Seminggu
silam, final Champions League digelar di Kiev. Madrid masih kelewat digdaya
dengan meneruskan dominasi di Benua Biru untuk kali ketiga secara beruntun,
sementara Liverpool kembali ke Anfield dengan kepala—yang dipaksa—tegak dan beberapa
penyesalan yang akan terus mengusik dalam kurun waktu yang tak sebentar. Malam
itu, Gareth Bale mencuri perhatian dunia. Dua gol ia borong meski masuk sebagai
pemain pengganti; satu lewat sepakan akrobatik, satu lagi lewat sepakan kencang
yang ‘dibantu’ muntahan salah arah dari Loris Karius. Dalam kurun 20 menit,
Bale merampungkan mimpi The Reds untuk angkat trofi kuping besar mereka yang
keenam. Mungkin musim depan akan menjadi milik mereka, tapi musim ini, biarkan
dulu Los Merengues berpesta di Olympic Stadium dengan Gareth Bale sebagai
dirigen utamanya.
Yang
dilakukan Bale dengan kaki kirinya, kemudian membuat saya harus berdiskusi
dengan partner menonton saya malam itu: ayah. Menurutnya, Karius memang
melakukan blunder pada proses terjadinya gol ketiga Madrid, tapi sepakan luar
biasa kencang dari Bale membuat bola bersarang jadi lebih mudah.
“Kirinya
Bale ini memang gila,” ujar Ayah. “Orang taunya dia mahal, larinya kenceng, tapi pada lupa kalau kaki kirinya ini
bahaya. Dari jarak segitu lho, coba dilihat lagi.”
Saya
terdiam sesaat setelah mendengar pernyataan itu. Ada benarnya juga, pikir saya.
Mungkin jika tidak ‘diingatkan’ ayah, saya masih berpikir bahwa yang menjadi
daya tarik utama Bale hanya soal akselerasi dan transformasi fisiknya setiba di
Madrid. Seakan-akan abai dengan rentetan tembakan knuckleball yang berulangkali dilakukan Bale sejak merumput di St.
Mary's. Teknik menendang yang mencomot istilah dari baseball itu memang unik; bola yang dilepas dengan teknik knuckleball akan mereduksi intensitas
berputar bola sesaat setelah ditendang, kemudian menghasilkan gerakan tak
beraturan yang kerap mengecoh lawan.
Robert
Adair, seorang profesor fisika dari Yale University pernah berujar bahwa
menghentikan laju bola hasil teknik knuckleball
adalah hal yang hampir mustahil karena manusia memiliki keterbatasan fisik
untuk menghasilkan waktu bereaksi. Di kompetisi baseball, bahkan ada anekdot macam ini terkait trik terbaik untuk
menghentikan teknik knuckleball: “the way to catch a knuckleball is to wait
until it stops rolling and pick it up.” Tapi Karius menolak untuk tunduk
pada hukum fisika, dan melakukan tindakan penyelamatan yang sejatinya tidak
menyelamatkan apapun—termasuk bola, karir, dan nama baiknya sebagai kiper
profesional.
Setelah
gol kedua Bale, ingatan saya mengawang pada mimpi di masa kecil: bisa menendang
bola dengan kaki kiri. Dan ayah, adalah orang pertama yang paling memacu saya
untuk bisa melakukan hal tersebut.
“Papah
tuh bisa nendang pakai kaki kiri kan ya?” tanya saya setelah diskusi kecil soal
gol kedua Bale.
“Bisa,
malah lebih sering pakai kaki kiri waktu masih main. Kerasanya pas sudah tua
sekarang, lebih sering sakit di kaki kiri kalau dipakai aktivitas.”
Ayah
tidak kidal, ia melakukan semua aktivitas utamanya dengan tangan-kaki kanan. Hanya
saja ketika bermain bola, kaki kirinya selalu lebih hidup. Saya belum pernah
menyaksikan ayah bermain bola saat masih aktif bermain di level amatir, tapi
saya beberapa kali setim dengan ayah saat main sepakbola di lapangan dekat
rumah. Bahkan, ia sempat melatih saya dan kawan-kawan kampung saat
membentuk kesebelasan untuk kompetisi sepakbola antar remaja masjid. Seingat
saya, dulu ada satu sesi di mana saya dan kawan-kawan dipersilakan untuk
mencoba menendang dengan kaki terlemah. Beberapa kawan yang lebih tua dari saya
bisa menendang dengan cukup terarah meski tak bertenaga, sedangkan saya,
terarah tidak-kencang apalagi. Bahkan lebih mirip Ishizaki yang pernah
terpeleset ketika mencoba melakukan drive
shot di serial Tsubasa; terlihat konyol bin memalukan.
Ketika ayah memberi
contoh tiga kali menendang bola dengan kaki kiri, seketika itu saya
dan kawan-kawan sepakat untuk tidak mencoba menyundul atau menghalau laju bola
saat tidak setim dengan ayah di laga eksebisi, andai masih sayang
organ tubuh masing-masing.
Tidak
cukup sekali-dua kali saya mengeluh tidak bisa menendang dengan kaki kiri,
sampai akhirnya ayah bilang bahwa sebelum konsisten mencoba melatih menendang
dengan kaki kiri, tentukan dulu ‘mazhab kiri’ mana yang ingin saya pakai: mazhab
Maradona atau Stoichkov.
Mazhab Maradona untuk ‘genre’ sepakan kaki kiri yang
tak melulu bertenaga tapi menghasilkan akurasi tembakan yang sulit dijangkau
lawan, sedangkan mazhab Stoichkov merujuk pada sepakan kencang yang akurasinya tak
terlalu sempurna, tapi selalu merepotkan kiper karena laju kecepatan ekstrem yang juga sama sulitnya untuk dibendung. Saya bingung, wong bisa saja belum sudah disuruh menentukan ingin meniru siapa.
Meskipun dalam hati kecil, saya ingin menjawab, “ya minimal bisa kaya papah,”
tapi belum pernah terucap.
Bertahun-tahun
kemudian, saya baru memahami ucapan itu. Lewat kompilasi video yang dengan
mudah diakses di YouTube, saya jadi paham kenapa dua orang itu selalu disebut-sebut
ketika disinggung soal acuan pesepakbola kaki kiri terbaik versi ayah. Maradona
adalah Maradona, sedangkan Stoichkov adalah seorang gunslinger yang menjadi bagian integral dari dream team Blaugrana saat dipoles Cruyff. Dua sosok yang pantas
masuk altar pemujaan sekte kiri bersama Inessa Armand, Guy Debord, dan tentu
saja Tan Malaka.
Andai
disuruh memilih saat ini, tentu saja memilih mazhab Stoichkov. Maradona adalah
kesempurnaan yang muskil dijangkau pria normal tanpa talenta ilahiah, sedangkan
Stoichkov memiliki aspek-aspek normal yang jauh lebih masuk akal untuk
diduplikasi. El Pistelero adalah kepingan puzzle
terakhir yang melengkapi ‘orang-orang sopan’ dalam komposisi dream team
Cruyff. Agresivitas dan sikap oportunistisnya sebagai seorang jugador, membuat
skuat Barcelona yang memang didesain ofensif jadi jauh lebih sempurna.
“Ada
pemain yang lebih memilih untuk menunggu momen, atau menantikan peluang untuk
mengkreasi gerakan indah ketika mengolah bola, Stoichkov adalah orang yang
menciptakan momen, menjemput bola, dan langsung menembaknya ketika mendapat
peluang,” ujar Cruyff ketika disinggung soal karakter pemain asal Bulgaria itu.
Dalam skema ofensif khas Barca yang kerap memasang garis pertahanan tinggi
untuk secepat-cepatnya mencuri penguasaan bola dan mengusik daerah berbahaya
lawan, Stoichkov adalah karakter kunci dalam racikan taktik El Flaco.
Dan tentu saja, kaki kiri pemain kelahiran Plovdiv itu yang kemudian
menyelesaikan tugas-tugasnya; baik dari dalam kotak penalti, atau dari luar
kotak penalti.
Saya
cukup kenyang menyaksikan cuplikan gol Stoichkov, tapi tentu saja tidak
mengubah apapun yang berkaitan dengan kemampuan saya untuk menendang bola
dengan kaki kiri. Di sepanjang karir pada laga eksebisi di kampung dan atlet
bola pocokan-non-amatir-namun-banyak-gaya,
seingat saya, saya tak lebih dari 3 atau 4 kali mencetak gol dengan kaki kiri.
Separuh tak sengaja tersenggol, sisanya mungkin sengaja dipersilakan kiper
untuk masuk gawang sebagai bentuk apresiasi. Maka, di sepertiga malam pada
bulan penuh berkah ini, izinkan saya memanjat doa sederhana yang menjadi ambisi
sejak masih piyik:
Duh Gusti, aku ingin bisa menendang bola dengan kaki kiri.