"Lindungi Bumi" - artwork 07 Des karya Rudi Mantovani. |
Andaikan saya terdampar di sebuah pulau
dan hanya ditemani satu buah album yang digunakan untuk membunuh
sepi, tanpa ragu saya akan menunjuk
album ketiga milik Sheila on 7, 07 Des sebagai
bekal. Selalu sulit untuk menyusun daftar lagu favorit dari Sheila on
7 ke dalam sebuah komposisi peringkat,
tapi jika ditanya album yang
paling banyak memuat sentimen personal, 07 Des punya
semua alasan untuk punya satu
tempat spesial bagi saya. Di album yang dirilis 17 tahun silam
tersebut, saya menganggap Sheila on 7 mengeluarkan kemampuan terbaik
mereka untuk bertutur lewat lagu dengan cara paling khusyuk.
Di
sebuah kesempatan,
Eross Candra pernah bertutur bahwa 07 Des adalah
album yang durasi
pengerjaaanya paling cepat
jika dibandingkan dua album sebelumnya. Karena
dikerjakan di tengah kesibukan jadwal ini dan itu, Eross mengakui
kalau proses kurasi materi di 07 Des tidak
terlalu ketat dan tak sampai dibikin pusing. Di
Self-Titled (1999) dan
Kisah Klasik untuk Masa Depan (2001),
Sheila on 7 seperti tampil dengan kemasan tebar pesona yang ditujukan
untuk mengusahakan banyak kesan, dan memang terbukti berhasil
dengan total penjualan album hingga menyentuh angka 3 juta.
Selektivitas materi di dua album tersebut juga yang menjadi hal yang
lumrah, jika mengingat status Sheila on 7 sebagai band anyar
dari luar ibu kota yang sampai di pelukan Sony Music dengan cara
yang tidak mudah. Tancap gas, serba digeber. Toh,
hasil akhirnya juga jauh dari kategori biasa saja.
Seperti
yang sudah disinggung sebelumnya, yang membuat album ini terasa
sangat personal adalah bagaimana cara Sheila on 7 bercerita. 07
Des bagaikan
sebuah manifesto yang ditujukan satu orang kepada satu sosok lewat
barisan lirik yang serba menohok. 14 nomor yang diciptakan oleh
pemuda—yang kala itu baru menginjak usia 22-23—asal Jogja
tersebut, tidak menciptakan spektrum tafsir yang kelewat luas, pun
tidak menghasilkan pemaknaan yang kelewat mengawang. Ini terdengar
seperti: “hei,
ini aku bikin satu album khusus bercerita soal kamu, lho.”
Pada
"Seberapa Pantas", misalnya. Eross seperti menangkap
keresahan banyak lelaki ketika hendak menatap masa depan dengan orang
terkasih, lewat lirik "mampukah kau bertahan dengan hidupku yang
malang/sanggupkah kau meyakinkan di saat aku bimbang." Ini
adalah tipikal lagu yang kemudian mengusik pikiran tentang kesediaan
seseorang untuk tetap tinggal saat berada di fase yang sulit, dan
kemudian memunculkan kembali pertanyaan: “seberapa pantaskah kau
untuk ‘ku tunggu?”
Di
album ini, Anton, pria pencetak pakem gebukan brilian nan sederhana
yang muskil ditiru siapapun di kemudian hari, mengejutkan banyak
orang ketika membidani kelahiran tembang “Mari Bercinta” yang
kemudian secara biadab dinodai oleh Vicky Shu dan Aura Kasih di
kemudian hari. Hingga hari ini, saya masih tidak habis pikir
bagaimana lagu ini bisa menyertakan lirik genius seperti “hanya
satu buah titah, yang kami ejawantah, terlalu banyak cinta kan
binasa,” tanpa terkesan seperti musisi yang sedang pamer diksi.
Aransemen string yang dihasilkan Erwin Gutawa di lagu ini seperti
terselip dengan kadar yang pas; tak lantas membuat “Mari Bercinta”
terdengar terlalu megah dan teknikal, tapi juga menjauhkan lagu ini
dari kesan ala kadarnya karena minim kompleksitas aransemen.
Dalam
sebuah wawancara, saya ingat Ari Lasso pernah menyebut Duta sebagai
salah satu vokalis dengan karakter paling khas di Indonesia. Menurut
mantan penggawa Dewa 19 tersebut, timbre vokal Duta sangat mudah
untuk membuat wanita jatuh hati, tapi tak lantas membuat pria merasa
malu untuk mendengarnya—seperti elegi yang tak mengundang alergi.
Deskripsi paripurna atas testimoni Ari Lasso tersebut, terdengar
sangat jelas pada satu-satunya lagu karangan Duta di 07 Des,
“Seandainya”. Pernah ada satu waktu saya membuat satu
keputusan penting dalam hidup, lantas terasa seperti dihantam tepat
di dada ketika mendengarkan lagu ini tepat sebelum waktu tidur. Bagaimana
mungkin, ada orang yang bisa tetap baik-baik saja, setelah disuguhi
lirik “Seandainya aku bisa, aku sanggup, dan aku mampu,”
dan sebelumnya dihajar bait pembuka: “Seandainya
kudapat memilih untuk tak pergi dan tetap di sini.” Apa
yang lebih buruk dibanding menjadi pasrah untuk dua tujuan yang tak
bisa satu arah?
Akan
tetapi sulit
dipungkiri bahwa Eross adalah ruh paling
mendominasi dalam keseluruhan album ini. Saya merasa bahwa
Sheila on 7 adalah kawan terbaik yang
selalu menemani fase percintaan seseorang,
baik yang manis ataupun tidak. Dan apapun yang dirasakan
Eross ketika mengalami aneka kegamangan romansa di masa itu, akhirnya membidani semua
kegeniusan di 07 Des hingga
menjadi sebuah album yang punya sensasi ‘mewakili’ bagi banyak orang.
Salah
satu yang menarik dari cara Eross mengemas karyanya di album ini,
adalah bagaimana ia membuat momen biasa saja jadi terdengar mewah—dan
sebaliknya, vice-versa.
Di
“Saat
Aku Lanjut Usia”, ia mampu menangkap momen romantis pasangan
kakek-nenek yang ia lihat di satu daerah di Jawa Tengah saat sedang
saling suap-suapan kacang, dan kemudian diubah jadi nomor ceria
dengan meminjam kocokan ala Merle Haggard untuk merangkum hal
sederhana macam “memijit
pundakmu hingga kau tertidur pulas”. Atau
di kesempatan lain, membawa “Takkan Pernah Menyesal” menjadi
seperti lagu yang dibawakan dua orang yang sedang duduk di pos
kamling dengan satu gitar akustik dan segelas kopi sachet, lengkap
dengan decak “ehem”
dan
satu
genjrengan
palm-muted
untuk
mengecek kesiapan
bunyi. Momen pacaran yang cheesy
seperti
saling mengingatkan untuk membangunkan tidur satu sama lain lewat
telepon di pagi hari, entah kenapa seperti dibawa naik level ketika
dirangkum dalam lirik “bangunkan
tidurku, jika kau terjaga lebih dulu.”
Sisi
lain Eross kemudian terlihat sangat serius ketika menghasilkan
“Tentang Hidup”. Ia
seperti mencurahkan energinya untuk sesuatu yang lebih besar dan luas
daripada sekadar perkara jatuh cinta saja. “Bertahan
sayang dengan doamu, ‘ku coba bertanya pada Tuhanku,” adalah
lirik magis yang masih menyisakan banyak tanya tentang konsep
Ilahiah. Eross seperti sedang menggugat sesuatu yang kelewat sering
berada di ranah abu-abu, namun
dengan kemasan yang tak menggigit. Baginya, Tuhan memang satu dan
kita semua yang sok tahu.
Berkat
lagu ini, saya seperti disadarkan bahwa
hidup memang menyisakan banyak tanya
tak
peduli sekeras apapun
dipikir untuk menemukan jawabnya. Ada hal besar yang memaksa orang
untuk percaya, bahwa selurus apapun lintasan hidup akan menuntunmu
tiba pada satu persimpangan untuk memilih.
Setelah
sekian lama berselang, album ini masih jadi opsi terbaik untuk
menemani orang pada momen sulit dan menyenangkan. Tak peduli
berapapun banyak album yang akan dicetak Sheila on 7 nanti, 07 Des
tetap yang ter-muach
di
hati.