Ketika Palestina dan
Israel sudah sepakat melakukan gencatan senjata, anak muda di luar sana masih
saja melangsungkan debat antara ini ‘Malam Minggu’ atau ‘Sabtu Malam’. Saya
sendiri, lebih senang menyebutnya dengan opsi kedua. Dan saya melewati opsi
kedua itu dengan nongkrong bersama teman-teman sebaya di angkringan dekat
rumah. Sesampainya di sana, saya kemudian meminta lépék,
untuk nantinya saya taruh tempe, tahu bacem dan sate kikil sebagai hidangan
untuk menemani saya menyaksikan duel sengit antara Indonesia melawan Arab Saudi.
Saat saya menyerahkan lépék beserta
isi hidangannya untuk dibakar, kedua mata saya kembali menaruh perhatian pada
televisi berukuran 14 inch yang
tergantung di pojok atas pos kamling tempat saya tinggal. Usianya televisi itu jauh
lebih tua dibanding durasi perkenalan Manchester City dengan fans-nya di
berbagai belahan Asia, pun dengan sahur trophy
terakhir Wenger sampai dengan puasa gelarnya yang tak kunjung ‘buka’ hingga
hari ini. Televisi di pos kamling ini, mengawali perkenalannya dengan penduduk
kampung lewat suguhan laga Prancis – Italia; yang kemudian memunculkan nama
Trezeguet sebagai salah satu aktor utamanya.
Bakaran
hidangan saya sudah jadi, ketika sebuah longpass
dari Kurnia Meiga bisa sampai ke kaki sang kapten, Boaz Salossa. Awalnya ia
nampak seperti orang linglung, karena tinggal ia sendiri yang berada di kotak
pertahanan; namun Boaz tetaplah Boaz, yang kemudian dengan cepatnya mengambil
keputusan untuk memperdaya dua pemain bertahan Arab Saudi, untuk kemudian
diteruskan dengan sebuah tendangan diagonal ke sudut kiri gawang Waleed
Abdullah. Goal. Gelora bergemuruh, seisi penonton pos kamling di tempat saya
berdiri pun demikian. Ada yang mengepalkan tangan ke udara, ada yang berteriak
kencang seakan lupa bahwa di sebelahnya ada tetangga yang punya bayi kecil yang
baru saja lahiran, ada pula yang kemudian sibuk menatap layar hp-nya untuk
sekedar ganti status BBM/update di
Twitter ‘BOAZ MOTHERFUCKIN SALOSSA!’. Sebuah momentum yang memungkinkan mereka yang
sudah makan sampai kenyang, bisa diam-diam pulang duluan tanpa ketahuan belum
membayar.
Menit-menit berikutnya,
para penonton di sini lebih banyak dibuat deg-degan
oleh rangkaian serangan Arab Saudi. Untuk sekedar pemberitahuan, rataan usia
penonton di pos kamling yang bersebelahan dengan angkringan dekat rumah saya
ini beragam. Anak usia kelas satu SD yang datang dengan ayahnya, segerombolan
pemuda karang taruna setempat, bapak-bapak yang selalu saja mencoba melucu dengan
mengeluarkan joke-joke usang soal
komentator bola, ibu-ibu yang sekedar mampir beli lauk-pauk untuk hidangan
makan malam keluarganya, semua ada. Jadi bisa anda bayangkan, betapa riuh — cenderung
berisik — ketika separuh dari mereka semua turut berkomentar, saat Supardi
harus berulang kali kesulitan meng-cover
derasnya serangan Arab Saudi dari sektor kiri.
Dan akhirnya Yahya
Sulaiman Al-Shehri membuat separuh keriuhan tadi terdiam. Ia yang memenangi
duel udara dengan Hamka Hamzah, kemudian berhasil menyarangkan bola ke gawang
Kurnia Meiga. Meiga nampak sedikit kesal, karena sebetulnya dia mampu membaca
arah datangnya bola dengan benar. Sayang, laju bola sedikit lebih kencang;
sehingga tepisan darinya tidak cukup kuat untuk menghadang bola agar tidak
masuk ke gawang. Skor imbang, 1-1.
Kredit spesial harus
diberikan pada Kurnia Meiga, Jika bukan karena aksi heroiknya ketika
menghentikan tendangan Taiseer Yabir yang bebas berdiri di kotak pinalti,
mungkin timnas akan semakin sempoyongan ketika jelang turun minum.
Sepanjang babak
pertama, sebetulnya ada beberapa pertanyaan yang sering terlontar oleh beberapa
komentator yang duduk di angkringan, seperti: kenapa Supardi — yang
notabene-nya sudah lama tidak bermain di kiri — dipasang sebagai fullback; kenapa Ponaryo & Ian Kabes
berada di lapangan, sementara Bustomi dan Greg duduk di bangku cadangan; kenapa
harga bawang tak kunjung turun, dan pertanyaan kenapa-kenapa lainnya. Entah
kenapa, setiap duduk di lincak (kursi
berbentuk panjang) angkringan, siapapun yang ada di sana nampak sudah mengikuti
kursus kepelatihan resmi FIFA, dan kemudian pulang dengan mengantongi lisensi
A+. Mereka lupa, di sana ada Rahmad Darmawan dan Jackson Thiago yang sudah makan
asam garam di kancah sepakbola nasional; mereka pasti jauh lebih paham
dibandingkan siapapun yang duduk di lincak,
yang seringkali hanya bermodalkan statistik dan ilmu asal-tebak-saja yang
didapatnya dari salah satu koran olahraga ternama.
Jelang babak kedua,
beberapa dari kami sudah menyiapkan amunisi. Ada yang sudah ‘berhadapan’ dengan
perpaduan sebungkus nasi sambal dengan sate usus dan tempe kering, ada pula
yang hanya minta diisi ulang gelasnya dengan wedang jahe hangat.Saya sendiri,
memegang rokok di tangan kanan, sembari menyisakan beberapa kacang rebus dan
tempe bacem di lépék
yang saya minta di awal laga tadi. Beberapa
anak kecil yang tadinya berdesak-desakan duduk di pos kamling pun harus
merelakan tempatnya digusur oleh senior di kampungnya. Akhirnya, sebagian dari
mereka memilih untuk bermain kejar-lari-tangkap di sekitar pos kamling,
alih-alih menyaksikan duel timnas di babak kedua.
Nampaknya,
tugas Mario Teguh dan Tung Desem Waringin untuk menyamar dengan kostum ala RD
dan Jackson Thiago ke dalam ruang ganti pemain saat jeda berhasil. Untuk
sesaat, timnas termotivasi dan berani untuk tampil menyerang. 8 menit pertama,
bahkan sebuah pergerakan berbahaya dari Ponaryo Astaman harus dihentikan secara
paksa oleh pemain Arab Saudi. Sayang, eksekusi tendangan bebas dari Van Dijk
yang tepat mengarah ke arah gawang, masih terlalu lemah.
Petaka
datang di menit 56, ketika sebuah umpan dari silang Sultan Khalaf (lagi-lagi)
harus menghasilkan duel udara, yang dimenangkan oleh Yousef
Mansour Al Salem. Kerumunan bek kita hanya bisa terperangan melihat arah
datangnya bola, seakan ingin memberikan angin segar kepada komentator yang
selalu dengan mudahnya mengatakan kekalahan timnas karena ‘postur tubuh’.
Lagi-lagi, seisi pos
kamling dan angkringan harus terdiam. Kali ini, benar-benar terdiam. Tak ada
lagi, celotehan “Kok Cristian Gonzalez ga
dimasukin aja sih?” —sedangkan Crisgol memang tidak dipanggil untuk laga
kali ini — dari bapak-bapak sebelah. Kali ini, semua nampaknya sedang di-set silent mode. Asa sempat kembali
dipupuk, ketika Greg Nwokolo masuk menggantikan Ian Kabes. Variasi serangan
timnas yang tadinya hanya bertumpu pada poros sayap, mulai berani melancarkan
bola dari sektor lain. Sesaat setelah Greg masuk, terlihat Van Dijk mulai
sering dapat ‘asupan’ bola, sesuatu yang sulit ia dapatkan sepanjang jalannya
babak pertama & awal babak kedua.
Kemudian sesaat
kemudian kami semua dibuat terheran, dengan alasan dimasukkannya Irfan Bachdim
menggantikan M. Ridwan. Masuknya Bachdim adalah sebuah misteri, sebagaimana
misteri kenapa Roy Suryo harus ikut berdiri dan memasuki lapangan ketika para
pemain kita hendak menyanyikan lagu kebangsaan yang belum terpecahkan. Tanpa
mengurangi rasa hormat kepada Bachdim beserta istrinya, rasa-rasanya dia tidak
masuk di saat yang tepat. Memang, Bachdim sama halnya seperti Ridwan; yang
tidak segan untuk turun membantu lini pertahanan, sembari ikut membangun
serangan dari lini sektor kanan timnas ketika dibutuhkan. Namun ketika
menyerang, Bachdim nampak kesulitan untuk melewati 1-2 pemain belakang Arab
Saudi. Lain halnya dengan seniornya yang ditempatkan di sektor kiri, Boaz Salossa.
Ia tidak begitu kesulitan untuk menembus pertahanan Arab Saudi, namun begitu
kesulitan ketika harus memberikan suplai bola kepada rekannya, karena hampir
sebagian dari pemain kita dijaga dengan sebegitu ketatnya oleh pemain Arab
Saudi. Menurut hemat saya sebagai komentator angkringan, ada baiknya RD
memasukkan Andik yang memiliki tipikal pemain box-to-box. Dengan kelihaiannya menggocek bola dan melewati barisan
pertahanan lawan, bukan tidak mungkin akan memudahkan pergerakan pemain=pemain
lain untuk ikut membantu serangan. Tapi
sudahlah, mungkin RD memiliki pertimbangan lain dengan memasukkan Bachdim.
Tidak ingin mengecewakan dedek-dedek lucu bercelana gemes yang sudah rela
memberanikan diri datang ke GBK, misalnya.
Setelah Bachdim masuk,
praktis Indonesia bermain dalam skema menyerang. Tebukti, pergerakan pemain
kita berhasil membuat pasokan keringat Waleed Abdullah yang seharusnya sudah tercurcur
dari babak pertama, tiba-tiba bergerontol-gerontol bercucuran di 15 menit
terakhir babak kedua.
Entah bagaimana,
nampaknya RD mengecek linimasa saya ketika saya menuliskan tweet ‘No Bustomi,
no party’, akhirnya jagoan saya ini masuk menggantikan Ponaryo 2 menit
menjelang laga bubar. Namun itu semua seperti penyesalan Mike Portnoy ketika
meninggalkan Dream Theater dan bergabung dengan Avenged Sevenfold, yang dalam
beberapa kesempatan hanya membuat skill bermain drum-nya harus rela dibalut
oleh stik sapu dalam versi akustik ‘Dear
God’: semua sudah terlambat. Agresevitas dan visi bermain Bustomi yang akan
seharusnya membantu timnas sedari babak I, hanya mampu dia suguhkan selama 2
menit waktu normal dan 5 menit perpanjangan waktu. Indonesia pun harus rela
menyerahkan 3 poin di kandang, kepada musuhnya di ranah tenaga kerja: Arab
Saudi.
Namun, di 5 menit
terakhir justru gema dukungan dari tribun semakin kencang. Saya yang hanya
menyaksikan di televisi pun beranggapan, teman-teman yang menyuarakan dukungan
dari pinggir lapangan masih terus bernyanyi hingga peluit panjangn dibunyikan.
Persis seperti apa yang dilakukan mereka ketika menghadapi musuh yang sama, 6
tahun silam. Kami yang ada di pos kamling dan angkringan pun sepakat, bahwa
kualitas Arab Saudi masih di atas Indonesia, namun kami bukan menyerah tanpa
perlawanan.
Kalah adalah kalah.
Sekalipun ditambahi embel-embel terhormat atau tipis. Esensi utama sepakbola
adalah mencari kemenangan; perkara menghibur, membuat senang, atau yang lain
itu perkara kesekian. Ketika tim yang kita dukung kalah, pastilah menyisakan
sesak dan penyesalan di dalam diri pendukungnya. Seberapapun porsinya.
Tapi, melihat bagaimana
3 generasi bisa dipersatukan di sebuah pos kamling sempit dengan perantara
televisi kecil — yang jauh lebih nyaman ketika berada di rumah yang luas dab TV
ber-lcd — yang menjadi ajang guyub di kampung saya (juga tempat-tempat lain),
bagaimana melihat antusiasme mereka yang rela jauh-jauh datang ke GBK untuk
menyuarakan dukungan, bagaimana anak muda di luar sana rela mendengarkan rentetan
makian dari sang pacar, karena lebih memilih menyaksikan bola dibanding harus
mampir ke kostnya untuk menikmati Sabtu malam; dan semuanya masih bisa
tersenyum dan menyisakan kebanggaan, bahkan ketika timnas kalah, nampaknya
kalah-menang bukan satu-satunya alasan yang mempengaruhi mereka untuk tetap
bisa bersenang-senang.
Naif rasanya, bila
saya, kalian, dan kita semua tidak rindu menyaksikan timnas kembali meraih
gelar, atau paling tidak mampu tampil luar biasa, sehingga menyulitkan setiap
lawan yang mereka hadapi. Tapi, bukankah lebih baik ketika ekspektasi kita
terhadap pencapaian timnas masih belum bisa tercapai,
standar-untuk-merasa-puas-terhadap-timnas-nya saja yang kita ubah? Sesederhana
itu. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar