Lembe-Lembe! |
Dari Jakarta, turun ke Lokananta. Enam sekawan ini bernyanyi, berdansa, sembari bercerita tentang angan yang tak kelewat muluk dan kemungkinan membuat album religi
**********************************
Selang setahun setelah merilis White Shoes and the Couples Company
Menyanyikan Lagu2 Daerah dalam format CD, White Shoes and the Couples
Company (WSATCC) memutuskan untuk kembali merilis mini-album tersebut dalam
format double
gatefold 7 inch. Bekerjasama dengan The Think Organizer, pada Kamis
(30/4) lalu mereka mengadakan pesta peluncuran dan penjualan mini-album
tersebut di Lokananta —studio yang juga menjadi tempat penggarapan White Shoes and the Couples Company
Menyanyikan Lagu2 Daerah. Malam itu, ruangan studio Lokananta disulap
menjadi panggung sederhana yang intim, dengan melibatkan WSATCC dan 300
penggemarnya yang hadir sebagai sejolinya.
Acara ini dibuka dengan testimoni
dari sang manajer, Indra Ameng dan Andi —perwakilan dari Studio Lokananta,
tentang proses penggarapan mini-album White
Shoes and the Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah. Stephanus Adjie, vokalis
Down For Life yang didapuk sebagai pembawa acara, berhasil membuat sesi
testimoni ini menjadi kocak dan jauh dari kategori membosankan —sebagaimana
testimoni pembuka di acara serupa. “Setelah White Shoes, saya dapat kabar kalau
Metalllica juga akan membuat vinyl di
Lokananta. Album mereka akan dibuat edisi vintage!”
ujar Adjie. Mungkin jika sudah tidak lagi berkutat di ranah musik metal,
Adjie tahu harus banting setir ke profesi apa.
Bukan kali pertama WSATCC tampil di dalam studio Lokananta. Hampir dua tahun silam, mereka juga pernah merasakan sensasi manggung di studio legendaris ini, dalam sebuah acara amal yang bertujuan untuk kembali ‘menghidupkan’ geliat Lokananta. Komposisinya masih sama: penonton di dalam duduk lesahan, intim, penuh sesak, dan sedikit gerah. Hanya saja, untuk konser kali ini WSATCC menyiapkan tata lampu dan cahaya yang lebih apik.
Seakan
merayakan kembalinya momen kebersamaan dengan para penggemarnya di kota Solo,
WSATCC langsung membuka dengan tembang cantik dari album Skenario Masa Muda, “Super Reuni”. Sang biduan, Aprilia Sari tahu
betul cara menyapa dan membuat para penonton merasa semringah. Nona yang satu
ini, tanpa henti menebar aura bahagia ketika bernyanyi dan berdansa. Seisi
Lokananta seakan disuguhi dua anugerah secara bersamaan; nikmat rupa, juga
nikmat suara. Tak lama berselang, mereka kemudian membawakan lagu yang sempat
populer di era ’50, “Aksi Kucing” —dan seperti biasa, langsung dipenuhi dengan
sahut-sahutan “meong, meong” antara
penonton dengan sang penampil. Berurutan setelahnya, WSATCC memainkan
“Vakansi”, “Senandung Maaf”, medley “Tentang Cinta – Selangkah – Masa Remadja”,
sebelum mengakhiri pertunjukan dengan koor massal di nomor “Kisah dari Selatan
Jakarta”.
Selayaknya
adegan penutup konser pada umumnya, WSATCC kemudian undur diri sembari
mengucapkan salam terimakasih kepada para penonton dengan terburu-buru.
Selayaknya respon penonton pada umumnya pula, mereka kemudian berteriak “lagi,
lagi, lagi!” dengan keyakinan penuh bawa musisi idolanya itu akan kembali naik
ke atas panggung. Dan benar saja, sejurus kemudian WSATCC kembali berada di
atas panggung. Riuh tepuk tangan dari penonton pun langsung terdengar.
Dramatis? Bisa jadi.
Pertunjukan sebenarnya justru baru saja dimulai. Setelah lampu panggung dipadamkan, seketika itu pula muncul suara deburan ombak dan hembusan angin yang berulang. Kombinasi ini, adalah pengantar dari nomor pembuka mini-album White Shoes and the Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah, “Jangi Janger”. Lagu tradisional anak yang berasal dari Bali ini, dimainkan tanpa iringan instrumen dan berhasil menanggalkan kesan magis serta megah. Setelah itu WSATCC membawakan lagu “Tjangkurileung”, yang merupakan buah karya seniman besar Sunda, Koko Koswara. Nuansa rockabilly yang kental di dalam lagu ini, berhasil membujuk para penonton untuk menggoyangkan badan dan turut serta memberikan iringan tepuk tangan tanpa henti.
Pasca encore, mereka membawakan seluruh lagu
yang ada di mini-album White Shoes and
the Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah. Kejutan dengan suguhan eksplorasi
musik sampai tingkatan paling dalam, mereka buktikan dengan menyisipkan
sentuhan baru di tiap-tiap nomor. Sisipan surf-rock, psikedelik,
akustik-ballad, ketukan disko klasik khas film ’70-an serta kocokan gitar ala
funk-jazz yang dikawinkan dengan vokal nan ciamik milik Nona Sari, bisa Anda temukan
di “Lembe-Lembe”, “Te O Rendang O”, dan “Tam-Tam Buku”. Repertoar ini, kemudian
ditutup tanpa cacat oleh hit mereka dari 2005, “Windu Defrina”.
Konser telah
usai, tapi tidak dengan keriaan yang ada di dalamnya. Setelah turun panggung,
WSATCC langsung mengadakan sesi meet
& greet dengan para pengggemarnya. Berfoto bersama, sekaligus
menandatangani seluruh ‘dagangan’ yang mereka bawa dari Jakarta. Perwakilan Demajors
—perusahaan rekaman yang bertanggung jawab untuk mendistribusikan mini-album
ini, nampak tersenyum lebar tatkala mendapati lapaknya laris manis bak penjualan
mantel plastik di kala musim hujan tiba. 50 piringan hitam dan 50 cakram padat yang
mereka bawa, seluruhnya habis terjual. Piringan hitam White Shoes and the Couples Company Menyanyikan Lagu2 Daerah sendiri
hanya diproduksi sebanyak 300 keping, dan dilepas dengan harga Rp. 280 ribu.
“Alhamdulillah deh kalau gitu,” ujar Sari
tatkala mendengar kabar bahwa piringan hitam yang mereka bawa habis terjual. Ricky Surya Virgana sang bassist, bercerita tentang proses produksi mini album ini. “Proses
pengerjaan album ini memang di Lokananta, tapi pressing-nya sih di Italia. Sempat ada opsi, supaya hasil rekaman
dibawa ke Prancis, tapi biaya produksinya kelewat mahal. Padahal dulu, semua
piringan hitam musik Indonesia —bahkan Asia Tenggara pressing-nya ya di sini, di Lokananta. Tapi, mesinnya udah dijual
ke Singapura.” kata Ricky.
Ketika disinggung
mengenai pesan yang ingin disampaikan WSATCC dalam album ini, Sari mengaku bahwa
mereka tidak merancang atau menyisipkan pesan yang kelewat muluk.
“Biasa aja.”
“Gini,
sebetulnya kita rekaman di Lokananta itu memang karena kami ingin membuktikan
bahwa studio ini tuh sama seperti
studio-studio lain; bisa dipakai rekaman. Udah itu aja. Karena kami sadar, bahwa pesan
dari kami saja tidak akan mengubah sesuatu secara signifikan. Jamannya memang
sudah berbeda, memang ga bisa
dipaksakan kalau visi dan misinya memang sudah ga sejalan,” ujar Sari tegas.
Nona Sari dan Aprilia Sari memang dua karakter yang berbeda: yang satu tampil
sebagai biduan, dengan lemparan senyum setiap saat dan raut mata yang ingin
menyenangkan semua orang dari atas panggung. Yang satu lagi: sesekali
tersenyum, garis wajahnya sedikit serius dan lisannya terdengar tajam dalam
menyampaikan gagasan. Tapi yang pasti, baik Nona Sari maupun Aprilia Sari
sama-sama memiliki senyum yang menenangkan, juga menyenangkan.
Sari
menambahkan, “Kalau soal lagu daerah, itu memang sudah menjadi kebiasaan kami
sejak lama. Sebelum proses rekaman album ini, kami sempat beberapa kali
membawakan lagu daerah. Meskipun yang sering kami bawakan, malah tidak kami
rekam. Jadi, kami tidak terlalu mengemban misi yang kelewat spektakuler;
melestarikan lagu daerah, menyelamatkan budaya, atau yang lainnya. Kami
melakukan apa yang kami suka saja, kalau kemudian banyak pendengar yang
sama-sama menyukai juga, ya itu bonus.”
“Lagian, terdengar berlebihan ga sih kalau kita menyampaikan gagasan seperti itu? Toh sebetulnya, tiap hari lagu daerah itu masih sering dinyanyikan di sekolah dasar. Anak-anak masih banyak yang hapal lagu daerah. Banyak hal yang sering kita lakukan sehari-hari, sehingga saking seringnya, kita ga sadar kalau itu sudah menjadi bagian dari hidup kita,” tutur Sari.
“Cuma, dulu
memang lagu daerah memiliki tempat yang sejajar dengan musik kebanyakan. Musik
pop, misalnya. Kami cuma mau mengembalikan itu saja,” ujar Ricky menambahkan. “Kami
tidak ingin merasa terbebani dengan apa yang kita buat. Misalnya mau puasa bikin
lagu pop-religi, padahal gua ngaco, masih sering ngomongin orang, bahkan
mungkin puasa juga ga! (tertawa)” kata Rio Farabi sang gitaris.
Penggebuk drum,
John Navid juga mengiyakan pendapat personel lainnya. Menurutnya, ia juga
menyadari kapasitas WSATCC. “Kami ga berharap
lebih. Yaudah, sederhana aja gitu. Orang tau kita bisa rekaman di
Lokananta......”
“....kalau suka
beli, ga suka rugi,” pungkas Ricky dengan jujur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar