Acuhmu patah, sebab kokohnya digerogoti rayuan.
Omong kosong perihal hiruk-pikuk masa depan, dari lisan pria yang
akhirnya hanya memberimu luka sebagai kesan. Kuburu kedalaman luka tawamu,
kubenamkan kedua kakiku sebelum lautan air matamu mengering, kemudian lirih kuulang
sebuah pengakuan “bagaimana jika setiap jengkal luka darimu adalah candu, tanpa
pernah kumaknai sebagai sendu yang membawaku lunglai tak menentu?"
Samar, keping ingatan itu terlihat mulai sekarat. Kubiarkan seperti itu, karena memang sengaja tak ingin dirawat. Di atasnya tertulis nama; yang kemudian jadi sebab, atas
ketidakinginanku menanyakan alasan kenapa kita tak saling bertegur sapa pada hari yang entah. Mungkin jika ditanya perihal keparat, nama tadi yang akan kau sebut dengan lantang.
Aku adalah noda yang tak ingin kau seka, karena
bagimu mungkin hidup akan lebih berwarna jika sesekali bergandengan dengan si buruk
rupa. Persis seperti sesi isoma dalam repertoir musisi ibukota. Aku, hanyalah
pembeda dalam jeda. Tak perlu aku menjanjikanmu akan nikmatnya syurga,
sebagaimana tawaran untuk santri sebelum jadi syuhada. Aku hanya perlu diam; menunggu kau pulang,
senang, pergi, kembali datang, senang, pergi, datang, senang, kembali pulang,
pergi, datang, pulang, kembali senang, begitu seterusnya. Ketika kau pulang, kebetulan
kulihat kaki langit sebelah barat mulai meneja. Nampaknya, dia datang beriringan
dengan arak-arakan mega.
Siapa bilang aku sedang terluka?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar