Perasaan
tersebut nampaknya hampir pernah dirasakan oleh seluruh pemirsa televisi di
Indonesia. Sungguh ironis, mengingat televisi masih menjadi pilihan utama
keluarga di Indonesia untuk mencari hiburan tanpa harus keluar rumah. Hampir
setiap keluarga dari berbagai lapisan masyarakat di pelosok negeri ini,
memiliki televisi, atau — paling tidak — pernah menyaksikan tayangan
televisi.
Setiap
stasiun televisi pasti mempunyai tayangan unggulan. Keberadaan tayangan
unggulan di sebuah stasiun televisi selalu mudah dikenali cirinya. Seperti,
mempunyai jam tayang yang lebih lama dibandingkan tayangan lain; mendapatkan
porsi iklan yang lebih banyak; lebih gencar promosinya, baik promosi on-air
maupun off-air; menempati jam tayang ‘strategis’; dan mempunyai rating
yang cukup tinggi. Wajar rasanya, bila kita menyebut sinetron masih menjadi
tayangan unggulan di beberapa stasiun televisi. Lalu, apa itu sinetron?
Sinema
elektronik atau lebih populer dalam akronim sinetron, adalah istilah untuk
serial drama sandiwara bersambung yang disiarkan oleh stasiun televisi. Istilah
sinetron pertama kali dicetuskan oleh Soemardjono, salah satu pengajar dan
pendiri Institut Kesenian Jakarta, dan semenjak itu isitilah ‘sinetron’ mulai
menjadi istilah yang digunakan secara luas. Sinetron menyajikan sebuah drama
bersandiwara. Lalu, apa itu drama? Aristoteles pernah berujar bahwa, “Drama
adalah sebuah karya seni yang bermanfaat untul memperlihatkan bagaimana yang
seharusnya, sebagai ideal dari realitas yang ada.“
Akan
tetapi nampaknya landasan filosofi drama di atas telah usang dimakan zaman.
Dewasa ini tayangan sinetron sering memaksa kita untuk dapat — meskipun
sangat sulit — mencerna isi tayangannya dengan akal sehat. Rasanya tidak ada
alasan bagi kita untuk tidak ‘berkeluh kesah’ setelah melihat perkembangan
sinetron di negeri ini dari waktu ke waktu. Fred Wibowo, dalam bukunya ‘Kebudayaan Menggugat’ berujar, “Padahal,
awalnya banyak sinetron bermutu yang ditayangkan oleh berbagai stasiun televisi
di Indonesia, Sayekti dan Hanafi, Aksara Tanpa Kata, Keluarga Cemara, Senandung dan Si Doel Anak Sekolahan, adalah
sinetron yang patut menjadi referensi moral, sikap, dan kehidupan di negeri
ini. Tetapi dalam perkembangannya, sinetron–sinetron kemudian menjadi sangat
komersial dan semata-mata mempertontonkan gaya hidup tanpa mempedulikan
pengaruh atas moral dan sikap hidup para penontonnya.“
Ya.
Coba tengoklah kondisi dunia persinetronan kita sekarang. Saya rekomendasikan
anda untuk rajin-rajin mengganti saluran televisi anda pada pukul 19.00 –
22.00. Coba cari stasiun televisi yang sedang menayangkan wajah wanita cantik
yang sedang di-close up, sembari
mengguman di dalam hati, menyusun rencana jahat merebut harta warisan atau
berencana mencelakakan karakter lain dengan cara menabraknya menggunakan mobil
— dan anehnya pasti selalu akan diselamatkan karakter lain dengan sangat
dramatis — atau berbagai jalan cerita lainnya yang kelihatan menggelikan, kalau
tidak mau disebut bertolak belakang dengan akal sehat. Terdengar aneh? Tunggu
sampai anda melihat tayangan yang satu ini: jam tayang berkisar pukul 13.00 –
17.00. Sekali lagi rajin-rajnlah anda mengganti saluran televisi pada jam-jam
ini, jangan kaget kalo anda akan disuguhi sinetron yang menampilkan pemainnya
menunggangi sebuah naga sembari melawan manusia berkepala ular, berpenampilan
serba putih layaknya seorang pemuka agama, dan mampu merubah kerikil menjadi
armada kalajengking.
Segala
keanehan jalan cerita diatas terasa lebih aneh lagi kalau anda mengetahui bahwa
tayangan terebut memiliki rating yang tinggi di setiap penayangannya. Artinya,
masih banyak dari masyarakat kita yang mau meluangkan waktunya untuk
menyaksikan tayangan sinetron. Memangnya, ada yang salah dengan menyaksikan
sinetron?
Tidak.
Menyaksikan tayangan sinetron merupakan refleksi dari kegunaan media menurut
Laswell, yaitu fungsi hiburan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa media bukan
hanya dituntut untuk mampu meningkatkan apresiasi hiburan saja, akan tetapi
juga diharapkan mampu untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat, melakukan
kontrol sosial, dan memberi kontribusi di bidang informasi (Mursito B.M, Memahami
Institusi Media: Sebuah Pengantar)
Kiranya jika tuntutan tersebut dialamatkan kepada para rumah produksi, jawaban mereka pasti kurang lebih begini “Kalau mau yang kaya begitu liat berita saja mas. Kalau bikin sinetron yang kaya gitu ga laku mas, pasar maunya yang enteng-enteng saja, “ Memang, tidak ada yang salah dengan menuruti kemauan pasar. Akan tetapi bukan juga berarti harus mengesampingkan ideologi dan kualitas karya yang mereka ciptakan demi menuruti kemauan pasar. Saya yakin, apabila sebuah karya diciptakan dengan sepenuh hati, penuh persiapan, dan ditambah dengan kejelian membaca peluang, pasti dengan sendirinya akan memunculkan ketertarikan bagi para penikmatnya.
Maka
tidak berlebihan bila ada ungkapan ‘pasar bisa kita ciptakan‘. Sebab
kecenderungan orang untuk menyaksikan tayangan buruk bisa muncul, karena tak
dihadapkan pada pilihan tayangan-tayangan berkualitas. Mari bersama-sama
mengharap, semoga insan pertelevisian kita semakin cerdas dan memiliki
kesadaran untuk ikut memajukan generasi bangsa, paling tidak melalui kualitas
tayangan yang mereka buat. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar