Saya
selalu percaya bahwa sepak bola bisa memantik banyak romansa dalam kehidupan.
Tidak hanya berlaku untuk mereka yang mengenali sepak bola secara kafah, tapi
juga untuk mereka yang setengah-setengah atau sekadar paham saja dalam
mengenali si kulit bundar. Tak peduli bagi mereka yang memekik dukungan di Curva Sud San Siro, atau pinggir tanah
lapang berdebu dari sudut desa Polokarto, sepak bola selalu punya cara untuk
menciptakan romansanya sendiri. Berbagai macam –itas dilahirkan di sana: loyalitas, rivalitas, solidaritas,
identitas, humanitas, kolektivitas, maskunilitas, sportivitas, dan ‘mereka’
selalu beriringan mengikuti ke mana saja bola bergulir. Setelah 90 menit—juga
kadang selepas azan magrib, beberapa dari –itas
ini memudar, sebagian sisanya terlekat erat bahkan menempel pada hal-hal
yang tak berkaitan langsung dengan sepak bola.
Minggu
(23/9) lalu, sepak bola berlabuh pada sisi –itas
yang salah; ia menjelma menjadi monster yang menyeret orang untuk melahap
kebencian dan merawat kebiadaban. Pada sore yang terik di Gedebage, Bandung,
Haringga Sirla meregang nyawa sebelum menyaksikan laga Persib versus Persija.
Belakangan diketahui kalau pria 23 tahun itu terdaftar sebagai anggota The
Jakmania, barisan suporter loyal milik Macan Kemayoran. Sejak mendengar berita
itu, gol Bojan Mališić pada menit 94 tak lagi membuat saya berkesan. Sundulan
bek asal Serbia yang meneruskan bola dari Victor Igbonefo itu sempat membuat
saya berteriak ‘gol!’ karena terbawa antusiasme menit-menit akhir yang cukup
menegangkan. Sebagai penonton yang tak menaruh dukungan pada siapapun yang
sedang bertanding di Stadion Gelora Bandung Lautan Api hari itu, menyaksikan
dua tim elit Indonesia bertarung habis-habisan dengan pertaruhan gengsi yang
tak main-main adalah pengalaman yang mengesankan. Di dalam hati, saya sempat
berseloroh “gini dong, derby gede ada
geregetnya.”
Tapi setelah membaca kabar meninggalnya Haringga lewat sosial media, antusiasme itu seketika ambyar. Gol itu tak lagi berkesan, riuh rendah bobotoh di GBLA tak lagi membuat saya merasa kagum, hari itu, ada nyawa yang dipaksa melayang karena sepakbola. Romansa itu hilang. Untuk barang sekejap, cinta hilang di bumi para dewa.
Tapi setelah membaca kabar meninggalnya Haringga lewat sosial media, antusiasme itu seketika ambyar. Gol itu tak lagi berkesan, riuh rendah bobotoh di GBLA tak lagi membuat saya merasa kagum, hari itu, ada nyawa yang dipaksa melayang karena sepakbola. Romansa itu hilang. Untuk barang sekejap, cinta hilang di bumi para dewa.
Tidak
ada satupun nyawa yang sebanding dengan sepak bola. Ucapan ini kembali
digaungkan di seantero linimasa, setidaknya sebanyak 17 kali—sebelum kasus
Haringgga—terucap sejak 2017-2018; 17 kali kita mengutuk peristiwa kelam
serupa, 17 kali tangis pecah di rumah para korban, 17 kali pula kita berharap
ini jadi yang terakhir. Sayang takdir berkata lain, karena kepergian Haringga ‘membuat’
Indonesia kembali harus melontarkan rangkaian duka dan kegeraman serupa untuk
kali ke-18. Tanpa perlu menunjuk, rasanya sungguh keterlaluan jika peristiwa
ini tak membuat siapapun jadi berbenah dan mempertanyakan cara kita mencintai
sepakbola. Yang tercucur dari suporter di dalam stadion seharusnya cukup
keringat dan air mata saja, tak perlu sampai darah.
Saya tak
ingin memperkeruh suasana, atau mengungkit luka lama yang bisa disalahartikan sebagai ‘amunisi’ balasan terkait rangkaian peristiwa serupa di
masa lampau. Gaduh seperti itu hanya akan membuat banyak orang lupa kalau kita
sedang berduka. Haringga dan 17 korban lain yang berjatuhan dalam setahun
belakangan tidak mangkat untuk meninggalkan pertikaian baru bagi kita yang
masih ada di sini, sebaliknya, justru harus ada perubahan mendasar terkait cara
pandang semua orang tentang bagaimana memaknai sepak bola. Boleh jadi dalam fase
berkabung seperti ini, tak ada yang lebih tepat dari mengoreksi diri sendiri
sekaligus mendesak federasi terkait untuk menciptakan kebijakan yang memaksa semua
unsur jadi berpikir ulang untuk memproduksi teror dan aksi tak bertanggung
jawab di kemudian hari. Jika solusi kedua dirasa sulit—dan nampaknya demikian,
maka sebaik-baiknya langkah perbaikan memang harus dimulai dari diri semua
orang yang dengan memang menjatuhkan pilihan cintanya kepada sepak bola.
Sebagai
orang yang hidup dari menulis dan sepak bola, harus diakui kalau atmosfer rivalitas
yang rawan gesekan memang sering menempatkan saya dalam kondisi yang
menguntungkan. Baik di level nasional atau internasional, saya merasa bahwa
memercik kebencian pada satu kelompok memang lebih mudah untuk mendulang
berbagai pencapaian semu dari perspektif profesi. Tapi ketika percikan itu
membesar, saya ikut mengutuk. Seperti lupa kalau apa yang saya lakukan juga
turut menyeret orang dalam lahapan kebencian yang kerap saya percik. Tak ada
tuntutan untuk mengedukasi pecinta sepak bola tentang bahasan norma memang,
tapi pasca insiden berulang seperti yang sudah-sudah, saya rasa hal sekecil
apapun tetap memiliki andil dalam merawat kewarasan atmosfer sepak bola di
negeri ini.
Ketika
menulis ini, saya masih berada di kantor. Pulang paling larut dibanding
rekan-rekan yang lain. Pikiran saya mengawang pada keluarga Haringga setelah
membaca beberapa update berita
tentang peristiwa terkait. Tak bisa saya membayangkan, ada rasa sesak yang
begitu teramat dari dada sang ibu karena anak lelaki yang mencium tangannya
untuk pamit pergi, pada akhirnya tak akan pernah pulang lagi. Pada satu
kesempatan, Mirah—sang ibu—bahkan bercerita tentang detail peristiwa yang
menawaskan anak lelakinya itu kepada pers, yang berarti ia sempat menyaksikan cuplikan
video brutal yang entah sudah tersebar sampai ke mana itu. Sepak bola tak
seharusnya jadi belanga kepiluan, sepak bola tak seharusnya membuat para ibu jadi
risau menantikan kepulangan anaknya di rumah, sepakbola tak seharusnya membuat
orang pulang tinggal nama.
Di satu
titik, terkadang saya memikirkan kemungkinan-kemungkinan ekstrem yang terus
mengusik tiap muncul insiden seperti ini. Berulangkali dihantam rangkaian
gerbong kesedihan yang seperti tanpa usai, membuat saya bertanya: “apakah
sebaiknya sepakbola dibubarkan saja?” Sudah alpa prestasi, terus menerus
menelan korban pula. Mungkin, sepakbola memang bukan untuk kita. Barangkali,
takdir kita memang hanya jadi penonton saja, tak perlu ikut-ikutan menciptakan
industri yang pada akhirnya tak pernah dikelola secara becus. Namun pada saat
bersamaan, saya mengingat kembali ucapan yang saya tulis di awal tulisan ini:
sepak bola bisa memantik banyak romansa dalam kehidupan. Lalu, saya punya hak
apa untuk melarang orang jatuh cinta? Apa yang sudah disatukan bola, tidak
boleh diceraikan manusia.
Saya
juga paham, rangkaian kata-kata bijak atau barisan kalimat indah tidak akan
mengubah apapun andai tak disertai perubahan mendasar terkait mental suporter dan
regulasi yang mengikat dalam sepak bola. Tapi mengutip ucapan Guillén Vicente
yang termasyhur itu: kata adalah senjata. Apalagi, sepak bola kerap bicara soal
olah rasa. Ada ikatan kuat yang kerap menyihir orang di dalamnya untuk rela
melakukan apa saja. Lewat tulisan ini, saya hanya mengajak Anda semua untuk
kembali meredefinisi makna cinta dalam sepak bola. Karena dari sekian banyak
skenario kehilangan dalam hidup, kehilangan orang tercinta akibat cintanya pada
sepak bola adalah pilihan terakhir bagi siapapun yang dengan bangga menepuk
dada sebagai pecinta sepak bola.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar