan raihan trofi adalah harga mati yang tidak bisa ditawar, meski itu tidak bisa menjamin posisinya aman juga dalam beberapa musim, bulan, atau pekan ke depan. Sebab sekali lagi, Zidane boleh berusaha, tapi Perez juga yang akan menentukan.
Zidane mungkin sedang dalam fase sureal, sebab ia baru saja mengalami salah satu momen paling spesial dalam karirnya. Ibarat pelajar, Zidane baru saja mengikuti program akselerasi ultra-cepat: dari bangku kelas IV sekolah dasar, merangsek naik ke jenjang kuliah untuk mendapatkan gelar pendidikan strata III.
Kita semua tahu, kisah ini akan berakhir seperti apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar