Saya tak pandai
dalam menuliskannya, tapi selalu suka dengan yang namanya puisi. Saya
ingat ketika SMP kelas 1, saat berkunjung ke rumah kerabat di Bandung, dan kemudian mendapati tumpukan
majalah Horison. Saat itu, saya belum terlalu mengerti apa isi di dalam majalah
tersebut. Namun yang pasti, sepulang dari Bandung, rasa penasaran saya semakin membukit. Teramat sangat. Kemudian,
saya minta kepada Ayah untuk mencarikan majalah serupa. Dan semenjak itu,
kecintaan saya [meskipun tak terlalu besar] kepada puisi pun mulai tumbuh.
Ada banyak penyair yang
saya kagumi, diantaranya Cecep Syamsul Hari. Beberapa karyanya sering dimuat di
Kompas, Horison, dan The Jakarta Post. Yang saya kagumi dari beliau adalah:
seleranya yang terkadang liar dan cenderung ‘sakit’. Bisa dilihat di karya
terjemahan dan suntingannya, antara lain: ‘Para Pemabuk dan Putri Duyung’ (1996: Pablo Neruda), Hikayat Kamboja (1996: D.J Enright), dan Mamannoor: Umi Dachlan dan Abstraksi (2000). Puisi-puisinya juga
pernah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Salah satunya dalam ‘Kenang-Kenangan’, yang diterjemahkan ke Heat Literary International oleh Harry
Aveling, 1999, Australia
dan Secret Words: Indonesian Poetry 1966
– 1998, 2001, Amerika Serikat,
Berikut, puisi
dari beliau yang menjadi salah satu favorit saya:
Kenang-kenangan
Bagaimana harus
kuucapkan pengakuan ini: Aku jatuh cinta
berulang kali
pada matamu, danau dalam hutan di negeri ajaib
yang jauh
menyelusup dalam ingatan itu. Berabad-abad
yang lalu,
kuucapkan selamat tinggal pada apa pun
yang berbau
dongeng, atau masa sulam. Tetapi cinta,
bukan sebotol
coca-cola. Atau Film Disney:
di sana tokoh apa pun tak
pernah mati. Juga bukan Rumi
yang menari.
Sebab pada matamu bertemu semua musim,
sejarah dan
sesuatu yang mengingatkan aku pada sautu hari
ketika waktu
berhenti, dan kusapa engkau mesra sekali.
Kini, bahkan
wajahmu samar kuingat kembali.
Haruskah
kuucapkan pengakuan ini: Aku jatuh cinta
berulang kali
pada matamu, danau dalam hutan di negeri
ajaib yang jauh
menyelusup dalam ingatan itu. Tetapi cinta,
bukan sekedar
popok kertas. Atau sayap sembilan puluh
sembilan burng
Attar yang terbakar. Cinta, barangkali,
kegagapanku
mengecup sepasang alismu.
1994, Cecep Syamsul Hari.
Kak kritik puisi Cecep Syamsul yang sayap kenangan yang terbakar dong
BalasHapusI love CSH!
BalasHapusKaryanya😊