Bermain-main
dengan 140 karakter, tak pernah menjadi semenarik ini. Ya, semenjak ada
Twitter, menit-menit yang biasanya hanya kita habiskan dengan dlangap-dlongop ga jelas, bengong,
membayangkan sesuatu yang sebagian besar hanya bisa dibayangkan saja; tiba-tiba
beralih menjadi menit-menit yang diisi dengan sebuah kegiatan menyenangkan. Twitter
juga bertanggung jawab atas gaya berjalan baru hampir sebagian anak muda di
Indonesia: menunduk, memandangi layar hp, berjalan dengan ritme tidak jelas,
dan seringkali susah-nyambung jika diajak berbicara. Sering, kita mengulang
pembicaraan yang tadi sudah disampaikan, karena lawan bicara — seperti
disebutkan tadi — pasti akan merengek: “Eh,
apa? Gimana gimana tadi? Tadi ga jelas. Ulangin ulangin deh.”
Yang sudah
mengenal perkembangan teknologi dengan baik, pastilah akrab dengan Twitter. Rentang
usia penggunanya pun beragam: mulai dari anak kecil usia 8 tahun – sampai orang
tua yang digit dari umurnya hanyalah pengulangan dari angka tadi: 88 tahun.
Tapi memang — seperti rentang umur pengguna jejaring sosial lainnya di
Indonesia — kebanyakan pengguna Twitter masih didominasi oleh anak-anak muda,
dan (orang yang merasa dirinya masih seperti) anak muda Sebutlah pantaran umur
15 – 35 tahun. Patut dicurigai, apabila ada dari mereka yang masih dalam
rentang usia tadi, tapi tidak memiliki — atau bahkan belum pernah mengenal —
akun Twitter; pastilah sistem pemerintahan di daerah rumahnya masih menggunakan
pola kadipaten, di mana mereka memilih seorang Adipati sebagai pemimpin di
daerahnya. Bisa jadi.
Di antara sekian
banyak pengguna Twitter tadi, muncul segelintir orang yang dinilai pantas untuk
menyandang sebuah gelar, yaitu ‘Selebwtit’. Lalu, apa itu Selebtwit?
Ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan tentang ‘Selebtwit’, di antaranya:
- Selebtwit
bukan berarti ‘taruh di pohon’ dalam bahasa Jawa, karena itu seleh wit.
- Selebtwit
bukan berarti ‘taruh di sepeda’ dalam bahasa Jawa, karena itu seleh pit.
- Selebtwit
bukan berarti mantan jurnalis Rolling Stone yang sekarang konsen menggeluti
karir di ranah Standup Comedy, Seleh
Solihun. Oh, itu Soleh Solihun. Iya, tau yang ini garing. Garing Nugroho. [ b u
n u h s a j a l a h]
Siapa yang
pertama kali mencetuskan istilah ‘selebtwit’, ibarat berapa umur Nikita Willy
yang sesungguhnya: hingga kini, masih menjadi misteri. Tiada satu orang pun
yang tahu. Definisi ‘selebtwit’, bagaimana acuan standar selebtwit yang baik
dan sesuai kaidah (hei, bukankah ini lahan bagus untuk MUI?), dan siapa-siapa
saja yang berhak menjadi selebtwit masih rancu. Membolak-balik kitab suci pun
seakan nihil; karena saya juga tak mendapati jawaban atas kebingungan saya
perihal ‘selebtwit’ ini. Jadi, (sekali lagi) apa itu selebtwit?
Entah angin apa
yang mendasari saya untuk melakukan riset, sebelum mulai menulis artikel yang
bahkan-saya-tak-tahu akan dibaca oleh orang atau tidak ini; yang jelas, saya
sempat melakukan riset sederhana dengan metode random sampling, dengan koresponden beberapa teman-teman saya
kuliah:
Q: “Menurut
kamu, apa itu selebtwit?”
(Beberapa
jawaban ada yang saya edit & sederhanakan, tanpa mengubah makna jawaban
tersebut)
A1: “Yang followers-nya banyak. Yang nge-tweet
‘capek’ aja di-retweet berpuluh-puluh orang.”
A2: “Yang kalo nge-tweet lebay, semua orang juga
tahu, dan maksa. Apalagi kalo ngiklan.”
A3: “Ngga tahu juga. Tapi biasanya, orang yang
sering nongol di timeline kita, sekalipun dia ga kita follow."
A4: “Anak sajak. Timeline-nya rapih. Kadang ada yang
suka modus-modus murahan gitu. Eh tapi seru juga kok timeline-nya. Keren.”
A5: “Orang yang tahu bener caranya bersenang-senang
di Twitter”
A6: “Yang kaya kamu bukan, Bon?”
Jawaban tadi
saya dapatkan lewat bincang-bincang sederhana, bukan ter-struktur seperti riset
skripsi/thesis mahasiswa. Tidak
dibuat-buat, hanya diedit & disederhanakan tanpa mengurangi makna
sesungguhnya.*
(*) = Buat teman-teman Komunikasi UNS 2010, terima
kasih kesediannya menjawab, ya. Maaf saya dulu tanya-tanya, tapi ga bilang buat
apa. :p
Sebelum menyimak
jawaban 1-5, mungkin ada baiknya kita sedikit membahas poin nomer 6. Yang
pertama, saya tidak pernah self
proclaimed sebagai selebtwit. Dari definisi selebwit yang disampaikan di
poin 1-5, saya hanya ada di poin 4 dan 5; timeline saya bukan rapat tirakatan,
yang hanya dipenuhi RT-RT dari berbagai tempat, hanya saja saya menaruh sedikit
perhatian pada penggunaan tanda baca, estetika susunan kata, dan unsur ‘penak disawang opo ora’ kalo di-tweet.
Pun, saya menggunakan Twitter sebagai media bersenang-senang dan dan perantara
bagi saya untuk mengobati kejenuhan. Mungkin bagi beberapa orang, saya masuk di
poin ke 2, tak apa, itu hak mereka menilai saya bagaimana. Untuk sisanya, saya jelas tidak termasuk di kategori yang
lain: followers banyak, retweet-able, menggunakan akun untuk
kepentingan iklan barang/jasa, tidak pandai bersajak, tidak pandai ber-modus
ria, atau bahkan selalu muncul di timeline orang yang tidak mem-follow saya. Saya jauh dari itu.
Namun memang,
saya kenal & intens berhubungan
dengan beberapa teman yang seringkali disebut namanya ketika diajukan
pertanyaan ‘selebtwit siapa sih?’,
itu saja. itupun tidak banyak. Sekali lagi, esensi bermain Twitter bagi saya
adalah bersenang-senang, kalaupun sempat mengenal beberapa orang hebat dan luar
biasa di sini, itu bonus. Dan tidak ada salahnya untuk menerima bonus itu
dengan senang hati. Bukankah tidak baik, jika menolak rejeki? [h e k c u I h]
Kembali ke
bahasan soal jawaban beberapa rekan saya tadi. Jadi, apakah selebtwit itu bisa
didefinisikan persis seperti apa yang didefinisikan oleh rekan saya tadi?
Buat saya
pribadi: tidak.
Sebut saya
sebagai lelaki ber-standar ganda (karena standar nasional sudah jadi milik
Maspion, dan standar samping sudah jadi milik mas-mas parkir) karena saya kenal
beberapa rekan yang seringkali menerima gelar — dan mau tidak mau harus
menerima definisi suka-suka dari — Selebtwit.
Tapi hei, akal
sehat saya juga nampaknya sulit untuk menerima kenyataan sepihak seperti itu,
pun seandainya saya tidak mengenal beberapa dari mereka. Bagaimana bisa, kita menyalahkan
mereka atas melimpahnya followers
yang mereka miliki, hanya karena banyak dari orang yang tertarik dengan
‘ketidak-biasaan’ yang ada di akun miliknya? Jika kalian sanggup membenci
seseorang karena dia memiliki pengikut lebih banyak, lantas bolehkah saya tiba-tiba
membenci kalian hanya karena kalian jauh lebih kaya? Tentu tidak
.
Mungkin ada dari
kita yang berpikir “yang kami benci sikap angkuhnya, bukan jumlah follower-nya”.
Well, ini adalah bahasan yang tak akan pernah usai. Di satu sisi menganggap
‘tidak membalas mention adalah bentuk kesombongan’, yang satu menanggap itu
sebagai hal yang biasa saja. Saya sering ngobrol dengan teman, tentang
bagaimana memandang gejala ‘keangkuhan’ ini. Saya pribadi, lebih memilih
terlihat angkuh di dunia maya, untuk kemudian bersikap ramah di dunia nyata,
daripada sebaliknya. Fokus hidup saya di luar, bukan di linimasa. Tapi, memang
lebih baiknya menjadi ramah di dua ranah yang saya sebutkan. Musuh bukan
kepingan Tazoz, yang harus dikumpulkan sebanyak mungkin. Tidak ada salahnya
juga, untuk menjadi ramah dan mengumpulkan teman sebanyak-banyaknya di dunia
maya.
Sebagai manusia
normal, tentu kita memiliki kecenderungan untuk menganggap ‘diri kita lebih
dari orang lain’, yang membedakan antara individu satu dengan yang lain, hanya
di kadarnya. Ada yang terus menganggap hal ini sebagai sebuah pride yang harus terus dijunjung tinggi,
ada pula yang sesekali mau berkompromi dengan gengsinya. Ketika kalian memiliki
sesuatu yang orang lain tidak punya — dan itu dicapai dengan perjuangan —,
tentu saja itu sangat menggoda kita untuk bersikap jemawa; lihat bagaimana
Andhika Kangen Band beranjak dari remaja kampung yang memancing simpati &
rasa salut akan perjuangannya untuk menapaki kesuksesan, beralih jadi sosok
tengil & memancing umpatan seluruh ibu-ibu PKK di manapun berada. Di
Twitter mungkin tidak seekstrem itu, tapi pada dasarnya memiliki gejala sama: syndrome superstar. Kembalikan saja pada
masing-masing individunya.
Emang Lu Bisa Bikin? Bisa. Tapi…..
Lantas, ada
beberapa kawan yang kemudian menciptkan sebuah karya. Entah itu buku, entah itu
film, entah itu perhelatan, entah itu merchandise,
atau apapun yang diawali dari keberhasilan mereka menarik orang untuk mengamati
setiap kicauan mereka di Twitter. Namun seperti halnya sambutan sebuah karya di
manapun berada: selalu ada yang menyuarakan dukungan, pun dengan cercaan. Tidak
terkecuali karya ‘anak-anak’ Twitter.
Ada yang memang
sudah menikmati karyanya, lalu kemudian mengeluarkan opini pribadinya. Ada pula
yang memang nampaknya dianugerahi bakat untuk jadi cenayang, karena tanpa
menikmati karyanya, sudah mampu untuk mencerca. Sah-sah saja.
Saya pribadi,
berusaha untuk menikmati karyanya terlebih dahulu, lalu kemudian berkomentar.
Ada beberapa karya milik mereka, yang jujur, bagi saya biasa saja. Tidak
menimbulkan kesan “anjing, keren!”
dan membuat saya untuk terus menikmatinya secara berulang-ulang. Namun, ada
pula yang sanggup membuktikan kepercayaan publik, bahwa dia bukan hanya
mengandalkan ‘nama besar di Twitter’ semata.
Namun ada
baiknya kita mengingat, bukan tanpa pertimbangan seseorang ditunjuk untuk
menghasilkan sebuah karya. Di balik — bagaimanapun —hasil akhir sebuah
karya, tentu ada kelebihan dan sebuah
pencapaian yang sudah berhasil mereka torehkan. Bukan tanpa sebab, seseorang menunjuk mereka
untuk menciptakan sebuah karya. Namun ketika jumpa dengan industri, mungkin
mereka dihadapkan dengan berbagai pilihan. Ada baiknya sering-sering berkunjung ke ‘dunia’
mereka sebelum di Twitter (blog, website, dsb), untuk menilai bagaimana kualitas
mereka dalam berkarya.
Aku, Kamu, Kita Cuma Perlu Cuma Piknik
Jika ternyata kita
melewati hari dengan terus-menerus mencaci, mengolok-olok, atau bahkan
menentang pencapaian dengan membabi-buta, tanpa mau menerima fakta-fakta yang
selalu menyertainya; ada baiknya kita
mulai menghujat diri sendiri, karena begitu bebal, sampai-sampai tidak mau
menerima keberagaman.
Sampai saat ini,
saya hanya menganggap Twitter sebagai tempat bermain. Taman bermain pastilah
menyebalkan, jika hanya diisi oleh orang-orang relijius yang hidupnya semata
hanya untuk urusan surgawi saja. Di taman bermain, kita perlu orang tengil,
orang setengah tengil setengah alim, orang asyik, orang bandel, orang pendiam, orang
membosankan, untuk kemudian mengisi keberagaman yang ada di dalamnya.
Pun dengan Twitter yang selalu menjadi menarik
karena ada banyak ‘pelangi’ di dalamnya. Ada yang dari pagi sampai malam, kejar
setoran untuk cari retweet dan follower; ada yang bahkan dalam sehari, hanya
menuliskan satu tweet; ada yang dari pagi sampai malam, hanya membicarakan soal
cinta; ada pula yang komposisi jumlah tweet-nya, hampi 80 % ditujukan untuk
mencibir akun-akun yang gemar menulis perihal cinta; ada yang gemar menumpuk twitlonger tanpa memperhatikan tanda
baca; ada pula yang sangat teliti, mulai dari titik sampai koma. Tapi sekali
lagi, mereka yang membuat taman bermain kita menjadi menarik. Tanpa si
RT-abuser, kita tak akan tahu betapa indahnya ketika kita memperhatikan
keindahan susunan kalimat & tanda baca, tanpa mereka yang setiap hari
mengeluh soal betapa sengsaranya jatuh cinta, kita tentu akan jauh lebih
menghargai orang tercinta, jika tidak ingin bernasib sama ngenesnya seperti
mereka.
Hidup, terkadang
seperti warna rambut Mitha The Virgin: tak menentu dan selalu penuh dengan kejutan.
Tapi karena tak menentu itulah, hidup jadi menarik. Siapa yang tahu, suatu hari
nanti kita (berada pada kondisi yang sering dijumpai beberapa anak-anak
Twitter) akan kesulitan untuk berkata ‘tidak’, kepada mereka yang menawari kita
untuk melebarkan pencapaian dan karya yang pernah kita buat. Padahal setiap
hari, kita mencibir pencapaian mereka.
Siapa yang tahu
pula, akun dengan pengikut banyak yang sering kita agung-agungkan itu,
tiba-tiba di-hack oleh jasa layanan
pembesar penis, sehingga tak lagi bisa kita gunakan. Mulai lagi dari semula, menjalin
hubungan kembali dengan beberapa kawan yang ada di akun terdahulu, kembali
menjadi orang yang sedikit ‘ngoyo’
untuk kejar setoran retweet dan follower. Yah, siapa yang tahu?
Ketika kita
masih meributkan perihal ‘siapa-harusnya-harus-ngetweet-apa’,
di lain tempat, lahan bermain ini sudah bisa menggerakkan seseorang untuk
melakukan perubahan. Lihat, bagaimana masyarakat Mesir bisa menggulingkan
tirani, hanya karena isu-isu yang mereka angkat di linimasa mampu menggerakkan
orang banyak; lihat bagaimana masyarakat kita bisa menyuarakan dukungan untuk
KPK, keberagaman beragama, dan kesetaraan hak, karena beberapa orang hebat di
linimasa, mampu menggiring mereka untuk memiliki paradigma yang sama; lihat
bagaimana standup comedy di Indonesia
(mendadak bisa) jadi lahan penghasilan bagi pekerja seni, karena kemunculannya diawali
oleh bincang-bincang beberapa orang, yang sebelumnya hanya saling mengenal via
Twitter; saya juga sempat menyaksikan langsung, bagaimana animo anak muda di
kota Solo – dan kemudian diikuti oleh kota-kota lain —, untuk mengungkapkan
kecintaannya pada Lokananta (yang sebelumnya terbengkalai), hanya melalui movement sebuah tagar di Twitter, tanpa
media promosi lain yang jor-joran. Twitter, memang hanya dibatasi oleh 140
karakter, tapi dampak dan manfaat yang bisa dirasakan oleh penggunanya, bisa
menjamah individu yang dipisahkan jarak hingga beribu-ribu kilometer.
Sayup-sayup terdengar
“Bisanya ngetwit sama ngebacot doang lu
di Twitter. Kaya selebtwit aje,” yang kemudian dibalas:
“LAH ELU MAU NGAPAIN KALO DI TWITTER?
KHATAMAN AL-QURAN? NANEM PALAWIJA?”