Menurutku,
kau tak banyak berubah.
Lengkung
mata yang membentuk sudut tajam ketika kau tertawa masih bisa kunikmati dengan
khidmat. Kukira dulu bekas luka; terjatuh, tergores, atau membentur benda yang
kau sendiri tak tahu apa namanya, sambil berulangkali berujar bahwa ini
adalah adun yang tergaris sejak kali pertama kau memecah tangis di dunia.
Swift
yang pernah kukenalkan padamu kini beranjak menjadi diva. Kemarin selintas
kubaca di portal berita, mantan kekasihnya menabur drama perpisahan di mana-mana. Sedangkan
Swift, gadis Pennsylvania yang dulu
selalu bercerita tentang koboi penunggang mustang dari utara itu, bebas
berjalan di Suffolk bersama putera raksasa Fárbauti tanpa menenteng palu
saudaranya yang termasyhur seantero Asgard.
Kau
dan Swift sama, sejak saat itu, kalian berdua lebih banyak mengenal dunia. Waktu bagimu adalah perkara yang harus diburu dengan lekas, tak ada ruang untuk
ini-itu yang nantinya hanya akan membuatmu tertatih. Semua serba cepat, meski
kau tak pernah terbersit bahwa hidup adalah kompetisi yang menuntutmu tiba di
garis finis lebih dulu—kau hanya tidak ingin berhenti, itu saja.
Kemarin
kulihat kau masih ingin berlari, cepat mengejar mimpi yang kau kisahkan sambil
menggebu dengan hebat. Kalau sudah seperti itu, kau tahu bahwa yang terbaik yang bisa
kulakukan adalah terdiam, mengudak kopi yang tak pernah kuseduh gula sambil
sesekali memberikan koreksi. Sampai akhirnya kita berdua menikmati hening yang dicipta sendiri, dan menyadari
bahwa kau masih memiliki ingatan yang buruk—meski sialnya aku tidak.
“Kamu
terlalu banyak mikir. Hidupmu kelewat serius,” ucapmu pelan.
Setiap
kali mendengar ucapanmu yang tajam seperti itu, aku selalu teringat bahwa
pernah suatu ketika kau kuanggap sebagai ladang dosa yang harus memanen satu persatu kesialan saban harinya. Hatimu tidak menyisakan apapun selain
untuk dicaci dan dimaki, meski pada akhirnya tawa kecil dan suara lirihmu dari
seberang yang membuatnya sirna dalam seketika, persis daun kering yang diempas
angin sore pada ujung gang yang sepi—layaknya momen favorit Toru dan Naoko, tokoh fiksi
karangan Murakami.
Kau
juga paham, bicaramu yang tiada henti dan tanpa spasi—laksana tangis bayi—itu selalu
diikuti oleh kesediaanmu untuk ditatap berlama-lama tanpa ada sepatah kata
dariku. Tapi aku tahu, kali ini ada yang berbeda. Matamu memerah. Aku tak
pandai menerjemahkan gerak tubuh, tapi tak perlu kuambil kursus hanya untuk
memahami bahwa kau sedang dirundung duka; bisa karena penyesalan atas apa yang
sudah atau ketakutan atas apa yang belum.
Menangislah
jika kesedihan tidak bisa lagi kau tawar. Meski barang sebentar, kukira kau masih
perlu itu. Betul kau beranjak jauh lebih tangguh, tapi tak harus juga menjadi
dungu. Kau tentu tahu bahwa airmata tidak membuatmu menjadi selemah yang kau
pikir. Dewasa bukan berarti menjauhkanmu dari hakikat manusia biasa, kecuali kau perlu alat pacu jantung bertenaga soda yang tertanam di dada kirimu dan
kepalamu mesti kupukul pelan andai sistem motorikmu sedang sedikit tersendat.
Mungkin
di pertemuan selanjutnya, tak perlu melewati beberapa musim berganti lagi, atau
kesedihan baru di antara aku dan kau yang akhirnya membuat salah satu dari kita
memberanikan diri untuk membuat janji. Sebab aku yakin, rindu tak akan usai
untuk waktu yang sebentar.
(Surakarta, 10 hari jelang aku berkurang umur
dan rasa tergesa-gesa karena mengejar ceramah khotib Shalat Jumat.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar