Sugeng
siang, Pak Jokowi.
Saya menulis surat ini di
tengah siang yang tiba-tiba beranjak mendung, Pak. Sedikit terasa aneh,
menyaksikan langit kota Surakarta terlihat kelam seperti saat ini; di siang
hari, di bulan Juni, di mana saya lebih sering mendengar bahaya ancaman
kebakaran musim kemarau, seperti yang sering diberitakan di tayangan televisi. Mungkin
saat saya selesai menulis surat ini, hujan akan turun. Tentu akan saya nikmati
saja, Pak. Karena bagi saya, tak ada yang lebih nikmat dari tidur siang di
tengah rintik-rintik hujan. Tapi kalau Bapak mau alasan yang lebih puitis,
silakan simak kata Sapardi —penyair yang juga lahir di kota yang kita cintai ini,
dalam puisinya yang ia tulis pada 1994, Hujan
Bulan Juni, “tak ada yang lebih bijak, dari hujan di bulan Juni.”
Tempo hari, saya
menyaksikan Bapak tampil di televisi. Dalam kesempatan itu, Bapak berulangkali
menyebut soal Drone, cyber, hybrid, dan
istilah-istilah lain yang mesti memaksa saya untuk membuka laman Google. Saya
bersyukur, tidak menjadi lawan debat Bapak pada malam itu. Saya hanya menjadi
penonton layar kaca, saya masih punya kesempatan untuk membuka ponsel dan
berselencar di mesin pencarian dunia maya, sembari mencari tahu makna istilah
yang sering Bapak sebut tadi. Sebuah momen sederhana, yang tentu saja sangat
diinginkan Pak Prabowo saat melakoni debat sesi kedua beberapa pekan lalu.
Kalau bisa melakoni hal yang sama, sudah barang tentu beliau tidak akan
kebingungan soal istilah TPID. Ah, Pak Jokowi memang paling bisa kalau sudah
melihat celah.
Saya terpukau, dari
hal-hal kecil seperti itu. Bapak memang tidak memiliki latar belakang berkecimpung
di bidang pertahanan negara, seperti yang dimiliki calon lain. Tapi terlihat
jelas, Bapak belajar untuk mendalami permasalahan yang ada di dalamnya. Boleh
jadi, orang beranggapan bahwa semua itu adalah saran dari tim penasihat Bapak —tim
penasihat yang sudah dipersiapkan untuk meriset segala duduk permasalahan di
bidang pertahanan negara, dan kemudian Bapak hanya tinggal “terima jadi” saja.
Tapi jika memang seperti itu adanya, perlu diketahui bahwa saran hanya akan menjadi
saran apabila tak didengar. Ini yang harus mereka tahu: jika dugaan mereka
benar, maka apa yang Bapak sampaikan di dalam debat itu, adalah apa yang telah
Bapak dengar. Sesuai dengan makna pemimpin yang berulangkali Bapak sampaikan: pemimpin
yang baik, adalah pemimpin yang sanggup mendengar.
Tapi saya ingat, Bapak
bukan sosok yang hanya suka mendengar dari satu pihak saja, bukan? Dalam debat
kedua, Bapak bercerita tentang alasan melakukan blusukan. Bapak tidak bisa, hanya mendengar kabar dari bawahan Bapak,
bahwa kampung ini sejahtera; kampung ini makmur; rakyat di sini kesehatannya
terjamin; anak-anaknya sudah mendapat pendidikan yang layak; dan seterusnya dan
seterusnya, tapi tidak pernah mendengar langsung dari yang bersangkutan —dari
rakyat yang Bapak pimpin. Untuk itulah, Bapak turun ke bawah, mendengar
langsung segala puja-puji dan keluh kesah dari rakyat, tanpa diberi ‘bumbu
tambahan’ dari bawahan. Bukan begitu, Pak?
Pak Jokowi yang
semringah, sering saya lihat di televisi, Bapak sudah berkeliling nusantara
untuk berkampanye sekaligus mendengarkan aspirasi dari masyarakat setempat ya
Pak? Kalau memang begitu, Alhamdulillah, berarti
saya tidak perlu menulis surat ini terlalu panjang. Anggap saja ini seperti surat
cinta dari Bu Iriana, Pak. Setahu saya, surat cinta mampu mengembalikan romansa
antar pasangan, apalagi jika kedua pasangan tengah berada di titik jenuh.
Karena ketika membaca surat cinta, mereka serasa diajak untuk kembali
mengingat, alasan kenapa mereka berhubungan, kenapa mereka bisa saling jatuh
cinta, dan berbagai kenangan manis yang ada di dalamnya. Aih, manis betul.
Nah,
surat ini (saya harap) juga memiliki fungsi serupa, Pak. Jika Bapak sudah
terpilih dan suatu saat berada di titik jenuh atau sedang butuh asupan
semangat, kiranya surat ini bisa kembali mengingatkan Bapak, bahwa di pundak
Bapak, ada optimisme sebagian rakyat
akan perubahan yang lebih baik; ada segala keluh kesah dari masyarakat, yang
berharap bahwa masalahnya sanggup Bapak selesaikan; ada doa baik yang teriring,
agar Bapak sanggup memimpin negeri ini dan dijauhkan dari segala macam
kemaksiatan serta marabahaya. Semoga, surat ini sanggup menjalankan semua
fungsi itu dengan baik. Semoga.
Yang ingin saya bahas pertama,
Pak Jokowi, mengenai keputusan Bapak untuk menjadi orang nomor satu di negeri
ini. Tapi sebelumnya, izinkan saya untuk menceritakan apa yang saya lihat dan
saya rasakan, selama Bapak memimpin kota Surakarta —selama hampir dua periode. Saya
ingin mengucapkan banyak terima kasih. Semenjak dipimpin Bapak, kami makin punya
banyak cerita yang siap dibanggakan, apabila orang bertanya tentang
perkembangan kota ini. Tak perlu saya ceritakan satu per satu, karena jejak
rekam Bapak selama di Surakarta sudah amat sering diberitakan oleh media. Satu yang
pasti, sampai saat ini saya masih sering terpukau melihat program ‘militansi-ideologi’
yang Bapak usung bersama Pak Rudi dulu, membuahkan hasil yang begitu
mencengangkan. Sesekali, saya menantang kawan yang berasal dari luar kota untuk
menceritakan kembali apa yang saya ceritakan —tentang prestasi Bapak, kepada
para pedagang atau pengusaha kecil di Surakarta, dan lihat apakah mereka
mengamini semua ucapannya atau tidak. Dan hasilnya selalu sama, kawan saya
mengalamatkan tepukan pelan di bahu kanan saya, seraya berkata: “Gila walikota
lo, keren. Andai pemimpin di kota gue kaya punya lo juga!” Sungguh, ada kebanggaan
tersendiri tatkala mendengar hal seperti itu.
Tapi bak petir di siang
bolong, saya begitu terkejut saat mendengar Bapak akan mengajukan diri untuk menjadi
calon Gubernur Jakarta. Saat itu, isunya memang sedang beredar kencang di
berbagai media. Tapi, saya berusaha meyakinkan diri sendiri dengan berpikir “Ah,
tidak mungkin,” berulang-ulang kali. Ngeyem-ngeyem
awake dhewe. Tapi pada akhirnya, apalah saya ini. Saya hanya bisa berharap,
dan Bapak sendiri yang sanggup untuk memutuskan.
Dan benar saja, Bapak
akhirnya memutuskan untuk maju sebagai calon Gubernur Jakarta dan hasilnya
berujung dengan kemenangan. Ada rasa sakit hati? Tentu. Saya seperti tidak
rela, melihat Bapak berkecimpung di tengah pusaran bajingan-bajingan Ibu Kota.
Saya terlalu sayang Bapak. Saya tidak sanggup membayangkan, jika nantinya salah
satu putera terbaik kota Surakarta akan menjadi bulan-bulanan di Jakarta,
padahal menyandang prestasi gemilang di kota kelahirannya sendiri.
Tapi setelah Bapak memimpin
Jakarta, kenyataan berkata lain. Di Jakarta, Bapak bersama Ahok membuat
berbagai gebrakan yang pada akhirnya membungkam keraguan para pembenci Bapak. Mulai
dari pembenahan waduk Pluit, pengelolaan PKL Tanah Abang, penataan Rumah Susun
Marunda dan Muara Baru, Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar, hingga perbaikan
birokrasi dari skala paling kecil. Saya yang tadinya tidak peduli dengan perkembangan
kota Jakarta, mau tidak mau jadi ikut memantau. Bapak berhasil membuat saya
penasaran, untuk menanti gebrakan apa lagi yang akan Bapak lakukan demi terwujudnya
Ibu Kota yang lebih baik. Saya lihat, Bapak juga berhasil menanamkan optimisme
kepada warga Jakarta, bahwa kotanya memang akan bergerak menuju perubahan.
Modal berharga, yang akan sangat berguna untuk pembangunan sebuah kota dari
waktu ke waktu, siapapun pemimpinnya nanti.
Mendekati bursa
pencalonan Presiden, berbagai nama muncul sebagai kandidat. Yang tidak saya
paham, kenapa nama Bapak disebut-sebut? Pikir saya, Bapak baru 1,5 tahun menjabat.
Tidak mungkin, Bapak mau menciderai kepercayaan warga Jakarta yang telah
memilih Bapak. Tapi belajar dari kasus pencalonan Gubernur Jakarta kemarin,
saya tidak berharap banyak untuk kali ini. Saya hanya menyaksikan saja, sembari
berharap-harap cemas. Ah, akhirnya kejadian juga. Lewat akun Twitter resminya,
PDI-P resmi mengajukan Bapak sebagai calon Presiden. Kecewa lagi? Sedikit. Tapi,
sisanya saya merasa antusias.
Biar saya jelaskan,
kenapa saya kecewa dan kenapa saya merasa antusias. Kecewa, karena Bapak
kembali tidak menepati janji untuk mengurus kota yang Bapak pimpin, sampai masa
jabatan Bapak rampung. Saya harus jujur, tentu saya kecewa. Tapi seiring berjalannya
waktu, saya mencoba berpikir rasional. Apa betul, saya pantas kecewa lagi untuk
kali ini?
Latar belakang
kekecewaan saya —dan kebanyakan orang, mungkin hampir sama. Kami kecewa, karena
sebetulnya kami berharap besar bahwa Bapak akan membuat sebuah perubahan
spektakuler di Surakarta maupun Jakarta. Kami cemburu, kami ingin Bapak fokus
mengurus kota kami saja, masa bodoh dengan kebutuhan lain yang lebih jauh lebih
besar dan lebih penting. Pokoknya, Bapak harus membuat kota kami jadi lebih
maju dan bersolek. Karena kami tahu, Bapak sudah teruji dan mempunyai
kapabilitas yang mumpuni.
Kemudian saya tersadar,
bahwa saya egois betul. Seharusnya, putera terbaik bangsa bukan hanya milik Surakarta
dan Jakarta, tapi milik Indonesia. Jika ada tugas negara sanggup dia jalankan
demi kepentingan dan kemaslahatan yang lebih besar, lantas kenapa kami menahan
Bapak? Jika rakyat sudah punya mau, lantas kami ini mau apa? Surakarta dan
Jakarta sanggup Bapak pimpin jadi baik, kenapa Indonesia tidak?
Memang betul, mengurus
Indonesia tidak semudah mengurus Surakarta dan Jakarta. Tapi, tidak mudah bukan
berarti tidak bisa. Bapak pernah bilang, duduk permasalahan di setiap wilayah
itu biasanya kurang lebih sama, hanya skalanya saja yang berbeda. Lagi pula,
yang Bapak pimpin di Surakarta dan Jakarta selama ini, juga sama-sama manusia,
sama-sama warga negara Indonesia, bukan alien. Asalkan diiringi dengan niat
baik, saya percaya Bapak pasti bisa melakoninya. Karena menjadi pemimpin bukan
hanya soal mampu, tapi juga soal mau.
Selang beberapa hari
setelah Bapak resmi mencalonkan diri sebagai Presiden, banyak opini bertebaran
di sana-sini. Ada yang bersifat mendukung, ada pula yang bersifat menghujat. Salah
satu yang paling saya ingat, di linimasa saya ada yang berkomentar seperti ini,
“Mau Jokowi jadi Presiden juga sama aja, ga bakal ada bedanya. Indonesia ini
udah gawat. Malah kasian Jokowi.” Benarkah?
Di dalam buku “Nasihat
Untuk SBY”, Adnan Buyung Nasution berkali-kali mendapat kritik yang bernada
tragis, mengenai keputusannya untuk menerima jabatan Wantimpres. “Negara ini
ibarat kapal yang hampir karam, percuma masuk ke dalam pemerintahan pusat,
karena hanya perkara menunggu waktu saja untuk tenggelam.” Lalu. Adnan menjawab
kritik itu dengan baik, “Memang negeri ini hampir karam, tapi justru karena
itu, saya sebagai pejuang bangsa berkewajiban untuk menyelamatkan martabat
bangsa ini agar tidak tenggelam.” Ini poin yang saya maksut, justru karena
negeri ini sedang dalam keadaan genting; di mana kami semua membutuhkan sosok
pemimpin yang mampu menumbuhkan semangat untuk kembali bangkit, maka sudah
seharusnya sosok seperti Bapak ini hadir.
Jadi, mantapkan
keyakinan Bapak bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Jangan pernah ada
sedikitpun keraguan di dalam hati Bapak. Bapak tidak melanggar undang-undang,
hanya dianggap menciderai etika personal karena terjun ke arena politik yang
lebih besar, saat masa jabatan Bapak belum selesai. Bapak sering diserang
dengan kutipan Camus, “Seorang manusia yang lahir tanpa etika, adalah ibarat
binatang liar yang berkeliaran di dunia.” Jangan takut, Pak, jauh sebelum Bapak
terjun ke dunia politik pun, Indonesia sudah dikelilingi hewan-hewan liar. Jika
Bapak diibaratkan seperti hewan liar, silakan serang hewan-hewan liar lain yang
sudah lebih dulu menggerogoti sendi-sendi bangsa ini. Sebagaimana tikus got, Singa
juga hewan liar. Paling tidak, jadilah singa yang bisa memastikan tikus-tikus
got itu tidak dapat tempat spesial di Indonesia. Jangan ingin jadi macan, Pak,
jadilah singa. Karena kalau cuma ingin jadi macan, cukup dengan makan Biskuat
juga sudah bisa, Pak.
Kedua, teruskanlah
kebiasaan blusukan dan kebiasaan
mendengar keluhan dari masyarakat yang Bapak pimpin. Terjun langsung, amati
sendiri duduk permasalahan yang mereka hadapi sehari-hari. 989 pedagang PKL di Surakarta
yang Bapak pindahkan dari Banjarsari ke Klithikan, luluh bukan karena tongkat
pentung dan gas air mata satpol PP, tapi karena kesabaran Bapak untuk melakukan
mediasi bersama mereka, Pak. Setelah melalui 54 kali makan siang bersama
—sambil mendengarkan keluhan mereka satu per satu, kesepakatan baru tercapai.
286 keluarga yang tinggal di bantaran waduk Pluit, tidak merasakan kepalan
tangan aparat terlebih dahulu agar mau direlokasi. Bapak turun bernegoisasi dan
melakukan kontrol lapangan, sampai akhirnya muncul kata sepakat. Saya pun masih
ingat, selama menjabat di Surakarta, Bapak melarang gerbang pintu balai kota
ditutup, agar keinginan para demonstran untuk bertemu dan bertukar pikiran
dengan Bapak dapat terwujud. Bapak bilang, kalau di Solo dulu, malah kangen
didemo.
Oh iya, saya sendiri punya
pengalaman pribadi, tentang berbagi pikiran dan keluhan dengan Bapak.
Pada kurun waktu 2009,
Bapak datang ke sekolah saya, Sma 2 Surakarta. Waktu itu, Bapak mengadakan
acara “Bincang-Bincang Bersama Walikota” dan berlangsung dengan meriah di aula sekolah
saya. Saya waktu itu masih menjabat sebagai ketua OSIS, dan diberi mandat oleh
Kepala Sekolah untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Saya bertanya mengenai
tiga hal: pertama, mengenai pembebasan lahan parkir di depan Sma 1 dan Sma 2,
kedua mengenai pembangunan skatepark,
dan ketiga soal ruang kreativitas anak muda kota Surakarta, khususnya untuk
kesenian mural dan grafiti. Waktu itu, Bapak menjawab poin pertama itu tergantung
kebijakan sekolah, di mana pemkot hanya bisa membantu jika memang sekolah
mengajukan permohonan dana untuk pembebasan lahar parkir di depan sekolah saya.
Kedua, Bapak terlihat tertarik dengan gagasan skatepark, dan meminta saya untuk membuat proposal pengajuan
lengkap, beserta denah dan anggaran dananya. Ketiga, kalau Bapak ingat kita pernah
terlibat adu pendapat lumayan sengit, soal ruang mural dan grafiti. Bapak
bersikukuh, bahwa tidak ada jaminan bahwa pemberian ruang mural dan grafiti,
akan menjamin berkurangnya vandalisme. Saya kemudian memberikan contoh di
Jogja, di mana pemerintah bisa sedikit menekan jumlah vandalisme, dengan
memberikan ruang publik yang legal untuk mural dan grafiti. Sayang, setelah
seminar kita tidak sempat berfoto bersama.
Beberapa pekan
kemudian, saya kembali berjumpa dengan Bapak di balai kota. Kalau tidak salah
ada penyuluhan tentang bahaya narkoba atau sejenisnya, saya lupa pastinya. Saya
menjadi delegasi dari Sma 2. Selesai seminar, ada sesi bersalaman. Saya tidak
berharap Bapak mengingat saya, tapi saat kita hendak jabat tangan, Bapak bertanya:
“Mas, proposal skatepark-nya mana?
Saya tunggu di kantor ndak datang-datang.” Aih, saya terharu betul. Saya kira
jawaban Bapak waktu itu, hanya formalitas belaka, nyatanya Bapak ingat. Malah
sampai sekarang, saya yang belum pernah bikin proposalnya, Pak. Maaf. (Oh iya, Bapak juga pernah menanyakan
undangan untuk openmic di komunitas saya, Standup Comedy Surakarta, saat ditanya
kenapa tidak jadi berkunjung ke acara kami. Maaf lagi, Pak. Kita malas bikin
undangan. Padahal Bapak waktu itu sudah mengiyakan, dan berniat untuk datang.)
Pada 2010, saya lihat
di sebelah barat Stasiun Purwosari ada beberapa tembok yang dipersilakan untuk diisi
dengan mural dan grafiti. Kalau tidak salah, waktu itu awalnya berbentuk
kompetisi. Wah, saya waktu itu senang bukan kepalang Pak. Entah itu berkat
gagasan dari saya atau bukan, yang jelas pemberian ruang publik untuk sarana
kreativitas anak muda di bidang mural dan grafiti, merupakan sebuah apresiasi
sederhana yang sangat bermakna buat kawan-kawan saya. Yang jelas, Bapak sudah
mendengar masukan saya.
Bapak selalu mendengar,
mendengar, dan mendengar. Itu yang membuat saya yakin, bahwa Bapak bisa membawa
negeri ini menjadi lebih baik. Tapi jika sudah terpilih nanti, saya berharap
jangkauan Bapak untuk mendengar berbagai keluhan masyarakat jadi lebih luas, lebih-lebih
untuk kasus intoleransi umat beragama. Karena sila pertama negeri ini, bicara
soal Ketuhanan. Bicara soal Ketuhanan, tentu erat kaitannya dengan ibadah dan
cara masing-masing umat untuk menyatakan keyakinannya. Namun di negeri ini,
masih ada sekelompok golongan yang berusaha untuk tidak memberikan jaminan aman
kepada mereka-mereka yang ingin beribadah sesuai dengan keyakinannya. Padahal
semua warga setara, dan sudah menjadi tugas aparatur negara, untuk menjamin hak
setiap warga untuk beribadah dengan tenang di dalamnya. Untuk kasus ini, tak
salah jika sedikit menengok Piagam Gerakan Kebangsaan Iran, yang mana tertulis:
“Rasa syukur kepada Tuhan, sangat bergantung kepada pencapaian kebebasan dan
penggunaannya untuk mendapatkan hak asasi, keadilan, dan pelayanan.” Saya
harap, Bapak bisa memberikan sikap tegas jika isu ini telah sampai di telinga
Bapak. Tak perlu menjadi keras, karena tegas itu masalah sikap dan prinsip.
Yang saya takutkan, bersikap keras hanya akan menimbulkan jarak di berbagai
lini. Entah hubungan Bapak dengan satu golongan, atau dengan golongan yang
lain.
Yang ketiga, saya
berharap gagasan revolusi mental dapat berjalan sebagaimana mustinya. Pak
Jokowi yang baik, saya yakin Bapak sadar bahwa di belakang Bapak, berdiri
jutaan masyarakat Indonesia yang siap mendukung Bapak di manapun berada. Bapak
bukan hanya mendapat dukungan, tapi juga mendapat kepercayaan. Di tengah krisis
kepercayaan terhadap para pemimpin seperti saat ini, Bapak sanggup menyeruak
muncul dengan suara rakyat sebagai motornya. Bukan tanpa alasan, kami berdiri
di belakang Bapak. Kami sudah cerdas, kami sanggup membedakan mana yang
bekerja, dan mana yang tidak. Mana yang ingin mengabdi kepada rakyat, mana yang
ingin menjadikan rakyat sebagai abdi.
Kami —apalagi generasi
muda, sangat sependapat dengan gagasan yang Bapak kemukakan. Pembangunan fisik
dan ekonomi yang besarnya seperti apapun, tak akan pernah menjadi sempurna jika
tidak disertai dengan pembangunan karakter. Saya berharap, Bapak bisa menjadi
representasi revolusi mental bangsa Indonesia, yang sesegera mungkin akan kami
mulai dari dalam diri kami sendiri. Sebab, sejarah selalu mencatat, bahwa
karakter seorang pemimpin yang baik akan dengan mudah menular.
Guru besar bangsa ini
—yang juga seorang mantan Presiden, Alm. Gus Dur, mendobrak kebiasaan
Jahilliyah Indonesia pada masanya. Gus Dur, gigih menyebarkan spektrum
toleransi beragama hingga jangkauan yang paling luas. Usahanya itu bukan datang
sebagai produk keputusan negara, tapi bersifat gagasan dan sudut pandang; sehingga
orang mengenali sifat toleransi ini sebagai karakter Gus Dur. Mereka yang
benar-benar mengagumi Gus Dur, sudah barang tentu mewarisi hal serupa. Mereka
berusaha mengadopsi segala hal baik dari Gus Dur, sebagai bentuk kesetiaan dan
juga penghormatan. Hal baik macam inilah, yang sekiranya sanggup Bapak contoh.
Mungkin salah satu
contoh karakter Bapak, yang bisa menjadi salah satu pendongkrak revolusi mental
adalah sikap pro ekonomi rakyat. Selama di menjabat di Solo, Bapak berhasil
meningkatkan pendapatan daerah dari pasar tradisional dan usaha kecil menengah,
dari angka Rp. 7,8 miliar menjadi Rp. 19, 2 miliar, sementara ‘hanya’ hotel
berkontribusi sebesar Rp.10 miliar, iklan Rp. 6 miliar, parkir Rp. 1,8 miliar, dan
restoran Rp. 5 miliar. Saya membayangkan, jika Bapak terus menyuarakan gagasan
pro ekonomi rakyat seperti ini, khususnya di bidang usaha kecil menengah, akan
banyak sekali pengagum Bapak yang pelan-pelan ‘terdoktrin’ untuk memulai usaha
sendiri, dan tidak bergantung pada pemodal besar yang cenderung memonopoli
bidang usaha di Indonesia.
Kesederhanaan,
kejujuran, kerja keras, dan juga sikap toleransi; di mana Bapak tidak gemar
mengkafirkan saudara sendiri, adalah salah satu karakter yang harus terus Bapak
jaga, dan Bapak tularkan kepada bangsa ini sebagai bagian dari usaha revolusi
mental. Bapak, sekali lagi, bisa menjadi inspirasi bagi orang banyak.
Lebih-lebih kepada saya dan generasi muda lainnya.
Yang terakhir, yang
paling saya suka, tentang usaha merangkul generasi muda. Ada satu kutipan menarik
dari salah satu putera terbaik bangsa, yang kini juga tengah berjuang bersama
Bapak dalam usaha membangun Indonesia, Anies Baswedan. Ia berujar, “Anak muda
memang minim pengalaman, karena itu ia tak tawarkan masa lalu, anak muda
menawarkan masa depan.”
Ya, kami menawarkan
masa depan. Sebab, mau tidak mau, suka tidak suka, suatu saat kami akan menjadi
pilar bangsa ini. Selain soal revolusi mental yang sudah saya singgung
sebelumnya, saya harap Bapak juga bisa memberikan bekal khusus kepada generasi
muda. Dalam hal ini, yang ingin saya singgung berkaitan dengan industri
kreatif.
Dalam debat kedua, ada
beberapa hal menarik yang Bapak kemukakan soal industri kreatif. Bidang seni
musik, seni pertunjukan, video, desain, dan animasi. Saya senang, Bapak
menyinggung poin tersebut. Tandanya, Bapak memang melihat ada peluang
menjanjikan dari bidang-bidang itu. Di dunia musik, tentu sudah banyak orang
yang tahu. Bapak penggemar musik metal dan sering datang konser, baik band
dalam negeri maupun luar negeri. Saya sendiri pernah menjadi saksi mata, Bapak
datang tanpa protokoler berlebihan di Rock in Solo 2012 dan Rock in Solo 2013.
Setelah datang di Rock in Solo 2012, Bapak berkelakar lewat Twitter, “Datangin
Metallica ke Solo habis berapa ya?” Dan akhirnya, Bapak bisa menyaksikan
Metallica di Indonesia —meski bukan di Solo, tapi di Gelora Bung Karno,
Jakarta. Bapak yang notabene-nya seorang politisi, hadir di tengah kerumunan
massa penggemar rock, dan dielu-elukan. Kebetulan saya juga hadir di malam yang
berbahagia itu, Pak. Dan ketika para penonton lain terkaget-kaget, karena
tiba-tiba Bapak datang tanpa pengamanan yang terkesan lebay, saya biasa saja. Pasalnya, sudah sering lihat Bapak seperti
itu di Solo. Rock in Solo 2011, bersebelahan di lampu merah Jongke saat naik
mobil dinas tanpa pengawal, datang berboncengan naik motor Mio saat kasus
penembakan polisi di Singosaren, naik sepeda seorang diri saat CFD. Wis kulina, kalau kata orang Jawa.
Di bidang animasi, ini
yang menarik. Bapak bilang, “Animasi kita banyak diekspor ke luar negeri, dan
dinikmati bangsa lain. Perusahaan yang mengembangkan animasi di Indonesia juga
masih perusahaan asing.” Saya setuju, Pak. Animator kita ini banyak yang
bertangan emas. Kawan-kawan saya yang bergelut di bidang ini, nampak senang
dengan kebihakan Bapak. Saya pernah baca, sebelum kartun Tsubasa terkenal,
sepakbola Jepang bukanlah apa-apa. Kartun yang bercerita tentang perjuangan
pesepakbola bernama Tsubasa Ozora itu, mampu menggugah minat orang Jepang
terhadap sepakbola. Hasilnya? Kini Jepang menjadi langganan juara Asia,
kontestan tetap Piala Dunia sejak 1998.
Kesaktian industri
kreatif dalam membentuk pengaruh memang dahsyat. Protes anti perang yang
disuarakan oleh Bob Dylan, Joan Baez, dan Donovan yang diselundupkan ke radio
Angkatan Bersenjata Amerika di Vietnam, berhasil menumbuhkan sikap anti perang;
pemerintah Jepang dan Korea Selatan, sama-sama mendanai setiap perkembangan
industri kreatif mereka di luar negeri, sebagai usaha untuk menarik
ketertarikan masyarakat internasional terhadap pop culture masing-masing negara. Jika geliat ini sanggup dikelola
dengan baik, hal ini bukan hanya mendatangkan keutungan ekonomi semata, tapi
juga bisa menjadi identitas negara.
Jadi besar harapan saya
agar Bapak mampu meneruskan niat baik yang pernah Bapak sampaikan beberapa
pekan lalu. Sekali lagi, generasi muda adalah generasi yang menjanjikan. Kami
punya banyak ide dan tenaga, yang selama ini kurang diapresiasi oleh negara.
Tentu kami tidak sanggup selalu bergantung kepada negara, tapi alangkah baiknya
jika potensi yang menjanjikan seperti ini sanggup difasilitasi dan diberi
apresiasi setinggi mungkin dari negara. Selama ini dukungan memang sudah ada,
tapi masih belum maksimal dan masih sangat mungkin untuk dikembangkan menjadi
jauh lebih besar.
Pak Jokowi, kiranya itu
saja yang ingin saya sampaikan kepada Bapak. Surat ini, hanya sebagai simbol, bahwa
betapa saya menyayangi Bapak dan sangat berharap Bapak mampu mengemban amanah,
apabila kelak sudah terpilih. Doa saya, supaya Bapak memiliki karakter pemimpin
yang disebut Eko Prasetyo dalam “Islam Kiri: Melawan Kapitalisme Modal dari Wacana Menuju Gerakan”: sanggup
menjadi contoh otentik dari sebuah moralitas sederhana, dan berani bersikap
melawan terhadap kesewang-wenangan.
Ah, tebakan saya betul
Pak. Ini siang akhirnya hujan juga. Saya harus cepat bergegas, Ibu tadi keburu pergi
sebelum sempat mengangkat jemuran. Jangan lupa makan, Pak.
Salam,
Bryan Barcelona.